Macam-macam nikah yang dilarang agama

1. Nikah Mut’ah.
Nikah mut’ah, adalah nikah untuk sementara waktu, misalnya : tiga hari, seminggu, sebulan, dsb, dengan imbalan tertentu.
عَنْ قَيْسٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ يَقُوْلُ: كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص لَيْسَ لَنَا نِسَاءٌ، فَقُلْنَا: اَلاَ نَسْتَخْصِى؟ فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ. ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا اَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ اِلَى اَجَلٍ ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللهِ (ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تُحَرّمُوْا طَيّبَاتِ مَآ اَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوْا، اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ.المائدة:87). مسلم 2: 1022
Dari Qais, ia berkata : Saya mendengar 'Abdullah (bin Mas’ud) berkata : Kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW dan tidak ada wanita yang berserta kami. Kemudian kami bertanya, “Apakah tidak (sebaiknya) kami berkebiri saja ?”. Maka Rasulullah SAW melarang kami dari yang demikian itu. Kemudian beliau memberi keringanan kepada kami dengan cara mengawini wanita dengan (imbalan) pakaian untuk batas waktu tertentu". Kemudian 'Abdullah bin Mas’ud membaca ayat (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang dihalalkan Allah atas kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Maidah : 87) [HR. Muslim juz 2, hal. 1022]
عَنْ عَلِىّ اَنَّ النَّبِىَّ ص نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ. مسلم 2: 1027
Dari 'Ali bahwasanya Nabi SAW melarang nikah mut'ah pada waktu perang Khaibar dan melarang memakan daging himar jinak. [HR. Muslim juz 2, hal. 1027]
عَنْ عَلِىّ اَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يُلَيّنُ فِى مُتْعَةِ النّسَاءِ، فَقَالَ: مَهْلاً يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، فَاِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُوْمِ الْحُمُرِ اْلاِنْسِيَّةِ. مسلم 2: 1028
Dari Ali, bahwasanya ia mendengar Ibnu 'Abbas membolehkan nikah mu'tah, maka 'Ali berkata, "Sebentar wahai Ibnu 'Abbas, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar dan (melarang makan) daging himar jinak”. [HR. Muslim juz 2, hal. 1028]
عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللهِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ عَنْ اَبِيْهِمَا اَنَّهُ سَمِعَ عَلِىَّ بْنَ اَبِى طَالِبٍ يَقُوْلُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص عَنْ مُتْعَةِ النّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَ عَنْ اَكْلِ لُحُوْمِ الْحُمُرِ اْلاِنْسِيَّةِ. مسلم 2: 1028
Dari Hasan dan 'Abdullah keduanya putra dari Muhammad bin 'Ali bin Abu Thalib, dari ayah keduanya, bahwasanya ia mendengar 'Ali bin Abu Thalib berkata kepada Ibnu 'Abbas, "Rasulullah SAW melarang nikah mut'ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging himar jinak". [HR. Muslim juz 2, hal. 1028]
عَنِ الرَّبِيْعِ ابْنِ سَبْرَةَ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى يَوْمَ الْفَتْحِ عَنْ مُتْعَةِ النّسَاءِ. مسلم 2: 1026
Dari Ar-Rabi' bin Sabrah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah SAW pada Fathu Makkah, beliau melarang nikah mut’ah”. [HR. Muslim juz 2, hal. 1026].
عَنْ اِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ: رَخَّصَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص عَامَ اَوْطَاسٍ فِى الْمُتْعَةِ ثَلاَثًا. ثُمَّ نَهَى عَنْهَا. مسلم 2: 1023
Dari Iyaas bin Salamah dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW memberi keringanan kepada kami untuk nikah mut’ah pada tahun perang Authas selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya”. [HR. Muslim juz 2, hal. 1023]

عَنِ الرَّبِيْعِ بْنِ سَبْرَةَ اَنَّ اَبَاهُ غَزَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص فَتْحَ مَكَّةَ. قَالَ: فَاَقَمْنَا بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ، فَاَذِنَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ النّسَاءِ، فَخَرَجْتُ اَنَا وَرَجُلٌ مِنْ قَوْمِى وَلِى عَلَيْهِ فَضْلٌ فِى الْجَمَالِ، وَهُوَ قَرِيْبٌ مِنَ الدَّمَامَةِ، مَعَ كُلّ وَاحِدٍ مِنَّا بُرْدٌ، فَبُرْدِى خَلَقٌ وَاَمَّا بُرْدُ ابْنِ عَمّى فَبُرْدٌ جَدِيْدٌ غَضٌّ، حَتَّى اِذَا كُنَّا بِاَسْفَلِ مَكَّةَ اَوْ بِاَعْلاَهَا فَتَلَقَّتْنَا فَتَاةٌ مِثْلُ الْبَكْرَةِ الْعَنَطْنَطَةِ، فَقُلْنَا: هَلْ لَكِ اَنْ يَسْتَمْتِعَ مِنْكِ اَحَدُنَا؟ قَالَتْ: وَمَاذَا تَبْذُلاَنِ؟ فَنَشَرَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَّا بُرْدَهُ، فَجَعَلَتْ تَنْظُرُ اِلَى الرَّجُلَيْنِ، وَيَرَاهَا صَاحِبِى تَنْظُرُ اِلَى عِطْفِهَا، فَقَالَ: اِنَّ بُرْدَ هذَا خَلَقٌ وَبُرْدِى جَدِيْدٌ غَضٌّ. فَتَقُوْلُ: بُرْدُ هذَا لاَ بَأْسَ بِهِ. ثَلاَثَ مِرَارٍ اَوْ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا. فَلَمْ اَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص. مسلم 2: 1024
Dari Ar-Rabi' bin Sabrah, bahwasanya ayahnya pernah berperang bersama-sama dengan Rasulullah SAW, yaitu pada Fathu Makkah, ia berkata, "Kami singgah di sana selama lima belas hari, maka Rasulullah SAW mengijinkan kepada kami untuk nikah mut'ah. Lalu aku keluar bersama dengan seorang laki-laki dari kaumku. Dan aku lebih tampan daripada temanku itu, sedangkan temanku itu rupanya agak jelek. Masing-masing dari kami membawa kain burdah. Kain burdahku sudah usang, sedangkan kain burdah anak pamanku masih baru, gress. Ketika kami berada di Makkah bagian bawah atau di bagian atas, kami bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik. Lalu kami bertanya kepadanya, "Maukah kamu nikah mut'ah dengan salah seorang dari kami ?". Wanita tersebut balik bertanya, "Apa yang kalian gunakan sebagai imbalan ?". Lalu masing-masing dari kami membentangkan burdahnya. Lalu wanita tersebut memandangi dua orang laki-laki itu, sedangkan temanku memandangi bagian samping wanita tersebut, lalu ia berkata, "Sesungguhnya kain burdah teman saya ini sudah usang, sedangkan kain burdah saya masih baru, gress". Lalu wanita itu berkata, "Saya pilih burdahnya orang ini saja, tidak apa-apa". Ia mengatakannya tiga atau dua kali. Kemudian aku nikah mut'ah dengan wanita tersebut. Dan aku tidak keluar dari kota Makkah sehingga Rasulullah SAW telah mengharamkannya". [HR. Muslim juz 2, hal. 1024]
عَنِ الرَّبِيْعِ بْنِ سَبْرَةَ الْجُهَنِيّ اَنَّ اَبَاهُ حَدَّثَهُ اَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص فَقَالَ: ياَيُّهَا النَّاسُ، اِنّى قَدْ كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النّسَاءِ وَ اِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلّ سَبِيْلَهُ، وَ لاَ تَأْخُذْوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا. مسلم 2: 1025
Dari Rabi' bin Sabrah Al-Juhaniy, bahwasanya ayahnya pernah bercerita padanya, bahwa dia pernah bersama-sama Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Hai para manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian kawin mut’ah, dan sesungguhnya Allah benar-benar telah mengharamkan hal itu sampai hari qiyamat, maka barangsiapa yang masih ada suatu ikatan dengan wanita-wanita itu, hendaklah ia lepaskan, dan janganlah kalian mengambil kembali dari apa-apa yang telah kalian berikan kepada mereka itu sedikitpun”. [HR. Muslim juz 2, hal. 1025]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اِنَّمَا كَانَتِ الْمُتْعَةُ فِي اَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ. كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى اَنَّهُ يُقِيْمُ فَتَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ وَ تُصْلِحُ لَهُ شَيْأَهُ حَتَّى اِذَا نَزَلَتِ اْلآيَةُ (اِلاَّ عَلى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ)، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَكُلُّ فَرْجٍ سِوَاهُمَا فَهُوَ حَرَامٌ. الترمذى 2: 295، رقم: 1131
Dan Ibnu 'Abbas, ia berkata : Sebenarnya kawin mut’ah itu hanya terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri dimana ia tidak memiliki pengetahuan tentang negeri itu, lalu ia mengawini seorang wanita selama ia muqim (di tempat itu), lalu wanita itu memelihara barangnya dan melayani urusannya, sehingga turunlah ayat yang artinya (Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki). (QS Al-Mukminuun : 6). Ibnu Abbas berkata, “Maka setiap persetubuhan selain dengan dua cara itu (nikah dan pemilikan budak) adalah haram”. [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 295, no. 1131]
Keterangan :
Di dalam syarah Muslim, Imam Nawawi berkata : (Pendapat) yang benar dan terpilih adalah pembolehan nikah mut'ah dan pengharamannya itu terjadi dua kali. Dahulu, yakni sebelum perang Khaibar, dihalalkan. Kemudian pada perang Khaibar diharamkan. Kemudian dibolehkan lagi pada waktu fathu Makkah, yaitu pada perang Authas (karena Fathu Makkah dengan perang Authas ini berurutan). Kemudian setelah tiga hari, lalu nikah mut'ah itu diharamkan untuk selamanya hingga hari qiyamat. Walloohu a'lam.

2. Nikah Tahlil
Nikah tahlil, ialah seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat akan menceraikannya setelah mencampurinya agar wanita itu bisa menikah kembali dengan bekas suaminya yang telah menthalaqnya tiga kali. Maka laki-laki tersebut disebut Muhallil, adapun bekas suami/istri yang menghendaki demikian disebut Muhallal lahu.
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص الْمُحَلّلَ وَ الْمُحَلَّلَ لَهُ. الترمذى و قال هذا حديث حسن صحيح 2: 294، رقم: 1129
Dari 'Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW mela'nat muhallil (yang menghalalkan) dan muhallal lah (orang yang dihalalkannya)”. [HR. Tirmidzi. Dan Tirmidzi berkata : Ini hadits hasan shahih juz 2, hal. 294, no. 1129].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص الْمُحَلّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. ابن ماجه 1: 622، رقم: 1934
Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata, "Rasulullah SAW mela'nat muhallil dan muhallal lahu". [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 622, hal. 1934]
عَنْ عَلِيّ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَ الْمُحَلّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. ابن ماجه 1: 622، رقم: 1935
Dari 'Ali, ia berkata, "Rasulullah SAW mela'nat muhallil dan muhallal lahu". [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 622, hal. 1935]
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَلاَ اُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: هُوَ الْمُحَلّلُ، لَعَنَ اللهُ الْمُحَلّلَ وَ الْمُحَلَّلَ لَهُ. ابن ماجه 1: 622، رقم: 1936
Dari ‘Uqbah bin 'Amir, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kuberitahukan kepada kalian tentang pejantan pinjaman ?” Para shahabat menjawab, “Mau, ya Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda, “Yaitu muhallil. Semoga Allah mela'nat muhallil dan muhallal lahu”. [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 622, hal. 1936]

3. Nikah Syighar
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الشّغَارِ. وَ الشّغَارُ اَنْ يُزَوّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى اَنْ يُزَوّجَهُ اْلآخَرُ ابْنَتَهُ وَ لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ. البخارى 6: 128
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar RA, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Nikah syighar ialah seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya (kepada seseorang) dengan syarat imbalan, orang tersebut harus menikahkan dia dengan anak perempuannya, dan antara keduanya tidak pakai mahar. [HR. Bukhari juz 6, hal. 128].
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الشّغَارِ. وَ الشّغَارُ اَنْ يُزَوّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى اَنْ يُزَوّجَهُ ابْنَتَهُ وَ لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ. مسلم 2: 1034
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Nikah syighar ialah seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya kepada seseorang dengan syarat imbalan, bahwa ia harus dinikahkan dengan anak perempuan orang tersebut, dan keduanya tidak pakai mahar. [HR. Muslim juz 2, hal. 1034].
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ الشّغَارِ. زَادَ ابْنُ نُمَيْرٍ، وَ الشّغَارُ اَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوّجْنِى ابْنَتَكَ وَ اُزَوّجُكَ ابْنَتِى، اَوْ زَوّجْنِى اُخْتَكَ وَ اُزَوّجُكَ اُخْتِى. مسلم 2: 1035
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Ibnu Numair menambahkan, "Nikah syighar yaitu, seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, “Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu, dan aku akan menikahkan kamu dengan anak perempuanku, atau nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu dan aku akan menikahkan kamu dengan saudara perempuanku”. [HR. Muslim juz 2, hal, 1035]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ شِغَارَ فِى اْلاِسْلاَمِ. مسلم 2: 1035
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Tidak ada nikah syighar dalam Islam”. [HR. Muslim juz 2, hal. 1035]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الشّغَارِ. مسلم 2: 1035
Dari Ibnu 'Umar, bahwasanya Rasulullah SAW melarang nikah Syighar". [HR. Muslim juz 2, hal. 1035]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ الشّغَارِ. مسلم 2: 1035
Dari Jabir bin 'Abdullah, ia berkata, "Rasulullah SAW melarang nikah syighar". [HR. Muslim juz 2, hal. 1035]

4. Pernikahan di masa jahiliyah
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ: اَخْبَرَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ اَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيّ ص اَخْبَرَتْهُ: اَنَّ النّكَاحَ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى اَرْبَعَةِ اَنْحَاءٍ. فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ اْليَوْمَ. يَخْطُبُ الرَّجُلُ اِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ اَوِ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا، ثُمَّ يَنْكِحُهَا.
Dari Ibnu Syihab, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada saya 'Urwah bin Zubair, sesungguhnya ‘Aisyah istri Nabi SAW pernah memberitahukan kepadanya, bahwa pernikahan di jaman jahiliyah itu ada 4 macam. 1). Pernikahan seperti yang berlaku sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada orang tuanya atau walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya.
وَ نِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُوْلُ ِلامْرَأَتِهِ اِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا: اِرْسِلِى اِلىَ فُلاَنٍ فَاسْتَبْضِعِى مِنْهُ، وَ يَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَ لاَ يَمَسُّهَا اَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذلِكَ الرَّجُلِ الَّذِى تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ، فَاِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا اَصَابَهَا زَوْجُهَا اِذَا اَحَبَّ. وَ اِنَّمَا يَفْعَلُ ذلِكَ رَغْبَةً فِى نَجَابَةِ اْلوَلَدِ. فَكَانَ هذَا النّكَاحُ نِكَاحَ اْلاِسْتِبْضَاعِ.
Bentuk pernikahan yang lain yaitu, 2). seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika istrinya itu telah suci dari haidl, “Pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk dikumpulinya”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya sama sekali sehingga jelas istrinya itu telah hamil dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut nikah istibdla’.

وَ نِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُوْنَ اْلعَشْرَةِ فَيَدْخُلُوْنَ عَلَى الْمَرْأَةِ، كُلُّهُمْ يُصِيْبُهَا. فَاِذَا حَمَلَتْ وَ وَضَعَتْ وَ مَرَّ لَيَالٍ بَعْدَ اَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا اَرْسَلَتْ اِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ اَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوْا عِنْدهَا، تَقُوْلُ لَهُمْ: قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِى كَانَ مِنْ اَمْرِكُمْ، وَ قَدْ وَلَدْتُ، فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ، تُسَمّى مَنْ اَحَبَّتْ بِاسْمِهِ. فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لاَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ.
Kemudian bentuk yang lain, 3). Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari 10 orang berkumpul, lalu mereka masing-masing mencampuri seorang wanita tersebut. Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari maka perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Sungguh anda semua telah mengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak bisa menolaknya.

وَ نِكَاحُ الرَّابِعِ يَجْتَمِعُ النَّاسُ اْلكَثِيْرُ فَيَدْخُلُوْنَ عَلَى الْمَرْأَةِ لاَ تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَ هُنَّ اْلبَغَايَا. كُنَّ يَنْصُبْنَ عَلَى اَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ تَكُوْنُ عَلَمًا. فَمَنْ اَرَادَهُنَّ دَخَل عَلَيْهِنَّ، فَاِذَا حَمَلَتْ اِحْدَاهُنَّ وَ وَضَعَتْ حَمْلَهَا، جُمِعُوْا لَهَا وَ دَعَوْا لَهُمُ اَلْقَافَةَ، ثُمَّ اْلحَقُوْا وَلَدَهَا بِالَّذِى يَرَوْنَ. فَالْتَاطَ بِهِ وَ دُعِيَ ابْنُهُ لاَ يَمْتَنِعُ مِنْ ذلِكَ. فَلَمَّا بُعِثَ مُحَمَّدٌ ص بِاْلحَقّ هَدَمَ نِكَاحَ اْلجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ اِلاَّ نِكَاحَ النَّاسِ اْليَوْمَ. البخارى 6: 132
Bentuk ke-4) yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya. Mereka itu adalah para wanita pelacur. Mereka memasang bendera-bendera di depan pintu mereka sebagai tanda. Maka siapasaja yang menginginkannya boleh masuk. Kemudian apabila salah seorang diantara wanita itu ada yang hamil dan telah melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi dikumpulkan di situ, dan mereka pun memanggil orang-orang ahli qiyafah (ahli memeriksa dan meneliti tanda-tanda pada manusia), lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli qiyafah itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun dipanggil sebagai anaknya, dan orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya. Kemudian setelah Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Rasul dengan membawa kebenaran, beliau menghapus pernikahan model jahiliyah tersebut seluruhnya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini. [HR. Bukhari juz 6, hal. 132]

mta 09/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar