AIR DAN MACAM-MACAMNYA
1. Air Muthlaq
Firman Allah SWT :
اِذْ يُغَشّيْكُمُ النُّعَاسَ اَمَنَةً مّنْهُ وَ يُنَزّلُ عَلَيْكُمْ مّنَ السَّمَآءِ مَآءً لّيُطَهّرَكُمْ بِه…. الانفال:11
Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu. [QS. Al-Anfaal : 11]
وَ اَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً طَهُوْرًا. الفرقان:48
Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. [QS. Al-Furqaan : 48]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَللّهُمَّ طَهّرْنِى بِالثَّلْجِ وَ اْلبَرَدِ وَ اْلمَاءِ اْلبَارِدِ. مسلم
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ya Allah, sucikanlah aku dengan salju, embun dan air sejuk dingin”. [HR. Muslim]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ ص فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَنَا نَرْكَبُ اْلبَحْرَ وَ نَحْمِلُ مَعَنَا اْلقَلِيْلَ مِنَ اْلمَاءِ فَاِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا. اَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ اْلبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ. الخمسة و قال الترمذى: هذا حديث حسن صحيح
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, orang itu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami biasa berlayar di lautan, dan kami hanya membawa air sedikit. Apabila kami gunakan untuk berwudlu, maka kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut ?”. Rasulullah SAW bersabda, “Dia (laut) itu suci airnya dan halal bangkainya”. [HR. Khamsah, Tirmidzi berkata : Ini adalah hadits hasan shahih]
Keterangan :
Ayat-ayat dan hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa air hujan (termasuk di dalamnya air sungai, air sumur, air dari mata air dan lain-lain), air embun, salju dan air laut adalah suci dan dapat dipergunakan sebagai alat untuk pembersih/ bersuci, seperti misalnya untuk mandi, wudlu, mencuci, membersihkan najis dan lain sebagainya.
2. Air yang terkena najis
عَنْ اَبِى سَعِيْدِ الخُدْرِيّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اْلمَاءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجّسُهُ شَيْءٌ. اخرجه الثلاثة و صححه احمد
1. Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya air itu adalah pembersih yang tidak bisa dinajiskan oleh sesuatupun”. [HR. Tsalatsah dan dishahihkan oleh Ahmad]
عَنْ اَبِى اُمَامَةَ اْلبَاهِلِيّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اْلمَاءَ لاَ يُنَجّسُهُ شَيْءٌ اِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَ طَعْمِهِ وَ لَوْنِهِ. ابن ماجه و ضعفه ابو حاتم
2. Dari Abu Umamah Al-Bahili, ia berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak bisa dinajiskan oleh apapun, kecuali oleh barang yang merubah baunya, rasanya dan warnanya”. [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, dan dilemahkan oleh Abu Hatim]
و للبيهقى: اَلْمَاءُ طَهُوْرٌ اِلاَّ اِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ اَوْ طَعْمُهُ اَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيْهِ.
3. Dan bagi Baihaqi, “Air itu suci, kecuali jika berubah baunya, rasanya atau warnanya dengan sebab kemasukan najis padanya”.
Keterangan :
Hadits no. 1, menjelaskan bahwa air itu tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu. Sedang hadits no. 2 dan no. 3, menjelaskan demikian pula dan ditambah pengecualian (tidak najis kecuali) berubah baunya, rasanya dan warnanya.
Hadis no. 1, shahih, sedang hadits no. 2 dan no. 3, lemah (Dlaif).
Oleh sebab itu ulama-ulama berselisih pendapat.
Pendapat pertama, bahwa bagaimanapun juga air itu tidak dapat dinajiskan (sekalipun berubah bau, rasa dan warnanya). Alasan mereka, karena yang menyatakan “Kecuali berubah bau, rasa dan warnanya”, adalah hadits dlaif.
Pendapat kedua, bagaimanapun juga air itu tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu. Tetapi karena ada hadits dlaif yang menyatakan “Kecuali berubah bau, rasa dan warnanya”, maka hadits dlaif tersebut dapat dijadikan sebagai pembatas (ihtiyath).
Oleh sebab itu kalau air itu kemasukan najis, sehingga berubah bau atau rasa atau warnanya, maka air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci ataupun untuk diminum dan sebagainya.
3. Air sisa berwudlu (musta’mal)
عَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيّ ص قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ تَغْتَسِلَ اْلمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ اَوِ الرَّجُلُ بِفَضْلِ اْلمَرْأَةِ وَ لْيَغْتَرِفَا جَمِيْعًا. اخرجه ابو داود و النسائى و اسناده صحيح
1. Seorang shahabat Nabi SAW menerangkan, “Bahwasanya Rasulullah SAW mencegah orang perempuan mandi dengan sisa air mandi orang laki-laki, dan orang laki-laki mandi dengan sisa air mandi orang perempuan, dan hendaklah mereka menceduknya”. [HR. Abu Dawud dan Nasai, dan sanadnya shahih]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُوْنَةَ. احمد و مسلم
2. Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah SAW pernah mandi dengan sisa air istrinya, Maimunah”. [HR. Ahmad dan Muslim]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُوْنَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص تَوَضَّأَ بِفَضْلِ غُسْلِهَا مِنَ اْلجَنَابَةِ. احمد و ابن ماجه
3. Dari Ibnu ‘Abbas, dari Maimunah, “Bahwasanya Rasulullah SAW pernah berwudlu memakai air sisa mandi janabatnya Maimunah”. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض قَالَ: اِغْتَسَلَ بَعْضُ اَزْوَاجِ النَّبِيّ ص فِى جَفْنَةٍ. فَجَاءَ النَّبِيُّ ص لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا اَوْ يَغْتَسِلَ. فَقَالَتْ لَهُ. يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنّى كُنْتُ جُنُبًا. فَقَالَ: اِنَّ اْلمَاءَ لاَ يُجْنِبُ. احمد و ابو داود و النسائى و الترمذى و قال: حديث حسن صحيح
4. Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata : Salah seorang istri Rasulullah SAW mandi pada suatu jafnah (guci), kemudian Rasulullah SAW datang untuk berwudlu atau mandi dengan air yang tinggal dalam guci itu. Melihat yang demikian, istri Rasulullah itu berkata, “Ya Rasulullah, saya telah mandi junub dengan air ini”. Perkataan itu dijawab Rasul dengan sabdanya, “Air itu tidak menjunubkan”. [HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan ia berkata : Hadits hasan shahih]
Keterangan :
a. Hadits no. 1 itu, sungguhpun dishahihkan tetapi shahnya ada perselisihan antara ulama hadits.
Maka dari itu tidak boleh dijadikan alasan, terutama karena berlawanan dengan hadits no. 2, 3 dan 4, yang menegaskan bahwa Nabi SAW pernah mandi dan berwudlu dengan sisa air mandi istrinya. Dan bagaimana mungkin Nabi SAW melarang, sedang beliau sendiri melakukannya tanpa disertai penjelasan bahwa kebolehan itu adalah khusus untuk Nabi, bukan untuk ummatnya.
b. Air tidak bisa menjunubkan itu artinya, air bekas orang mandi junub itu tidak bisa menjunubkan orang lain.
c. Andaikata hadits no. 1 diatas shahih, maka larangan itu hanya makruh, bagi laki-laki/perempuan untuk mandi dalam tempat yang bekas dipakai oleh perempuan/laki-laki yang bukan istri/ suaminya.
Karena sebagai pendidikan bagi jiwa mereka untuk menjaga kehormatan masing-masing dan membatasi pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, lebih-lebih yang bukan mahramnya, hingga ke tingkat yang paling halus sekalipun.
Bila terpaksa harus mempergunakan air dari tempat yang sama, maka diberikan jalan untuk tetap menjaga perasaan mereka, dengan cara masing-masing menceduk air itu dalam mempergunakannya, dan tidak dengan menyelam ke dalam air tersebut.
4. Air yang mengandung bakai yang tidak berdarah
عَنْ سَلْمَانَ اْلفَارِسِيّ رض قَالَ: اِنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: يَا سَلْمَانُ اَيُّمَا طَعَامٍ اَوْ شَرَابٌ مَاتَتْ فِيْهِ دَابَّةٌ لَيْسَتْ فِيْهِ نَفْسٌ سَائِلَةٌ فَهُوَ اْلحَلاَلُ اَكْلُهُ وَ شُرْبُهُ وَ وُضُوْءُهُ. الترمذى و الدارقطنى
Dari Salman Al-Farisiy RA, ia berkata : Bahsawanya Nabi SAW bersabda, “Hai Salman, setiap makanan atau minuman yang di dalamnya telah mati binatang yang tidak mempunyai darah yang mengalir, maka halal dimakan dan diminum dan boleh dipakai untuk berwudlu”. [HR. Tirmidzi dan Daruquthni]
Hadits tersebut menyatakan, bahwa makanan dan minuman yang kemasukan bangkai binatang yang tidak berdarah mengalir, seperti lalat dan sebagainya, halal dimakan/diminum dan air itu sah dipakai untuk berwudlu.
5. Air tergengan/tidak mengalir
عَنْ بُكَيْرِ بْنِ اْلاَشَجّ اَنَّ اَبَا السَّائِبِ مَوْلَى هِشَامِ بْنِ زُهْرَةَ حَدَّثَهُ، اَنَّهُ سَمِعَ اَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَغْتَسِلُ اَحَدُكُمْ فِى اْلمَاءِ الدَّائِمِ وَ هُوَ جُنُبٌ. فَقَالَ: كَيْفَ يَفْعَلُ يَا اَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: يَتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلاً. مسلم 1: 236
1. Dari Bukair bin Al-Asyajjiy, ia berkata : Sesungguhnya Abu Saib maula Hisyam bin Zuhrah menceritakan kepadanya, bahwa-sanya ia mendengar Abu Hurairah berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seseorang diantara kamu mandi dalam air yang menggenang, sedang ia berjunub”. Lalu ia (Abu Saib) bertanya, “Bagaimana seharsnya orang itu berbuat, ya Abu Hurairah ?”. Abu Hurairah menjawab, “(Hendaklah) orang itu mandi dengan menceduknya”. [HR. Muslim I : 236]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: لاَ يَبُوْلَنَّ اَحَدُكُمْ فِى اْلمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ. مسلم 1: 235
2. Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Janganlah sekali-kali seseorang diantara kamu kencing pada air yang tergenang (tidak mengalir) kemudian mandi pula di situ”. [HR. Muslim I : 235]
و للبخاري: لاَ يَبُوْلَنَّ اَحَدُكُمْ فِى اْلمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِى لاَ يَجْرِى ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيْهِ. البخارى 1: 54
3. Dan bagi Bukhari (Nabi SAW bersabda), “Janganlah sekali-kali seseorang diantara kamu kencing pada air yang menggenang yang tidak mengalir, kemudian mandi pula di dalamnya”. [HR. Bukhari I : 54]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: لاَ يَبُوْلَنَّ اَحَدُكُمْ فِى اْلمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ. الترمذى 1: 46
4. Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Janganlah sekali-kali seseorang diantara kamu kencing pada air yang menggenang, kemudian berwudlu pula di situ”. [HR. Tirmidzi I : 46, ia berkata : Hadits hasan shahih]
Keterangan :
1. Hadits no. 1, diriwayatkan oleh Muslim. Hadits ini menyatakan bahwa orang yang sedang berjunub tidak boleh mandi dalam air yang menggenang (dengan menyelam ke dalam air yang menggenang yang tidak mengalir).
Jika ia akan mandi, hendaklah menceduk air itu dengan gayung. Hal ini ditegaskan oleh Abu Hurairah sendiri, ketika orang bertanya kepadanya tentang bagaimana caranya orang yang hendak mandi junub di air yang menggenang. Katanya, “Hendaklah orang yang mandi menceduk air itu”.
2. Hadits no. 2 dan 3, diriwayatkan oleh Muslim, dan Bukhari. Hadits ini menyatakan bahwa kita tidak diperbolehkan kencing di air yang menggenang yang tidak mengalir, kemudian mandi pula di dalamnya.
3. Hadits no. 4, diriwayatkan oleh Tirmidzi, dan dikatakan pula hadits tersebut hasan shahih.
Hadits ini menyatakan bahwa kita tidak boleh kencing pada air yang menggenang kemudian berwudlu pula dari air itu.
Kesimpulan :
a. Seseorang tidak boleh mandi junub dalam air yang menggenang yang tidak mengalir dengan cara menyelam ke dalamnya. Tetapi diperbolehkan mandi junub dengan air tersebut dengan cara menceduknya.
b. Seseorang dilarang menggunakan air yang telah dikencingi untuk keperluan thaharah itu adalah sebagai suatu pendidikan orang tersebut.
Adapun orang lain yang tidak mengencingi, tetap dibolehkan bersuci dengan air itu, selama air itu tidak berubah.
PENGERTIAN NAJIS DAN CARA MENSUCIKANNYA
Najis atau Rijs ialah sesuatu yang dipandang kotor oleh syara’/ hukum agama. Dan ini, berdasar keterangan yang diambil dari ayat dan hadits-hadits, terbagi menjadi 3 :
1. Najis ‘Aqidah, artinya kotor dalam kepercayaan/keyaqinan-nya.
2. Najis untuk dimakan/diminum, artinya benda-benda itu haram untuk dimakan/diminum.
3. Najis disentuh, maksudnya kita diwajibkan untuk mencuci/ membersihkannya bila kita menyentuh/tersentuh benda-benda tersebut.
Dalam bab ini kita hanya akan membahas bab yang no. 3 yakni “Najis disentuh”.
Yang termasuk najis disentuh
Menurut qaidah ushul (aturan-aturan untuk menetapkan suatu hukum agama), asal segala sesuatu benda itu adalah halal dan suci serta boleh dipergunakan untuk apasaja, kecuali bila ada keterangan agama yang mencegahnya, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits yang shahih.
Maka untuk menetapkan bahwa sesuatu benda itu najis, wajib ada nash Al-Qur’an atau hadits shahih yang menjelaskannya. Dan sepanjang penelitian kami, yang najis berdasar syara’ sehingga kita diwajibkan mensucikannya adalah :
1. Kotoran manusia
2. Kencing manusia
3. madzi
4. darah haidl
5. darah nifas
1. Kotoran manusia
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اِذَا ذَهَبَ اَحَدُكُمْ اِلَى اْلغَائِطِ فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلاَثَةِ اَحْجَارٍ فَاِنَّهَا تُجْزِى عَنْهُ. احمد و النسائى و ابو داود و الدارقطنى و قال: اسناده صحيح حسن
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah seorang diantara kamu pergi buang air besar, maka hendaklah bersuci dengan tiga batu, karena tiga batu itu sudah mencukupinya”. [HR. Ahmad, Nasai, Abu Dawud dan Daruquthni. Daruquthni berkata : Sanadnya shahih hasan]
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رض قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدْخُلُ اْلخَلاَءَ فَاَحْمِلُ اَنَا وَ غُلاَمٌ نَحْوِى اِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَ عَنَزَةً فَيَسْتَنْجِى بِاْلمَاءِ. متفق عليه
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW masuk ke tempat buang air, lalu saya dan seorang muda sebaya saya membawakan bejana berisi air dan sebuah tongkat, kemudian Rasulullah SAW beristinjak dengan air itu”. [HR. Muttafaq ‘alaih]
2. Kencing manusia
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِسْتَنْزِهُوْا مِنَ اْلبَوْلِ فَاِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اْلقَبْرِ مِنْهُ. الدارقطنى. و للبخارى: اَكْثَرُ عَذَابِ اْلقَبْرِ مِنَ اْلبَوْلِ.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda, “Bersucilah kamu sekalian dari kencing, karena umumnya adzab qubur itu adalah dari sebab kencing”. [HR. Daruquthni] Dan pada riwayat Hakim, “Kebanyakan adzab qubur itu adalah lantaran kencing”.
عَنْ اَنِسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: جَاءَ اَعْرَبِيٌّ فَبَالَ فِى طَائِفَةِ اْلمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ ص. فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ اَمَرَ النَّبِيُّ ص بِذَنُوْبٍ مِنْ مَاءٍ فَاُهْرِيْقَ. البخارى
Dari Anas bin Malik, ia berkata : Ada seorang Arab gunung datang, lalu kencing di bagian masjid. Kemudian orang banyak sama membentaknya, lalu Nabi SAW melarang mereka berbuat yang demikian. Setelah orang itu selesai dari kencingnya, Nabi SAW memerintahkan supaya mengambil seember air, lalu disiramkanlah air itu di atas kencing orang tersebut”. [HR. Bukhari)
Keterangan :
Dari hadits diatas bisa diambil pengertian bahwa kencing manusia itu adalah najis dan harus dibersihkan.
3. Madzi (air sex) manusia
Madzi ialah air yang bening dan lekat (pliket) yang keluar dari kemaluan seseorang bila terangsang nafsu sexnya (nafsu syahwatnya). Dan bisa juga keluar disebabkan badan terlalu lelah.
عَنْ عَلِيّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ رض قَالَ: كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَاسْتَحْيِيْتُ اَنْ اَسْأَلَ رَسُوْلَ اللهِ ص لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَاَمَرْتُ اْلمِقْدَادَ بْنَ اْلاَسْوَدِ فَسَأَلَهُ. فَقَالَ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَ يَتَوَضَّأُ. مسلم
Dari ‘Ali bin Abu Thalib RA, ia berkata : Saya adalah seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan madzi, karena saya malu untuk bertanya kepada Rasulullah SAW mengingat kedudukan putri beliau (Fathimah), maka saya menyuruh Miqdad bin Aswab (untuk bertanya kepada beliau). Lalu dia bertanya kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau bersabda, “Hendaklah ia cuci kemaluannya dan berwudlu”. [HR. Muslim]
Keterangan :
Dari hadits tersebut bisa diambil pengertian bahwa madzi itu adalah najis dan harus dibersihkan dari badan.
4. Darah Haidl.
Sabda Nabi SAW kepada Fathimah binti Abu Hubaisy :
فَاِذَا اَقْبَلَتْ حَيْضَتِكِ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَ اِذَا اَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلّى. البخارى
“.... maka apabila datang haidlmu, tinggalkanlah shalat dan apabila sudah berhenti maka cucilah darah itu dari tubuhmu, kemudian shalatlah”. [HR. Bukhari]
Keterangan :
Dari hadits tersebut bisa diambil pengertian bahwa darah haidl itu najis dan harus dibersihkan dari badan.
5. Darah Nifas
Darah nifas ialah darah yang keluar ketika seorang wanita melahirkan dan sesudahnya. Wanita yang sedang nifas tidak boleh shalat sebagaimana wanita yang sedang haidl, sebagaimana hadits dibawah ini :
عَنْ اُمّ سَلَمَةَ قَالَتْ: كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَقْعُدُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيّ ص بَعْدَ نِفَاسِهَا اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا. الخمسة الا النسائى و اللفظ لابى داود
Dari Ummu Salamah, ia berkata, “Adalah wanita-wanita yang nifas di zaman Nabi SAW duduk (tidak shalat) setelah melahirkan selama empat puluh hari”. [HR. Khamsah kecuali Nasai dan lafadh itu bagi Abu Dawud]
Keterangan :
Dari hadits tersebut bisa diambil pengertian bahwa wanita yang nifas itu hukumnya sama dengan wanita yang haidl yaitu sama-sama tidak boleh mengerjakan shalat, oleh sebab itu darah nifas pun hukumnya sama dengan darah haidl yaitu najis.
Alat Untuk Bersuci
1. Air, sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat dan hadits pada masalah air yang lalu.
2. Benda-benda yang suci yang kesat dan tidak licin, seperti : batu, kertas, tembikar, kayu, kain dan lain sebagainya.
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا ذَهَبَ اَحَدُكُمْ اِلَى اْلغَائِطِ فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلاَثَةِ اَحْجَارٍ فَاِنَّهَا تُجْزِى مِنْهُ. احمد و النسائى و ابو داود و الطارقطنى
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang diantara kamu buang air, maka hendaklah ia membersihkan diri (membersihkan qubul atau duburnya) dengan tiga biji batu. Itu mencukupi baginya”. [HR. Ahmad, Nasai, Abu Dawud dan Daruquthni]
Dilarang beristinjak dengan kotoran binatang yang sudah kering atau tulang.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: اِنَّ النَّبِيَّ ص نَهَى اَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَوْثٍ اَوْ بِعَظْمٍ وَ قَالَ: اِنَّهُمَا لاَ يُطَهّرَانِ. الدارقطنى
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Bahwa Nabi SAW melarang kita beristinjak dengan kotoran hewan atau tulang, dan bersabda, ”Kotoran hewan dan tulang itu tidak dapat membersihkan”. [HR. Daruquthni]
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رض قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ ص اَنْ نَتَمَسَّحَ بِعَظْمٍ اَوْ بِعَرَةٍ. احمد و مسلم و ابو داود
Dari Jabir bin Abdullah RA, ia berkata, “Nabi SAW mencegah kami menyapu qubul dan dubur dengan tulang atau kotoran hewan”. [HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud]
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رض قَالَ: اَتَى النَّبِيُّ ص اْلغَائِطَ فَاَمَرَنِى اَنْ اَتِيَهُ بِثَلاَثَةِ اَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَ اْلتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ اَجِدْ فَاَخَذْتُ رَوْثَةً فَاَتَيْتُهُ بِهَا فَاَخَذَ اْلحَجَرَيْنِ وَ اَلْقَى الرَّوْثَةَ وَ قَالَ: هذِهِ رِكْسٌ. احمد و البخارى و الترمذى و النسائى و ابن ماجه
Ibnu Mas’ud berkata : Nabi SAW pergi buang air besar dan beliau menyuruh aku membawa tiga biji batu. Aku hanya mendapati dua biji batu. Aku cari batu yang ketiga, aku tidak memperolehnya. Karena itu, aku mengambil kotoran hewan yang sudah kering lalu kubawa kepada Rasul. Setelah Rasul menerimanya, beliaupun mengambil dua biji batu serta melemparkan kotoran hewan itu sambil bersabda, ”Itu adalah kotor”. [HR. Ahmad, Bukhari, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah]
Cara bersuci dan mensucikan najis
Pergunakan tangan kiri dalam membersihkan najis-najis itu :
عَنْ اَبِى قَتَادَةَ رض: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَمَسَّنَّ اَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَ هُوَ يَبُوْلُ وَ لاَ يَتَمَسَّحَ مِنَ اْلخَلاَءِ بِيَمِيْنِهِ وَ لاَ يَتَنَفَّسْ فِى اْلاِنَاءِ. البخارى و مسلم و اللفظ له
Dari Abu Qatadah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kamu memegang kemaluan dengan tangan kanan dikala buang air (berkemih) dan janganlah menggosok atau menyapu tempat yang digosok atau disapu itu dengan tangan kanan, dan janganlah bernafas dalam tempat air minum”. [HR. Bukhari dan Muslim, dan lafadh itu bagi Muslim]
Bila beristinjak (bersuci sehabis buang air besar/kecil) dengan batu, maka hendaklah yang ganjil bilangannya dan yang lebih utama adalah dengan 3 buah batu. Boleh juga dengan sebuah batu yang mempunyai 3 sisi.
عَنْ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ رض قَالَ: اِنَّ النَّبِيَّ ص سُئِلَ عَنِ اْلاِسْتِطَابَةِ فَقَالَ: بِثَلاَثَةِ اَحْجَارٍ لَيْسَ فِيْهَا رَجِيْعٌ. احمد و ابو داود و ابن ماجه
Dari Khuzaimah bin Tsabit RA, ia berkata : Bahwasannya pernah ditanyakan kepada Nabi SAW tentang hal istithabah (membersihkan diri dari berak dan kemih). Maka pertanyaan itu dijawab Rasul dengan sabdanya, ” Beristithabah itu dengan tiga biji batu, tak ada kotoran dalam tiga batu itu”. [HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah]
Bekas darah haidl yang tidak bisa hilang setelah dicuci tidak dianggap najis.
عَنْ اَسْمَاءَ بِنْتِ اَبِى بَكْرٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ فِى دَمِ اْلحَيْضِ يُصِيْبُ الثَّوْبَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرَصُهُ بِاْلمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلّيَ فِيْهِ. متفق عليه
Dari Asma’ binti Abu Bakar, bahwasannya Nabi SAW pernah bersabda tentang darah haidl yang mengenai pakaian, “(Hendahlah) ia kerik, kemudian ia gosok dengan air kemudian ia cuci , kemudian shalat dengan (memakai)nya”. [Muttafaq ’Alaih]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَتْ خَوْلَةُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَاِنْ لَمْ يَذْهَبِ الدَّمُ؟ قَالَ: يَكْفِيْكِ اْلمَاءُ وَ لاَ يَضُرُّكِ اَثَرُهُ. اخرجه الترمذى
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Khaulah bertanya, ”Ya Rasulullah bagaimana jika tidak hilang darahnya ?”. Beliau bersabda, ”Cukup bagimu (mencuci dengan) air, dan tidak mengapa bagimu bekas darah itu”. [HR. Tirmidzi]
Air Mani Tidak Najis
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَغْسِلُ اْلمَنِيَّ ثُمَّ يَخْرُجُ اِلَى الصَّلاَةِ فِى ذلِكَ الثَّوْبِ وَ اَنَا اَنْظُرُ اِلَى اَثَرِ اْلغُسْلِ. متفق عليه
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW mencuci mani, kemudian beliau keluar untuk shalat dengan memakai kain itu, sedang saya melihat bekas cucian itu”. [Muttafaq ‘Alaih]
و لمسلم: لَقَدْ كُنْتُ اَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ ص
Dan bagi Muslim (‘Aisyah berkata), ”Sesungguhnya saya pernah menggosoknya (mani itu) dari kain Rasulullah SAW, lalu beliau shalat dengan (memakainya)”.
و فى لفظ له: لَقَدْ كُنْتُ اَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفْرِى مِنْ ثَوْبِهِ
Dan di dalam lafadh lain baginya, ”Sesungguhnya saya pernah mengkikisnya (mani) dalam keadaan kering dengan kuku saya dari kainnya”. [HR. Muslim]
Keterangan :
Rasulullah SAW mencuci kain yang kena mani itu tidak berarti mani itu najis, karena sering juga orang mencuci kain yang kena ludah atau ingus. Jadi hanya masalah kebersihan saja.
ADAB BUANG AIR
1. Bacaan akan masuk ke tempat buang air
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رض قَالَ: اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ اِذَا دَخَلَ اْلخَلاَءَ قَالَ: اَللّهُمَّ اِنّى اَعُوْذُ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ. البخارى و مسلم
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah SAW apabila hendak masuk ke dalam jamban, membaca Allaahumma innii a’uudzu bika minal-khubutsi wal-khabaaits (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan syaithan laki-laki dan syaithan perempuan)”. [HR. Bukhari dan Muslim]
2. Bacaan ketika keluar dari tempat buang air
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رض قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا خَرَجَ مِنَ اْلخَلاَءِ قَالَ: اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ اَذْهَبَ عَنّى اْلاَذَى وَ عَافَانِى. ابن ماجه و النسائى
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, “Rasulullah SAW apabila keluar dari jamban, membaca Al-hamdu lilaahil-laezii adzhaba ‘annil-adzaa wa ‘aafaanii. (Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan gangguan dari diriku dan yang telah menjadikan aku sehat wal ‘afiyat)”. [HR. Ibnu Majah dan Nasai]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ص اِذَا خَرَجَ مِنَ اْلخَلاَءِ قَالَ: غُفْرَانَكَ. الخمسة الا النسائى
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Bahsawanya Nabi SAW apabila keluar dari jamban, beliau membaca Ghufraanaka (Aku mohon ampunan-Mu, ya Allah)”. [HR. Khamsah kecuali Nasai]
3. Tidak berbicara ketika buang air
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَبُوْلُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ. الجماعة الا البخارى
Dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki lewat dan memberi salam kepada Rasulullah SAW pada waktu itu Rasulullah SAW sedang kencing, maka beliau tidak menjawab salam itu”. [HR. Jama’ah kecuali Bukhari]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص يَقُوْلُ: لاَ يَخْرُجِ الرَّجُلاَنِ يَضْرِبَانِ اْلغَائِطَ كَاشِفَيْنِ عَوْرَتَهُمَا يَتَحَدَّثَانِ فَاِنَّ اللهَ يَمْقُتُ عَلَى ذلِكَ. احمد و ابو داود و ابن ماجه
Dari Abu Sa’id, ia berkata : Saya mendengar Nabi SAW bersabda, “Janganlah dua orang yang buang air besar dalam keadaan auratnya terbuka dan keduanya bercakap-cakap, karena Allah murka pada yang demikian itu”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah]
4. Menjauhkan diri dari orang ramai dan mencari pendiding
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رض قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيّ ص فِى سَفَرٍ فَكَانَ لاَ يَأْتِى اْلبَرَازَ حَتَّى يَغِيْبَ فَلاَ يَرَى. ابن ماجه و لابى داود: كَانَ اِذَا اَرَادَ اْلبَرَازَ انْطَلَقَ حَتَّى لاَ يَرَاهُ اَحَدٌ.
Dari Jabir bin ‘Abdullah RA, ia berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi SAW dalam salah satu safar, maka beliau tidak buang air besar sehingga pergi menjauh dari tempat kami berkumpul dan tidak terlihat oleh kami”. [HR. Ibnu Majah] Dan bagi Abu Dawud, “.... beliau SAW apabila hendak buang air besar, pergi menjauh sehingga tidak terlihat oleh seseorang”.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ رض قَالَ: كَانَ اَحَبُّ مَا اسْتَتَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ ص لِحَاجَتِهِ هَدَفٌ اَوْ حَائِشُ نَخْلٍ. احمد و مسلم و ابن ماجه
Dari ‘Abdullah bin Ja’far RA, ia berkata : Hal yang sangat disukai Rasulullah SAW untuk menjadi pendiding dirinya ketika buang air ialah gundukan tanah yang tinggi atau batang-batang kurma”. [HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah]
5. Menghindarkan dir idari percikan kencing
عَنْ اَبِى مُوْسَى اْلاَشْعَرِيّ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اِذَا بَالَ اَحَدُكُمْ فَلْيَرْتَدَّ لِبَوْلِهِ. احمد و ابو داود
Dari Abu Musa Al-Asy ‘ariy RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Apabila seseorang diantara kamu kencing, maka hendaklah ia menghindarkan diri dari percikan kencingnya”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud]
6. Kencing dengan duduk, apabila memungkinkan
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: مَنْ حَدَّثَكُمْ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص بَالَ قَائِمًا فَلاَ تُصَدّقُوْهُ. مَا كَانَ يَبُوْلُ اِلاَّ جَالِسًا. احمد و النسائى و الترمذى و ابن ماجه
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Barangsiapa mengatakan bahwa Rasulullah SAW kencing dengan berdiri, janganlah kamu benarkan. Tak pernah beliau kencing dengan berdiri. Beliau selalu kencing dengan jongkok”. [HR. Ahmad, Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah]
عَنْ حُذَيْفَةَ رض قَالَ: اِنَّ النَّبِيَّ ص انْتَهَى اِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ: اُدْنُهْ. فَدَنَيْتُ حَتَّى عِنْدَ عَقِيْبَيْهِ فَتَوَضَّأَ وَ مَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ. الجماعة
Dari Hudzaifah RA, ia berkata : Sesungguhnya Nabi SAW pergi ke suatu tempat pembuangan sampah suatu kaum, lalu beliau kencing dengan berdiri. Aku menjauhkan diri dari beliau, tetapi beliau bersabda, “Dekatlah kemari”. Maka aku pun mendekatinya sehingga aku berdiri di belakang beliau. Sesudah selesai lalu beliau berwudlu dan mengusap dua sepatu khuffnya”. [HR. Jama’ah]
Keterangan :
Dari kedua hadits diatas, bisa diambil pengertian bahwa apabila di rumah, Nabi SAW senantiasa kencing dengan duduk sebagaimana yang diceritakan ‘Aisyah, tetapi ketika keluar dari rumah kadang-kadang beliau juga kencing dengan berdiri sebagimana hadits yang diceritakan Hudzaifah diatas.
7. Tidak memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing.
عَنْ اَبِى قَتَادَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يُمْسِكَنَّ اَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَ هُوَ يَبُوْلُ، وَ لاَ يَتَمَسَّحَ مِنَ اْلخَلاَءِ بِيَمِيْنِهِ، وَ لاَ يَتَنَفَّسْ فِى اْلاِنَاءِ. البخارى و مسلم
Dari Abu Qatadah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seorang diantara kalian memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing dan janganlah menggosok atau menyapu tempat yang digosok atau disapu setelah buang air dengan tangan kanan, dan janganlah bernafas dalam tempat air minum”. [HR. Bukhari dan Muslim]
8. Boleh kencing dalam pispot (bejana) karena keperluan.
عَنْ اُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ص قَدَحٌ مِنْ عَيْدَانٍ تَحْتَ سَرِيْرِهِ كَانَ يَبُوْلُ فِيْهِ بِاللَّيْلِ. ابو داود و النسائى
Dari Umaimah binti Ruqaiqah RA, ia berkata, “Nabi SAW mempunyai pispot dari kayu. Beliau letakkan di bawah tempat tidur, beliau kencing padanya di malam hari”. [HR. Abu Dawud dan Nasai]
9. Tidak menghadap/membelakangi qiblat bila di tempat terbuka
عَنْ اَبِى اَيُّوْبَ اْلاَنْصَارِيّ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا اَتَيْتُمُ اْلغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا اْلقِبْلَةَ وَ لاَ تَسْتَدْبِرُوْهَا وَ لكِنْ شَرّقُوْا اَوْ غَرّبُوْا. احمد و البخارى و مسلم
Dari Abu Ayyub Al-Anshariy RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu buang air, maka janganlah menghadap ke qiblat dan jangan pula membelakanginya, tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
Keterangan :
Qiblat berada di sebelah selatan Madinah, maka dengan menghadap ke timur atau ke barat berarti tidak menghadap qiblat ataupun membelakanginya.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: رَقِيْتُ يَوْمًا عَلَى بَيْتِ حَفْصَةَ فَرَاَيْتُ النَّبِيَّ ص عَلَى حَاجَتِهِ مُسْتَقْبِلَ الشَّامِ مُسْتَدْبِرَ اْلكَعْبَةَ. الجماعة
Dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata, “Pada suatu hari saya naik rumahnya Hafshah, maka saya melihat Nabi SAW sedang buang hajat menghadap ke Syam membelakangi Ka’bah”. [HR. Jama’ah]
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رض قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ ص اَنْ نَسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةَ بِبَوْلٍ، فَرَاَيْتُهُ قَبْلَ اَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا. الجماعة الا النسائى
Dari Jabir bin ‘Abdullah RA, ia berkata, “Nabi SAW melarang kami menghadap qiblat ketika kencing, tetapi saya pernah melihat beliau kencing menghadap qiblat setahun sebelum beliau wafat”. [HR. Khamsah, kecuali Nasai]
عَنْ مَرْوَانَ اْلاَصْفَرِ قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ اَنَاخَ رَاحِلَتَهُ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ يَبُوْلُ اِلَيْهَا فَقُلْتُ: اَبَا عَبْدِ الرَّحْمنِ اَلَيْسَ قَدْ نَهَى عَنْ ذلِكَ؟ فَقَالَ: بَلَى اِنَّمَا نُهِيَ عَنْ هذَا فِى اْلفَضَاءِ، فَاِذَا كَانَ بَيْنَكَ وَ بَيْنَ اْلقِبْلَةِ شَيْءٌ يَسْتُرُكَ فَلاَ بَأْسَ. ابو داود
Dari Marwan Al-Ashfari, ia berkata : Saya pernah melihat Ibnu ‘Umar menjerumkan kendaraannya menghadap qiblat, lalu dia kencing menghadap qiblat. Saya bertanya, “Wahai Abu ‘Abdurrahman, bukankah kita dilarang dari yang demikian itu ?”. Ia menjawab, “Betul, tetapi kita hanya dilarang dari yang demikian itu di tempat terbuka. Apabila antaramu dan qiblat itu ada sesuatu yang menutupimu, maka tidak mengapa”. [HR. Abu Dawud]
10. Tempat-tempat terlarang untuk buang air
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَرْجِسٍ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ يُبَالَ فِى اْلجُحْرِ. احمد و النسائى و ابن ماجه
Dari ‘Abdullah bin Sarjis RA, ia berkata, “Rasulullah SAW mencegah orang kencing dalam liang-liang binatang”. [HR. Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اِتَّقُوا اللاَّعِنَيْنِ. قَالُوْا وَ مَا اللاَّعِنَانِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيْقِ النَّاسِ اَوْ فِى ظِلّهِمْ. احمد و مسلم و ابو داود
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Jauhkanlah dirimu dari buang air di dua tempat yang melaknati”. Para shahabat bertanya, “Apakah dua tempat yang melaknati itu, ya Rasulullah ?”. Nabi SAW menjawab, “Yaitu buang air di jalan (yang digunakan) manusia berlalu lintas dan tempat mereka berteduh”. [HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud]
11. Keutamaan beristinjak dengan air
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رض قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدْخُلُ اْلخَلاَءَ فَاَحْمِلُ اَنَا وَ غُلاَمٌ نَحْوِيْ اِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَ عَنَزَةً فَيَسْتَنْجِى بِاْلمَاءِ. البخارى و مسلم
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah SAW masuk ke dalam jamban. Maka saya beserta seorang pemuda yang sebaya saya membawa ember berisi air dan tongkat. Kemudian Nabi SAW (memilih) beristinjak dengan air”. [HR. Bukhari dan Muslim]
عَنْ مُعَاذَةَ رض قَالَتْ: قَالَتْ عَائِشَةُ رض مُرْنَ اَزْوَجَكُنَّ اَنْ يَغْسِلُوْا عَنْهُمْ اَثَرَ اْلغَائِطِ وَ اْلبَوْلِ فَاِنَّا نَسْتَحْيِ مِنْهُمْ وَ اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَاَن يَفْعَلُهُ. احمد و النسائى و الترمذى
Dari Mu’adzah RA, ia berkata : ‘Aisyah RA berkata, “Suruhlah suami-suamimu membasuh bekas berak dan kencing dengan air, karena kami malu kepada mereka, dan sesungguhnya Rasulullah SAW beristinjak dengan air”. [HR. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص نُزّلَتْ هذِهِ اْلايَةُ فِى اَهْلِ قُبَاءَ فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ اَنْ يَّتَطَهَّرُوْا وَ اللهُ يُحِبُّ اْلمُتَطَّهّرِيْنَ. كَانُوْا يَسْتَنْجُوْنَ بِاْلمَاءِ فَنَزَلَتْ فِيْهِمْ هذِهِ اْلايَةُ. ابو داود و الترمذى و ابن ماجه
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda bahwa telah diturunkan ayat berkenaan dengan penduduk Quba’ Fiihi rijaalun yuhibbuuna an yatathahharuu, wallaahu yuhibbul mutathahhiriin (Terdapat di dalamnya orang-orang yang suka membersihkan diri dan Allah menyukai orang-orang yang suka membersihkan diri). At-Taubah 108. Mereka beristinjak dengan air, maka turunlah ayat ini berkenaan dengan mereka”. [HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Brosur no. : 773/813/IF, 779/819/IF, 782/822/IF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar