Utusan Bani Tsaqif kembali ke Thaif
Setelah para utusan Bani Tsaqif itu masuk Islam, dan mereka telah siap untuk menthaati ajaran Islam, namun mereka belum mau pulang, karena pada waktu itu bulan puasa, dan itulah permulaan mereka mengerjakan ibadah puasa bulan Ramadlan.
Setiap hari mereka terus-menerus mempelajari agama Islam dan memahaminya lalu melaksanakan mana yang dapat mereka laksanakan. Mereka tinggal di Madinah sampai akhir bulan Ramadlan, dan setelah ‘Iedul Fithri barulah mereka bersiap-siap untuk meninggalkan Madinah.
Sebelum mereka meninggalkan Madinah, Nabi SAW telah menunjuk seorang diantara mereka untuk menjadi guru atau orang yang dituakan dalam urusan agama, yaitu ‘Utsman bin Abil ‘Ash, walaupun umurnya masih muda dan yang paling muda diantara mereka berenam. Tetapi menurut pengamatan Nabi SAW, dia yang lebih luas dan lebih mengerti tentang pengetahuan agama dan yang lebih pandai membaca Al-Qur’an.
Penunjukan Nabi SAW atas diri ‘Utsman bin Abil ‘Ash ini diterima baik oleh teman-temannya.
Selanjutnya setelah para utusan itu akan kembali ke Thaif, maka Nabi SAW berpesan kepada ‘Utsman bin Abil ‘Ash dengan sabdanya :
يَا عُثْمَانُ، تَجَاوَزْ فِى الصَّلاَةِ، وَ اقْدُرِ النَّاسَ بِاَضْعَفِهِمْ، فَاِنَّ فِيْهِمُ اْلكَبِيْرَ وَ الصَّغِيْرَ وَ الضَّعِيْفَ وَ ذَا اْلحَاجَةِ. ابن هشام 5: 226
Hai ‘Utsman, ringankanlah (ketika mengimami) dalam shalat, dan ukurlah orang-orang dengan yang paling lemah diantara mereka, karena sesungguhnya diantara mereka itu ada orang yang tua, ada anak-anak, ada yang lemah dan ada yang mempunyai keperluan. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 226]
Menghancurkan berhala Al-Laata.
Beberapa hari kemudian setelah para utusan Bani Tsaqif itu meninggalkan Madinah, Nabi SAW lalu mengirimkan sepasukan tentara muslimin ke Thaif, yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, salah seorang pembesar negeri Makkah pada masa lalu, dan Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan berhala Al-Laata yang dipuja dan disembah oleh Bani Tsaqif ketika mereka belum masuk Islam.
Sengaja dua shahabat ini yang ditunjuk dan diangkat oleh Nabi SAW untuk memimpin pasukan tersebut, karena kedua shahabat ini masih mempunyai hubungan baik dan disegani oleh Bani Tsaqif.
Setelah pasukan tersebut tiba di Thaif. Kemudian mereka menuju ke tempat berhala Al-Laata yang akan diruntuhkan itu.
Kemudian Abu Sufyan bin Harb berunding dengan Mughirah bin Syu’bah, siapakah diantara mereka yang akan masuk lebih dahulu ke dalam rumah tempat berhala Al-Laata itu. Mughirah bin Syu’bah mengusulkan, supaya Abu Sufyan bin Harb yang masuk lebih dahulu, namun Abu Sufyan bin Harb tidak mau dan berkata, “Masuklah kamu pada kaummu”. Dan akhirnya Mughirah bin Syu’bah yang masuk lebih dahulu ke tempat berhala Al-Laata tersebut.
Karena berhala Al-Laata itu berada dalam sebuah rumah tembok yang kokoh kuat dengan ukiran dindingnya yang sangat indah, maka Mughirah terpaksa masuk dari atas/atapnya.
Kaum Bani Tsaqif ketika melihat berhala Al-Laata akan dihancurkan, maka sebagian mereka merasa takut dan cemas, karena masih ada sisa-sisa kepercayaan lama dalam hati mereka, bahwa berhala Al-Laata yang mereka pandang keramat itu tidak mungkin dapat diruntuhkan.
Mughirah berkata kepada Abu Sufyan, “Apakah kamu ingin orang-orang Tsaqif mentertawakanmu ?”. Abu Sufyan menjawab, “Ya”.
Kemudian Mughirah bin Syu’bah memukulkan kapaknya yang besar itu kepada berhala Al-Laata, lalu ia berteriak dan jatuh tersungkur. Maka gemuruhlah Thaif, mereka tertawa dan sorak-sorak kegirangan. Sebagian mereka berkata dengan lantang, “Tuhan kami telah mengalahkan Mughirah, Tuhan kami telah marah kepada Mughirah, Al-Laata telah membinasakannya”.
Mereka tidak mengerti bahwa Mughirah itu hanya pura-pura, lalu sebagian mereka datang menghampiri Mughirah bin Syu’bah sambil berkata :
كَيْفَ رَأَيْتَهَا يَا مُغِيْرَةُ دُوْنَكَهَا اِنِ اسْتَطَعْتَ، اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّهَا تُهْلِكُ مَنْ عَادَاهَا. وَيْحَكُمْ، اَلاَ تَرَوْنَ مَا تَصْنَعُ؟ ابن هشام 5: 227
“Apakah yang kamu lihat sekarang, hai Mughirah, silahkan kamu menghancurkannya jika kamu bisa ! Tidakkah kamu ketahui bahwa Al-Laata akan membinasakan siapasaja yang memusuhinya. Celaka kalian, bukankah kalian telah melihat apa yang ia lakukan ?”. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 227]
Kemudian Mughirah bangun, mentertawakan mereka dan berkata :
يَا حُبَثَاءُ وَ اللهِ مَا قَصَدْتُ اِلاَّ اْلهَزَءَ بِكُمْ. ابن هشام 5: 227
Hai orang-orang yang buruk, demi Allah aku tidak bermaksud kecuali memperolok-olok kalian. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 227]
Kemudian Mughirah bin Syu’bah menghancurkan berhala itu hingga rata dengan tanah.
Ketika Mughirah meruntuhkan berhala itu, segenap pasukan yang mengawal berdiri di sekelilingnya untuk berjaga-jaga, karena dikhawatirkan kalau-kalau masih ada kaum Tsaqif yang memanahnya atau menghalang-halangi dengan kekerasan, sehingga terjadi sebagaimana yang menimpa ‘Urwah bin Mas’ud yang telah mereka bunuh. Tetapi kenyataannya, seorangpun diantara mereka tidak ada yang berani berbuat sesuatu terhadap Mughirah, mereka hanya memandang dengan tercengang, apa yang diperbuat Mughirah terhadap berhala mereka, sampai berhala Al-Laata itu hancur lebur.
Berhala Al-Laata ini adalah satu berhala yang mempunyai kekayaan yang banyak, berupa harta benda berharga yang disimpan di dalamnya, yaitu barang-barang perhiasan yang terbuat dari emas, intan, berlian dan sebagainya.
Kemudian Mughirah bin Syu’bah mengambil harta itu dan dikumpulkan oleh Abu Sufyan bin Harb.
Dengan persetujuan Abu Sufyan bin Harb, Mughirah pun mengambil kekayaan itu untuk membayar hutang ‘Urwah bin Mas’ud yang telah dibunuh kaumnya sebagai syahid, dan juga dipergunakan untuk membayar hutang saudara laki-laki ‘Urwah bin Mas’ud, yaitu Aswad bin Mas’ud, kepada penduduk di sana.
Mughirah berbuat demikian itu atas perintah Nabi SAW. Karena anak ‘Urwah, yaitu Abu Mulaih dan anak Aswad, yaitu Qaarib, pernah melaporkan kepada Nabi SAW bahwa ketika meninggal, dua bersaudara ini masih mempunyai hutang kepada penduduk di sana.
Permohonan Abu Mulaih dan Qarib bin Aswad kepada Nabi SAW.
Ketika penduduk Thaif telah menyatakan masuk Islam dan Rasulullah SAW mengutus Abu Sufyan dan Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan berhala Al-Laata, Abu Mulaih bin ‘Urwah memohon kepada Rasulullah SAW supaya hutang ayahnya (‘Urwah bin Mas’ud) bisa dibayar dari harta yang berada pada berhala Al-Laata. Maka Rasulullah SAW pun menyanggupinya.
Kemudian Qarib bin Aswad juga memohon kepada Nabi SAW agar hutang ayahnya yang telah meninggal bisa dilunasi dengan harta yang berada dalam berhala Al-Laata tersebut.
Nabi SAW menjawab :
اِنَّ اْلاَسْوَدَ مَاتَ مُشْرِكًا. ابن هشام 5: 228
Sesungguhnya Aswad itu mati dalam keadaan musyrik. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 228]
Lalu Qarib berkata kepada Rasululllah SAW :
يَا رَسُوْلَ اللهِ لَكِنْ تَصِلُ مُسْلِمًا ذَا قَرَابَةٍ، يَعْنِى نَفْسَهُ، اِنَّمَا الدَّيْنُ عَلَيَّ، وَ اِنّمَا اَنَا الَّذِيْ اُطْلَبُ بِهِ. ابن هشام 5: 228
“Ya Rasulullah, tetapi dengan pembayaran itu engkau bisa menyambung orang muslim yang mempunyai hubungan kerabat dengannya, karena hutangnya itu menjadi tangungan saya an saya yang diminta untuk melunasinya”. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 228]
Surat Nabi SAW kepada Bani Tsaqif.
Nabi SAW mengirim surat kepada penduduk Thaif yang dibawa oleh para utusan mereka yang datang ke Madinah yang telah menyatakan keinginan mereka masuk Islam dan mereka telah bersumpah setia kepada agama Islam. Adapun surat tersebut sebagai berikut :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. مِنْ مُحَمَّدٍ النَّبِيّ رَسُوْلِ اللهِ اِلىَ اْلمُؤْمِنِيْنَ. اِنَّ عِضَاهَ وَجّ وَ صَيْدَهُ لاَ يُعْضَدُ، مَنْ وُجِدَ يَفْعَلُ شَيْئًا مِنْ ذلِكَ فَاِنَّهُ يُجْلَدُ وَ تُنْزَعُ ثِيَابُهُ. فَاِنْ تَعَدَّى ذلِكَ فَاِنَّهُ يُؤْخَذُ فَيُبْلَغُ بِهِ اِلَى النَّبِيّ مُحَمَّدٍ. وَ اِنَّ هذَا اَمْرُ النَّبِيّ مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ. ابن هشام 5: 228
Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Nabi utusan Allah kepada orang-orang mukmin. Sesungguhnya ‘idlah (pohon yang berduri) dan binatang buruan di bumi Thaif tidak boleh ditebang, (dan buruannya tidak boleh diburu). Dan bararangsiapa yang terbukti melakukan yang demikain, maka sungguh ia harus didera dan dilepaskan pakaiannya. Jika ia melanggar yang demikian itu, maka sesungguhnya ia harus ditangkap dan dibawa kepada Nabi Muhammad, Dan sungguh ini adalah perintah Nabi Muhammad Rasulullah. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 228]
Dan Khalid bin Sa’id juga menuliskan : Dengan perintah Rasul Muhammad bin ‘Abdullah, maka janganlah ada seorangpun yang melanggarnya sehingga menganiaya dirinya sendiri terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Muhammad Rasulullah SAW. [Ibnu Hisyam juz 5, 229]
Kedatangan utusan dari raja-raja Himyar.
Ketika Nabi Muhammad SAW kembali dari Tabuk dan baru saja tiba di Madinah bersama pasukan muslimin yang ikut berangkat ke Tabuk, lalu beliau kedatangan utusan dari raja-raja negeri Himyar, yaitu raja Harits bin ‘Abdi Kulal, raja Nu’aim bin ‘Abdi Kulal, raja Nu’man qail Dzu Ru’ain, raja Ma’afir dan raja Hamdan. Adapun utusan itu bernama Zur’ah Dzu Yazan Maalik bin Murrah Ar-Rahaawiy. Utusan ini membawa berita yang disampaikan kepada Nabi SAW yang menerangkan bahwa mereka (para raja Himyar) itu telah mengikut Islam dan memisahkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang mengerjakan syirik kepada Allah.
Maka kedatangan utusan tersebut sudah tentu disambut dengan sebaik-baiknya oleh Nabi SAW. Kemudian ketika utusan itu akan kembali ke negerinya, beliau mengirimkan sepucuk surat kepada para raja tersebut. Adapun surat beliau itu terjemahannya sebagai berikut :
Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad Rasulullah, Nabi, kepada Harits bin ‘Abdu Kulal, kepada Nu’aim bin ’Abdu Kulal, kepada Nu’man Qail Dzu Ru’ain, kepada Ma’afir dan Hamdan.
Adapun sesudah itu, sesungguhnya dihadapan kalian aku memuji kepada Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia.
Sesungguhnya utusan kalian telah datang kepada kami, ketika kami kembali dari negeri Romawi (Tabuk), maka bertemu dengan kami di Madinah. Lalu ia telah menyampaikan apa yang telah kalian kirimkan, dan telah memberitahukan kepada kami apa-apa yang ada pada kalian, dan telah menceritakan kepada kami tentang keislaman kalian dan kalian memerangi orang-orang musyrik.
Sungguh Allah telah memberi petunjuk kepada kalian dengan petunjuk-Nya, jika kalian berbuat kebaikan dan kalian patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, kalian mengerjakan shalat, kalian menunaikan zakat, kalian memberikan dari harta jarahan seperlima untuk Allah dan bagian Nabi SAW dan pilihannya, dan apa yang telah diwajibkan atas segenap orang yang beriman, yaitu tentang shadaqah (zakat), hasil bumi yang disiram dengan air dari mata air dan disiram dengan air hujan adalah sepersepuluhnya. Sedangkan yang disiram dengan timba (air sumur) separuh dari sepersepuluh. Dan bahwasanya zakat unta, untuk empat puluh ekor unta, adalah ibnatu labun (seekor unta betina yang umur dua tahun masuk tahun ketiga), dan pada tiap-tiap tiga puluh ekor unta, ialah ibnu labun (seekor unta jantan yang berumur dua tahun masuk tahun ketiga). Dan pada setiap lima ekor unta, zakatnya adalah seekor kambing, dan pada setiap sepuluh ekor unta, zakatnya adalah dua ekor kambing, dan pada tiap-tiap empat puluh ekor sapi, adalah seekor sapi betina, dan pada tiap-tiap tiga puluh ekor sapi, zakatnya adalah tabi’un jadza’un au jadza’atun (seekor sapi jantan atau betina yang berumur satu tahun masuk tahun kedua). Dan pada setiap empat puluh ekor kambing yang mencari makan sendiri, adalah seekor kambing. Dan bahwasanya semua itu kewajiban dari Allah yang telah diwajibkan atas segenap orang yang beriman, tentang urusan zakat. Oleh sebab itu, maka barangsiapa yang menambah kebaikan, maka kebaikannya itu bagi dirinya, dan barangsiapa yang menunaikan yang demikian itu, dan mempersaksikan keislamannya, serta menolong orang-orang yang beriman untuk mengalahkan orang-orang musyrik, maka sesungguhnya ia dari golongan orang-orang yang beriman. Dia punya hak sebagaimana mereka, dan punya kewajiban sebagaimana mereka. Dan dia mendapatkan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya. Dan sesungguhnya orang yang telah masuk Islam, baik dari orang Yahudi maupun dari orang Nashraniy maka sesungguhnya ia termasuk golongan orang-orang yang beriman, dia punya hak sebagaimana mereka dan punya kewajiban sebagaimana mereka. Dan barangsiapa yang tetap atas keyahudiannya atau kenashraniannya, maka sesungguhnya ia tidak akan ditolak (dilarang) daripadanya, tetapi ia (berkewajiban) membayar jizyah atas tiap-tiap orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang merdeka maupun hamba sahaya, satu dinar yang sempurna dari harga kain ma’afir (sejenis kain buatan Yaman), atau penggantinya dengan pakaian. Maka barangsiapa yang telah menunaikan yang demikian itu kepada Rasulullah, maka sesungguhnya baginya menjadi jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang menolak (tidak mau membayarnya) maka sesungguhnya ia adalah musuh Allah dan Rasul-Nya.
Adapun sesudah itu, bahwasanya Rasulullah Muhammad Nabi telah mengirim surat lewat Zur’ah Dzi Yazan, bahwasanya apabila datang kepada kalian para utusanku, maka aku berpesan kepada kalian supaya berbuat baik kepada mereka, yaitu Mu’adz bin Jabal, ‘Abdullah bin Zaid, Malik bin ‘Ubadah, ‘Uqbah bin Namir, Malik bin Murrah dan para kawan mereka, maka kumpulkanlah apa-apa yang ada pada kalian dari zakat dan jizyah dari orang-orang yang menyelisihi kalian, dan sampaikan semuanya itu kepada para utusanku, dan bahwasanya pemimpin mereka itu ialah Mu’adz bin Jabal, maka janganlah ia kembali melainkan dengan ridla.
Adapun sesudah itu, bahwasanya Muhammad bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwasanya ia hamba-Nya dan utusan-Nya, kemudian sesungguhnya Malik bin Murrah Ar-Rahawiy telah menceritakan kepadaku, bahwa engkau telah mengikut Islam sejak permulaan Himyar, dan engkau telah memerangi orang-orang musyrik. Oleh sebab itu, maka gembiralah engkau dengan kebaikan, dan aku memerintahkan engkau agar berbuat baik kepada Himyar. Janganlah kalian berkhianat dan janganlah kalian tidak saling tolong-menolong. Karena Rasulullah SAW itu melindungi orang kaya kalian dan orang miskin kalian, dan sesungguhnya shadaqah (zakat) itu tidak halal bagi Muhammad dan tidak halal bagi ahli baitnya. Dan zakat itu harus dizakatkan kepada orang-orang faqir dari kaum muslimin dan ibnu Sabil. Dan bahwasanya Maalik telah menyampaikan khabar dan telah memelihara rahasia, dan aku memerintahkan kalian supaya berbuat baik kepadanya. Dan bahwasanya aku telah mengutus kepada kalian dari orang-orang baik ahliku, yang mempunyai agama dan yang mempunyai pengetahuan mereka, dan aku memerintahkan kepada kalian supaya berbuat baik kepada mereka, karena sesungguhnya mereka itu ditunggu-tunggu. Semoga keselamatan dan rahmat Allah serta barakah-Nya dilimpahkan kepada kalian. [Al-Bidaayah wan Nihaayah juz 5, hal. 80]
Selanjutnya, sebelum shahabat Mu’adz bin Jabal berangkat ke Himyar, memimpin para utusan, maka Nabi SAW berpesan, antara lain sebagai berikut :
يَسّرْ وَ لاَ تُعَسّرْ. وَ بَشّرْ و لاَ تُنَفّرْ. وَ اِنَّكَ سَتَقْدُمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ اَهْلِ اْلكِتَابِ يَسْأَلُوْنَكَ: مَا مِفْتَاحُ اْلجَنَّةِ؟ فَقُلْ: شَهَادَةُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. ابن هشام 5: 288
Mudahkanlah dan jangan engkau persulit, gembirakanlah jangan engkau menjadikan lari. Sesungguhnya kamu akan bertemu dengan orang-orang ahli kitab, mereka akan bertanya kepadamu, “Apa kunci surga ?”. Maka jawablah, “Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya”. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 288]
Kemudian berangkatlah para utusan Nabi SAW tersebut itu ke Himyar dengan dipimpin oleh Mu’adz bin Jabal RA.
Utusan dari kaum Banu Fazarah.
Menurut riwayat, setelah Nabi SAW kembali dari Tabuk, yaitu tahun ke-9 Hijriyah, datanglah utusan Banu Fazarah kepada Nabi SAW yang terdiri belasan orang, diantara mereka ialah Kharijah bin Hishnin (saudara laki-laki ‘Uyainah bin Hishnin) dan keponakannya yang bernama Al-Jaddu bin Qais bin Hishnin dan dialah yang paling muda diantara mereka. Mereka datang bersama-sama kepada Nabi SAW dan masing-masing menyatakan masuk Islam. Ketika mereka datang ke Madinah itu, mereka menaiki unta yang kurus-kurus, karena mereka baru mengalami musim paceklik.
Kemudian Rasulullah SAW menanyakan tentang negeri mereka, maka seorang diantara mereka, yaitu Kharijah, berkata kepada Nabi SAW :
اُسْنِتَتْ بِلاَدُنَا وَ هَلَكَتْ مَوَاشِيْنَا وَ اَجْدَبَ جِنَابُنَا وَ غَرِثَتْ عِيَالُنَا فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُغِيْثُنَا وَ اشْفَعْ لَنَا اِلىَ رَبّكَ وَ لْيَشْفَعْ لَنَا رَبُّكَ اِلَيْكَ. الحلبية 3: 325
Ya Rasulullah, negeri kami sedang paceklik, binatang ternak kami banyak yang binasa (lantaran kelaparan), (kebun-kebun) sekitar kami telah kering dan warga kami banyak yang kelaparan. Oleh sebab itu sudilah kiranya engkau memohonkan pertolongan kepada Tuhan untuk kami, agar Tuhanmu memberi hujan kepada kami, dan mintalah pertolongan kepada Tuhanmu untuk kami agar Tuhanmu meminta kepadamu untuk menolong kami. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 325]
Mendengar permintaan mereka yang demikian, maka Nabi SAW bersabda :
سُبْحَانَ اللهِ، وَيْلَكَ! يَا هذَا اَنَا اَشْفَعُ اِلىَ رَبّى عَزَّ وَ جَلَّ، فَمَنْ ذَا الَّذِى يَشْفَعُ رَبُّنَا اِلَيْهِ. لاَ الهَ اِلاَّ هُوَ اْلعَلِيُّ اْلعَظِيْمُ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّموَاتِ وَ اْلاَرْضَ. . الحلبية 3: 325
Maha Suci Allah, celaka kamu. Hai, ini aku minta pertolongan kepada Tuhanku ‘Azza wa Jalla, lalu siapakah yang dimintai pertolongan Tuhan kami ? Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, luas ilmu-Nya memenuhi langit dan bumi. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 325]
Kemudian beliau naik mimbar, dan dari atas mimbar itu beliau berdoa :
اَللّهُمَّ اسْقِ بِلاَدَكَ وَ بَهَائِمَكَ وَ انْشُرْ رَحْمَتَكَ وَ اَحْيِ بَلْدَكَ اْلمَيّتَ. اَللّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مُرْبِعًا مُرْتِعًا طَبَقًا عَاجِلاً غَيْرَ آجِلٍ نَافِعًا غَيْرَ ضَارّ. اَللّهُمَّ اسْقِنَا رَحْمَةً وَ لاَ تَسْقِنَا عَذاَبًا وَ لاَ هَدَمًا وَ لاَ غَرْقًا وَ لاَ مَحْقًا. اَللّهُمَّ اسْقِنَا اْلغَيْثَ وَ انْصُرْنَا عَلَى اْلاَعْدَاءِ. . الحلبية 3: 326
Ya Allah, siramilah (penduduk) negeri-Mu dan binatang ternak-Mu dan limpahkanlah rahmat-Mu dan hidupkanlah negeri-Mu yang telah mati. Ya Allah, siramilah dengan air hujan yang segar yang menyuburkan yang menumbuhkan rerumputan, meresap ke dalam bumi yang luas, dengan segera, tidak lambat, yang memberi manfaat, tidak memadlaratkan. Ya Allah, siramilah kami dengan rahmat dan jangan Engkau sirami kami dengan adzab, jangan yang membinasakan, jangan yang menenggelamkan dan jangan pula yang menghancurkan. Ya Allah, siramilah kami dengan air hujan yang segar dan tolonglah kami untuk mengalahkan para musuh. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 326]
Demikianlah riwayat ringkas utusan Banu Fazarah.
Tamu dari kaum Banu ‘Aamir.
Diantara tamu yang menghadap Nabi SAW ke Madinah pada tahun ke-9 Hijriyah ialah dari Banu ‘Aamir, yang terdiri dari ‘Aamir bin Thufail, Arbad bin Qais dan Jabbar bin Salmaa. Para pembesar Banu ‘Aamir ini datang kepada Nabi SAW dengan dikepalai oleh ‘Aamir bin Thufail.
Menurut riwayat bahwa kedatangan ‘Aamir bin Ath-Thufail ini dengan maksud akan melakukan kejahatan kepada Nabi SAW secara rahasia.
Pada suatu hari kaum Banu ‘Aamir berkata kepada pimpinan mereka ‘Aamir bin Thufail, “Hai ‘Aamir, orang-orang telah mengikut Islam, maka Islamlah kamu ?”. ‘Aamir menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya aku telah bersumpah, bahwa aku tidak akan berhenti berusaha agar orang-orang ‘Arab mengikutiku. Apakah aku akan mengikuti seorang pemuda Quraisy itu ?. Tidak, tidak mungkin aku mengikutinya”.
Kemudian dia berkata kepada salah seorang temannya yang bernama Arbad bin Qais, “Hai Arbad, apabila kita telah sampai kepadanya, maka aku akan mengecohnya, sehingga dia membelakangi kamu, aku akan mengajaknya bercakap-cakap, sehingga seluruh perhatiannya tertuju kepadaku, ketika aku melakukan demikian itu, maka segera penggallah lehernya”. Semua yang diperintahkan ‘Aamir itu disanggupi oleh Arbad, dan dia telah siap akan melakukan yang demikian itu.
Setelah ‘Aamir bin Thufail bersama teman-temannya menghadap Nabi SAW, ia berkata, “Ya Muhammad, jadikanlah aku ini shahabat setiamu”.
Mendengar perkataan ‘Aamir yang demikian itu Nabi SAW bersabda :
لاَ وَ اللهِ حَتَّى تُؤْمِنَ بِاللهِ وَحْدَهُ. ابن هشام 5: 260
Tidak, demi Allah. Kecuali jika kamu percaya kepada Allah yang Esa. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 260]
‘Aamir berkata lagi, “Ya Muhammad, jadikanlah aku teman setiamu”.
Demikianlah seterusnya dia mengajak Nabi SAW bercakap-cakap, sambil menunggu apa yang akan dilakukan oleh Arbad terhadap Nabi SAW, namun Arbad tidak juga berbuat sesuatu.
Setelah ‘Aamir melihat Arbad tidak melakukan sesuatu, lalu ‘Aamir berkata lagi, “Ya Muhammad, jadikanlah aku ini sebagai teman setiamu”. Nabi SAW tetap menjawab dengan sabdanya :
لاَ وَ اللهِ حَتَّى تُؤْمِنَ بِاللهِ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. ابن هشام 5: 260
Tidak, demi Allah. Kecuali jika kamu percaya kepada Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 260]
Karena Nabi SAW tetap menolak permintaannya, maka dia berkata kepada Nabi SAW, “Jika demikian, demi Allah kota Madinah akan saya penuhi dengan kuda dan tentara untuk membinasakan engkau. Kemudian ‘Aamir bin Thufail berpaling meninggalkan Nabi SAW.
Setelah ‘Aamir bin Thufail meninggalkan Nabi SAW, kemudian Nabi SAW berdoa :
اَللّهُمَّ اكْفِنِى عَامِرَ بْنَ الطُّفَيْلِ. ابن هشام 5: 260
Ya Allah, jagalah aku dari kejahatan ‘Aamir bin Thufail. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 260]
Setelah mereka meninggalkan Nabi SAW, maka terjadilah pertengkaran antara ‘Aamir dan Arbad.
‘Aamir berkata kepada Arbad, “Celaka kamu hai Arbad ! Kenapa tidak kamu lakukan apa yang telah aku perintahkan kepadamu ? Demi Allah, tidak ada seorangpun yang sangat aku takuti di muka bumi ini selain kamu. Demi Allah, sejak hari ini sampai seterusnya aku tidak akan takut lagi kepadamu”.
Arbad menyahut, “Celaka kamu, janganlah kamu terburu-buru menyalahkanku. Demi Allah, ketika aku akan melakukan apa yang engkau perintahkan kepadaku itu, aku melihat engkau berada diantaraku dan dia (Muhammad), sehingga aku tidak melihat orang lain selain engkau. Apakah aku harus memenggal lehermu dengan pedang ini ?”. Mendengar jawaban Arbad yang demikian itu ‘Aamir pun terdiam, dan berhentilah pertengkaran mereka. Kemudian ‘Aamir terus berjalan dengan teman-temannya menuju ke qabilah mereka. Ketika dalam perjalanan itu, tiba-tiba ‘Aamir diserang penyakit tha’un pada lehernya. Kemudian ia berhenti dan singgah di rumah seorang perempuan Bani Saluul, dan akhirnya dia mati di rumah tersebut. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 260]
Menurut riwayat yang lain, setelah ‘Aamir diserang penyakit tha’un itu, maka ketika dia singgah di rumah perempuan Bani Saluul itu dia sangat menyesal atas perbuatannya dan dia selalu khawatir terhadap dirinya, kalau-kalau dia mati di rumah perempuan itu. Dia mengeluh dengan berkata,“Hai bani ‘Aamir, apakah aku diserang penyakit bengkak, seperti penyakit yang biasa menyerang unta, dan aku akan mati di rumah seorang perempuan Bani Saluul ?”. Kemudian ia menyuruh kawannya untuk mengambilkan kudanya.
Setelah kudanya datang, maka dengan cepat dia menunggang kudanya sambil memegang tombak, kemudian berputar-putar di atas kudanya, dan akhirnya dia jatuh, dan mati seketika itu juga. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 308]
Adapun Arbad beserta kawan-kawannya meneruskan perjalanannya menuju qabilahnya. Setelah Arbad sampai diqabilahnya, maka kaumnya bertanya kepadanya, “Apakah yang telah terjadi Arbad ?”. Arbad menjawab, “Tidak ada apa-apa. Demi Allah, dia (Muhammad) itu mengajak kami menyembah sesuatu (yang tidak kami ketahui). Sungguh aku berharap dia datang ke sini sekarang juga dan aku akan memanahnya hingga tewas”.
Setelah selang satu atau dua hari sejak dia berkata demikian, dia keluar dari rumahnya dengan mengendarai unta, dengan maksud akan berjalan-jalan. Ketika dalam perjalanan, tiba-tiba dia disambar petir hingga mati terbakar bersama untanya.
Demikianlah riwayat singkat ‘Aamir bin Thufail dan Arbad bin Qais, dua orang pembesar Banu ‘Aamir yang berbuat jahat kepada Nabi Muhammad SAW.
Menurut riwayat Ibnu Hisyam, dengan adanya peristiwa ‘Aamir bin Thufail dan Arbad bin Qais tersebut, maka Allah menurunkan ayat kepada Nabi SAW dengan firman-Nya :
اللهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ اُنْثى وَ مَا تَغِيْضُ اْلاَرْحَامُ وَ مَا تَزْدَادُ وَ كُلُّ شَيْءٍ عِنْدَه بِمِقْدَارٍ(8) علِمُ اْلغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ الكَبِيْرُ اْلمُتَعَالِ(9) سَوَآءٌ مّنْكُمْ مّنْ اَسَرَّ اْلقَوْلَ وَ مَنْ جَهَرَ بِه وَ مَنْ هُوَ مُسْتَخْفٍ بِالَّيْلِ وَ سَارِبٌ بِالنَّهَارِ(10) لَه مُعَقّبتٌ مّنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِه يَحْفَظُوْنَه مِنْ اَمْرِ اللهِ، اِنَّ اللهَ لاَ يُغَيّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّى يُغَيّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْ، وَ اِذَآ اَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مَرَدَّ لَه، وَ مَا لَهُمْ مّنْ دُوْنِه مِنْ وَّالٍ(11) الرعد: 8-11
Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. (8)
Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi. (9)
Sama saja (bagi Tuhan), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus-terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari. (10)
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (11) [QS. Ar-Ra’d : 8-11]
Dlimam bin Tsa’labah utusan dari Banu Sa’ad bin Bakr
Diantara utusan yang menghadap Nabi SAW ialah utusan Banu Sa’ad bin Bakar, yang bernama Dlimam bin Tsa’labah. Ketika utusan ini datang, Nabi SAW sedang duduk bersama para shahabat di dalam masjid.
Dlimam menghentikan untanya lalu ditambatkan pada pintu masjid, lalu ia masuk masjid. Dlimam adalah orang yang keras dan rambutnya dikepang dua. Kemudian Dlimam datang kepada Rasulullah SAW yang sedang berada di tengah-tengah shahabatnya.
Dlimam bertanya, “Siapakah diantara kalian yang anak ‘Abdul Muththalib ?”. Nabi SAW menjawab, “Ya, aku anak ‘Abdul Muththalib”. Dlimam bertanya lagi, “Apakah kamu Muhammad ?”. Nabi SAW menjawab, “Ya, aku Muhammad”.
Dlimam berkata, “Hai anak laki-laki ‘Abdul Muththalib, sesungguhnya aku akan bertanya kepadamu, dan mungkin pertanyaan ini terasa sangat kasar bagimu, maka janganlah kamu merasa jengkel terhadapku. Nabi SAW menjawab :
لاَ اَجِدُ فِى نَفْسِى، فَسَلْ عَمَّا بَدَالَكَ. ابن هشام 5: 267
Tidak ada kejengkelan dalam hatiku, maka tanyakanlah apa yang kamu inginkan. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 267]
Dlimam berkata, “Aku akan bertanya kepadamu, dengan nama Allah Tuhanmu, dan Tuhan orang-orang yang sebelummu, dan Tuhan orang-orang yang sesudahmu, betulkah Allah mengutusmu sebagai utusan-Nya kepada kami ?”.
Nabi SAW menjawab :
Ya benar اللّهُمَّ نَعَمْ
Dlimam bertanya lagi, “Aku akan meminta keterangan kepadamu dengan nama Allah, Tuhanmu dan Tuhan orang-orang yang sebelummu, Tuhan orang-orang yang akan datang sesudahmu; Apakah Allah memerintahkan kepadamu supaya kamu memerintahkan kepada kami, supaya kami menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan supaya kami berlepas diri dari semua tuhan-tuhan yang telah disembah oleh orang-orang tua kami dahulu ?”.
Nabi SAW menjawab :
Ya benar اللّهُمَّ نَعَمْ
Dlimam berkata lagi, “Aku akan meminta keterangan kepadamu dengan nama Allah, Tuhanmu, Tuhan orang-orang yang sebelumu dan Tuhan orang-orang yang akan datang sesudahmu; Apakah betul Allah memerintahkan kepadamu, supaya kami mengerjakan shalat lima waktu (sehari semalam ?)”.
Nabi SAW menjawab :
Ya benar اللّهُمَّ نَعَمْ
Kemudian Dlimam menanyakan kewajiban-kewajiban dalam Islam satu-persatu, yaitu tentang zakat, puasa, hajji dan syari’at-syari’at Islam yang lain. Dan masing-masing pertanyaan yang ditanyakan, selalu diawali dengan menyebut nama Allah seperti di atas.
Dan setelah Dlimam selesai menanyakan sebagaimana telah disebutkan tadi, ia lalu menyatakan :
فَاِنّى اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، وَ سَاُؤَدّى هذِهِ اْلفَرَائِضَ وَ اَجْتَنِبُ مَا نَهَيْتَنِى عَنْهُ ثُمَّ لاَ اَزِيْدُ وَ لاَ اَنْقُصُ. ابن هشام 5: 268
Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Aku akan menunaikan semua kewajiban itu, dan aku akan jauhi apa yang engkau larang kepadaku, kemudian tidak aku tambah dan tidak aku kurangi. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 268]
Sesudah itu ia berpaling dari Nabi SAW dan kembali ke untanya, lalu melepaskan tali untanya, lalu pulang.
Ketika ia telah berpaling dari hadapan Nabi SAW, beliau SAW bersabda :
اِنْ صَدَقَ ذُو اْلعَقِيْصَتَيْنِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. ابن هشام 5: 268
Jika benar (perkataan) orang yang mempunyai dua jalinan rambut itu tentu ia masuk surga. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 268]
Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda :
فَقُهَ الرَّجُلُ، لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ اْلجَنَّةَ. الحلبية 3: 309
Pandai orang laki-laki itu, jika benar yang ia katakan, tentulah dia masuk surga. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 309]
Dlimam berda’wah kepada kaumnya.
Setelah Dlimam bin Tsa’labah kembali kepada qabilahnya, (setelah datang kepada Nabi SAW di Madinah) lalu kaumnya berdatangan, mereka berkumpul dan menanyakan hal-hal dan apasaja yang diperolehnya dari Madinah.
Perkataan yang pertama kali diucapkan Dlimam ialah :
Sangat buruklah berhala Al-Laata dan Al-Uzza بِأْسَتِ اللاَّتُ وَ اْلعُزَّى
Kaumnya lalu berkata kepadanya, “Mengapakah engkau berbuat demikian hai Dlimam ? Takutlah kamu kepada penyakit sopak dan takutlah kamu kepada penyakit gila”. Yang demikian itu karena kaumnya masih mempercayai kesaktian kedua berhala itu, maka mereka menakut-nakuti Dlimam dengan perkataan demikian tadi.
Dlimam lalu menjawab, “Celakalah kalian, sesungguhnya kedua-duanya itu, demi Allah tidak dapat memadlaratkan dan tidak dapat pula memberi manfaat sedikitpun. Sesungguhnya Allah telah mengutus seorang utusan dan memberikan sebuah kitab kepadanya, yangmana dengan kitab itu dia akan menyelamatkan kalian dari segala kerusakan yang terdapat dalam masyarakatmu. Dan sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwasanya Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Dan sesungguhnya aku telah kembali dari sisinya dengan membawa apa-apa yang diperintahkannya kepada kalian dan apa-apa yang telah dilarangnya.
Demikianlah da’wah Dlimam bin Tsa’labah kepada kaumnya, dan pada sore harinya segenap kaumnya itu telah mengikut Islam, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 268]
Utusan ‘Abdul Qais
Diantara utusan yang menghadap Nabi SAW ialah utusan qabilah ‘Abdul Qais, daerah Bahrain, yang terdiri dari beberapa orang, yang dikepalai oleh Al-Jaarud bin ‘Amr bin Hansyin, saudara laki-laki ‘Abdul Qais. Ia beragama Nashrani (Kristen), dan telah banyak membaca buku-buku agama yang terdahulu. Ketika mereka datang kepada Nabi SAW, beliau bertanya kepada mereka :
Siapa rombongan tamu ini ? مَنِ اْلوَفْدُ؟
Mendengar pertanyaan Nabi SAW demikian itu mereka menjawab, “Dari kaum Rabi’ah”.
Setelah mendengar jawaban mereka, Nabi SAW bersabda :
مَرْحَبًا بِاْلقَوْمِ غَيْرَ خَزَايَا وَ لاَ نَدَامَى
Selamat datang wahai kaum, tidak ada kehinaan dan tidak ada penyesalan.
Setelah mereka di hadapan Nabi SAW, maka Nabi pun mengajak mereka supaya masuk Islam, dan beliau menggembirakan mereka. Maka Al-Jaarud berkata kepada Nabi, “Ya Muhammad, sesungguhnya aku adalah orang yang sudah beragama, dan sekarang aku akan meninggalkan agamaku yang dahulu dan aku akan masuk agamamu, tetapi apakah engkau dapat menanggung agama itu untukku ?”. Nabi SAW menjawab dengan sabdanya :
نَعَمْ، اَنَا ضَامِنٌ لَكَ اَنْ قَدْ هَدَاكَ اللهُ اِلىَ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ.
Ya, aku jamin, karena Allah telah menunjukimu kepada apa-apa yang lebih baik bagimu daripadanya (agama yang engkau peluk sebelumnya). [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 269]
Jaarud pun lalu masuk Islam, begitu pula kawan-kawannya. Di dalam riwayat lain disebutkan, kemudian dia bertanya kepada Nabi SAW, “Ya Muhammad, dengan apakah Tuhan mengutus engkau ?”.
Nabi SAW menjawab, “Dengan mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan bahwasanya aku ini hamba Allah dan utusan-Nya. Dan membersihkan diri dari semua sekutu atau agama yang disembah selain Allah, mendirikan shalat pada waktunya dan memberikan zakat kepada yang berhaq menerimanya, berpuasa bulan Ramadlan dan mengerjakan hajji ke Baitullah bagi siapa yang mampu perjalanannya, dengan tidak menyimpang. Barangsiapa mengerjakan kebajikan, maka (pahala) kebajikan itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, maka (dosa) kejahatan itu atas dirinya sendiri, dan Tuhan-mu tidak menganiaya hamba-hamba-Nya (QS. Fushshilat : 46)”. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 310]
Kemudian Jaarud berkata lagi, “Ya Muhammad, jika engkau betul Nabi utusan Allah, ceritakanlah kepada kami, apakah yang tersimpan dan tersembunyi dalam hati kami sekarang ini”.
Mendengar permintaan Jaarud itu, maka Nabi SAW pun terdiam sejenak sambil menundukkan kepala seolah-olah beliau mengantuk. Kemudian dengan keringat bercucuran beliau mengangkat kepala kembali, lalu bersabda :
اَمَّا اَنْتَ يَا جَارُوْدُ فَاِنَّكَ اَضْمَرْتَ اَنْ تَسْأَلَنِى عَنْ دِمَاءِ اْلجَاهِلِيَّةِ، وَ عَنْ حِلْفِ اْلجَاهِلِيَّةِ، وَ عَنِ اْلمَنِيْحَةِ، اَلاَ وَ اِنَّ دَمَ اْلجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ وَ حِلْفُهَا مَرْدُوْدٌ. وَ لاَ حِلْفَ فِى اْلاِسْلاَمِ، اَلاَ وَ اِنَّ اَفْضَلَ الصَّدَقَةِ اَنْ تَمْنَحَ اَخَاكَ ظَهْرَ دَابَّةٍ اَوْ لَبَنَ شَاةٍ فَاِنَّهَا تَغْدُوْ بِرِفْدِهِ وَ تَرُوْحُ بِمِثْلِهِ. الحلبية 3: 311
Adapun kamu hai Jaarud, maka kamu menyimpan dalam hati, bahwa engkau akan bertanya kepadaku, mengenai darah (pembunuhan) jahiliyah, dan tentang perjanjian jahiliyah, dan tentang pemberian pertolongan ? Ketahuilah bahwasanya yang mengenai pembunuhan di masa jahiliyah itu diletakkan (telah selesai masalahnya), dan perjanjian yang terjadi di masa jahiliyah itu batal (tertolak), dan dalam Islam tidak ada perjanjian secara jahiliyah (persekutuan untuk menimbulkan kerusakan dan peperangan diantara qabilah-qabilah). Ketahuilah bahwa seutama-utama shadaqah ialah kamu memberi kepada saudaramu punggung binatang (kendaraan) atau susu kambing (meminjamkan kambing untuk diperah susunya). Karena dia pada pagi hari dengan pemberiannya dan pada petang hari seperti itu pula. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 311]
Dengan jawaban Nabi SAW yang tepat itu, maka Jaarud bersama kawannya, lalu mengucapkan syahadat di hadapan beliau.
Menurut riwayat yang lain, ketika utusan Banu ‘Abdul Qais itu datang kepada Nabi SAW, dan setelah mereka masuk Islam, mereka berkata kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, kami tidak bisa datang kepada tuan, melainkan pada bulan-bulan haram, karena diantara kami dan tuan terhalang dengan orang-orang kafir Mudlar, maka perintahkanlah kepada kami dengan perintah yang singkat, yang dapat kami perintahkan kepada orang-orang yang di belakang kami, dan jika perintah itu kami laksanakan, maka kami pasti masuk surga.
Dan mereka juga menanyakan tentang minuman (yang diharamkan). Maka Nabi SAW memerintahkan kepada mereka empat hal dan melarang kepada mereka empat hal.
اَمَرَهُمْ بِاَرْبَعٍ وَ نَهَاهُمْ عَنْ اَرْبَعٍ: اَمَرَهُمْ بِاْلاِيْمَانِ بِاللهِ وَحْدَهُ. قَالَ: اَتَدْرُوْنَ مَا اْلاِيْمَانُ بِاللهِ وَحْدَهُ؟ قَالُوْا: اَللهُ وَ رَسُوْلُهُ اَعْلَمُ. قَالَ: شَهَادَةُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَ اِقَامُ الصَّلاَةِ وَ اِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَ صِيَامُ رَمَضَانَ وَ اَنْ تُعْطُوْا مِنَ اْلمَغْنَمِ اْلخُمُسَ. وَ نَهَاهُمْ عَنْ اَرْبَعٍ: عَنِ اْلحَنْتَمِ وَ الدُّبَّاءِ وَ النَّقِيْرِ وَ اْلمُزَفَّتِ. قَالَ: اِحْفَظُوْهُنَّ وَاَخْبِرُوْا بِهِنَّ مَنْ وَرَاءَكُمْ. البخارى 1: 19
Beliau SAW memerintahkan kepada mereka dengan empat hal, dan melarang mereka dari empat hal. Beliau memerintahkan kepada mereka supaya beriman kepada Allah yang Esa. Beliau pun bersabda, “Tahukah kamu, apakah iman kepada Allah Yang Esa itu ? Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Beliau bersabda, “Yaitu kalian bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, (kalian) mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadlan, dan hendaklah kalian menyerahkan seperlima dari harta rampasan perang. Dan beliau SAW melarang mereka dari empat macam : hantam, dubbaa’, naqiir dan muzzaffat. Perhatikanlah hal itu dan beritahukanlah kepada orang-orang yang di belakang kalian. [HR. Bukhari juz 1, hal. 19]
Keterangan :
hantam = guci.
dubbaa’ = sejenis labu (waluh) yang dihilangkan isinya.
naqiir = batang pohon kurma yang dilubangi tengahnya.
muzaffat = suatu wadah yang dilumuri dengan teer.
Kesemuanya itu adalah wadah yang biasa untuk membuat minuman keras.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Al-Asyajji (ia peserta rombongan ‘Abdul Qais yang paling muda) :
اِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ: اَْلحِلْمُ وَ اْلاَنَاةُ. مسلم 1: 48
Sesungguhnya padamu ada dua sifat yang Allah menyukainya, yaitu keshabaran dan ketenangan. [HR. Muslim juz 1, hal. 48]
Menurut sebagian riwayat, bahwa sebelum Jaarud kembali kepada kaumnya, dia telah meminta kepada Nabi SAW supaya diberi kendaraan, tetapi Nabi SAW menjawab :
وَ اللهِ مَا عِنْدِى مَا اَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ
Demi Allah, aku tidak mempunyai kendaraan yang bisa aku berikan kepadamu. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 269]
Kemudian Jaarud bersama rombongan kembali ke qabilahnya dengan membawa seruan Islam yang akan disampaikan kepada qaumnya.
Utusan kaum Banu Hanifah.
Diantara tamu yang datang menghadap Nabi SAW adalah utusan dari qabilah Banu Hanifah, diantara mereka ada yang bernama Musailimah. Mereka datang ke Madinah dan menginap di rumah seorang perempuan Anshar yang bernama Kaisah binti Al-Harits.
Ketika itu Nabi SAW sedang duduk di tengah-tengah para shahabat, dan di tangan Nabi SAW memegang sepotong pelepah kurma yang masih ada daunnya di ujungnya. Mereka datang kepada Nabi SAW dengan membawa Musailimah yang mereka tutupi dengan kain, lalu dia mengemukakan permintaan kepada Nabi SAW, tetapi permintaannya dijawab oleh Nabi SAW dengan sabdanya :
لَوْ سَأَلْتَنِى هذَا اْلعَسِيْبَ مَا اَعْطَيْتُكَهُ. ابن هشام 5: 272
Seandainya kamu meminta pelepah kurma ini kepadaku, niscaya tidak kuberikan kepadamu. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 272]
Jawaban Nabi SAW yang demikian itu disebabkan Musailimah meminta pangkat kenabian, supaya dia ditetapkan sebagai seorang Nabi yang bersekutu dengan Nabi Muhammad SAW.
Menurut riwayat, Musailimah pernah berkata kepada kawan-kawannya sebelum mereka berangkat menghadap Nabi SAW demikian, “Jika Muhammad mengangkat aku untuk mengurus urusannya di kemudian hari, tentu aku akan mengikutinya”.
Menurut riwayat lain, setelah Musailimah sampai di Madinah, ia menyuruh rombongannya menghadap Nabi SAW lebih dahulu, sedangkan ia sendiri menunggu di rumah tempat ia menginap. Setelah rombongan menghadap Nabi SAW, lalu mereka semua menyatakan masuk Islam di hadapan Nabi SAW. Kemudian mereka berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ada seorang teman kami yang tertinggal, yang kami tugaskan untuk menjaga barang-barang dan kendaraan kami di tempat menginap”. Mendengar perkataan mereka yang demikian itu Nabi SAW bersabda kepada mereka
اَمَا اِنَّهُ لَيْسَ بِشَرّكُمْ مَكَانًا
Sesungguhnya dia (Musailimah) itu bukanlah orang yang jahat kedudukannya diantara kalian.
Nabi SAW bersabda demikian itu terhadap Musailimah, maksudnya dalam hal menjaga barang-barang kawannya.
Setelah rombongan itu masuk Islam, lalu mereka kembali ke tempat mereka menginap lalu menyampaikan apa yang dikatakan Nabi SAW itu kepada Musailimah.
Dalam riwayat lain disebutkan lalu Nabi SAW mendatangi Musailimah di penginapannya.
Maka Nabi SAW mendatanginya bersama Tsabit bin Qais bin Syammas, sedangkan Nabi SAW memegang sepotong pelepah kurma, sehingga beliau berhenti di depan Musailimah yang berada diantara kawan-kawannya. Kemudian beliau bersabda, “Seandainya kamu meminta kepadaku sepotong pelepah kurma ini, tentu tidak aku berikan kepadamu, dan aku tidak akan melampaui batas urusan Allah mengenai kamu. Dan jika kamu berpaling (menyalahi kebenaran), niscaya Allah akan membinasakan kamu. Sesungguhnya aku telah diperlihatkan tentang kamu, di dalam mimpi dari apa-apa yang telah diperlihatkan kepadaku. Dan inilah Tsabit yang akan menjawab kamu atas namaku”. Kemudian beliau kembali. [HR. Muslim juz 4, hal. 1780]
Setelah mereka kembali ke Yamamah (negeri mereka), Musailimah murtad dari keislamannya, dan dia mengaku menjadi Nabi disamping Nabi Muhammad SAW, dan dia mulai membuat propaganda palsu kepada kaumnya.
Musailimah berkata, “Sesungguhnya aku bersekutu dalam soal kenabian ini dengan Muhammad”.
Dan dia berkata kepada kawan-kawannya yang pernah menghadap Nabi SAW itu, “Bukankah dia (Muhammad) berkata kepadamu, ketika kamu menyebut-nyebut namaku kepadanya. “Sesungguhnya dia (Musailimah) itu, bukanlah orang yang jahat kedudukannya diantara kalian”. Yang demikian itu karena dia mengetahui bahwa aku bersekutu dengan dia dalam segala urusannya”. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 314]
Kemudian Musailimah mengirim sepucuk surat kepada Nabi SAW yang diantarkan oleh dua orang pengikutnya kepada Nabi SAW di Madinah. Surat itu berbunyi sebagai berikut :
مِنْ مُسَيْلِمَةَ رَسُوْلِ اللهِ اِلىَ مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ. اَمَّا بَعْدُ: فَاِنّى قَدْ اَشْرَكْتُ فِى اْلاَمْرِ مَعَكَ. وَ اِنَّ لَنَا نِصْفَ اْلاَمْرِ. وَ لَيْسَ قُرَيْشٌ قَوْمًا يَعْدِلُوْنَ. الحلبية 3: 315
Dari Musailimah utusan Allah, kepada Muhammad utusan Allah.
Adapun sesudah itu, sesungguhnya aku telah bersekutu dalam urusan (kenabian) denganmu. Dan bahwasanya bagi kami separuh urusan, akan tetapi kaum Quraisy adalah kaum yang tidak adil. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 315
Setelah surat itu diterima oleh Nabi SAW, maka beliau memberi balasan pada waktu itu juga dengan surat sebagai berikut :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ اِلىَ مُسَيْلِمَةَ اْلكَذَّابِ. سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى، اَمَّا بَعْدُ: فَاِنَّ اْلاَرْضَ ِللهِ يُوْرِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَ اْلعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ. الحلبية 3: 315
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailimah Pendusta. Keselamatan semoga dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk yang benar. Adapun sesudah itu, sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, Dia mewariskannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Dan akibat (kesudahan yang baik) itu bagi orang-orang yang bertaqwa. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 315]
Kemudian beliau bertanya kepada dua orang utusan Musailimah itu :
وَ اِنَّمَا تَقُوْلاَنِ مِثْلَ مَا يَقُوْلُ؟
Apakah kamu berdua mengatakan seperti apa yang dikatakan Musailimah
Mereka menjawab, “Ya”.
Kemudian beliau bersabda :
اَمَا وَ اللهِ، لَوْ لاَ اَنَّ الرُّسُلَ لاَ تَقْتُلُ لَضَرَبْتُ اَعْنَاقَكُمَا
Demi Allah, seandainya bukan karena rasul-rasul itu tidak boleh membunuh orang, niscaya aku penggal lehermu berdua. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 316]
Demikianlah riwayat ringkas tentang kedatangan utusan kaum Banu Hanifah dan Musailimah yang mengaku dirinya menjadi nabi.
mta 03, 06 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar