“Tawassul dengan orang lain
artinya wasilah (perantara) yang kita sebutkan di dalam doa yang kita panjatkan bukanlah
amal kita, tetapi nama seseorang. Contohnya adalah doa berikut: “Ya Allah,
berkat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam…”, “Ya Allah,
berkat Imam Syafi’i…”, “Ya Allah, berkat para Rasul dan Wali-Mu…””.
Beberapa baris kemudian ia mengatakan:
“Saudaraku, perlu kita ketahui bahwaseseorang yang bertawassul dengan orang
lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal salehnya sendiri.
Bagaimana bisa? Kami akan menjelaskannya secara ringkas.
Ketika seseorang bertawassul dengan orang lain,
pada saat itu ia berprasangka baik kepadanya dan meyakini bahwa orang tersebut
adalah seorang saleh yang mencintai Allah dan dicintai Allah. Ia menjadikan
orang tersebut sebagai wasilah (perantara) karena ia mencintainya. Dengan
demikian sebenarnya ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada orang
tersebut. Ketika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, demi kebesaran Rasul-Mu
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam…” berarti ia sedang
bertawassul dengan cintanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Atau orang yang berkata, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…” berarti
ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Imam Syafi’i. Kita semua tahu
bahwa cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya serta kepada orang-orang yang
saleh merupakan amal yang sangat mulia… dst”.[1]
Di awal pembahasan ia mendefinisikan
bahwa tawassul dengan orang lain maknanya ialah bahwa perantara yang kita
sebutkan dalam doa yang kita panjatkan bukanlah amal kita, tetapi nama
seseorang. Kemudian dia menyebutkan bahwa ketika seseorang bertawassul dengan
orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan amal salehnya sendiri?!
Dalam hal ini ia hendak menyamakan antara
seseorang yang mengatakan: “Ya Allah, demi cintaku kepada Nabi-Mu… atau demi
cintaku kepada Imam Syafi’i…” dan semisalnya; dengan orang yang mengatakan: “Ya
Allah, demi kebesaran Nabi Muhammad… atau berkat Imam Syafi’i…”. Padahal setiap
orang yang paham bahasa Indonesia pasti mengatakan bahwa makna kedua ucapan di
atas jelas berbeda. Yang pertama ialah tawassul dengan menyebut amal saleh yang
dia perbuat -dan hal ini dianjurkan-, sedang yang kedua ialah tawassul
dengan menyebut amal seseorang yang hal tersebut adalah milik orang lain, bukan
milik si pendoa. Lantas bagaimana keduanya bisa disamakan?
Lepas dari ini semua, cara berdoa semacam ini
adalah bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam maupun para salaf. Dan sebagaimana telah pembaca
ketahui, bahwa seandainya cara berdoa semacam ini adalah hal yang dianjurkan
dalam agama, pastilah mereka lebih dahulu melakukannya daripada kita.
Bila kita perhatikan dalil-dalil yang berbicara
mengenai tata cara berdoa, kita akan dapati bahwa Islam bukanlah agama
birokrasi yang sedikit-sedikit harus pakai perantara. Cara seperti ini justru
identik dengan praktek orang jahiliyah yang menjadikan berhala-berhala mereka
sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah (lihat surat Az Zumar: 3
dan Yunus: 18).
Karenanya, kalau saudara perhatikan ayat-ayat
yang menjawab sejumlah pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, saudara akan dapati bahwa semua jawabannya dimulai
dengan perintah: “Katakanlah (hai Muhammad)…”. Contohnya sebagai berikut:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia…” (Al Baqarah: 189).
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ
فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Apa saja
harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat,…
dst” (Al Baqarah: 215).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ
فِيهِ كَبِيرٌ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: “Berperang
dalam bulan itu adalah dosa besar…. dst” (Al Baqarah: 217).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ
كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia…” (Al Baqarah: 219).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat senada yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu [2]. Namun ketika pertanyaannya tentang bagaimana cara berdoa kepada Allah? maka jawabannya sungguh berbeda! Simaklah ayat berikut:
Dan masih banyak lagi ayat-ayat senada yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu [2]. Namun ketika pertanyaannya tentang bagaimana cara berdoa kepada Allah? maka jawabannya sungguh berbeda! Simaklah ayat berikut:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan
jika hamba-Ku bertanya kepadamu mengenai-Ku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat.
Aku akan kabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku….” (Al Baqarah: 186).
Bentuk Tawassul yang Keliru
Abu Sa’id Al Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barang siapa keluar dari rumahnya menuju Masjid untuk menunaikan shalat, kemudian membaca doa berikut:
Perhatikan, dalam ayat di atas Allah tidak
menggunakan kata ‘katakanlah’ -alias menjadikan Nabi sebagai perantara-, akan
tetapi Dia sendiri yang langsung menjawab pertanyaan ini. Kemudian mengatakan
bahwa diri-Nya lah yang akan mengabulkan doa hambanya secara langsung, tanpa
menyebut-nyebut perantara dalam hal ini. Ini jelas menunjukkan bahwa Allah
Ta’ala tidak butuh perantara dalam doa, bahkan Dia lebih menyukai doa yang
langsung dipanjatkan kepada-Nya tanpa perantara, sebab Dia maha dekat terhadap
hamba-Nya.
Lebih dari itu, jika kita meyakini kebesaran
Allah dan sifat-Nya yang Maha lembut, Pengasih, Penyayang, Mengabulkan doa
hambanya, dan sebagainya; maka aneh sekali jika kita lebih suka berhubungan
dengan-Nya melalui perantara.
Kalaulah seseorang yang ingin menghadap Raja
atau Presiden telah mendapat izin langsung untuk menghadapnya, kemudian dia
enggan dan justru mencari perantara, bukankah ini namanya menyia-nyiakan
kesempatan emas?? Lantas bagaimana jika Raja atau Presiden tadi menyatakan
bahwa dirinya lebih suka kalau yang bersangkutan menghadap langsung kepadanya,
namun orang tersebut justru menjauh dan tetap pakai perantara? Bukankah ini
termasuk pembangkangan terhadap keinginannya?
Demikian pula dengan ayat di atas, Allah secara
langsung menjawab pertanyaan tersebut tanpa menjadikan Nabi sebagai perantara,
dan secara tegas menyatakan bahwa diri-Nya maha dekat dengan kita, lantas
mengapa kita tidak mau langsung meminta kepada-Nya?
Abu Sa’id Al Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barang siapa keluar dari rumahnya menuju Masjid untuk menunaikan shalat, kemudian membaca doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ،
وَبِحَقِّ مَمْشَايَ فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ
رِيَاءً وَلاَ سُمْعَةً ، خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ
، أَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِي مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي ،
إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
Berikut ini adalah terjemahan versi Novel (hal
118-119):
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu
dengan kemuliaan semua orang yang memohon kepada-Mu [3]. Dan aku memohon
kepada-Mu dengan berkat perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar (menuju
Masjid) dengan sikap angkuh, sombong, riya’ ataupun sum’ah. Aku keluar (menuju
Masjid) demi menghindari murka-Mu dan mengharapkan ridha-Mu. Oleh karena itu,
kumohon Engkau berkenan melindungiku dari siksa Neraka, dan mengampuni semua
dosaku. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” (HR
Ibnu Majah dan Ahmad).
Sebagaimana yang telah disinggung dalam
mukaddimah, orang-orang model Novel Alaydrus memang hobi berdalil dengan dua
tipe hadits. Pertama: hadits shahih namun tidak ada kaitannya
dengan masalah yang dibahas, dan kedua: hadits dha’if atau bahkan
palsu (maudhu’) namun mendukung pendapatnya. Nah, hadits ini adalah tipe kedua.
Bila kita dudukkan hadits di atas menurut ilmu
musthalah hadits, ternyata hadits di atas memiliki tiga cacat;
1.
salah satu perawinya adalah
‘Athiyyah Al ‘Aufy yang dinyatakan dha’if oleh para ulama [4].
2.
‘Athiyyah ini selain dha’if
juga seorang mudallis, alias suka menyamarkan hadits. Dalam biografinya
disebutkan bahwa mulanya ia meriwayatkan hadits dari sahabat Nabi yang bernama
Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu
‘anhu. Setelah Abu Sa’id wafat, ia bermajelis dengan salah seorang yang
terkenal sebagai pendusta, namanya Al Kalby. Tiap kali ‘Athiyyah meriwayatkan
hadits dari gurunya yang kedua ini, dia menjulukinya dengan Abu Sa’id, hingga
orang-orang terkecoh dan mengiranya Abu Sa’id Al Khudry, padahal sesungguhnya
ia adalah Al Kalby si pendusta!![5]
Berangkat dari sini, kita patut mencurigai hadits di atas. Jangan-jangan Abu
Sa’id yang dimaksud ialah Al Kalby, bukan Al Khudry. Karena boleh jadi perawi
yang meriwayatkan hadits ini terkecoh ketika mendengar ‘Athiyyah
meriwayatkannya dari Abu Sa’id, lantas menganggapnya Abu Sa’id Al Khudry.
3.
Lafadz hadits ini
mudhthorib (labil), kadang ia dinisbatkan kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam, namun
kadang hanya dinisbatkan kepada Abu Sa’id Al Khudry (mauquf).[6]
Kesimpulannya, meski hadits di atas ada yang menganggapnya shahih, akan tetapi
menurut kaidah ilmu musthalah hadits, hadits di atas memiliki cacat dalam
sanadnya yang menyebabkannya dho’if. Oleh karena itu, pendapat sebagian ulama
yang menshahihkannya atau menghasankannya dinilai tasahul alias agak
menggampangkan dan kurang jeli dalam masalah ini.
Kalaupun hadits di atas kita terima sebagai
hadits shahih/hasan, toh ia tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan
kemuliaan orang lain. Akan tetapi ia sekedar menunjukkan bolehnya seseorang
bertawassul dengan salah satu sifat Allah yang tersirat dari ungkapan: “dengan hak
setiap orang yang berdoa kepada-Mu”, dan hak mereka ialah dikabulkan doanya (al
ijabah) sebagaimana yang Allah sebutkan dalam hadits:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى
السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ فَيَقُولُ: مَنْ
يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ؟ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ؟ وَمَنْ
يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ؟
“Allah
tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam, yaitu ketika
tersisa sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman: “Siapa yang berdoa
kepada-Ku, supaya Kukabulkan doanya? siapa yang meminta kepada-Ku, supaya
Kupenuhi permintaannya? dan siapa yang mohon ampun kepada-Ku, agar Kuampuni dia”
(Muttafaq alaih)[7]
Jadi, mereka sesungguhnya bertawassul dengan
sifat al ijabah (mengabulkan doa) yang merupakan salah satu sifat Allah ‘azza
wa jalla. Dan tawassul semacam ini adalah tawassul yang dianjurkan.
Dalam pembahasan berikutnya, Novel menyebutkan
hadits lain yang menurutnya merupakan dalil bolehnya bertawassul dengan orang
lain yang tidak hadir di tempat, pembahasan tersebut ia namakan: Tawassul Nabi
Adam dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal
119).[8]
Haditsnya cukup panjang, karenanya kami cukupkan
dengan menyebutkan terjemahannya menurut Novel;
“Ketika Adam berbuat kesalahan, beliau berkata,
‘Duhai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Muhammad[9] agar Engkau
mengampuniku’. Allah pun berkata, ‘Hai Adam, bagaimana kau dapat mengenal
Muhammad sedangkan ia belum Kuciptakan?’ Adam menjawab, ‘Duhai Tuhanku, ketika
Engkau menciptakanku dengan Tangan-Mu dan Engkau tiupkan kepadaku dari Ruh-Mu,
kutengadahkan kepalaku dan kulihat pada tiang-tiang Arsy tercantum tulisan yang
berbunyi La Ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah. Aku pun tahu bahwa tidak
mungkin Engkau sandarkan sebuah nama dengan nama-Mu, kecuali ia adalah makhluk
yang paling Engkau cintai.’ Allah berkata, ‘Kau benar hai Adam, sesungguhnya
dia (Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) adalah makhluk yang paling
Kucintai. Berdoalah kepadaku dengan (bertawassul dengan) kemuliaannya,
sesungguhnya aku telah mengampunimu. Dan andaikata bukan karena Muhammad, aku
tidak akan menciptakanmu” (HR. Hakim).[10]
Sekarang, mari kita cek validitas hadits ini.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak ‘ala Ash
Shahihain, setelah meriwayatkannya, beliau mengatakan sebagai berikut:
صَحِيْحُ الإِسْنَادِ وَهُوَ أَوَّلُ
حَدِيْثٍ ذَكَرْتُهُ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ فِي هَذَا
الْكِتَابِ
“Sanadnya
shahih, dan ini adalah hadits Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang pertama kali
kusebutkan dalam kitab ini” (Al Mustadrak 2/672, hadits no 4228).
Imam Adz Dzahabi yang meringkas kitab Al
Mustadrak ini mengomentari ucapan Imam Al Hakim tadi dengan mengatakan (بَلْ مَوْضُوعٌ!): “Bukan, justru ini hadits palsu!”. Hadits ini diriwayatkan dari
jalur: Abdullah bin Muslim Al Fihry, dari Isma’il bin Maslamah, dari
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin
Khattab radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Abdullah bin Muslim ini disebutkan oleh Adz
Dzahabi dalam Mizanul I’tidal [11] berkenaan dengan hadits diatas, kemudian beliau menyifatinya
dengan kata-kata (خَبَرٌ بَاطِلٌ): “Khabar (hadits) batil (palsu)”. Ungkapan beliau tadi disetujui
oleh Ibnu Hajar, bahkan beliau menambahkan dalam kitabnya ‘Lisanul Mizan’
sebagai berikut:
لاَ أَسْتَبْعِدُ أَنْ يَكُونَ هُوَ
الَّذِي قَبْلَهُ، فَإِنَّهُ مِنْ طَبَقَتِهِ
“Tidak
menutup kemungkinan bahwa orang ini (Abdullah bin Muslim Al Fihry), adalah
orang sebelumnya, karena dia berada satu level dengannya” (Lisanul Mizan,
3/359 Biografi no 1451). Orang yang sebelumnya ialah Abdullah bin Muslim bin
Rusyaid (biografi no 1450), perawi ini oleh Ibnu Hibban dinyatakan sebagai
tersangka pemalsu hadits (muttaham biwadh’il hadits).
Sedangkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam telah
disepakati sebagai perawi yang dha’if, bahkan Al Hakim sendiri menyifatinya
dalam kitab Al Madkhal ila Ma’rifatis Shahihi minas Saqiem (1/154 no 97):
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ: رَوَى عَنْ أَبِيْهِ أَحَادِيْثَ مَوْضُوعَةً لاَ تَخْفَى عَلَى مَنْ
تَأَمَّلَهَا مِنْ أَهْلِ الصَّنْعَةِ أَنَّ الحَمْلَ فِيْهَا عَلَيْهِ
“Abdurrahman
bin Zaid bin Aslam: dia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu yang bila
diperhatikan oleh ahli hadits, maka jelaslah bahwa pemalsuan tadi adalah
perbuatannya”.
Jadi, jika kemudian Imam Al Hakim menshahihkan hadits Abdurrahman
bin Zaid bin Aslam ini, berarti ucapannya telah kontradiksi satu sama lain.
Apalagi Al Hakim terkenal sebagai ulama yang paling gampang menshahihkan
hadits, hingga banyak dari hadits-hadits lemah bahkan palsu yang beliau anggap
shahih. Bahkan tidak ada ulama lain yang lebih gampangan dalam menshahihkan
hadits daripada beliau. Karenanya, penshahihan beliau terhadap hadits di atas
mendapat kritikan oleh para ulama. Demikian pula ulama-ulama lain yang
mengikutinya dalam hal ini.[12]
Karenanya, sekumpulan ulama sepakat
menganggapnya sebagai hadits dha’if bahkan maudhu’ (palsu), seperti Imam Al
Baihaqy, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al Hafizh Adz Dzahabi, Al Hafizh Ibnu
Hajar, dan Syaikh Al Albani.[13]
Lebih dari itu, bunyi hadits di atas juga aneh
dan bertentangan dengan ayat Al Qur’an yang jelas-jelas mengatakan bahwa sebab
diciptakannya jin dan manusia tidak lain ialah untuk beribadah kepada Allah,
lantas bagaimana mungkin Allah mengatakan bahwa Adam –yang merupakan manusia
pertama– diciptakan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Padahal Rasulullah adalah anak cucunya yang belum lagi terwujud?
Orang yang mempercayai hadits palsu dan dusta di
atas, kemudian meriwayatkannya dalam bukunya dan berdalil dengannya, berarti
secara tidak langsung dia mendustakan firman Allah dalam QS Adz Dzariyat: 56
yang artinya: “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku”. Orang ini secara tidak langsung juga ikut berdusta
atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau
bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ
الْكَاذِبِينَ (رواه مسلم في المقدمة)
“Barangsiapa
menyampaikan hadits dariku, padahal menurutnya hadits tersebut dusta, maka ia
termasuk salah seorang pendusta” (HR Muslim dalam muqaddimah Shahihnya).
Kesimpulannya, hadits di atas adalah hadits palsu tanpa diragukan lagi.
Seandainya ada sementara kalangan yang ngotot menshahihkan sanadnya, maka
sebagaimana pembaca lihat, bunyi hadits tersebut tidak mungkin bisa diterima,
karena konsekuensinya kita harus menganggap bahwa Allah tidak menciptakan Adam
supaya beribadah kepada-Nya, akan tetapi Dia menciptakannya karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian penulis menyebutkan hadits lain -yang
juga dha’if- dalam pembahasan berjudul: Tawassul Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan seluruh Nabi [14]. Hadits tersebut bunyinya
sebagai berikut:
اللهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ
اِغْفِرْ لأُِمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ
عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي
فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
Terjemahannya (versi Novel): “Allah adalah yang
Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah
Mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk mengucapkan
hujjahnya serta luaskanlah kuburnya, dengan hak (kemuliaan) Nabi-Mu dan para
Nabi sebelumku. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang
berjiwa kasih.”
Setelah itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya
dibantu oleh ‘Abbas dan Abu Bakar Ash Shiddiq (HR. Thabrani).
Kemudian Novel menukil bahwa Al Ghumari
meng-hasankan hadits ini, sedangkan Ibnu Hibban men-shahihkannya. Lalu katanya:
“Dalam hadis di atas disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi
sebelum beliau, yang semuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa”.
Sebetulnya ada beberapa kesalahan di sini, pertama: hukum
hadits di atas tidak shahih dan disebutkan di situ bahwa dalam hadits ini ada perawi yang namanya Rauh bin
Shalah. Dia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, dan ia memiliki
kelemahan[15], demikian menurut Al Haitsami[16].
Kedua, kalau
pun hadits di atas kita anggap hasan atau shahih, toh ia sama sekali tidak
menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para Nabi. Sebab dalam hadits tersebut
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “dengan
hak Nabi-Mu… dst”, namun DI disisipi kata (kemuliaan)[17]; padahal kata-kata ini
sama sekali tidak ada dalam hadits dan tidak disinggung sedikitpun. Intinya, ini
adalah penyelewengan makna hadits yang disengaja. Sebenarnya tidak ada
masalah kalau kita memahaminya dengan benar. Sebab yang dimaksud hak Nabi
Muhammad dan Nabi-Nabi sebelum beliau adalah untuk ditaati atas seizin Allah.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
[النساء/64]
“Dan Kami tidaklah mengutus seorang Rasul pun melainkan agar ia ditaati dengan seizin Allah…(alias ittiba’) “ (An Nisa’: 64).
Jadi, ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertawassul dengan hak beliau dan hak para Nabi
sebelumnya, sebenarnya beliau tidak bertawassul dengan dzat mereka yang sudah
mati; akan tetapi bertawassul dengan salah satu amal shaleh, yaitu menaati para
Nabi dengan seizin Allah. Dengan demikian, hadits di atas tidak bisa dijadikan
dalil yang membolehkan orang hidup untuk tawassul dengan yang sudah mati.
Antara Tawassul yang Dibolehkan dan yang
TerlarangTawassul Para Sahabat Dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dalam pembahasan ini kembali memakai cara lamanya dalam berdalil… lagi-lagi ia berdalil dengan hadits yang tidak mengarah ke permasalahan. Hadits tersebut terkenal dengan istilah “hadietsul a’ma” (haditsnya Si orang buta).Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif berkata, “Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi, lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik kemudian membaca doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ
مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي
حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِي، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.
“Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan)
Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku
telah ber-tawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku
ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku“. (HR. Tirmidzi dan
Abu Dawud).
Novel mengatakan (hal 123): “Saudaraku, dalam
hadis di atas, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
cara kita bertawassul dengan beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya berlaku
ketika beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan setelah wafat
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Buktinya sejumlah sahabat menggunakan
tawassul ini sepeninggal Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain. Ketika menyebutkan hadits di
atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang sering kali
mengunjungi Khalifah ‘Utsman bin ‘Affanradhiyallahu ‘anhu untuk
menyampaikan kepentingannya. Tetapi, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu tidak sempat memperhatikannya. Ketika bertemu dengan ‘Utsman bin Hunaif,
lelaki itu menceritakan permasalahan yang ia hadapi. ‘Utsman bin Hunaif
kemudian memerintahkan lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat dua rakaat
di Masjid, membaca doa di bawah ini dan kemudian mendatanginya untuk diajak
pergi menemui Sayyidina ‘Utsman”. Kemudian Novel menukil doa yang dimaksud.[18]
Jawabnya, cerita
yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani di atas adalah dha’if[19], berikut ini penjelasan
Syaikh Al Albani setelah mentahkhrij hadits tersebut, beliau mengatakan:
“Kesimpulannya, kisah ini dhaif dan munkar karena tiga hal: pertama, lemahnya
hafalan perawi yang sendirian meriwayatkan cerita ini[20]; Kedua, adanya
kontroversi matan hadits dari jalur perawi tersebut[21] dan ketiga, perawi
tersebut menyelisihi perawi lainnya yang lebih tsiqah, yang tidak meriwayatkan
cerita tersebut. Satu saja dari tiga hal di atas sudah cukup menjadikan hadits
ini dha’if, lantas bagaimana jika ketiga-tiganya ada semua??[22]
Sedangkan dalil lain yang disebutkan Novel
adalah kisah orang Badui yang datang ke makam Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam … dst[23]. Menggelikan memang cara Novel berdalil, dan sekaligus
memprihatinkan, sejak kapan mimpi jadi dalil dalam agama? Ini hanya ada dalam
kamus orang-orang Sufi, tak ada dalil, mimpi pun jadi!
Dengan demikian, kedua hadits yang disebutkan
oleh Novel tidak ada yang sah dijadikan dalil.
Kali ini dalil tipe kedua Yaitu hadits shahih yang tidak shahih, alias tidak berkaitan dengan topik yang dibahas.
“Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik
menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu meminta hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan ‘Abbas bin
Abdul Muththalib. Sayidina ‘Umar berkata dalam doanya:
اَللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا
فَتَسْقِيَنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya
Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami bertawassul dengan
Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bedoa
kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.”
(HR. Bukhari). Tidak lama setelah itu, Allah menurunkan hujan kepada mereka
semua.
Di atas disebutkan dengan jelas bahwa Sayidina
‘Umar radhiyallahu ‘anhubertawassul dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu, paman Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada
sebagian orang yang menggunakan atsar ini sebagai dalil bahwa tawassul dengan
yang telah meninggal dunia tidak boleh, sebab Sayidina ‘Umar bertawassul dengan
Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuyang masih hidup. Pendapat
seperti ini tidak tepat, sebab dalam kenyataannya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mencontohkan kita untuk bertawassul dengan yang
masih hidup maupun dengan mereka yang telah meninggal dunia. Begitu pula para
sahabat lainnya sebagaimana diceritakan tentang seorang tunanetra di masa
pemerintahan Sayidina ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu”.
Saya katakan, justru
pendapatmu lah yang tidak benar hai Novel. Karena dalil-dalil yang kau gunakan
dha’if semua, bahkan sangat dha’if dan palsu.
Kemudian Novel mengatakan (hal 126): “Lalu apa
maksud tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang
masih hidup? Tujuan beliau adalah untuk mengajarkan dan mencontohkan kepada
semua sahabat, bahwa tawassul dengan selain Nabi adalah boleh dan dapat
dilakukan. Beliau menunjuk Sayidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah
karena kedekatan beliauradhiyallahu ‘anhu dengan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sayidina ‘Abbas merupakan paman Rasulullah, ahli bait
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “.
Ini
bukti kacaunya pemahaman tentang tawassul. Yang tidak bisa membedakan
antara tawassul yang dibolehkan dengan tawassul yang dilarang. Sebelum menjawab
syubhat ini, saya harus menjelaskan kriteria tawassul yang dibolehkan dengan
yang dilarang secara ringkas sebagai berikut;
Pertama: tawasssul yang dibolehkan
Tawassul ini berupa satu dari tiga hal:
Pertama: Tawassul
dengan Asma’ul Husna, yakni kita berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama
dan sifat-sifat Allah yang indah sesuai dengan karakter doa kita. Misalnya: “Yaa
Ghafuur Ya Rahiim”, saat kita memohon ampunan dan rahmat-Nya. Atau “Ya
‘Aziizu Ya Qawiyyu”, saat mendoakan kekalahan bagi musuh-musuh Islam, atau
nama-nama lainnya yang tidak bertentangan dengan makna doa kita. Tawassul
seperti ini sangat dianjurkan, sebagaimana firman Allah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا… [الأعراف/180]
“Hanya
milik Allah lah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu…” (Al A’raaf: 180).
Kedua: Tawassul yang dilarang
----------------------
[1] Mana Dalilnya 1, hal 116-117.
[2] Lihat QS Al Baqarah: 220, 222; Al Maidah: 4; Al A’raf: 187; Al Anfal: 1; Al Isra’: 85; Al Kahfi: 83; dan Thaha: 105.
[3] Kalimat ini sengaja kami cetak tebal karena tidak sesuai sama sekali dengan teks aslinya, bahkan merupakan bentuk penyimpangan makna hadits. Terjemahan yang benar ialah: “dengan hak orang-orang yang berdoa atas-Mu”.. artinya mereka yang berdoa punya hak atas Allah, yaitu agar doa mereka dikabulkan. Dari sini jelaslah bahwa ini merupakan salah satu tawassul yang dibolehkan, yakni tawassul dengan salah satu sifat Allah yaitu: mengabulkan doa, inipun kalau hadits diatas kita anggap shahih.
[4] Diantara ulama yang mendha’ifkan haditsnya ialah Imam An Nawawy dalam kitab Al Adzkar, Ibnu Taimiyyah dalam kitab Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, Adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal, bahkan beliau mengatakan dalam kitab Adh Dhua’afa bahwa ‘Athiyyah ini: disepakati atas kedhaifannya. Demikian pula dengan Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid sering kali mendha’ifkan hadits karena pada sanadnya terdapat ‘Athiyyah Al ‘Aufy (lihat At Tawassul, tulisan Syaikh Al Albani hal 93).
[5] Lihat biografinya dalam Tahdzibut Tahdzib oleh Ibnu Hajar 7/201, cet. Darul Fikr.
[6] Pembahasan selengkapnya mengenai hadits ini dapat anda lihat dalam Silsilah Adh Dha’ifah 1/82 oleh Syaikh Al Albani.
[7] HR. Bukhari no 1145, 7494 & Muslim no 758, dari Abu HurairahRadhiallahu’anhu.
[8] Seperti pendahulunya, semua hadits yang dia sebutkan dalam masalah ini berkaitan dengan salah satu bentuk tawassul bid’i yang menjadi ciri khas orang-orang sufi. Tawassul semacam ini hukumnya menurut sementara ulama adalah bid’ah & wasilah kepada syirik, karena hal ini tidak pernah dipraktekkan oleh para salaf. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai syirik, sebab orang yang bertawassul kepada orang yang tidak hadir bersamanya, atau yang telah wafat, berarti ia meyakini bahwa orang tersebut pendengarannya mencakup segala sesuatu hingga bisa mendengar doanya dari kejauhan, seakan-akan ia menyamakannya dengan Allah yang Maha Mendengar.
[9] Ungkapan ini juga tidak sesuai dengan teks aslinya, persis seperti penyimpangan makna yang dilakukan penulis pada hadits sebelumnya.
[10] Mana Dalilnya 1, hal 120.
[11] Yaitu kitab yang memuat keterangan mengenai perawi-perawi yang dikategorikan dha’if (lemah), dan semisalnya. Kitab ini kemudian dikoreksi oleh Ibnu Hajar dengan sedikit penambahan, komentar dan sebagainya dalam kitab beliau: Lisanul Mizan.
[12] Lihat: Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal 127. Dalam bukunya (hal 121), Novel mengatakan bahwa hadits ini di antaranya dishahihkan oleh Al Haitsami. Ini adalah kekeliruan, sebab Al Haitsami justru mengatakan bahwa pada sanad haditsnya terdapat perawi-perawi yang tidak beliau ketahui keadaannya.
[13] Lihat: At Tawassul oleh Syaikh Al Albani, hal 105-109.
[14] Mana Dalilnya 1, hal 121-122.
[15] Dengan mengingat bahwa Ibnu Hibban dan Al Hakim termasuk ulama yang gampang menshahihkan hadits. Hal ini sangat masyhur di kalangan orang yang berkecimpung di dunia musthalah hadits –yang merupakan fakultas kami di Univ. Islam Madinah–, namun agaknya Saudara Novel tidak jujur dalam hal ini Dia sengaja mengabaikan perkataan Al Haitsami yang mendha’ifkan rawi tersebut, namun ketika yang dikatakan Al Haitsami sesuai dengan keinginannya, maka Novel menukilnya!!
[16] Lihat: catatan kaki Al Mu’jamul Kabir, Sulaiman bin Ayyub Ath-Thabrani, Juz 24 hal 351.
[17] Lihat dalam lampiran.
[18] Berhubung pembahasannya cukup panjang, kami tidak menukilkannya di sini tapi kami scan halaman yang dimaksud dalam lampiran, yaitu hal 123-125 pada buku.
[19] Yaitu cerita laki-laki yang mengunjungi Utsman bin Affan, dst. Sedangkan cerita orang buta yang minta didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah hadits shahih.
[20] Yaitu Syabib bin Sa’id Al Makky.
[21] Artinya, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits si orang buta tersebut dari jalur perawi ini, akan tetapi sebagiannya tidak menyebutkan kisah yang disebutkan oleh Ath Thabrani di atas.
[22] Lihat: At Tawassul hal 88, tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
[23] Silakan saudara baca sendiri dalil yang menggelikan ini dalam Mana Dalilnya 1, hal 88-89.
[24] Lihat redaksi hadits selengkapnya dalam Shahih Bukhari no 2152.
[25] HR. Tirmidzi no 3578 dan Ibnu Majah no 1385 dengan sanad yang shahih.
[26] HR. Bukhari no 967 & 968 dan Muslim no 897, dari Anas bin MalikRadhiallahu’anhu.
[27] Sekali lagi, yang dimaksud dalil di sini adalah dalil yang shahih dan sharih, alias sah dan jelas. Bukan hadits palsu, kisah-kisah, mimpi, dan qiyas yang kacau. Bukan pula hadits shahih yang dipelintar pelintir maknanya kesana kemari, atau diambil sepotong-sepotong.
[28] Lihat: lisaanul ‘Arab, pada kata: wa-sa-la (وسل).
Kedua:
Tawassul dengan amal shaleh kita, bukan dengan amalan orang lain. Dalilnya
ialah kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu masing-masing berdoa
kepada Allah dengan menyebut amal shaleh yang pernah dilakukannya hingga batu
yang menutup mulut gua tersebut terbuka atas izin Allah.[24]
Ketiga:
Tawassul dengan minta doa dari orang yang masih hidup dan hadir di dekat kita.
Dalilnya adalah kisah Si tunanetra yang terkenal dengan istilah hadietsul a’ma[25], demikian pula kisah
orang Arab badui yang masuk mesjid ketika Nabi sedang khutbah Jum’at, lalu
mengeluhkan jalan yang pecah-pecah, keluarga yang kelaparan dan harta benda
yang binasa akibat paceklik yang berkepanjangan, kemudian meminta agar
Rasulullah berdoa kepada Allah supaya turun hujan, dst[26]. Demikian pula tawassul
Umar dengan ‘Abbas di atas.
Anda mungkin bertanya: ‘mengapa disyaratkan
bahwa orang tersebut harus hidup dan hadir?‘ Jawabnya karena itulah yang
disebutkan oleh hadits-hadits yang ada (dan shahih tentunya). Seperti tawassul
Umar dengan Abbas, haditsul a’ma dan kisah si Badui di atas. Jelas bahwa yang
dimintai doa adalah orang yang masih hidup dan hadir. Kalaulah kehadiran orang
tersebut bukanlah syarat, pastilah si tunanetra tidak perlu capai-capai
menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Demikian
pula dengan Si Arab badui.
Kedua: Tawassul yang dilarang
Tawassul ini adalah semua bentuk tawassul yang
tidak ada dalilnya[27]. Ingat, tawassul merupakan ibadah yang hukum asalnya adalah
haram kecuali jika ada perintah. Karena itu, semua bentuk tawassul yang tidak
ada perintahnya adalah terlarang, meski tidak ada dalil yang melarangnya.
Inilah aturan baku yang hendak dibalik oleh Novel dalam bukunya.
Contohnya: tawassul dengan jaah (kehormatan)
Nabi, dengan berkat Imam Syafi’i, dan sejenisnya. Demikian pula tawassul dengan
orang yang sudah mati, atau yang tidak hadir.
Bila masalah ini telah kita fahami, maka
ketahuilah bahwa tawassul-nya Sayidina ‘Umar dengan Sayidina ‘Abbas, sama
sekali berbeda dengan apa yang difahami oleh Novel. Makna hadits di atas ialah
bahwa Umar dan para sahabat ketika mengalami paceklik di zaman Nabi, mereka
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta
agar beliau mendoakan supaya turun hujan. Lalu sepeninggal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Umar dan para sahabat beralih mendatangi ‘Abbas dan minta
doa darinya.
Cobalah Saudara renungkan, ketika paceklik
melanda, kiranya apakah para sahabat duduk di rumah mereka masing-masing
kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan Nabi-Mu Muhammad dan segala kehormatannya di
sisi-Mu, berilah kami hujan…”, atau mereka mendatangi diri Rasulullah, lalu
minta doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan? Kemudian setelah beliau
wafat, Umar dan para sahabat tidak lagi minta atau mendatangi kuburan
Rasulullah untuk minta doa. Mengapa? Karena mereka semua orang berakal yang paham
terhadap makna tawassul. Mereka tahu bahwa Rasulullah yang dahulu merupakan
manusia paling manjur doanya saat beliau hidup, kini sudah wafat dan tidak bisa
lagi memberi manfaat apa pun kepada mereka. Kalaulah para sahabat memahami
makna tawassul seperti yang dipahami oleh Novel, lantas mengapa mereka tidak
mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta doa dari
beliau? Bukankah beliau jauh lebih afdhal dari pada ‘Abbas?
Novel dan siapa pun yang mengikutinya tidak akan
bisa mendatangkan satu dalil pun yang shahih dan sharih (gamblang), yang
menjelaskan bahwa cara tawassul yang dipraktikkan Umar dan para sahabatnya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada
Abbas ialah dengan sekedar menyebut nama mereka dalam berdoa. Sebaliknya,
demikian banyak dalil-dalil yang menjelaskan bahwa tawassul yang mereka lakukan
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun Abbas
ialah dengan mendatangi keduanya, lalu meminta keduanya untuk berdoa kepada
Allah. Di antara dalilnya ialah kisah Arab badui yang telah disinggung di atas.
Apa yang kami jelaskan ini adalah makna tawassul
yang terjadi dalam kehidupan orang sehari-hari. Sebab makna tawassul secara bahasa
ialah menggunakan wasilah atau perantara untuk mencapai sesuatu[28]. Misalnya ketika seorang
pegawai memiliki hajat tertentu dari bosnya, dia akan mencari orang yang
dikenal baik oleh bosnya untuk menghadap bos tersebut dan menyampaikan
keinginannya. Kemudian perantara ini menyampaikan keinginan si pegawai kepada
bosnya, baru setelah itu si Bos mengabulkan hajat si pegawai. Bukan berarti si
pegawai menyebut-nyebut nama kenalan baik si bos tadi di hadapan bosnya.
Demikian pula yang terjadi ketika Sayidina Umar dan para sahabat ber-tawassul
dengan Abbas, maknanya ialah mendatangi ‘Abbas lalu minta doa darinya.
----------------------
[1] Mana Dalilnya 1, hal 116-117.
[2] Lihat QS Al Baqarah: 220, 222; Al Maidah: 4; Al A’raf: 187; Al Anfal: 1; Al Isra’: 85; Al Kahfi: 83; dan Thaha: 105.
[3] Kalimat ini sengaja kami cetak tebal karena tidak sesuai sama sekali dengan teks aslinya, bahkan merupakan bentuk penyimpangan makna hadits. Terjemahan yang benar ialah: “dengan hak orang-orang yang berdoa atas-Mu”.. artinya mereka yang berdoa punya hak atas Allah, yaitu agar doa mereka dikabulkan. Dari sini jelaslah bahwa ini merupakan salah satu tawassul yang dibolehkan, yakni tawassul dengan salah satu sifat Allah yaitu: mengabulkan doa, inipun kalau hadits diatas kita anggap shahih.
[4] Diantara ulama yang mendha’ifkan haditsnya ialah Imam An Nawawy dalam kitab Al Adzkar, Ibnu Taimiyyah dalam kitab Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, Adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal, bahkan beliau mengatakan dalam kitab Adh Dhua’afa bahwa ‘Athiyyah ini: disepakati atas kedhaifannya. Demikian pula dengan Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid sering kali mendha’ifkan hadits karena pada sanadnya terdapat ‘Athiyyah Al ‘Aufy (lihat At Tawassul, tulisan Syaikh Al Albani hal 93).
[5] Lihat biografinya dalam Tahdzibut Tahdzib oleh Ibnu Hajar 7/201, cet. Darul Fikr.
[6] Pembahasan selengkapnya mengenai hadits ini dapat anda lihat dalam Silsilah Adh Dha’ifah 1/82 oleh Syaikh Al Albani.
[7] HR. Bukhari no 1145, 7494 & Muslim no 758, dari Abu HurairahRadhiallahu’anhu.
[8] Seperti pendahulunya, semua hadits yang dia sebutkan dalam masalah ini berkaitan dengan salah satu bentuk tawassul bid’i yang menjadi ciri khas orang-orang sufi. Tawassul semacam ini hukumnya menurut sementara ulama adalah bid’ah & wasilah kepada syirik, karena hal ini tidak pernah dipraktekkan oleh para salaf. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai syirik, sebab orang yang bertawassul kepada orang yang tidak hadir bersamanya, atau yang telah wafat, berarti ia meyakini bahwa orang tersebut pendengarannya mencakup segala sesuatu hingga bisa mendengar doanya dari kejauhan, seakan-akan ia menyamakannya dengan Allah yang Maha Mendengar.
[9] Ungkapan ini juga tidak sesuai dengan teks aslinya, persis seperti penyimpangan makna yang dilakukan penulis pada hadits sebelumnya.
[10] Mana Dalilnya 1, hal 120.
[11] Yaitu kitab yang memuat keterangan mengenai perawi-perawi yang dikategorikan dha’if (lemah), dan semisalnya. Kitab ini kemudian dikoreksi oleh Ibnu Hajar dengan sedikit penambahan, komentar dan sebagainya dalam kitab beliau: Lisanul Mizan.
[12] Lihat: Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal 127. Dalam bukunya (hal 121), Novel mengatakan bahwa hadits ini di antaranya dishahihkan oleh Al Haitsami. Ini adalah kekeliruan, sebab Al Haitsami justru mengatakan bahwa pada sanad haditsnya terdapat perawi-perawi yang tidak beliau ketahui keadaannya.
[13] Lihat: At Tawassul oleh Syaikh Al Albani, hal 105-109.
[14] Mana Dalilnya 1, hal 121-122.
[15] Dengan mengingat bahwa Ibnu Hibban dan Al Hakim termasuk ulama yang gampang menshahihkan hadits. Hal ini sangat masyhur di kalangan orang yang berkecimpung di dunia musthalah hadits –yang merupakan fakultas kami di Univ. Islam Madinah–, namun agaknya Saudara Novel tidak jujur dalam hal ini Dia sengaja mengabaikan perkataan Al Haitsami yang mendha’ifkan rawi tersebut, namun ketika yang dikatakan Al Haitsami sesuai dengan keinginannya, maka Novel menukilnya!!
[16] Lihat: catatan kaki Al Mu’jamul Kabir, Sulaiman bin Ayyub Ath-Thabrani, Juz 24 hal 351.
[17] Lihat dalam lampiran.
[18] Berhubung pembahasannya cukup panjang, kami tidak menukilkannya di sini tapi kami scan halaman yang dimaksud dalam lampiran, yaitu hal 123-125 pada buku.
[19] Yaitu cerita laki-laki yang mengunjungi Utsman bin Affan, dst. Sedangkan cerita orang buta yang minta didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah hadits shahih.
[20] Yaitu Syabib bin Sa’id Al Makky.
[21] Artinya, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits si orang buta tersebut dari jalur perawi ini, akan tetapi sebagiannya tidak menyebutkan kisah yang disebutkan oleh Ath Thabrani di atas.
[22] Lihat: At Tawassul hal 88, tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
[23] Silakan saudara baca sendiri dalil yang menggelikan ini dalam Mana Dalilnya 1, hal 88-89.
[24] Lihat redaksi hadits selengkapnya dalam Shahih Bukhari no 2152.
[25] HR. Tirmidzi no 3578 dan Ibnu Majah no 1385 dengan sanad yang shahih.
[26] HR. Bukhari no 967 & 968 dan Muslim no 897, dari Anas bin MalikRadhiallahu’anhu.
[27] Sekali lagi, yang dimaksud dalil di sini adalah dalil yang shahih dan sharih, alias sah dan jelas. Bukan hadits palsu, kisah-kisah, mimpi, dan qiyas yang kacau. Bukan pula hadits shahih yang dipelintar pelintir maknanya kesana kemari, atau diambil sepotong-sepotong.
[28] Lihat: lisaanul ‘Arab, pada kata: wa-sa-la (وسل).
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar