Thaharah 3

TAYAMMUM
Tayammum
Tayammum adalah suatu syariat agama sebagai pengganti wudlu atau mandi janabat bagi yang hendak melaksanakan shalat karena sesuatu keadaan.
وَ اِنْ كُنْتُمْ مَرْضى اَوْ عَلى سَفَرٍ اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَآئِطِ اَوْ لـمَسْتُمُ النّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ اَيْدِيْكُمْ.... النساء 43 و المائدة:6
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu. [QS. An-Nisaa’ : 43 dan Al-Maaidah : 6]
Keterangan :
Yang dimaksud orang sakit ialah, orang sakit yang apabila terkena air akan membahayakan baginya atau memperlambat kesembuhannya.
Termasuk dalam pengertian “tidak mendapat air”, ialah walaupun ada air tetapi tempatnya sangat jauh menurut ukuran yang umum, atau tempatnya berbahaya. Atau walaupun ada, tetapi sangat sedikit/terbatas dan dipergunakan untuk keperluan penting lainnya (mencuci, memasak dan lain-lain), sehingga adanya seolah sama dengan tidak ada.
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ اَسْمَاءَ قِلاَدَةَ فَهَلَكَتْ فَبَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ ص رِجَالاً فِى طَلَبِهَا. فَاَدْرَكَتْهُمُ الصَّلاَةَ وَ لَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَصَلَّوْا بِغَيْرِ وُضُوْءٍ. فَلَمَّا اَتَوْا رَسُوْلَ اللهِ ص شَكَوْا ذلِكَ اِلَيْهِ، فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ ايَةَ التَّيَمُّمِ. الجماعة الا الترمذى
Dari ‘Aisyah, sesungguhnya dia pernah meminjam sebuah kalung dari Asma’, lalu kalung itu hilang. Kemudian Rasulullah SAW mengutus beberapa orang untuk mencarinya, lalu mereka menemukannya, lalu mereka menumpai waktu shalat, padahal tidak ada air, lantas mereka shalat tanpa wudlu. Maka tatkala mereka datang kepada Rasulullah SAW, mereka mengadukan hal tersebut kepadanya, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat tayammum. [HR. Jama’ah, kecuali Tirmidzi, dalam Nailul Authar I : 313]
عَنْ عَلِيٍّ كَرَمَ اللهُ وَجْهَهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اُعْطِيْتُ مَا لَمْ يُعْطَ اَحَدٌ مِنَ اْلاَنْبِيَاءِ. نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَ اُعْطِيْتُ مَفَاتِحَ اْلاَرْضِ،وَ سُمِّيْتُ اَحْمَدَ وَ جُعِلَ لِيَ التُّرَابُ طَهُوْرًا وَ جُعِلَتْ اُمَّتِى خَيْرَ اْلاُمَمِ. احمد
Dari ‘Ali karamallaahu wajhahu, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Aku diberi sesuatu yang tidak diberikan kepada seorang pun dari para nabi-nabi, yaitu : Aku diberi kemenangan dengan rasa takut di pihak lawan, aku diberi kunci-kunci untuk menaklukkan beberapa negeri, aku diberi nama Ahmad, dijadikan tanah bagiku sebagai pensuci, dan dijadikan ummatku sebaik-baik ummat”. [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar I : 307]
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلاَثٍ. جُعِلَتْ صُفُوْفُنَا كَصُفُوْفِ اْلمَلاَئِكَةِ، وَ جُعِلَتْ لَنَا اْلاَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا، وَ جُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا اِذَا لَمْ نَجِدِ اْلمَاءَ. مسلم
Dari Hudzaifah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Kami diberi kelebihan atas manusia dengan tiga perkara, yaitu : Dijadikan barisan-barisan kami seperti barisan-barisan malaikat, dijadikan bagi kami bumi seluruhnya sebagai tempat shalat, dan dijadikan bagi kami debunya sebagai pensuci apabila kami tidak mendapatkan air”. [HR. Muslim, dalam Nailul Authar I : 308]
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص فِى سَفَرٍ فَصَلَّى بِالنَّاسِ. فَاِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ اَنْ تُصَلِّيَ؟ قَالَ: اَصَابَتْنِى جَنَابَةٌ وَ لاَ مَاءَ. قَالَ: عَلَيْكَ بِالصَّعِيْدِ، فَاِنَّهُ يَكْفِيْكَ. احمد و البخارى و مسلم فى نيل الاوطار 1:308
Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata : Kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam safar (bepergian), lalu beliau SAW shalat bersama orang banyak, tiba-tiba ada seorang laki-laki menyendiri, lalu beliau bertanya, “Apa yang menghalangi kamu untuk shalat ?”. Ia menjawab, “Saya sedang junub, padahal tidak ada air”. (Kemudian) Nabi SAW bersabda, “Gunakanlah debu, karena sesungguhnya ia cukup bagimu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar I : 308]
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيِّ قَالَ: خَرَجَ رَجُلاَنِ فِى سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَ لَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيْدًا طَيَّبًا فَصَلَّيَا. ثُمَّ وَجَدَ اْلمَاءَ فِى اْلوَقْتِ فَاَعَادَ اَحَدُهُمَا اْلوُضُوْءَ وَ الصَّلاَةَ وَ لَمْ يُعِدِ اْلآخَرُ ثُمَّ اَتَيَا رَسُوْلَ اللهِ ص فَذَكَرَ ذلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِى لَمْ يُعِدْ: اَصَبْتَ السُّنَّةَ وَ اَجْزَاَتْكَ صَلاَتُكَ. وَ قَالَ لِلَّذِى تَوَضَّأَ وَ اَعَادَ: لَكَ اْلاَجْرُ مَرَّتَيْنِ. النسائى و ابو داود و هذا لفظه
Dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata : Dua orang laki-laki keluar dalam satu bepergian, lalu datang waktu shalat (padahal keduanya tidak membawa air), kemudian kedua orang itu bertayammum dengan debu yang bersih, lantas keduanya shalat, kemudian (selesai shalat) mendapati air dalam waktu itu. Lalu salah seorang dari padanya mengulangi dengan wudlu dan shalat, sedang yang lain tidak mengulangi. Kemudian kedua orang itu menghadap Rasulullah SAW, lalu menceritakan hal itu kepada beliau, maka Nabi SAW bersabda kepada orang yang tidak mengulangi, “Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah memadai”. Dan terhadap orang yang wudlu dan mengulangi, beliau bersabda, “Bagimu pahala dua kali”. [HR. Nasai dan Abu Dawud, dan ini adalah lafadh Abu Dawud, dalam Nailul Authar I : 311]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَاَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ، فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ اَصْحَابَهُ: هَلْ تَجِدُوْنَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ؟ فَقَالُوْا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَ اَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى اْلمَاءِ. فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ. فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ اُخْبِرَ بِذلِكَ فَقَالَ: قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ. اَلاَ سَأَلُوْا اِذْ لَمْ تَعْلَمُوْا؟ فَاِنَّمَا شِفَاءُ اْلعَيِّ السُّؤَالُ. اِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْهِ اَنْ يَتَيَمَّمَ وَ يَعْصِرَ اَوْ يَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهِ وَ يَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ. ابو داود و الدارقطنى
Dari Jabir, ia berkata : Kami pernah keluar dalam safar (bepergian), lalu salah seorang diantara kami kena batu, sehingga luka di kepalanya, kemudian ia mimpi keluar mani, lalu bertanya kepada kawan-kawannya, “Apakah kamu mendapatkan dalil yang membolehkan aku tayammum ?”. Mereka menjawab, “Kami tidak mendapati dalil yang membolehkan kamu tayammum, karena dapat menggunakan air”. Lalu ia mandi, kemudian ia mati. Maka tatkala kami sampai di hadapan Nabi SAW, hal itu diceritakan kepada beliau, lalu Nabi SAW bersabda, “Celaka mereka itu, karena mereka telah membunuhnya ! Mengapa mereka tidak bertanya. Sesungguhnya cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya itu dengan sepotong kain, lantas ia mengusap di atasnya, dan membasuh seluruh badannya”. [HR. Abu Dawud dan Daruquthni, dalam Nailul Authar I : 301]
عَنْ عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ اَنَّهُ لَمَّا بَعَثَ فِى غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ قَالَ: احْتَلَمْتُ فِى لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيْدَةِ اْلبَرْدِ، فَاَشْفَقْتُ اِنِ اغْتَسَلْتُ اَنْ اَهْلِكَ. فَتَيَمَّمْتُ، ثُمَّ صَلَّيْتُ بِاَصْحَابِى صَلاَةَ الصُّبْحِ. فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ ص ذَكَرُوْا ذلِكَ لَهُ. فَقَالَ: يَا عَمّرُو، صَلَّيْتَ بِاَصْحَابِكَ وَ اَنْتَ جُنُبٌ؟ قُلْتُ: ذَكَرْتُ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ {وَ لاَ تَقْتُلُوْآ اَنْفُسَكُمْ، اِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا} فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ. فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا. احمد و ابو داود و الدارقطنى
Dari ‘Amr bin Al-‘Ash, sesungguhnya setelah ia diutus dalam peperangan Dzatus Salasil, ia berkata : Saya mimpi sampai keluar mani pada suau malam yang sangat dingin. Kemudian saya bangun pagi-pagi. Kalau saya mandi tentu akan celaka, karena itu saya bertaammum. Kemudian saya mengimami shalat Shubuh bersama dengan kawan-kawan saya. Ketika kami sampai di hadapan Rasulullah SAW, lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ya ‘Amr, apakah kamu telah menjadi imam dalam shalat bersama kawan-kawanmu padahal kamu junug ?”. Saya menjawab, “Saya ingat firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya (Dan jangan kamu membunuh diri-dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang terhadap kamu”, lalu saya tayammum, kemudian shalat”. Kemudian Rasulullah SAW tertawa, tanpa mengatakan sesuatu apapun”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Daruquthni, dalam Nailul Authar I : 302]
Cara tayammu :
Cara yang dituntunkan oleh Nabi untuk melakukan tayammum adalah :
@ Menepukkan tangan ke sembarang tempat yang suci dan mengandung debu (diatas selimut, pada tembuk dan sebagainya) dengan satu kali tepukan.
@ Kemudian mengusapkannya ke muka dan kepada kedua tangan hingga pergelangan, dengan tanpa mengulangi menepuk lagi tempat yang yang berdebu tersebut.
@ Boleh pula dengan meniup-niupnya terlebih dahulu.

Sabda Nabi SAW :
عَنْ عَمَّارِ يْنِ يَاسِرٍ قَالَ: بَعَثَنِى النَّبِيُّ ص فِى حَاجَةٍ فَاَجْنَبْتُ فَلَمْ اَجِدِ اْلمَاءَ فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيْدِ كَمَا تَتَمَرَّغُ الدَّابَّةُ، ثُمَّ اَتَيْتُ النَّبِيَّ ص، فَذَكَرْتُ لَهُ ذلِكَ فَقَالَ: اِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ اَنْ تَقُوْلَ بِيَدَيْكَ هكَذَا. ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ اْلاَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى اْليَمِيْنِ وَ طَاهِرَ كَفَّيْهِ وَ وَجْهَهُ. متفق عليه
Dari ‘Ammar bin Yasir RA, ia berkata : Nabi SAW penah mengutus saya untuk suatu keperluan. Kemudian dalam perjalanan itu saya berjunub, akan tetapi tidak memperoleh air, lalu saya berguling di tanah sebagaimana binatang berguling. Setelah itu saya pulang dan menghadap Nabi SAW, serta menceritakan pengalaman saya tersebut. Beliau bersabda, “Hanyasanya kamu cukup (bertayammum) dengan kedua tanganmu demikian. Kemudian beliau menepukkan kedua tangannya ke bumi satu kali, lalu menyapu tangan kanannya dengan tangan kirinya, lalu punggung kedua telapak tangannya serta mukanya”. [HR. Muttafaq ‘alaih, dan lafadh itu bagi Muslim]
Dan dalam riwayat bagi Bukhari :
فَضَرَبَ النَّبِيُّ ص بِكَفَّيْهِ اْلاَرْضَ وَ نَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَ كَفَّيْهِ. البخارى
Lalu Nabi SAW menepukkan kedua tangannya ke bumi, lalu meniup keduanya, kemudian menyapukannya ke muka dan dua tangannya (hingga pergelangan)”. [HR. Bukhari I : 87]
Kesimpulan :
Tayammum adalah sebagai pengganti wudlu atau mandi junub bagi orang yang dalam keadaan sebagai berikut :
1.  Sakit, yang akan membahayakan atau memperlambat kesembuhannya bila terkena air.
2.  Orang yang tidak mendapatkan air, baik di tempat muqim maupun di tempat safar.
Adapun tentang musafir yang mendapat airu, di sini ulama ada dua pendapat.
Pendapat pertama, orang musafir boleh tayammum, sebagai pengganti wudlu atau mandi junub, walaupun ada air. Mereka beralasan dari pemahaman surat An-Nisaa’ ayat 43 dan Al-Maaidah ayat 6.
Pendapat kedua, orang musafir tidak boleh tayammum sebagai pengganti wudlu atau mandi junub, bila ada air. Mereka beralasan karena tidak adanya praktek dari Nabi SAW atau shahabat bertayammum diwaktu safar dalam keadaan ada air, bukan karena sakit atau udara yang amat dingin.
HAIDL, ISTIHADLAH DAN NIFAS

Haidl, istihadlah dan nifas
1. Cara membedakan darah haidl
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُبَيْشٍ اَنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ص: اِذَا كَانَ دَمُ اْلحَيْضَةِ فَاِنَّهُ اَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَاِذَا كَانَ كَذلِكَ فَاَمْسِكِى عَنِ الصَّلاَةِ. فَاِذَا كَانَ اْلآخَرُ فَتَوَضَّئِى وَ صَلِّى فَاِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ. ابو داود و النسائى
Dari ‘Urwah, dari Fathimah binti Abu Hubaisy, sesungguhnya ia beristihadlah, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya, “Jika benar darah itu darah haidl, maka warnanya adalah hitam sebagaimana yang sudah dikenal, maka apaila benar demikian keadaannya, tinggalkanlah shalat. Akan tetapi apabila berwarna lain, maka berwudlulah dan shalatlah, karena sesungguhnya ia adalah dari gangguan urat”. [HR. Abu Dawud dan Nasai]
عَنْ اُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَ اْلكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا. ابو داود و البخارى و لم يذكر بعد الطهر
Dari Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Warna kuning dan keruh sesudah suci itu tidak kami anggap sesuatu darah hadil”. [HR. Abu Dawud dan Bukhari, tetapi Bukhari tidak menyebutkan kata-kata, “sesudah suci”]
Keterangan :
Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang cara membedakan sifat darah, yaitu : Kalau darah itu warnanya hitam (merah kehitam-hitaman) berarti darah haidl, dan kalau tidak demikian berarti darah istihadlah.

2. Lamanya haidl
Tentang lamanya haidl bagi para wanita adalah tidak sama. Hanya biasanya wanita-wanita haidl selama 6 atau 7 hari, tetapi bisa juga kurang atau lebih dari itu.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ لِرَسُوْلِ اللهِ ص: اِنِّى امْرَأَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّمَا ذلِكَ عِرْقٌ، وَ لَيْسَ بِاْلحَيْضَةِ. فَاِذَا اَقْبَلَتِ اْلحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَ صَلِّى. البخارى و النسائى و ابو داود
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Fathimah binti Abu Hubaisy memberitahu kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya saya seorang perempuan yang beristihadlah, karena itu aku tidak suci, bolehkah aku meninggalkan shalat ?”. Maka Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya yang demikian itu hanya gangguan urat, bukan haidl. Oleh karena itu bila datang hadil tinggalkanlah shalat, lalu apa bila waktu haidl sudah habis, maka cucilah darah itu darimu, dan shalatlah”. [HR. Bukhari, Nasai dan Abu Dawud]
و فى رواية للجماعة الا ابن ماجه: فَاِذَا اَقْبَلَتِ اْلحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ. وَ اِذَا اَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَ صَلِّى
Dan dalam satu riwayat oleh Jama’ah kecuali Ibnu Majah dikatakan, “Kemudian apabila waktu haidl datang, maka tinggalkanlah shalat, dan apabila waktu haidl telah lewat maka hendaklah kamu cuci darah darimu dan shalatlah”.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: جَائَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيِّ ص فَقَالَتْ: اِنِّى امْرَأَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ. اَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ لَهَا: اِجْتَنِبِى الصَّلاَةَ اَيَّامَ مَحِيْضِكَ، ثُمَّ اغْسِلِى وَ تَوَضَّإِى لِكُلِّ صَلاَةٍ. ثُمَّ صَلِّى وَ اِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى اْلحَصِيْرِ. احمد و ابن ماجه
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Fathimah binti Abu Hubaisy datang kepada Nabi SAW, lalu ia bertanya : Sesungguhnya saya seorang wanita yang beristihadlah, karena itu saya tidak suci, bolehkah saya meninggalkan shalat ?”. Kemudian Nabi SAW menjawab kepadanya, “Jauhilah shalat pada hari-hari haidlmu, kemudian mandilah, dan berwudlulah untuk setiap shalat, kemudian shalatlah walaupun darah itu menetes diatas tikar”. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: كُنْتُ اُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَثِيْرَةً شَدِيْدَةً، فَاَتَيْتُ النَّبِيَّ ص اَسْتَفْتِيْهِ، فَقَالَ: اِنَّمَا هِيَ رِكْضَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَتَحِيْضِى سِتَّةَ اَيَّامٍ اَوْ سَبْعَةَ اَيَّامٍ، ثُمَّ اغْتَسِلِى. فَاِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّى اَرْبَعَةً وَ عِشْرِيْنَ اَوْ ثَلاَثَةً وَ عِشْرِيْنَ وَ صُوْمِى وَ صَلِّى. فَاِنَّ ذلِكَ يُجْزِئُكِ. وَ ذلِكَ فَافْعَلِى كُلُّ شَهْرٍ كَمَا تَحِيْضُ النِّسَاءِ. فَاِنْ قَوِيْتِ عَلَى اَنْ تُؤَخِّرِى الظُّهْرَ وَ تُعَجِّلِى اْلعَصْرَ، ثُمَّ تَغْتَسِلِى حِيْنَ تَطْهُرِيْنَ وَ تُصَلِّى الظُّهْرَ وَ اْلعَصْرَ جَمِيْعًا. ثُمَّ تُؤَخِّرِيْنَ اْلمَغْرِبَ وَ تُعَجِّلِيْنَ اْلعِشَاءَ. ثُمَّ تَغْتَسِلِيْنَ وَ تَجْمَعِيْنَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ فَافْعَلِى وَ تَغْتَسِلِيْنَ مَعَ الصُّبْحِ وَ تُصَلِّيْنَ. قَالَ: وَ هُوَ اَعْجَبُ اْلاَمْرَيْنِ اِلَيَّ. الجماعة الا النسائى و صححه الترمذى و حسنه البخارى
Dari Hamnah binti Jahsyin RA, ia berkata : Aku pernah istihadlah yang banyak dan deras, lalu saya datang kepada Nabi SAW meminta fatwanya, maka sabdanya, “Yang demikian itu adalah gangguan dari gangguan syaithan, maka berhaidl lah kamu enam hari atau tujuh hari, kemudian mandilah. Maka apabila kamu sudah merasa bersih, shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari, puasalah dan shalatlah, karena yang demikian itu sudah mencukupimu. Dan demikian itu lakukanlah setiap bulan sebagaimana wanita-wanita berhaidl. Dan apabila kamu kuat mengakhirkan Dhuhur dan memajukan ‘Ashar (lakukanlah). Kemudian mandilah ketika kamu bersih dan shalatlah Dhuhur dan ‘Ashar bersama. Kemudian kamu akhirkan Maghrib dan menyegerakan ‘Isya’. Kemudian kamu mandi dan menjama’ antara dua shalat, lakukanlah. Dan kamu mandi untuk Shubuh dan shalat”. Beliau bersabda, “Dan demikian itu adalah yang lebih aku sukai dari yang lainnya”. [HR. Khamsah, kecuali Nasai, dishahihkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh Bukhari]

3. Larangan bagi wanita yang sedang haidl
Wanita yang sedang haidl tidak boleh bersetubuh, shalat, thawaf dan tidak boleh berpuasa.
وَ يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ، قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوا النّسَاءَ فِى اْلمَحِيْضِ وَ لاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّى يَطْهُرْنَ. فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللهُ. اِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ اْلمُتَطَهّرِيْنَ. البقرة:222
Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah, “Haidl itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri. [QS. Al-Baqarah : 222]
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنَّ اْليَهُوْدَ كَانُوْا اِذَا حَاضَتِ اْلمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُؤَاكِدُوْهَا وَ لَمْ يُجَامِعُوْهَا فِى اْلبُيُوْتِ. فَسَأَلَ اَصْحَابُ النَّبِيِّ ص، فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: وَ يَسْاَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ .... الى آخر الآية .... فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ اِلاَّ النِّكَاحَ و فى لفظ: اِلاَّ اْلجِمَاعَ. الجماعة الا البخارى
Dari Anas bin Malik, bahwa orang-orang Yahudi apabila istri-istrinya haidl, mereka tidak makan bersama-sama dengannya, dan tidak mau tinggal bersama-sama dalam rumah. Lalu para shahabat Nabi SAW bertanya (kepada beliau), kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang (hukum) haidl, katakanlah, “Dia itu kotoran”, karena itu jauhilah perempuan-perempuan (istri-istri) yang sedang berhadil .... “. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Berbuatlah apasaja kecuali setubuh”. Dan di dalam satu lafadh dikatakan, “kecuali jimak”. [HR. Jama’ah kecuali Bukhari]
عَنْ مَسْرُوْقِ بْنِ اْلاَجْدَعِ قَالَ: سَاَلْتُ عَائِشَةَ رض: مَا لِلرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ اِذَا كَانَتْ حَائِضًا؟ قَالَتْ: كُلُّ شَيْءٍ اِلاَّ اْلفَرْجَ. البخارى فى التاريخ
Dari Masruq bin Al-Ajda’, ia berkata : Saya bertanya kepada ‘Aisyah, “Apa yang boleh dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haidl ?”. Ia menjawab, “Apasaja boleh, kecuali farjinya”. [HR. Bukhari di dalam tarikhnya]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ ص فِى الَّذِي يَأْتِى امْرَأَتَهُ وَ هِيَ حَائِضٌ يَتَصَدَّقُ بِدِيْنَارٍ اَوْ بِنِصْفِ دِيْنَارٍ. الجماعة
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi SAW, tentang orang yang menyetubuhi istrinya, padahal ia sedang haidl, yaitu, “Hendaknya ia memberi sedeqah dengan satu dinar, atau dengan setengah dinar”. [HR. Khamsah]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيِّ فِى حَدِيْثٍ لَهُ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ لِلنِّسَاءِ: اَلَيْسَ شَهَادَةُ اْلمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَالِكُنَّ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا. اَ لَيْسَ اِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَالِكُنَّ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا. البخارى، مختصرا
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy (dalam satu hadits baginya), bahwa Nabi SAW bertanya kepada orang-orang perempuan, “Bukankah kesaksian perepuan itu sama dengan separonya kesaksian laki-laki ?”. Mereka menjawab, “Benar”. Beliau SAW bersabda, “Demikian itulah kekurangan agamanya”. [HR. Bukhari, secara ringkas]
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ اْلحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَ لاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ؟ فَقَالَتْ: كَانَ يُصِيْبُنَا ذلِكَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص. فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَ لاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. الجماعة
Dari Mu’adz, ia berkata : Saya bertanya kepada ‘Aisyah, yaitu “Mengapa perempuan yang haidl itu menqadla puasa dan tidak menqadla shalat ?”. Lalu ia menjawab, “Begitulah memang yang kami alami bersama Rasulullah SAW, yaitu kami diperintahkan mengqadla puasa dan tidak diperintahkan mengqadla shalat”. [HR. Jama’ah]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ. قَالَ النَّبِيُّ ص: اِفْعَلِى مَا يَفْعَلُ اْلحَاجُّ غَيْرَ اَنْ لاَ تَطُوْفِى بِاْلبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى. متفق عليه فى حديث طويل
Dari ‘Aisyah RA, tatkala kami sampai ke Sarif (suatu tempat + 10 mil dari Madinah ke Makkah) saya berhadil. Maka Nabi SAW bersabda, “Lakukanlah segala yang dilakukan oleh orang yang berhajji, hanyasaja tidak boleh berthawaf di Baitullah sehingga kamu suci”. [HR.Muttafaq ‘alaih, dalam hadits yang panjang]

4. Suami boleh menyetubuhi istrinya dalam keadaan istihadlah
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ اَنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ وَ كَانَ زَوْجُهَا يُجَامِعُهَا. ابو داود
Dari ‘Ikrimah, dari Hamnah binti Jahsy, bahwa ia (pernah) beristihadlah, sedang suaminya menyetubuhinya”. [HR. Abu Dawud]

5. Nifas
عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اْلاَعْلَى عَنْ اَبِى سَهْلٍ وَ اسْمُهُ كَثِيْرُ بْنُ زِيَادٍ عَنْ مَسَّةَ اْلاَزْدِيَّةِ عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: كَانَتِ النِّسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا وَ كُنَّا نُطْلِى وُجُوْهَنَا بِاْلوَرْسِ مِنَ اْلكَلَفِ. الخمسة الا النسائى
Dari ‘Ali bin ‘Abdil A’laa, dari Abu Sahal (namanya sendiri : Katsir bin Ziyad), dari Massah Al-Azdiyah, dari Ummu Salamah ia berkata, “Adalah wanita-wanita nifas di masa Rasulullah SAW tidak shalat selama 40 hari, dan kami memberikan pilis pada wajah-wajah kami dengan warna merah tua yang terbua tdari daun wars”. [HR. Khamsah kecuali Nasai]
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ رض قَالَتْ: كَانَتِ اْلمَرْأَةُ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ ص تَقْعُدُ فِى اْلنِّفَاسِ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً لاَ يَأْمُرُهَا النَّبِيُّ ص بِقَضَاءِ صَلاَةِ النِّفَاسِ. ابو داود
Dari Ummu Salamah, ia berkata : Adalah wanita-wanita dari istri-istri Nabi SAW, mereka tidak shalat diwaktu nifas selama 40 hari, dan Nabi SAW tidak memerintahkannya mengqadla shalat karena nifas”. [HR. Abu Dawud]
Keterangan :
Dalil-dalil yang menunjukkkan batas waktu nifas 40 hari, satu sama lain saling kuat menguatkan, sehingga sampai kepada tingkatan boleh dipakai dan diterima, dengan 40 hari itu menjadi suatu batas yang tertentu. Oleh karena itu perumpamaan nifas wajib meninggalkan shalat 40 hari, kecuali jika ia melihat dieinya bersih sebelum itu. Dan hukumnya nifas itu sama dengan haidl dan semua hal.


Brosur no. : 802/842/IF, 805/845/IF 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar