Ruju'


1. Kebolehan ruju'.

Firman Allah SWT :
وَالْمُطَلَّقتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلثَةَ قُرُوْءٍ، وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ اْلاخِرِ وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدّهِنَّ فِيْ ذلِكَ اِنْ اَرَادُوْآ اِصْلاحًا، وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلِلرّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ، وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ. البقرة: 228
Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS. Al-Baqarah : 228]

الطَّلاَقُ مَرَّتنِ فَاِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌ بِاِحْسَانٍ، وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّآ اتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا اِلآَّ اَنْ يَّخَافَآ اَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ، فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِه، تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَاُولئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ. البقرة: 229
Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim. [QS. AL-Baqarah : 229]

وَ اِذَا طَلَّقْتُمُ النّسَآءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرّحُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ، وَلاَ تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لّتَعْتَدُوْا، وَ مَنْ يَّفْعَلْ ذلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَه وَلاَ تَتَّخِذُوْآ ايتِ اللهِ هُزُوًا وَّاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَمَآ اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مّنَ الْكِتبِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِه، وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوْآ اَنَّ اللهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ. البقرة: 231
Apabila kamu menthalaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah ni'mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [QS. Al-Baqarah : 231]

فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَّ اَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مّنْكُمْ وَ اَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ للهِ، ذلِكُمْ يُوْعَظُ بِه مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ اْلاخِرِ، وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّه مَخْرَجًا. الطلاق: 2
Apabila mereka telah mendekati akhir 'iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. [QS. Ath-Thalaaq : 2]

Hadits Nabi SAW :
عَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص طَلَّقَ حَفْصَةَ، ثُمَّ رَاجَعَهَا. ابن ماجه 1: 650، رقم: 2016
Dari Umar bin Khaththab RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menthalaq Hafshah, kemudian merujukinya. [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 650, no 2016].

عَنْ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص طَلَّقَ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا. ابو داود 2: 285، رقم: 2283
Dari 'Umar (bin Khaththab) bahwasanya Rasulullah SAW menthalaq Hafshah, kemudian merujukinya. [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 285, no 2283]

عَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رض اَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَ هِيَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص، فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ ذلِكَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ. ثُمَّ اِنْ شَاءَ اَمْسَكَ بَعْدُ. وَ اِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ اَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ اْلعِدَّةُ الَّتِى اَمَرَ اللهُ اَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النّسَاءُ. البخارى 6: 163
Dari 'Abdullah bin ‘Umar RA, bahwasanya pada masa Rasulullah SAW ia pernah menthalaq istrinya, pada hal istrinya dalam keadaan haidl. Kemudian ‘Umar bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu. Maka beliau bersabda, “Suruhlah ia merujukinya. Kemudian hendaklah ia menunggunya sehingga istrinya suci, kemudian haidl lagi, kemudian suci lagi. Kemudian jika ia mau boleh menahannya (tidak menthalaqnya), dan jika ia mau, ia boleh menthalaqnya sebelum mencampurinya. Maka itulah ‘iddah yang Allah perintahkan supaya wanita dithalaq dalam keadaan itu”. [HR. Bukhari juz 6, hal. 163]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ اَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص، فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ ذلِكَ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ اِنْ شَاءَ اَمْسَكَ بَعْدُ، وَ اِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ اَنْ يَمَسَّ. فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي اَمَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ اَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النّسَاءُ. مسلم 2: 1093
Dari Ibnu 'Umar, bahwasanya pada masa Rasulullah ia pernah menthalaq istrinya padahal sedang haidl. Maka 'Umar bin Khaththab bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Suruhlah ia merujukinya. Kemudian hendaklah menunggu sehingga istrinya suci, kemudian haidl, kemudian suci. Kemudian setelah itu jika ia mau boleh menahannya (tidak menthalaqnya). Dan jika ia mau, boleh menthalaqnya sebelum mencampurinya. Maka itulah 'iddah yang Allah 'Azza wa Jalla perintahkan agar wanita dithalaq dalam keadaan itu". [HR. Muslim juz 2, hal. 1093]

2.  Istri yang sudah dithalaq tiga tidak boleh ruju' lagi sebelum ia dinikahi orang lain, dan sudah berkumpul, lalu suaminya mencerainya.
Firman Allah SWT :

فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَه مِنْ بَعْدُ حَتّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَه، فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يَّتَرَاجَعَآ اِنْ ظَنَّآ اَنْ يُّقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ، وَ تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ يُبَيّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ. البقرة: 230
Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. [QS. Al-Baqarah : 230]

Hadits Nabi SAW :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ اِلَى النَّبِىّ ص فَقَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَ اِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ. فَتَبَسَّمَ رَسُوْلُ اللهِ ص، فَقَالَ: اَتُرِيْدِيْنَ اَنْ تَرْجِعِى اِلَى رِفَاعَةَ؟ لاَ حَتَّى تَذُوْقِى عُسَيْلَتَهُ وَ يَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ. قَالَتْ: وَ اَبُوْ بَكْرٍ عِنْدَهُ وَ خَالِدٌ بِالْبَابِ يَنْتَظِرُ اَنْ يُؤْذَنَ لَهُ، فَنَادَى: يَا اَبَا بَكْرٍ، اَلاَ تَسْمَعُ هذِهِ مَا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ ص. مسلم 2: 1055
Dari 'Aisyah, ia berkata : Bekas istrinya Rifa'ah datang kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, "Dulu saya menjadi istrinya Rifa'ah. Kemudian dia menthalaqku tiga kali. Lalu saya menikah dengan 'Abdur Rahman bin Zubair. Dan sesungguhnya apa yang ada padanya seperti ujung kain ini". Maka Rasulullah SAW tersenyum, lalu beliau bersabda, "Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa'ah ? Tidak ! Tidak boleh, sehingga kamu merasakan madunya, dan diapun merasakan madumu". 'Aisyah berkata : Pada waktu itu Abu Bakar duduk di samping Nabi SAW, sedangkan Khalid masih berada di pintu menunggu diizinkannya untuk masuk. Lalu Khalid (bin Sa'id) menyeru, "Hai Abu Bakar, apakah kamu tidak mendengar wanita itu menerangkan keadaan suaminya di hadapan Rasulullah SAW ?".  [HR. Muslim juz 2, hal.1055]

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ، فَيُطَلّقُهَا، فَتَتَزَوَّجُ رَجُلاً فَيُطَلّقُهَا قَبْلَ اَنْ يَدْخُلَ بِهَا. اَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الاَوَّلِ. قَالَ: لاَ حَتَّى يَذُوْقَ عُسَيْلَتَهَا. مسلم 2: 1057
Dari 'Aisyah, ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seorang wanita yang dinikahi oleh seorang laki-laki, kemudian suaminya itu menthalaqnya (thalaq tiga kali), lalu wanita itu menikah lagi dengan seorang laki-laki lain. Lalu suaminya (yang kedua) itu menthalaqnya sebelum ia mengumpuli wanita tersebut. Apakah wanita itu boleh kembali kepada bekas suaminya yang pertama ? Rasulullah SAW menjawab, "Tidak boleh, sehingga suaminya yang kedua itu merasakan madunya". [HR. Muslim juz 2, hal. 1057]

Berdasarkan ayat dan hadits-hadits di atas, maka suami istri yang telah bercerai tiga kali, mereka tidak boleh ruju' lagi sehingga wanita itu dinikah oleh orang lain, dan sudah dikumpuli, lalu suaminya itu mencerainya. Dan inipun tidak boleh dilakukan dengan rekayasa.
Keterangan :
1.  Tentang cara ruju' bagi wanita yang sudah habis 'iddahnya, apabila bekas suaminya ingin meruju'inya, ulama' sepakat bahwa mereka harus dinikahkan.
2.  Adapun bagi wanita yang masih dalam masa 'iddah, apabila bekas suaminya ingin meruju'inya, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.
Pendapat pertama : Tidak perlu dinikahkan lagi, tetapi cukup dengan kata-kata ruju'. Mereka beralasan karena di dalam hadits Rasulullah SAW menyuruh kepada 'Umar bin Khaththab, "Suruhlah ia meruju'inya", bukan "Suruhlah ia menikahinya lagi".
Pendapat kedua : Walaupun masih dalam masa 'iddah, apabila suaminya ingin meruju'inya, maka harus dinikahkan lagi. Mereka beralasan karena ketika suami mencerai istrinya, berarti ikatan pernikahan itu sudah putus, maka kalau ingin ruju' ya harus dinikahkan lagi. Walloohu a'lam.

Untuk melengkapi tentang masalah ini, berikut kami kutipkan tentang aturan ruju' dari Buku Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI tahun 2000, sebagai berikut :
Bab XVIII
Bagian Kesatu
Pasal 163
(1)   Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
(2)   Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a.  putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;
b.  putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.
Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj'i berhak mengajukan keberatan atas kehendak ruju' dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.
Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.
Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
(1)   Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istriya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.
(2)   Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3)   Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj'i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
(4)   Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5)   Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegwai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.

mta 12/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar