Kaidah dan Faedah tentang hadist

10 KAIDAH DAN FAEDAH BERHARGA 

1. Pentingnya Sanad


   Ketahuilah semoga Allah memberi taufiq kepada kaum muslimin muslimat bahwa sanad (bunga rampai para perawi dalam meriwayatkan hadist) merupakan kenikmatan Allah Ta'ala kepada ummat ini, sehingga terjagalah kesucian agama ini dari tangan-tangan lancang yang ingin mengotorinya. Oleh karena itu, tatkala Ahli Kitab tidak memiliki sanad dalam agama mereka, maka akibatnya banyak terjadi campuran antara kebenaran dan kebathilan dalam agama mereka (Majmu Fataawaa (l/2) Ibnu Taimiyyah)

   Karena itulah, para ulama sangat memperhatikan masalah sanad ini secara serius, karena sanad merupakan pondasi utama untuk sampai kepada tujuan ilmu hadist, yaitu memolah antara hadist shahih dan lemah. Imam Mubarak Rahimahullah pernah berkata :

اَلْإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ ، وَلَوْلاَ الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ.  

Sesungguhnya sanad itu termasuk agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya seorang akan sembarangan berbicara. ( Muqaddimah Shahih Muslim l/12)

Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah berkata,

اَلْإِسْنَادُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنْ ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلاَحٌ ، فَبِأَيِّ شَيْئٍ يُقَاتِل ؟

Isnad adalah senjata seorang mukmin, kalau dia tidak memiliki senjata, lantas dengan apa dia berperang. (al-Majruuhiin (i/27) Ibnu Hibban)

Seorang pernah berkata kepada Imam az-Zuhri Rahimahullah, Ceritakanlah kepadaku hadist tanpa sanadnya. Maka beliau berkata, bisakah diriku ini menaiki atap tanpa tangga. (Tadriibur Raawi (III/794 as-Suyuthi)
Maka hendaknya kita tidak merasa bosan untuk membaca sanad, karena bosan membaca sanad adalah perangai orang-orang yang malas, tetapi hendaknya dia merasa senang membacanya sebagaimana akhlak para ulama terkemuka. (syarh shahih muslim ( l/108 ) an-Nawawi)

2.   Menceritakan Hadist Lemah


   Banyak para penulis masa kini dari berbagai madzhab dan fakultas membawakan hadist-hadist yang dinisbatkan kepada Nabi SAW tanpa menjelaskan kelemahannya, baik karena jahil (bidoh) terhadap hadist atau memang karena malas membuka kitab-kitab hadist. Sebagian mereka menyepelekan secara khusus dalam masalah fadhaa-il amal.

Abu Syamah Rahimahullah berkata, Hal ini menurut ahli hadist dan ulama ahli Ushul Fiqih merupakan suatu kesalahan, bahkan hendaknya dijelaskan derajatnya apabila diketahui, kalau ia tidak menjelaskan maka ia masuk dalam hadist :


مَنْ حَدَّثَ عَنِّـيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَ نَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ .


Barangsiapa menceritakan hadist dariku dan hadist tersebut diketahui dusta maka ia adalah salah satu pendusta. ( HR. Muslim )

Syaikh al-Albani Rahimahullah berkomentar, Inilah hukum orang yang diam dari hadist-hadist lemah dalam hal fadhaa-il, Lantas bagaimana dalam masalah hukum dan sejenisnya ( Tamaamul Minnah hlm.33 )

Imam an-Nawawi Rahimahullah mengatakan, Haram hukumnya meriwayatkan hadist maudhu (palsu) bagi orang yang telah mengetahui atau menurut prangsangka kuatnya bahwa derajat hadist tersebut adalah maudhu. Maka barangsiapa. Maka barangsiapa meriwayatkan suatu hadist yang ia yakin atau prangsangka kuat bahwa derajatnya adalah maudhu, namun ia tidak menjelaskan derajatnya, maka ia termasuk dalam ancaman hadist ini.(Syarh Muslim I/30)

3.   Ibadah dengan Hadist Shahih


    Hendaknya bagi umat muslim beribadah di atas dalil yang shahih, dan tidak beramal suatu amalan sebelum kita mengetahui keshahihan dalil tersebut. Para ulama Salaf kita telah memberikan contoh akan pentingnya hal ini. Imam al-Harawi Rahimahullah meriwayatkan bahwasanya Abdullah bin Mubarak pernah tersesat dalam safar. Sebelumnya telah sampai kabar kepada beliau, Barangsiapa yang terjepit dalam kesusahan kemudian berseru, Wahai hamba Allah, tolonglah aku, maka ia akan ditolong. (Imam Abdullah Ibnul Mubarak) berkata, Maka aku mencari hadist ini untuk aku lihat sanadnya.

Al-Harawi Rahimahullah mengomentari dengan perkataannya, Abdullah Ibnul Mubarak tidak memperbolehkan bagi dirinya sendiri untuk berdo'a yang tidak ia ketahui sanadnya (Dzammul Kalam IV/68). Setelah membawakan ucapan diatas, Syaikh al-Albani Rahimahullah berkomentar, Demikianlah hendaknya sikap ittiba. (silsilah al-Ahaadiist adh-Dha'iifah II/109)
Allahu akbar dan demikian juga hendaknya dijauhinya al-ibtida (perkara bid'ah)

4.   Kebenaran makna Hadist

Ada beberapa hadist yang lemah tetapi maknanya benar, karena adanya dalil shahih dari Al-Qur'an dan hadist yang menunjukkan kebenaran makna tersebut atau terbukti dalam fakta lapangan. Namun harus diketahui bahwa tidak semua hadist yang maknanya benar berarti Nabi SAW pernah mengatakannya, sehingga tidak boleh bagi siapa pun untuk menisbatkannya kepada Nabi SAW
Sebagaimana contoh hadist berikut ini :

إِذَا أَبْغَضَ الْمسْلِمُوْنَ عُلَمَاءَهُمْ ، وَأَظْهَرُوْا عُمَارَةَ أَسْوَاقِهِمْ ، وَتَنَاكَحُوْا عَلَى جَمْعِ الدِّرَاهِمِ، رَمَاهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِأَرْبَعِ خِصّالٍ : بِالْقَحْطِ مِنَ الزَّمَانِ، وَالجَوْرِ مِنَ السَّلْطْانِ، وَالْخِيَانَةِ مِنْ وُلاَةِ الْحُكَامِ، وَالصَّوْلَةِ مِنَ الْعَدُوِّ.

Apabila kaum muslimin membenci para ulama mereka, menampakkan para penjaga pasar mereka, saling menikah untuk mengumpulkan dirham, maka Allah akan menimpakan pada mereka empat perkara ; 1. kekeringan yang cukup lama, 2. kezhaliman penguasa, 3. pengkhianatan para pemimpin, dan 4. serangan dari musuh.

Adz-Dzahabi Rahimahullah berkata tentang hadist ini: "Munkar" lalu Syaikh al-Albani Rahimahullah berkomentar: Sebagian penuntut ilmu yang jahil (bodoh) telah menulis dengan tinta yang tidak bisa dihapus setelah ucapan adz-Dzahabi diatas pada nuskhah azh-Zhahiriyyah: Saya katakan: Bahkan, hadistnya adalah shahih sekali. Seperti orang jahil (bodoh) ini beranggapan bahwa suatu hadist apabila sesuai dengan kenyataan, berarti Rasul SAW pasti mengucapkannya. Sungguh ini adalah kejahilan yang amat parah, karena betapa banyak hadist-hadist yang dilemahkan oleh para ulama Ahli Hadist padahal maknanya shahih. Terlalu banyak sekali kalau saya harus menampilkan contoh-contohnya, cukuplah apa yang terdapat dalam kitab karyaku Silsilah al-Ahaadiist adh-Da'iifah wal Maudhuu'ah.

Seandainya penshahihan hadist dibuka karena melihat maknanya yang shahih tanpa melihat kepada sanadnya, niscaya berapa banyak kebathilan akan masuk pada syari'at dan betapa banyak manusia yang menyandarkan kepada Nabi SAW ucapan yang tidak beliau katakan dengan alasan tersebut, kemudian mereka mengambil tempat duduknya di Neraka.

5.   Percobaan bukanlah Hujjah

   Suatu hadist tidak bisa dihukumi shahih berdasarkan percubaan, tetapi harus dibangun di atas sanad dan undang-undang hadist yang telah mapan. Dan sebagai contoh adalah hadist sbb :

إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ: يَاعِبَادَ اللهِ، احْبَسُوْش عَلَيَّ. يَاعِبَادَ اللهِ، احْبَسُوْا عَلَيَّ. فَإِنَّ لِلَّهِ فِـي اْلأَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبِسُهُ عَلَيْكُم.  

Apabila hewan kendaraan kalin lepas di tanah luas, maka hendaknya dia memanggil, Wahai hamba Allah, tahanlah untukku, wahaihamba Allah tahanlah untukku, Maka Allah memiliki orang yang hadir di bumi untuk menahan hewan kendaraan tersebut untuk kalian.

As-Sakhawi berkata, Sanadnya lemah, tetapi an-Nawawi berkata dirinya dan sebagian gurunya pernah mencobanya dan terbukti. (al-Ibtihaj bi Adzkaril Musafir wal Haj hlm.39)
Syaikh al-Albani Rahimahullah mengometari hal ini, Ibadah itu tidak dibangun di atas percobaan, lebih-lebih apabila berkaitan dengan masalah ghaib seperti hadist ini, maka tidak boleh untuk condong menshahihkannya karena berdasarkan percobaan. ( Silsilah al-Ahaadiist adh-Da'iifah II/108-109)
Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh asy-Syaukani Rahimahullah, Sunnah tidaklah ditetapkan dengan percobaan. Terkabulnya do'a tidaklah menunjukkan bahwa faktor terkabulnya adalah shahih dari Rasulullah SAW, karena bisa jadi Allah mengabulkan do'a seorang tanpa tawassul kepada-Nya, sebab Allah Maha Penyayang terhadap hamba-Nya dan bisa jadi terkabulnya do'a dikarenakan Allah memnjakan seorang sehingga dia terus larut dalam kelalaiannya. (Tuhfatudz Dzaakariim hlm. 140)

6. Ilham dan Ilmu Hadist

   Al-Ajluni berkata menyebutkan dari Ibnu Arabi ash-Shufi (seorang shufi , pengibar Wahdatul Wujud wafat thn. 638 H) bahwa suatuhadist yang lemahkarena adanya perawi yang pendusta bisa jadi shahih karena ilham yang diberikan Rasul kepadanya.(kasyful khafa I/145)
Ucapan ini tidak perlu dibantah karena sangat jelas sekali kebathilannya. Apalah faedahnya sanad kalau begitu? Dan apafaedahnya jerih payah para ulama Ahli Hadist dalam menjernihkan hadist Nabi kalau begitu.

Syaikh al-Albani Rahimahullah berkata setelah menjelaskan palsunya suatu hadist, Adapun ucapan asy-Sya'rani dalam al-Mizan, Hadist ini, sekalipun dibiarkan oleh ahli Hadist, tetapi shahih menurut ahli kasyf aaaaaaaaaaaaaa9shufi). Maka ini adalah ucapan yang bathil, tidak perlu dilirik sedikit pun, sebab penshahihan hadist berdasarkan ilham merupakan kebidahan shufi yang hina. Berpedoman dengan teori tersebut akan menyebabkan penshahihan hadist-hadist bathil dan tidak ada asalnya.

7. Populer belum tentu shahih

   Suatu hadist yang masyhur (populer) dan laris manis di kalangan masyarakat tidak mengharuskan bahwa hadist tersebut shahih sama sekali. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, Hadist masyhur bisa juga diartikan dengan suatuhadist yang banyak beredar di lidah masyarakat umum,maka hal ini mencakup hadist yang sanad atau tidak (Nuz-hatun Nazhaar fii Taudhiih Nukhbatil Fikar hlm. 63-64)
Syaikh Islam Rahimahullah juga berkata, Seandainya sebagian masyarakat umumyang mendengar hadist dari tukang cerita dan aktivitas dakwah atau dia menulis hadist yang populer di masyarakat, lalu menurut pandangan ahli hadist ternyata hadisttersebut adalah tak ada asalnya, dan mereka menegaskan hadist tersebut palsu. (Majmuu Fataawaa (VI/409-410)

8.   Hadist lemah dalam Fadhaa-il A'maal

   Banyak orang beranggapan bahwa hadist lemah bisa dijadikan sandaran dalam masalah fadhaa-il a'maal dengan tidak ada perselisihan di kalangan ulama. Sungguh ini adalah anggapan yang keliru sebab para ulama telah berselisih tentangnya.Para ulama memberika persyaratan berhujjah dengan hadist lemah dalam fadha-il  a'maal diantaranya :
   1. Hadist tersebut kelemahannya ringan, tidak terlalu parah tidak maudhu / tidak ada asalnya.
   2. Orang yang mengamal tahu itu hadist lemah dan bahwa hadist tersebut bukan dari Rasulullah SAW.
   3. Hadist lemah tersebut didasari oleh dalil shahih yang sifatnya global.

Sekalipun terdapat yang kuat menurut kami bahwa tidak boleh berhujjah dengan hadist-hadist lemah baik dalam fadhaa-il a'maal maupun hukum karena semuanya adalah sama-sama syari'at agama. Cukuplah kita dengan dalil-dalil yang shahih. Dahulu, para ulama kita mengatakan :

فِـيْ صَحِيْحِ الْحَدِيْثِ شُغْلٌ عَنْ سَقِيْمِهِ.
  
Dalam hadist yang shahih itu terdapat kesibukan dari hadist yang lemah. (al-Jaami'li Akhlaaqir Riwaayah (hlm.605) al-Khathib al-Baghdadi, al-Maudhuu'aat (I/147) Ibnu Jauzi )

9. Tanda-tanda Hadist Palsu

   Ketahui bahwa hadist yang munkar dan palsu membuat hati penuntut ilmu menjadi geli dan mengingkarinya. Rabi bin Hutsaim Rahimahullah berkata :

أَنَّ لِلْحَدِيْثِ ضَوْءًا كَضَوْءِ النَّهَارِ تَعْرِفُهُ، وَظُلْمَةِ الَّيْلِ تُنْكِرُهُ.


Sesungguhnya hadist itu memiliki cahaya seperti cahaya di siang hari sehingga engkau dapat melihatnya. Dan memiliki kegelapan seperti gelapnya malam sehingga engkau mengingkarinya. (al-Kifaayah fii Ilmir Riwaayah (hlm.605) al-Khathib al-Baghdadi, al-Maudhuu'aat (I/147) Ibnu Jauzi

Perlu diketahui bahwa hadist palsu itu memiliki beberapa tanda secara umum :
   1. Ucapan tersebut tidak menyerupai sadba para Nabi SAW.
   2. Ucapan tersebut lebih menyeruoai uacapan dokter dan ahli thariqat shufi )
   3. Bertentang dengan kaidah-kaidah umum yang paten dalam agama Islam.
   4. Lucunya makna terkandung dalam hadisttersebut (al-Manaarul Munif(hlm.50-102) Ibnul Qayyim)
   5. Tidak adanya hadist tersebut dalam kitab2 hadist yang penting di kitab sunan dan Musnad.

10.  Kembali kepada kebenaran

   Wahai saudaraku semoga Allah Ta'ala memberkahi kaum muslim muslimat, tinggalkanlah segala kesombongan dan jadikanlah dirimu pencinta kebenaran. Bila memang dirimu pernah berpedoman pada hadist-hadist lemah dan palsu dan engkau pernah jadi pembelanya, lalu Allah memberikan petunjuk kepadamu, maka janganlah segan2 dirimu untuk memeluk kebenaran dan meninggalkan keyakinanmu yang dulu sekalipun mungkin telah mengakar dalam hatimu.
Menakjubkan kisah Ibnul Jauzi tatkala beliau mengamalkan sebagian hadist tentang dzikir setelah shalat, beliau berkata, Dahulu saya telah mendengar hadist ini sejak kecil, saya pun mengamalkannya kurang lebih 30 tahun lamanya karena saya bersangka baik kepada para perawi. Namun taykala saya mengetahui bahwa hadist hadistnya adalah maudhu (palsu), maka saya pun meninggalkannya. Lalu ada seseorang berkata padaku, Bukankah itu mengamalkan suatu kebaikan ? saya jawab, Mengamalkan kebaikan itu harus disyri'atkan, kalau kita tahu bahwa itu adalah dusta maka berarti keluar dari perkara yang disyri'atkan (al-Maudhuu'aat I/245)  

khalisarahmah blogspot.co.id / koreksi hadist2 dhaif populer karyaAbu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar