AL-IJMA' DASAR HUKUM DALAM ISLAM
1. Arti Ijma' :
Ijma' menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju atau sependapat, sedang menurut istilah, ialah :
اِتِّـفَاقُ مُجْتَهِدِى اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ص بَعْدَ وَفَاتِهِ فِى عَصْرٍ مِنَ اْلأَعْصَارِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ اْلأُمُوْرِ.
Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad ummat Muhammad, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).
2. Dari Segi Masanya,
Dari segi masanya, maka Ijma' dapat dibagi menjadi dua :
1. Zaman Khalifah yang empat, dan
2. Zaman sesudahnya.
(1) Ijma' shahabat (yang dimaksud ialah zaman Khalifah Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan Ali). Ijma' mereka ini jelas dapat dijadikan hujjah tanpa diperselisihkan orang lagi, sebab NabiSAW. sendiri memerintahkan sebagaimana sabdanya:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ اْلخُـلَـفَاءِ الرَّاشِدِيْـنَ. ابو داود وغيره.
Hendaklah kamu berpegang kepada cara-caraku dan cara-cara khulafaur Rasyidin. [Abu Dawud dan lain-lain]
(2) Ijma' ulama pada zaman sesudah Khulafaur Rasyidin, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para fuqaha shahabat banyak pindah ke negeri Islam yang baru dan telah timbul fuqaha tabi'in yang tidak sedikit, ditambah lagi dengan pertentangan politik. Maka pada zaman inilah sukar dibayangkan dapat terjadinya ijma'.
Kalau sampai zaman tabi'in saja, sudah sukar akan terjadi ijma', maka lebih-lebih zaman sekarang dimana para ulama telah tersebar luas ke seluruh pelosok. Sedang sahnya ijma' ialah : "Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad".
Oleh sebab itu ijma' yang diakui dan dibenarkan oleh para ulama, ialah ijma' para shahabat Nabi; dan selain dari itu tidaklah mungkin, bahkan mustahil terjadi. Di antara para ulama mujtahidin besar yang mengingkari (tidak membenarkan) adanya ijma' di masa sesudah para shahabat Nabi, ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pemuka madzhab Hanbali) yang hidup di antara pertengahan abad kedua dan pertengahan abad ketiga Hijrah. Antara lain beliau berkata :
مَنِ ادَّعَى اْلإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ. لَعَلَّ النَّاسَ قَدِ اخْتَـلَـفُوْا، وَلكِنْ يَـقُوْلُ: لاَ نَعْلَمُ النَّاسَ اِخْتَـلَـفُوْا. اِذْ لَمْ يَـبْلُغْهُ.
Barangsiapa yang mendakwakan ijma', maka ia berdusta. Barangkali manusia telah berselisih, tetapi - cukuplah ia berkata: Kami tidak mengetahui orang-orang yang mereka itu berselisih, karena belum sampai -berita- kepadanya.
Jelasnya : Barangsiapa yang mendakwakan (menganggap) telah terjadi ijma' sesudah para shahabat, maka ia berdusta. Mungkin orang-orang berselisih, tetapi ia tidak mengetahui adanya perselisihan itu, karena beritanya belum sampai kepadanya. Oleh sebab itu, maka hendaklah ia berkata: "Aku tidak mengetahui ada orang yang menyalahi dan menyelisihi tentang pendapat ini".
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa kemungkinan ada terjadi ijma' sesudah masa para shahabat itu adalah mustahil, karena para ulama Islam telah bertebaran ke seluruh pelosok. Mengihimpunkan mereka untuk mengadakan ijma' di satu kota bukan perkara yang mudah dan ringan, tetapi boleh dikatakan mustahil. Dan memang selama ini belum pernah terdengar berita atau riwayat yang menyatakan, bahwa para 'ulama Islam di masa sesudah para shahabat seluruhnya pernah berkumpul di satu kota untuk mengadakan ijma' (kata sepakat) terhadap suatu hukum atas suatu masalah.
Imam Al-Ashfahani berkata :
وَالْمُنْصِفُ يَعْلَمُ اَنـَّهُ لاَ خَبَرَ لَهُ مِنَ اْلإِجْمَاعِ اِلاَّ مَا يَجـِدُ مَكْـتُوْبــًا فِى الْكُـتُبِ. وَ مِنَ اْلبَـيِّنِ اَنـَّهُ لاَ يَحْصُلُ اْلاِطْلاَعُ عَلَيْهِ اِلاَّ بِالسِّمَاعِ مِنْهُمْ اَوْ بِنَقْلِ اَهْلِ الـتَّـوَاتُـرِ اِلَـيْنَـا. وَلاَ سِبِـيْلَ اِلَى ذلِكَ اِلاَّ فِىْ عَصْرِ الصَّحَابَةِ وَاَمَّا بَـعْـدَهُمْ فَلاَ.
Dan orang yang insaf tentu mengerti, bahwa sesungguhnya tidak ada berita padanya daripada ~berita~ ijma', melainkan apa yang ia dapati tertulis di kitab-kitab ~saja~. Padahal jelas, bahwa tidak akan berhasil mengetahui atas ijma' itu, melainkan dengan pendengaran daripada mereka (para ulama) atau dengan berita riwayat yang mutawatir sampainya kepada kita. Dan tidak ada jalan kepada yang demikian itu melainkan di masa shahabat; adapun sesudah mereka itu, maka tidak akan ada.
Jelasnya : Tentang ijma' itu tidak akan dapat dihasilkan (diperoleh dengan sempurna), melainkan dengan pendengaran dari para 'ulama ahli ijtihad atau dengan berita mutawatir yang sampai kepada kita. Hal tersebut tidak mungkin terjadi, melainkan pada masa shahabat. Dan juga Imam Al-Ashfahani menyatakan : "Amat sukar kita mengetahui ada terjadi ijma', selain daripada ijma' shahabat yang masih sedikit jumlah orang yang dipandang ahli ijma'. Keadaan yang demikian itu yang memungkinkan mereka berkumpul guna memberikan persetujuan kepada suatu pendapat orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat (tempat-tempat yang berdekatan)".
Selanjutnya beliau menyatakan : "Adapun sekarang sesudah tersiar Islam di seluruh pelosok dan sesudah banyak bilangan 'ulama, tidaklah mungkin lagi diyakini akan terjadinya ijma' diantara mereka itu".
Imam Ar-Razi, seorang ulama ahli ushul dan ahli tafsir yang terkenal berkata :
وَاْلاِنْصَافُ اَنــَّهُ لاَ طَرِيْقَ لَنَا اِلَى مَعْرِفَتِهِ اِلاَّ فِى زَمَانِ الصَّحَابَةِ.
Dan sebenarnya, bahwasanya tidak ada jalan bagi kita kepada mengetahuinya (ijma'), melainkan di masa shahabat.
Jelas kiranya, bahwa kemungkinan ada ijma' sesudah masa para shahabat Nabi itu tidak ada dan tidak pernah terjadi. Oleh sebab itu, ijma' yang mu'tabar, ijma' yang tidak diperselisihkan lagi adanya, dan yang dapat dipergunakan sebagai hujjah (alasan) dalam agama, ialah ijma' para shahabat.
Dan dengan ini tepatlah apa yang pernah dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama lainnya yang tidak membenarkan adanya ijma' dimasa sesudah masa para shahabat Nabi.
3. Kehujjahan Ijma'.
Para ulama menetapkan bahwa ijma' itu hujjah dan sebagai dasar hukum syari'at dalam Islam. Tetapi ijma' itu berkedudukan di bawah Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta tidak boleh menyalahi nash yang qath'i (keterangan yang tegas-jelas) dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul yang masyhur.
Imam Asy-Syafi'i dalam menjelaskan tentang "ijma'" dalam kitabnya Ar-Risalah menetapkan, bahwa ijma' itu hujjah; dan beliau memandangnya sebagai hujjah dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati nash dari Kitab dan Sunnah. Selanjutnya beliau menetapkan pula, bahwa tidak akan menjadi ijma', melainkan yang telah disepakati oleh segenap 'ulama Islam.
Adapun alasan-alasan yang dipergunakan untuk menetapkan, adanya ijma' oleh para 'ulama yang menetapkan bahwa ijma' itu hujjah yang ditaati dan sebagai dasar syari'at, di antaranya sebagai berikut :
يـاَ يُّـهَا الَّذِيْـنَ امَنُوْا اَطِيْعُوا اللهَ وَ اَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ اُولى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللهِ وَ الرَّسُوْلِ اِنْ كُـنْـتُمْ تُـؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَاْلـيَوْمِ اْلآخِرِ، ذلِكَ خَيْرٌ وَّ اَحْسَنُ تَـأْوِيْلاً. النساء:59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (Qur'an dan Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa' : 59]
Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para ulama.
اِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمـَّتِى عَلَى ضَلاَلــَةٍ. وَيـَدُ اللهِ مَعَ اْلجَمَاعَةِ. الترمذى
1. Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpunkan ummatku atas kesesatan, dan tangan Allah beserta jama'ah. [HR. Tirmidzi]
اِنَّ اُمـَّتِى لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلــَةٍ.ابـن ماجه
2. Sesungguhnya ummatku tidak akan berkumpul atas kesesatan.
[HR. Ibnu Majah].
Dengan hadits tersebut, mereka mengambil pengertian bahwa oleh karena ummat Nabi Muhammad (ummat Islam) tidak akan berkumpul (berhimpun) menjadi satu di dalam kesalahan atau kesesatan, maka sudah barang tentu apabila mereka telah berijma' mengadakan keputusan adalah didalam kebenaran. Maka keputusan ummat Islam yang dengan ijma' itu pasti di dalam kebenaran. Dan tiap-tiap kebenaran itu harus diturut.
Adapun hal-hal yang boleh diijma'kan adalah hal-hal yang bersifat keduniaan, bukan masalah ibadah, karena urusan ibadah itu harus menurut contoh yang pernah dikerjakan oleh Nabi SAW dan telah cukup sempurna.
Demikianlah penjelasan tentang ijma'.
AL-QIYAS DASAR HUKUM DALAM ISLAM
1. Qiyas Menurut Lughat (Bahasa)
Kata : Qiyas itu asalnya dari :
قَاسَ - يَـقِـيْسُ قَيْسًا وَ قِيَاسًا. (Mengukur atau ukuran)
Jadi kata "qiyas" itu artinya "ukuran", "sukatan", "timbangan" dan lainnya lagi yang searti dengan itu. Misalnya dikatakan :
قَاسَ الشَّيْءَ بِغَيْرِهِ اَوْ عَلَى غَيْرِهِ.
Ia telah mengukur sesuatu dengan lainnya atau atas lainnya.
Dan dapat juga diartikan membandingkan, seperti :
فُلاَنٌ لاَ يُقَاسُ بِفُلاَنٍ.
Si fulan tidak boleh dibandingkan dengan si fulan yang lain.
2. Qiyas Menurut Ta'rif Ahli Ushul
Para 'ulama ahliushul fiqih dalam memberikan ta'rif (definisi) tentang "qiyas", bermacam-macam, antara lain adalah sebagai berikut :
اِسْتِخْرَاجُ مِثْلِ حُكْمِ اْلمَذْكُـوْرِ لـِمَا لَمْ يُذْكَرْ بِجَامِعٍ بَـيْنَهُمَا.
Mengeluarkan misal hukum yang telah disebutkan kepada suatu hal yang tidak disebutkan hukumnya dengan cara menghimpun antara keduanya.
اَلــْقَيَاسُ: مُسَاوَاةُ اْلمَسْكُوْتِ لِلْمَنْصُوْصِ فِى عِلَّةِ اْلحُكْمِ.
Qiyas itu ialah membandingkan yang didiamkan kepada yang dinash-kan (diterangkan) pada 'illat hukum.
تَحْصِيْلُ الْحُكْمِ اْلأَصْلِ فِى اْلـفَرْعِ لاِشْتِـبَاهِهِمَا فِى عِلَّةِ الْحُكْمِ.
Menghasilkan hukum pokok pada cabang karena bersamaan keduanya pada 'illat hukum.
Penjelasan :
Kesimpulan yang telah diberikan oleh para 'ulama ahli ushul tentang Qiyas ini adalah sebagai berikut :
Menghubungkan suatu pekerjaan dengan pekerjaan yang lain tentang hukumnya, karena kedua pekerjaan itu bersatu pada 'illat, yang menyebabkan bersatu pula pada hukumnya. Atau Menetapkan satu hukum syara' yang sudah tetap pada satu benda atau urusan, kepada satu benda atau urusan lain yang dipandang sama sebab-sebabnya atau sama sifat-sifatnya.
Misalnya tentang khamr, Allah telah melarang khamr sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya. Khamr yang dilarang itu ialah air anggur yang telah dibikin menjadi minuman keras (arak). Setelah diperiksa, diselidiki dan difikirkan sebabnya dilarang, terdapatlah bahwa khamr itu adalah memabukkan bagi orang yang meminumnya, yang juga mengakibatkan merusak badan, fikiran serta pergaulannya. Maka sifat memabukkan itu dipandang sebagai sebab bagi haramnya. Dengan demikian dapat di-qiyas-kan, bahwa : tiap-tiap minuman yang memabukkan itu dihukumi haram (terlarang) juga, walaupun asalnya bukan dari anggur. Inilah sebagai misal hukum dengan qiyas.
Dan dengan misal yang ringkas ini, mengertilah kita bahwa hukum qiyas itu dilakukan dengan akal fikiran orang yang mengerti, setelah diselidiki dengan seksama, dan dibandingkan dengan nash hukum yang telah tertulis di dalam Al-Qur'an atau di dalam As-Sunnah.
Rukun Qiyas dan Syarat-syaratnya
Untuk mendatangkan atau menjalankan "qiyas" orang harus mengerti dan memegangi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya, yang jika tidak, tentu tidak akan mungkin ia menjalankannya. Demikianlah menurut keterangan para ulama ahli ushul.
Rukun qiyas, ada empat :
1. Ashal (Pokok)
2. Fara' (Cabang)
3. Illah (Sebab-Karena), dan
4. Hukum.
Ashal, ialah tempat mengqiyaskan, seperti minuman arak.
Fara', ialah yang diqiyaskan, seperti segala macam minuman yang memabukkan.
Illah, ialah sifat-sifat yang ada pada ashal dan fara' yang diqiyaskan, seperti memabukkan.
Hukum, ialah hukum haram, misalnya.
Adapun syarat-syarat qiyas, sepanjang keterangan para ahli ushul, antara lain sebagai berikut :
1. Ashal dan hukumnya hendaklah ada dari keterangan syara', yaitu yang telah tersebut dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
2. Hendaklah ashal itu satu perkara yang termasuk perkara-perkara yang dapat difikirkan oleh akal akan sebab-sebabnya.
3. Hendaklah sebab-sebab yang ada pada ashal itu ada pula pada fara' (cabang)
4. Janganlah cabang itu sudah mempunyai hukum sendiri, sebelum diberi hukum dengan qiyas.
5. Sesudah diberi hukum dengan qiyas, janganlah cabang itu bertentangan dengan hukum yang lain.
Inilah antara lain syarat-syarat qiyas.
Sepanjang riwayat yang sampai kepada kita bahwa qiyas itu diberikan (diakui) oleh Nabi SAW. Oleh sebab itu, maka di antara para shahabat Nabi, ada yang mempergunakan hukum qiyas.
Selanjutnya di masa sesudah para shahabat Nabi, bagi para ulama mujtahidin berselisih pendapat tentang hukum dan dalil tentang qiyas. Yakni : Sebagian ada yang suka mempergunakannya; dan sebagian ada yang tidak suka mempergunakannya (menolaknya).
Di antara hadits Nabi yang menunjukkan bahwa Nabi SAW membenarkan hukum secara qiyas, ialah riwayat dari shahabat Mu'adz ketika diutus oleh Nabi SAW ke negeri Yaman, yang dikala itu Mu'adz menjawab pertanyaan-pertanyaan Nabi SAW tentang cara memberi hukum apabila tidak terdapat keterangannya di dalam Al-Qur'an dan di dalam Sunnah Rasul : "Saya berijtihad dengan fikiran saya". Jawaban demikian dibenarkan oleh Nabi SAW.
Dari hadits itu jelas bahwa apabila tidak didapati pada kitab Allah dan sunnah Rasulullah, maka dipergunakan ijtihad ra'yu (kemampuan berfikir), sedangkan qiyas pun termasuk ijtihad ra'yu juga.
Dan pada satu hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi SAW, katanya : "Ya Rasulullah, jika datang satu urusan kami, yang padanya belum diturunkan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan belum pernah kami dengar sunnah dari engkau satupun, maka bagaimanakah engkau perintahkan kepada kami ?".
Nabi SAW bersabda :
اَجْمِعُوْا لَهُ اْلعَالِمِيْنَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاجْعَلُوْهُ شُوْرَى بَيْنَكُمْ وَلاَ تَقْضُوْا فِيْهِ بِرَأْيٍ وَاحِدٍ. ابن عبد البر.
"Hendaklah kalian kumpulkan orang-orang yang mengerti di antara orang-orang yang beriman, dan adakanlah permusyawaratan di antara kamu sekalian, dan janganlah kalian memutuskannya dengan fikiran sendiri".
[HR. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami'u Bayanil Ilmi].
Dilain riwayat, Ali RA berkata : "Ya Rasulullah, jika datang kepada kami satu urusan yang padanya tidak ada keterangan perintah dan tidak pula keterangan cegah, maka apa yang engkau perintahkan kepada kami ?".
Nabi SAW bersabda :
تَشَاوَرُوا اْلفُقَهَاءَ وَاْلعَابِدِيْنَ وَلاَ تَجْعَلُوْنَهُ بِرَأْيٍ خَاصَّةٍ. الطبرانى
"Hendaklah kalian bermusyawarah dengan para ahli fiqih (orang-orang yang mempunyai pengertian tentang agama) dan orang-orang ahli ibadat, dan janganlah kalian jadikan (putuskan) dia dengan fikiran sendiri". [HR. Ath-Thabarani dalam kitabnya Al-Ausath].
Di dalam hadist-hadist tersebut jelas ditunjukkan, bahwa Nabi SAW membenarkan jawaban shahabat Mu'adz RA tentang akan berijtihad jika tidak didapati keterangan dari Quran dan dari Sunnah. Selanjutnya Nabi SAW memerintahkan kepada Ali RA supaya mengadakan rapat dan bermusyawarah dengan para orang yang mengerti, para ahli fiqih dan para ahli 'ibadat di antara orang-orang Islam sendiri untuk membicarakan soal-soal baru yang hukumnya tidak didapati di dalam Al-Qur'an dan Sunnah beliau SAW.
Orang mengerjakan ijitihad dan orang mengadakan permusyawaratan untuk membicarakan soal-soal atau urusan-urusan baru yang belum didapati keterangannya (hukumnya) di dalam Al-Qur'an dan Sunnah, itu tentu dengan melakukan "qiyas". Oleh sebab itu, tentang hukum qiyas seharusnya diadakan dan dikerjakan, jika memang ternyata tidak didapati nash dari Qur'an dan Sunnah.
Kalau kita kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, tentang urusan agama mengenai aqaid dan 'ibadat, telah cukup sempurna sebagaimana telah diuraikan di muka. Oleh sebab itu ~dengan tidak mengurangi pendapat ulama mujtahidin yang berpendirian menolak qiyas~, maka tentang hukum qiyas ini perlu dikembalikan lebih dulu kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam Al-Qur'an telah dinyatakan oleh Allah dengan firman-Nya :
... فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ ... النساء:59
"Maka jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya)". [An-Nisaa : 59]
Maksud ayat ini : Jika kamu berantah-bantah atau berselisih pendapat tentang suatu urusan yang tidak dinashkan dalam salah satu dari tiga, yaitu :Qur'an, Sunnah dan Ulil-Amri, maka kembalikanlah urusan itu kepada Allah dan kepada Rasul. Yakni, bawalah kembali urusan itu kepada keduanya, bandingkanlah dan sesuaikanlah dengan nash-nash yang ada dalam keduanya yang keadaannya berhampiran dengan urusan itu. Atau dengan perkataan lain : Qiyaskanlah dengan nash-nash dari Qur'an atau dari Sunnah.
Pengertian demikian, mengingat kata "rudduu" yang terkandung dalam ayat itu, yang dalam bahasa Arab dari kata kerja "radda" - "yaruddu", yang artinya "mengembalikan"; dan kadang-kadang dapat juga diartikan dengan "membandingkan", seperti kata :
رُدُّ الشَّيْءِ اِلىَ الشَّيْءِ.
"Membandingkan sesuatu kepada sesuatu".
Arti ini disandarkan atas satu riwayat yang berbunyi :
اَرُدُّ اْلأَشْيَاءَ اِلَى اَشْباهِهَا.
"Aku mengembalikan urusan-urusan itu kepada bandingan-bandingan-nya".
Sehubungan dengan itu, Al-Baidhawi dalam tafsirnya, dalam menjelaskan arti ayat tersebut itu dengan : "Mengembalikan yang diperbantahkan kepada Kitab dan Sunnah itu dengan jalan mentamtsilkannya, membandingkannya dan mendirikan hukum dari padanya. Dan itulah qiyas".
Sebagian ulama ahli ushul dalam penjelasannya mengenai qiyas yang disandarkan atas ayat tersebut itu, antara lain menjelaskan :
وَ مَنْ تَنَازَعَ ِممَّنْ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ ص رُدَّ اْلاَمْرُ اِلىَ قَضَاءِ اللهِ ثُمَّ قَضَاءِ رَسُوْلــِهِ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْمَا يَتَنَازَعُوْنَ فِيْهِ قَضَاءٌ نَصًّا فِيْهِمَا وَلاَ فِى وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُدُّوْهُ قِيَاسًا عَلَى اَحَدِهِمَا.
"Dan barangsiapa berselisih di antara orang-orang sesudah ~wafat~ Rasulullah SAW, kembalikanlah urusan itu kepada hukum Allah, kemudian hukum Rasul-Nya; maka jika tidak ada pada apa yang diperselisihkannya itu hukum nash pada keduanya dan tidak pula pada salah satu dari keduanya, kembalikanlah urusan itu dengan qiyas atas salah satu dari keduanya".
Demikianlah apabila tidak didapati nash di dalam Al-Qur'an atau dari Sunnah Rasul.
Jadi ayat tersebut itu kalau disingkatkan adalah berarti : Bahwa jika kamu tidak mendapati nash yang terang dalam suatu urusan, maka hendaklah kamu mengambil hukum dari Al-Quran atau dari Sunnah Rasul atas jalan qiyas.
Sekarang urusan apa yang boleh diberi hukum dengan jalan qiyas? Urusan adatkah atau urusan 'ibadat ? Urusan keagamaankah atau urusan keduniaan ? Karena di dalam ayat tersebut hanya dikatakan dengan kata "sesuatu".
Kalau kata "sesuatu" itu diartikan dengan arti umum, baik mengenai urusan keduniaan (adat) maupun mengenai urusan keagamaan (ibadat), tidaklah mungkin. Karena tentang urusan ibadat cukup sempurna telah diterangkan dan dicontohkan oleh Nabi SAW.
Tentang ini haruslah dikembalikan dulu kepada keterangan dari Nabi SAW dan riwayat-riwayat dari para shahabat besar.
Kalau kita kembalikan kepada hadits dari shahabat Mu'adz dan dari shahabat Ali dan kita kembalikan kepada beberapa hadits yang melarang ra'yu dan qiyas di dalam urusan-urusan agama, kita akan dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dibolehkan diberi hukum dengan jalan "qiyas" itu, ialah hal-hal yang bersangkut-paut dengan urusan adat, muamalat dan keduniaan, bukan yang mengenai urusan 'ibadat.
Berikut beberapa pesan dari shahabat Rasulullah SAW yang berkaitan dengan qiyas ini :
1. Pesan Umar bin Al-Khaththab RA, kepada Qadhi Syuraih, ketika ia diangkat menjadi qadhi di Kufah, yang artinya :
"Apabila telah engkau dapati sesuatu ~keterangan~ dalam Kitab Allah, maka berilah hukum dengan dia dan jangan engkau berpaling kepada yang lain; dan jika datang kepada engkau sesuatu yang tidak ada di dalam Kitab Allah, maka berilah hukum dengan yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW, jika datang kepada engkau sesuatu yang tidak ada di dalam ktab Allah dan tidak pula yang dicontohkan Rasulullah SAW, maka berilah hukum dengan apa yang disepakati oleh orang-orang; dan jika datang kepada engkau sesuatu yang tidak ada di dalam Kitab Allah, tidak pula pernah dicontohkan Rasulullah SAW, dan tidak pernah padanya dibicarakan oleh orang-orang yang sebelum engkau, maka jika engkau mau bahwa engkau akan berijtihad dengan fikiran engkau, maka majulah, dan jika engkau mau mundur, maka mundurlah, dan aku tidak memandang kemunduran itu melainkan lebih baik bagi engkau".
Kata "berilah hukum", yang terkandung di dalam riwayat ini adalah dari salinan kata "iqdli" asal dari kata kerja "qadlaa" - "yaqdliy" yang berarti "memutus" atau "memberi putusan" tentang hukum perkara yang terjadi. Jadi kata "berilah hukum" berarti "putuskanlah hukum perkara yang sedang terjadi", perkara yang harus diadili oleh qadli (hakim).
2. Kata Abdullah bin Abi Yazid, yang artinya :
"Adalah Ibnu Abbas RA apabila ditanya dari hal sesuatu, jika tidak ada di dalam Kitab Allah dan tidak ada pula dari Rasulullah SAW dan ada ~keterangan~ dari Abu Bakar dan Umar, ia mengatakannya (keterangan dari kedua shahabat itu); dan jika tidak ada di dalam Kitab Allah tidak ada ~keterangan~ dari Rasulullah, dan tidak ada keterangan dari Abu Bakar dan Umar, ia berijtihad dengan fikirannya"
Shahabat Ibnu Abbas RA melakukan ijtihad dengan fikirannya apabila tidak mendapati nash tentang sesuatu yang ditanyakan orang, hal ini tentu sesuatu yang mengenai urusan adat atau keduniaan, bukan urusan mengenai ibadat atau keagamaan. Karena jika mengenai urusan ibadah (keagamaan), ia pernah berkata :
مَنْ اَحْدَثَ رَأْيًا فِى الدِّيــْنِ لَـيْسَ فِى كِتَابِ اللهِ وَلَمْ تُمْضِ بِهِ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ لَمْ يَدْرِ عَلَى مَا هُوَ مِنْهُ اِذَا لَـقِيَ اللهَ.
"Barangsiapa yang mengada-adakan tambahan di dalam agama, yang tidak terdapat di dalam Kitab Allah, dan tidak pernah berlaku pada sunnah dari Rasulullah SAW ia tidak tahu dengan alasan apa ia berbuat begitu, apabila ia menghadap Allah nanti".
Perlu ditambahkan di sini tentang "qiyas" yang dikehendaki oleh para shahabat Nabi SAW. Mereka berijtihad dengan jalan qiyas terhadap urusan-urusan baru yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur'an atau dari Sunnah itu adalah dengan tujuan "mengembalikan sesuatu kepada maksud syara', kepada qa'idah-qa'idah syar'iyyah yang umum, dan kepada 'illat-'illat (sebab-sebab) yang mudah dimengerti dan difahami". Oleh sebab itu, maka "qiyas" itu perlu sekali diadakan apabila terjadi suatu peristiwa yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Karena kalau urusan-urusan yang baru terjadi dibiarkan begitu saja dan diserahkan kepada orang ramai, dengan tidak diberi hukum sebagaimana mestinya, maka sudah barang tentu dengan sendirinya tidak ada arti lagi. "Jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul" itu.
Jadi sepanjang penetapan para ulama yang ahli, bahwa tentang "qiyas" itu untuk dipergunakan hukum yang mengenai urusan keduniaan yang tidak didapati nashnya dalam Qur'an atau dalam Sunnah Rasul; dan tidak sekali-kali boleh dipergunakan untuk urusan ibadat.
Dan Imam Asy-Syafii berkata :
لاَ قِيَاسَ فِى اْلعِبَادَةِ.
"Tidak ada qiyas dalam urusan ibadat"
Jadi qiyas itu sebagai dasar hukum dalam Islam, dapat dipergunakan hujjah dalam agama, dan dapat dipakai atau dipergunakan hanya dalam urusan adat, muamalat dan keduniaan yang memang tidak ada nashnya di dalam Al-Qur'an atau di dalam Sunnah Rasul dan Ijma' yang Mu'tabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar