Perang Tabuk 1

PERANG TABUK

Tentara Islam dikirim ke Dumatul Jandal
Diriwayatkan bahwa di Tabuk Nabi SAW mengerahkan satu pasukan tentaranya sebesar 420 orang berkuda ke Dumatul Jandal dipimpin oleh Khalid bin Walid, dengan tugas supaya berdakwah kepada rajanya yang bernama Ukaidir bin Abdul Malik Al-Kindiy, yang ketika itu memeluk agama Nashrani. Dan dia termasuk dari para raja yang membantu kerajaan Romawi. Ketika Khalid akan berangkat, Nabi SAW bersabda :
اِنَّكَ سَتَجِدُهُ يَصِيْدُ اْلبَقَرَ. السيرة الحلبية
Sesungguhnya kamu akan menemui dia (Ukaidir) sedang memburu seekor sapi. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 290]
Ketika Khalid bersama pasukannya sampai di kota tersebut, waktu itu kebetulan malam terang bulan. Raja Ukaidir sedang berada di atas loteng bersama istrinya. Mendadak ada seekor sapi datang di dekat pintu bentengnya sambil menggosok-gosokkan tanduknya ke pintu benteng itu. Maka istri Ukaidir bertanya kepada suaminya, Apakah kamu pernah melihat peristiwa seperti itu ? Ukaidir menjawab, Demi Allah, tidak !. Istrinya bertanya,Siapa yang membiarkannya ?. Ukaidir menjawab, Tidak seorang pun.
Seketika itu Ukaidir lalu turun dari lotengnya dan memerintahkan supaya kudanya dipersiapkan. Kemudian kudanya pun dipasangi pelana, lalu ia menaikinya dan diikuti oleh beberapa keluarganya. Diantara mereka itu ialah seorang yang bernama Hassan, saudara laki-laki Ukaidir, lalu mereka memburu sapi tersebut.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan pasukan berkuda muslimin yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Seketika itu Ukaidir dapat ditangkap dan ditawan oleh Khalid, sedang saudaranya, yaitu Hassan melawannya, lalu dibunuh. Ukaidir dilindungi oleh Khalid, tetapi dengan janji bahwa ia harus membukakan pintu bentengnya. Jika ia tidak mau membukakannya, akan dibunuh juga. Janji Ukaidir itu disanggupi, lalu bentengnya dibukakan. Waktu itu kebetulan Ukaidir memakai sebuah baju luar dari sutera tebal yang disulam emas, baju itu oleh Khalid lalu dirampas dan dikirimkan kepada Nabi SAW. Para shahabat kagum ketika melihat baju yang bersulam emas tersebut. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :
لَمَنَادِيْلُ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فِى اْلجَنَّةِ اَحْسَنُ مِنْ هذَا. السيرة الحلبية
Sungguh sapu tangan-sapu tangannya Saad bin Muadz disurga lebih bagus daripada ini. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 290]
Setelah benteng kota Dumah dibuka, Khalid lalu masuk ke dalamnya bersama tentara muslimin dan ketika itu mendapat harta rampasan berupa 2.000 ekor unta, 800 ekor kambing dan 400 buah baju besi dan 400 tombak. Sedangkan Ukaidir dan seorang saudaranya yang bernama Mushad ditawan oleh Khalid bin Walid.
Kemudian pasukan Khalid kembali dengan membawa harta rampasan dan dua orang tawanan pembesar dari Dumah tersebut menyusul Nabi SAW ke Madinah. Sesampai di Madinah Khalid lalu menyerahkan semua rampasan perang dari Dumah itu kepada Nabi SAW.
Kemudian Nabi SAW mengadakan perjanjian damai dengannya, dan dia sanggup membayar jizyah. Nabi SAW melindungi darahnya dan darah saudaranya, lalu melepaskan mereka. Kemudian mereka kembali ke negerinya.

Tentara Islam kembali ke Madinah

Setelah hampir dua puluh hari lamanya Nabi SAW bersama tentara muslimin berada di Tabuk, padahal pihak musuh tidak pula datang, maka ketika itu (sesudah mengadakan perjanjian keamanan dengan para pembesar kota yang berada di sekitar Tabuk) beliau lalu bermusyawarah dengan para shahabat untuk membicarakan, apakah perlu melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi ke daerah-daerah Syam ataukah kembali saja. Dalam musyawarah tersebut Umar bin Khaththab mengemukakan pendapatnya, ia berkata kepada Nabi SAW, Ya Rasulullah, jika engkau telah diperintahkan (oleh Allah) supaya terus berjalan, maka berjalanlah. Nabi SAW bersabda, Jika aku telah diperintahkan untuk meneruskan perjalanan, maka sudah tentu aku tidak akan bermusyawarah lagi dengan kalian tentang urusan ini. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 200]
Kemudian Umar berkata :
يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّ لِلرُّوْمِ جُمُوْعًا كَثِيْرَةً وَ لَيْسَ بِهَا اَحَدٌ مِنْ اَهْلِ اْلاِسْلاَمِ. وَ قَدْ دَنَوْنَا، وَ قَدْ اَفْزَعَهُمْ دُنُوُّكَ، فَلَوْ رَجَعْنَا هذِهِ السَّنَةَ حَتَّى نَرَى اَوْ يُحْدِثَ اللهُ اَمْرًا. السيرة الحلبية
Ya Rasulullah, sesungguhnya negeri Romawi itu mempunyai tentara yang banyak, dan di sana tidak seorang pun yang telah mengikut Islam, padahal kita telah dekat, dan karena engkau mendekat, sesungguhnya mereka telah takut. Maka jika kita kembali pada tahun ini, lebih baik bagi kita, sehingga kita dapat melihat bagaimana nanti akibatnya, atau sehingga Allah mendatangkan perintah-Nya. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 200]
Kemudian Nabi SAW setuju dengan pendapat Umar tersebut, maka waktu itu diputuskan untuk kembali saja. Kemudian Nabi SAW memerintahkan kepada segenap tentara muslimin supaya bersiap untuk kembali. Sebelum berangkat pulang ke Madinah Nabi SAW memberi wejangan lebih dahulu kepada segenap pasukannya, diantara khutbah beliau sebagai berikut :
Adapun sesudah itu, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah (Al-Quran), sebaik-baik kekayaan adalah kekayaan jiwa, sebaik-baik bekal adalah taqwa kepada Allah, puncak kebijaksanaan adalah takut kepada Allah Azza wa Jalla, para wanita adalah laksana tali syaithan, para pemuda adalah satu cabang dari gila, orang yang berbahagia adalah orang yang memberi nasehat kepada yang lainnya, barangsiapa yang mengampuni, dia akan diampuni, barangsiapa yang memaafkan, Allah akan memaafkan dia, barangsiapa yang shabar menghadapi bahaya yang besar, Allah akan menggantinya. Aku mohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 200]
Setelah itu datang seorang ahli kitab menyampaikan hadiah jubnah (keju) kepada Nabi SAW, lalu beliau minta diambilkan pisau, lalu beliau menyebut nama Allah, memotongnya dengan pisau itu dan memakannya.
Selanjutnya Nabi SAW lalu berangkat meninggalkan Tabuk bersama tentara muslimin kembali ke Madinah.

Lembah Musyaqqaq.
Di perjalanan, ada sebuah batu yang mengeluarkan air sedikit-sedikit, yang cukup untuk diminum satu, dua atau tiga orang saja, yaitu di suatu lembah yang terkenal dengan nama Musyaqqaq. Nabi SAW ketika itu bersabda :
مَنْ سَبَقَنَا اِلىَ ذلِكَ اْلمَاءِ فَلاَ يَسْتَقِيَنَّ مِنْهُ شَيْئًا حَتَّى نَأْتِيَهُ. السيرة الحلبية
Barangsiapa yang mendahului kami ke tempat air itu, maka janganlah ia mengambil air sedikitpun darinya sehingga kami datang kepadanya. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 200]
Tiba-tiba ada beberapa orang dari kaum munafiqin yang berjalan mendahului Nabi SAW, lalu di tempat tersebut mereka mendahului mengambil air yang ada di lembah itu. Setelah Nabi SAW sampai di tempat tersebut, beliau lalu berhenti, namun beliau tidak melihat air sedikitpun di tempat itu. Beliau lalu bertanya, Siapa yang telah mendahului kami ke tempat air ini ?. Orang-orang menjawab, Yang mendahului mengambil air di tempat itu ialah si Fulan dan si Fulan. Nabi SAW lalu bersabda, Tidakkah aku telah melarang mereka mengambil air dari padanya, walaupun sedikit sehingga aku datang padanya ?. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 201]
Kemudian beliau melaknat mereka itu dan mendoakan buruk pada mereka. Kemudian beliau turun dari kendaraannya lalu meletakkan tangannya di bawah batu yang meneteskan air sedikit-sedikit tersebut. Air yang keluar sedikit-sedikit itu oleh beliau lalu ditampung di tangan, lalu beliau menyiramkannya ke batu itu dan menyapukan dengan tangannya. Beliau lalu berdoa kepada Allah, dan seketika itu batu tersebut berlubang dan mengeluarkan air dengan deras, sehingga orang-orang meminum dari padanya dan mengambilnya untuk keperluan mereka. Kemudian Nabi SAW bersabda kepada orang banyak, Sungguh jika kalian masih hidup atau siapasaja diantara kalian masih hidup, tentu kalian akan mendengar di lembah ini, ia paling subur diantara sekitarnya. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 201]

Orang munafiq mengganggu Nabi SAW

Ada dua belas orang munafiq (ada yang mengatakan empat belas dan ada yang mengatakan lima belas) berunding dan telah sepakat akan memperdaya atau berbuat jahat terhadap Nabi SAW di Aqabah (suatu tempat antara Tabuk dan Madinah).
Mereka berkata, Apabila dia (Muhammad) melalui jalan Aqabah, kita akan menjerumuskan kendaraannya ke dalam jurang itu. Kemudian Allah memberitahukan hal itu kepada Rasul-Nya.
Setelah pasukan muslimin sampai di dekat Aqabah, penyeru Rasulullah SAW lalu mengumumkan :
اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص يُرِيْدُ اَنْ يَسْلُكَ اْلعَقَبَةَ فَلاَ يَسْلُكْهَا اَحَدٌ وَ اسْلُكُوْا بَطْنَ اْلوَادِى فَاِنَّهُ اَسْهَلُ لَكُمْ وَ اَوْسَعُ. السيرة الحلبية
Sesungguhnya Rasulullah SAW ingin lewat Aqabah, maka janganlah seorangpun melalui jalan itu, tetapi lewatlah Bathnul Wadi, karena melewati jalan itu lebih mudah dan lebih lapang untuk kalian. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 201]
Mendengar pengumuman yang demikian itu kaum munafiqin sangat gembira dan girang hatinya, mereka lalu bersiap-siap dan menutupi wajahnya dengan kain, dan mereka mengira bahwa Nabi SAW belum mengerti rencana jahat mereka itu. Adapun kaum muslimin, setelah mendengar pengumuman itu lalu memutar kendaraan mereka ke arah yang menuju Bathnul Wadi, sedang kaum munafiq tetap mengambil jalan menuju ke arahAqabah mengikuti perjalanan Nabi SAW.
Nabi SAW menyuruh shahabat Ammar bin Yasir supaya menuntun unta beliau, sedang shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman supaya menghalau dari belakangnya. Maka Ammar lalu memegang kendali dan menuntun unta yang beliau tumpangi, sedang Hudzaifah mengikuti dari belakangnya, dan apabila Hudzaifah yang menuntunnya, maka Ammar yang mengikutinya di belakangnya, demikian seterusnya.
Setelah perjalanan beliau sampai di Aqabah, pada tengah malam yang gelap gulita, kaum munafiq mengganggu perjalanan unta beliau, hingga unta itu berlari-lari dan perkakas yang beliau bawa sebagian ada yang jatuh. Kemudian Rasulullah SAW marah dan menyuruh Hudzaifah supaya mengusir orang-orang itu. Lalu Hudzaifah mendatangi orang-orang munafiq itu dengan membawa tongkat, lalu memukul bagian depan kendaraan mereka dengan tongkatnya dan berkata :
اِلَيْكُمْ اِلَيْكُمْ يَا اَعْدَاءَ اللهِ. السيرة الحلبية
Pergilah kalian, pergilah kalian wahai musuh-musuh Allah. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 201]
Dan ternyata mereka itu orang-orang yang menutupi mukanya dengan kain. Kemudian orang-orang munafiq itu mengetahui bahwa Rasulullah SAW telah mengetahui rencana jahat mereka, lalu mereka cepat-cepat meninggalkan Aqabah menuju ke Bathnul Wadi dan bercampur dengan orang banyak.
Kemudian Hudzaifah kembali, lalu memukul unta Nabi, lalu Nabi SAW bertanya kepada Hudzaifah :

هَلْ عَرَفْتَ اَحَدًا مِنَ الرَّكْبِ الَّذِيْنَ رَدَدْتَهُمْ؟ السيرة الحلبية
Apakah kamu kenal salah seorang diantara orang-orang yang telah kamu usir itu ?. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 201]
Hudzaifah menjawab :
لاَ، كَانَ اْلقَوْمُ مُلَثَّمِيْنَ وَ اللَّيْلَةُ مُظْلِمَةٌ. السيرة الحلبية
Tidak, mereka itu orang-orang yang menutupi mukanya dengan kain, sedangkan malam itu gelap-gulita. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 201]
Setelah waktu  pagi, Usaid bin Hudlair datang kepada Nabi SAW seraya berkata, Ya Rasulullah, apa yang menghalangi engkau tadi malam untuk berjalan lewat Bathnul Wadi, padahal jalannya lebih mudah daripada jalan di Aqabah ?. Beliau menjawab, Apakah kamu mengerti apa yang diinginkan oleh orang-orang munafiq ?. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 202]
Selanjutnya Nabi SAW menceritakan peristiwa yang dialami itu.
Setelah mendengar keterangan Nabi SAW, maka seketika itu Usaid berkata lagi :

يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَدْ نَزَلَ النَّاسُ وَ اجْتَمَعُوْا، فَمُرْ كُلَّ بَطْنٍ اَنْ يَقْتُلَ الرَّجُلَ الَّذِى هُمْ بِهذَا، فَاِنْ اَحْبَبْتَ بَيّنْ بِاَسْمَاءِهِمْ. وَ الَّذِى بَعَثَكَ بِاْلحَقّ لاَ اَبْرَحَ حَتَّى اتِيَكَ بِرُءُوْسِهِمْ. السيرة الحلبية
Ya Rasulullah, orang-orang telah berhenti dan berkumpul, maka perintahkanlah tiap-tiap kaum untuk membunuh orang yang melakukan kejahatan itu. Jika engkau tidak keberatan, sebutkanlah nama-nama mereka itu. Demi Tuhan yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnya saya akan terus mengejar mereka itu hingga saya datang kepada engkau dengan membawa kepala-kepala mereka. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 202]
Mendengar perkataan yang demikian itu beliau lalu bersabda :

اِنّى اَكْرَهُ اَنْ يَقُوْلَ النَّاسُ، اِنَّ مُحَمَّدًا قَاتَلَ بِقَوْمٍ حَتَّى اِذَا اَظْهَرَهُ اللهُ تَعَالَى بِهِمْ اَقْبَلَ عَلَيْهِمْ بِقَتْلِهِمْ. السيرة الحلبية
Sesungguhnya aku tidak suka jika orang banyak berkata bahwa Muhammad berperang dengan (bantuan) suatu kaum, sehingga ketika Allah Taaalaa telah memberi kemenangan kepadanya dengan sebab mereka, ia lalu datang dengan membunuh mereka. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 202]
Usaid berkata, Ya Rasulullah, mereka itu bukan para shahabat.
Rasulullah SAW bersabda, Bukankah mereka itu menampakkan persaksian ?. Kemudian beliau mengumpulkan mereka di satu tempat, lalu beliau memberitahukan kepada mereka tentang apa-apa yang mereka katakan dan yang telah mereka sepakati akan berbuat jahat. Kemudian mereka menyangkal dan bersumpah, tidak merasa mengatakan dan menyepakati akan melakukan kejahatan tersebut. Sehubungan dengan peristiwa itu, maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi SAW sebagai berikut :

يَحْلِفُوْنَ بِاللهِ مَا قَالُوْا، وَ لَقَدْ قَالُوْا كَلِمَةَ اْلكُفْرِ وَ كَفَرُوْا بَعْدَ اِسْلاَمِهِمْ وَ هَمُّوْا بِمَا لَمْ يَنَالُوْا، وَ مَا نَقَمُوْآ اِلآَّ اَنْ اَغْنهُمُ اللهُ وَ رَسُوْلُه مِنْ فَضْلِه، فَاِنْ يَّتُوْبُوْا يَكُ خَيْرًا لَّهُمْ، وَ اِنْ يَّتَوَلَّوْا يُعَذّبْهُمُ اللهُ عَذَابًا اَلِيْمًا فِى الدُّنْيَا وَ اْلاخِرَةِ، وَ مَا لَهُمْ فِى اْلاَرْضِ مِنْ وَّلِيّ وَّ لاَ نَصِيْرٍ. التوبة: 74
Mereka (orang-orang munafiq itu) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. [QS. At-Taubah : 74]

Nabi SAW lalu berdoa kepada Allah :
اَللّهُمَّ ارْمِهِمْ بِالدُّبَيْلَةِ
Ya Allah, lemparkanlah mereka itu pada kecelakaan. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 202]

Tiga orang shahabat yang diboikot akhirnya diterima taubatnya oleh Allah
.
Ketiga shahabat Rasulullah SAW yang tidak ikut berangkat perang Tabuk, yaitu Kaab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi setelah diboikot oleh Nabi SAW dan kaum muslimin selama 50 hari, akhirnya mereka diterima taubatnya oleh Allah SWT.
Bukhari meriwayatkan sebagai berikut :
Dari Kaab bin Malik, ia berkata, Saya tidak tertinggal dari Rasulullah SAW dalam perang yang beliau lakukan selain pada perang Tabuk. Namun saya tidak ikut pada perang Badr, dan beliau tidak mencela orang yang tidak ikut perang Badr, karena Rasulullah SAW keluar itu dalam rangka mencegat rombongan dagang orang-orang Quraisy, namun ternyata Allah mempertemukan mereka dengan musuh-musuhnya tanpa perjanjian sebelumnya. Saya telah menyaksikan malam Aqabah bersama Rasulullah SAW ketika kami berjanji untuk memeluk agama Islam. Dan saya tidak suka hadir di medan Badr karena saya telah ikut berjanji pada malam Aqabah, meskipun Badr itu lebih dikenang dikalangan orang banyak dari pada malamAqabah.
Diantara pemberitahuan saya bahwasanya keadaan saya belum pernah lebih kuat dan lebih lapang daripada ketika saya tertinggal dari perang Tabuk. Demi Allah, sebelumnya tidak pernah ada dua kendaraan terkumpul di tempatku (sebagaimana ketika menghadapi perang Tabuk itu). Dan Rasulullah SAW apabila akan berangkat perang, selalu merahasiakannya (kecuali pada perang Tabuk). Pada perang yang dilakukan Rasulullah SAW itu terjadi pada waktu yang sangat panas dan menempuh perjalanan yang jauh, melewati padang sahara dan menghadapi musuh yang banyak. Maka Rasulullah SAW menjelaskan kepada kaum muslimin tentang urusan mereka, agar mereka mempersiapkan persiapan perang mereka. Beliau sendiri yang memberitahukan kepada mereka apa yang dikehendaki, sedangkan kaum muslimin bersama Rasulullah SAW itu banyak sekali, namun mereka tidak dikumpulkan dalam catatan yang terpelihara (tidak dicatat). Kaab berkata, Tidak seorangpun yang mengundurkan diri tanpa ijin melainkan ia menduga bahwa hal itu tidak akan diketahui selama tidak turun wahyu Allah tentang dia. Rasulullah SAW berangkat berperang ketika enak-enaknya orang berteduh menimati buah-buahan. Rasulullah SAW bersiap-siap bersama kaum muslimin. Saya bangun pagi-pagi agar dapat bersiap-siap bersama mereka, lalu saya kembali dan tidak menunaikan sesuatu. Saya berkata dalam hati, Saya bisa melakukannya. Terus-menerus begitu sehingga orang-orang sungguh-sungguh sibuk.
Di waktu pagi Rasulullah SAW bersama kaum muslimin berangkat, sedangkan aku tidak melakukan persiapan apa-apa. Lalu saya berkata, Saya akan menyiapkan satu hari atau dua hari setelah itu, kemudian saya akan menyusul mereka. Maka diwaktu pagi saya berangkat untuk bersiap-siap. Tetapi saya lalu pulang, dan saya tidak menyiapkan sesuatupun. Terus-menerus begitu sehingga mereka (pasukan muslimin) terus berjalan jauh dan perang telah berjalan. Saya bermaksud berangkat untuk menyusul mereka, barangkali saya dapat melakukan, namun hal itu tidak ditaqdirkan atasku.
Kemudian apabila saya keluar kepada orang banyak setelah berangkatnya Rasulullah SAW, saya keliling di kalangan orang-orang, hal itu menyusahkan saya, karena saya tidak melihat melainkan orang laki-laki yang tercela karena nifaq atau orang laki-laki yang diterima udzurnya oleh Allah karena lemah. Dan Rasulullah SAW tidak ingat kepadaku sehingga beliau sampai ke Tabuk. Lalu beliau bersabda dikala beliau duduk di tengah kaum itu di Tabuk, Apakah yang dilakukan Kaab ?. Seorang lelaki dari Bani Salamah menjawab, Wahai Rasulullah, ia tertahan oleh dua kain burdahnya dan pandangannya tertuju pada dua tepiannya. Lalu Muadz bin Jabal berkata, Ucapanmu itu adalah seburuk-buruk apa yang kamu ucapkan. Demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahuinya selain dia itu baik. Maka Rasulullah SAW diam.
Kaab bin Malik berkata, Ketika telah sampai berita kepadaku bahwa beliau telah kembali, datanglah kesusahanku. Mulailah saya mau berdusta dan saya berkata (dalam hati) : Dengan cara apakah besok saya bisa keluar (terlepas) dari kemarahan beliau. Dan saya minta bantuan kepada setiap orang yang mempunyai pendapat dari keluargaku. Ketika dikatakan bahwa Rasulullah SAW telah tiba, hilanglah kebathalan itu dari saya dan saya tahu bahwa saya selamanya tidak akan terlepas dari kemarahan beliau dengan sesuatu yang mengandung dusta. Lalu saya mantap untuk jujur.
Pagi-pagi Rasulullah SAW telah tiba. Apabila beliau datang dari bepergian, seperti biasanya beliau lalu masuk masjid dan shalat dua rekaat, kemudian duduk dengan orang banyak. Ketika beliau melakukan demikian, datanglah orang-orang yang tidak ikut berperang. Mulailah mereka mengemukakan alasan-alasan kepada beliau dan mereka itu bersumpah. Mereka itu ada delapan puluh orang lebih. Rasulullah SAW menerima secara dhahir mereka, membaiat  dan memohonkan ampunan bagi mereka, dan menyerahkan bathin mereka kepada Allah Taaalaa.
Kemudian saya datang kepada beliau. Ketika saya memberi salam kepada beliau, beliau tersenyum sinis. Kemudian beliau bersabda, Kemarilah. Lalu saya mendekat dengan berjalan, sehingga saya duduk dihadapan beliau. Beliau bertanya kepadaku, Apakah yang menyebab-kan kamu tidak ikut, bukankah engkau telah membeli kendaraan ?. Saya menjawab, Ya, seandainya saya berbicara pada selain engkau dari penduduk dunia ini, niscaya saya bisa terlepas dari kemarahannya dengan beralasan, karena saya telah diberi kemampuan berdebat, tetapi saya, demi Allah, sungguh saya mengetahui bahwa jika saya sekarang bercerita kepada engkau dengan cerita dusta yang karenanya engkau menjadi ridla kepadaku, niscaya Allah akan membuat engkau marah kepadaku. Namun jika saya bercerita kepada engkau dengan cerita yang jujur, tentu engkau marah padaku. Sesungguhnya saya mengharapkan ampunan dari Allah. Tidak, demi Allah, saya tidak mempunyai alasan (atas ketidak ikutan saya ke Tabuk). Demi Allah, saya tidak pernah sekuat dan selapang ketika saya tertinggal dari engkau. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, Dalam hal ini sesungguhnya kamu benar, maka berdirilah kamu sehingga Allah memberi keputusan kepadamu.
Lalu saya berdiri, dan beberapa orang laki-laki dari Bani Salamah ikut berdiri, lalu mereka mengikuti saya. Mereka berkata, Demi Allah, saya tidak mengetahui kamu melakukan suatu dosa sebelum ini. Dan kamu sungguh lemah, tidak mau mengajukan alasan kepada Rasulullah SAW seperti pengajuan alasan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak ikut berperang. Telah cukup dosamu, permohonan ampun oleh Rasulullah SAW buatmu. Demi Allah mereka selalu berkata kepadaku sehinggga saya mau kembali, lalu aku membohongi diriku.
Kemudian saya bertanya kepada mereka, Apakah ada seorang yang menerima seperti aku ini ?. Mereka menjawab, Ya, dua orang laki-laki yang berkata seperti apa yang kamu katakan, maka beliau bersabda kepada keduanya seperti apa yang disabdakan kepadamu. Saya bertanya, Siapakah dua orang itu ?. Mereka menjawab, Murarah bin Rabi Al-Amriy dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifiy. (Kaab melanjutkan ceritanya), Mereka menyebutkan kepadaku dua orang shaleh yang pernah ikut perang Badr, dan pada diri orang itu terdapat suri teladan. Ketika mereka menyebutkan keduanya kepadaku, maka saya berlalu.
Rasulullah SAW melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan  kami tiga orang diantara orang-orang yang tidak ikut berperang bersama beliau. Orang-orang menjauhi kami dan menjadi berubah sikapnya terhadap kami, sehingga tidak jelas apa yang saya ketahui. Keadaan yang demikian itu berlangsung selama lima puluh hari.
Adapun dua orang temanku, mereka hanya tinggal dan duduk di rumahnya sambil menangis. Adapun saya adalah orang yang paling muda diantara kaum itu, dan paling kuat. Saya keluar untuk shalat jamaah bersama kaum muslimin, saya berkeliling di pasar-pasar dan tidak seorangpun yang berbicara kepadaku. Dan saya datang kepada Rasulullah SAW, lalu mengucapkan salam kepada beliau yang sedang berada di tempat duduk beliau setelah shalat. Lalu saya berkata dalam hati, Apakah Rasulullah SAW menggerakkan kedua bibirnya untuk membalas salamku atau tidak ?. Kemudian aku melakukan shalat di dekat beliau, lalu saya mencuri pandang kepada beliau. Apabila saya menghadapi shalatku, beliau memandang saya, apabila saya menoleh ke arah beliau, beliaupun berpaling dariku.
Setelah hal itu lama berlangsung padaku, yaitu berpalingnya orang-orang, lalu saya berjalan sehingga saya naik tembok Abu Qatadah, dia adalah putra pamanku dan orang yang paling aku cintai. Lalu aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Lalu saya berkata, Wahai Abu Qatadah, saya bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu mengetahui bahwa saya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ? Namun ia diam. Saya mengulangi bertanya lagi, namun ia tetap diam, lalu saya mengulangi lagi bertanya kepadanya, lalu ia menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Lalu kedua mataku berlinang dan saya berpaling sehingga saya naik dinding (lagi untuk keluar).
Dia (Kaab bin Malik) berkata, Ketika saya berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada salah seorang diantara para petani dari Syam yang datang ke pasar Madinah dengan membawa makanan yang akan dijual di Madinah bertanya, Siapakah yang mau menunjukkan saya kepada Kaab bin Malik. Lalu orang-orang menunjukkannya sehingga ia datang kepadaku, ia memberikan surat dari raja Ghossan. Tiba-tiba di dalamnya tertulis, Adapun selanjutnya, sesungguhnya telah sampai khabar kepadaku bahwa temanmu telah berpaling dari kamu, sedangkan Allah tidak menjadikan kamu di desa (tempat) yang merendahkan dan tidak pula menyia-nyiakanmu. Susullah kami, maka kami akan memberi kelapangan kepadamu.
Ketika saya membacanya, saya berkata, Ini adalah cobaan juga. Lalu saya menuju ke tungku dan saya masukkan (surat itu) ke dalamnya. Setelah lewat empat puluh hari dari lima puluh hari pemboikotan, tiba-tiba utusan Rasulullah SAW datang kepadaku, lalu ia berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruh kamu untuk memisahkan diri dari istrimu. Saya bertanya, Saya menceraikannya atau apa yang harus saya lakukan ?. Ia menjawab,Tidak, tetapi memisahkan dirilah dan jangan mendekatinya.
Beliau juga mengirimkan utusan kepada kedua temanku seperti itu pula. Saya berkata kepada istriku, Susullah keluargamu, dan kamu berada di sisi mereka sehingga Allah memberi keputusan dalam urusan ini.
Kaab melanjutkan ceritanya : Istri Hilal bin Umayyah lalu datang kepada Rasulullah SAW, dan ia berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah adalah seorang tua yang sia-sia, dia tidak mempunyai pembantu, maka apakah engkau btidak suka kalau saya melayaninya ?. Beliau bersabda, Tidak, tetapi jangan ia mendekati kamu. Ia berkata, Demi Allah, ia tidak mempunyai gerakan kepada sesuatu. Demi Allah, ia terus-menerus menangis sejak terjadi urusannya sampai hari ini.
Lalu sebagian keluargaku berkata kepadaku (Kaab), Sebaiknya kamu minta izin kepada Rasulullah SAW tentang istrimu sebagaimana (sebagaimana yang dilakukan istri Hilal), beliau mengizinkan kepada istri Hilal bin Umayyah untuk melayaninya. Saya (Kaab) berkata, Demi Allah, saya tidak akan minta izin kepada Rasulullah SAW tentang dia dan saya tidak tahu apa yang akan disabdakan Rasulullah SAW apabila saya minta izin kepada beliau tentang itu. Saya seorang pemuda.
Kemudian berlangsunglah yang demikian itu sepuluh hari sehingga genap lima puluh hari dari waktu yang telah ditetapkan Rasulullah SAW atas larangan berbicara dengan kami.
Sehabis saya shalat Shubuh pada Shubuh hari yang ke lima puluh dan saya sedang di atas salah satu rumah kami, ketika itu saya duduk dalam keadaan Allah mengingatkan dimana diriku telah sempit dan bumi juga sudah terasa sempit olehku, padahal bumi itu luas, tiba-tiba saya mendengar suara orang berteriak di tempat yang tinggi di atas gunung. Salin dengan sekeras suaranya, Hai Kaab bin Malik, bergembiralah !. Ia (Kaab bin Malik) berkata, Maka saya tersungkur sujud, dan saya tahu bahwa telah datang jalan keluar.
Rasulullah SAW memberitahukan penerimaan taubat Allah kepada kami, ketika beliau habis shalat Shubuh. Orang-orang lalu memberi khabar gembira. Orang-orang yang memberi khabar gembira itu pergi ke rumah kedua temanku. Seorang laki-laki pengendara kuda mempercepat laju kudanya menuju kepadaku, dan orang yang berjalan kaki dari Aslam mendaki gunung dimana suaranya itu lebih cepat daripada kudanya. Ketika datang kepadaku orang yang saya dengar suaranya memberi khabar gembira kepadaku, maka saya lepas kedua pakaianku, lalu saya kenakan padanya, karena khabar gembira itu. Demi Allah, saya tidak mempunyai (pakaian) selain keduanya itu pada hari tersebut. Lalu saya meminjam dua pakaian, lalu saya pakai.
Saya berangkat kepada Rasulullah SAW, maka orang-orang menjumpai aku berbondong-bondong memberi ucapan selamat atas penerimaan taubat oleh Allah. Mereka berkata, Selamat atasmu, Allah telah menerima taubatmu.
Kaab melanjutkan ceritanya, Kemudian aku masuk masjid, tiba-tiba Rasulullah SAW sedang duduk dikelilingi oleh orang banyak. Lalu Thalhah binUbaidillah berlari-lari kecil sehingga ia menjabat tanganku dan memberi ucapan selamat kepadaku (atas penerimaan taubatku oleh Allah). Demi Allah, tidak ada seorang laki-laki dari Muhajirin yang berdiri selainnya, dan saya tidak melupakan Thalhah. Kaab berkata, Ketika saya memberi salam kepada Rasulullah SAW, beliau lalu bersabda, dengan wajah bersinar karena gembira, Bergembiralah dengan kebaikan hari yang telah lewat padamu sejak ibumu melahirkanmu. Ia (Kaab) berkata : Saya bertanya, Wahai Rasulullah, apakah dari sisimu atau dari sisi Allah ?. Beliau bersabda,Tidak, dari sisi Allah. Dan Rasulullah SAW apabila gembira, maka wajah beliau itu bersinar hingga bagaikan potongan bulan. Dan kami bisa mengetahuinya dari keadaan demikian itu.
Ketika saya duduk di hadapan beliau, saya berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya termasuk taubatku adalah saya melepaskan sebagian hartaku sebagai sedeqah kepada Allah dan kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah SAW bersabda, Tahanlah sebagian hartamu, itu lebih baik bagimu. Saya berkata, Sesungguhnya saya masih menahan bagianku yang ada di Khaibar. Saya berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan saya hanya karena kejujuran. Dan termasuk taubatku adalah saya tidak akan berkata selain perkataan yang benar selama saya hidup. Demi Allah, saya tidak mengetahui seseorangpun dari orang-orang Islam yang diberi nimat oleh Allah dalam kejujurannya dalam berbicara sejak saya menuturkan hal itu kepada Rasulullah SAW sampai hariku ini yang lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadaku. Sejak saya menuturkan hal itu kepada Rasulullah SAW, saya tidak punya keinginan berdusta sampai hariku ini. Sesungguhnya saya berharap agar Allah menjaga saya dalam umur yang masih ada. Dan Allah Yang Maha Tinggi lalu menurunkan ayat kepada Rasul-Nya :

لَقَدْ تَّابَ اللهُ عَلَى النَّبِيّ وَ اْلمُهجِرِيْنَ وَ اْلاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ اْلعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ، اِنَّه بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ(117) وَ عَلَى الثَّلثَةِ الَّذِيْنَ خُلّفُوْا، حَتّى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ اْلاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَ ضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَ ظَنُّوْآ اَنْ لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللهِ اِلاَّ اِلَيْهِ، ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْا، اِنَّ اللهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ(118) ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ كُوْنُوْا مَعَ الصّدِقِيْنَ(119) التوبة: 117-119
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, Kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, (117)

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (118)
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (119) [QS. At-Taubah : 117-119]

Demi Allah, tidaklah Allah memberikan nimat kepadaku setelah Allah menunjukkan saya kepada Islam itu yang lebih besar dalam jiwaku daripada kejujuranku kepada Rasulullah, bahwa saya tidak berdusta kepada beliau yang menyebabkan saya dibinasakan sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah Taaalaa berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika Allah menurunkan wahyu dengan seburuk-buruk sesuatu yang diucapkan kepada seseorang. Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi berfirman (yang artinya) : Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali dari mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka adalah jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu ridla kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridla kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridla kepada orang-orang fasiq itu. [QS. At-Taubah : 96]

Kaab berkata, Kami tiga orang tertunda dari urusannya orang-orang yang diterima alasan mereka oleh Rasulullah SAW ketika mereka bersumpah kepada beliau, lalu beliau membaiat mereka dan memohonkan ampun untuk mereka. Dan Rasulullah SAW menunda urusan kami sehingga Allah memberi keputusan tentang hal itu. Oleh karena itu Allah berfirman (yang artinya) : Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (118)

Dan bukanlah yang disebutkan Allah tentang kami tertinggal dari tidak ikut berperang, tetapi tertinggal di situ adalah pengunduran dan penundaan-Nya terhadap urusan kami dari orang yang bersumpah kepada beliau dan beralasan sehingga beliau menerimanya. [HR. Bukhari juz 5, hal. 130]

Pengaruh kemenangan perang Tabuk

Pengaruh kemenangan kaum muslimin pada perang Tabuk itu sangat terasa oleh segenap qabilah ‘Arab yang masih musyrik dan belum mau menyerah kepada kaum muslimin. Apalagi dalam kalangan para pembesar, amatlah dirasakan dan diperhatikan sungguh-sungguh kemenangan-kemenangan yang telah dicapai oleh kaum muslimin, karena sebelum perang Tabuk, kaum muslimin sudah berhasil menaklukkan Makkah, Hunain dan juga mengepung Thaif. Oleh sebab itu, segenap penduduk qabilah di sekitar jazirah ‘Arab telah merasa lemah, tidak dapat melawan dan tidak akan sanggup menghadapi jika sewaktu-waktu pasukan tentara kaum muslimin menggempur qabilah mereka.
Oleh karena itu sebagian dari kepala-kepala dan pembesar-pembesar musyrikin Quraisy berpendapat bahwa lebih baik menyerah dan mengikut Islam saja daripada ditundukkan tentara kaum muslimin nantinya. Sebab sebagian dari kepala-kepala dan pembesar-pembesar qabilah kaum Quraisy yang telah menyerah dan mengikut Islam tetap diangkat oleh Nabi menjadi kepala dan pembesar pada qabilah mereka masing-masing.
Dan karena demikian, sebelum tentara kaum muslimin bergerak dan menggempur qabilah-qabilah yang masih membangkang, maka sebagian dari kepala-kepala dan pembesar qabilah dengan tulus ikhlash mengirimkan utusan atau mereka sendiri datang ke Madinah, menemui Nabi SAW dan menyatakan keinginan mereka untuk masuk Islam.

Kedatangan utusan kaum Banu Tsaqif

Ibnu Ishaq mengatakan : Rasulullah SAW tiba di Madinah dari Tabuk pada bulan Ramadlan tahun 9 hijriyah, dan pada bulan itu pula datanglah tamu utusan dari qabilah Banu Tsaqif kepada beliau.
Perlu diketahui bahwa ketika Nabi SAW dan kaum muslimin meninggalkan Thaif (setelah mengepungnya selama + 18 hari) dan kembali ke Madinah, maka ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafiy seorang pembesar Banu Tsaqif yang berkedudukan di Thaif mengikuti perjalanan Nabi SAW untuk menyatakan masuk Islam. Dan ia berhasil bertemu dengan Nabi SAW sebelum beliau sampai di Madinah. Dan ketika itu juga ia menghadap Nabi SAW dan menyatakan masuk Islam.
Sebenarnya dia sudah lama ingin masuk Islam, tetapi karena sesuatu hal, dia belum bisa menyatakan keislamannya. Telah lama dia memperhatikan ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi SAW itu, betapa suci dan tingginya pimpinan beliau, karena ketika terjadi perdamaian Hudaibiyah, ‘Urwah bin Mas’ud ini termasuk salah seorang utusan ketua Quraisy yang ikut serta dalam perundingan itu.
Setelah ‘Urwah masuk Islam, lalu dia minta ijin kepada Nabi SAW untuk kembali kepada kaumnya dan akan menyampaikan seruan Islam itu kepada kaum banu Tsaqif. Setelah Nabi SAW mendengar permintaan ijin ‘Urwah itu, beliau lalu bersabda :
اِنَّهُمْ قَاتَلُوْكَ. ابن هشام 5: 222
Sesungguhnya mereka akan membunuhmu. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 222]
Nabi SAW bersabda demikian, karena beliau mengerti, bahwa kaumnya sangat fanatik kepada berhala mereka yang terkenal dengan nama “Laata”. Dengan demikian, tentu mereka akan menentang seruan Islam.
Kemudian ‘Urwah menjawab :
يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّا اَحَبُّ اِلَيْهِمْ مِنْ اَبْكَارِهِمْ. ابن هشام 5: 222
“(Tidak) ya Rasulullah, mereka sangat sayang dan cinta kepada saya, melebihi kecintaan mereka kepada anak-anak gadis mereka”. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 222]
Memang ‘Urwah sangat dicintai dan disayangi serta dithaati oleh kaumnya. Dengan demikian, menurut perkiraannya, tentu ajakan dan seruannya akan didengar dan dithaati pula. Oleh karena itulah, maka dia ingin pulang untuk menyampaikan seruan Islam kepada kaumnya.
Akhirnya ‘Urwah bin Mas’ud kembali kepada kaumnya. ‘Urwah bermaksud akan mengajak mereka masuk Islam dengan harapan bahwa kaumnya tidak akan menentangnya, karena mengingat kedudukan dan pengaruhnya di tengah-tengah kaumnya.
Kemudian ‘Urwah mengumumkan bahwa dia telah masuk Islam, dan dia mengajak segenap kaumnya supaya masuk Islam pula.
Mendengar seruannya itu, semua kaumnya diam saja, tak seorangpun mengemukakan pendapat mereka dan tak seorang pula yang menentangnya, tetapi dengan diam-diam mereka mengundurkan diri dan mengadakan pembicaraan dengan teman-teman mereka. Pada keesokan harinya, diwaktu fajar menyingsing, ‘Urwah naik ke sebuah tempat yang tinggi, dari tempat itu dia berseru dengan sekeras suaranya, supaya kaumnya mau masuk Islam.
Namun hasil pembicaraan kaumnya telah memutuskan bahwa mereka akan menolak seruannya dan akan membunuhnya. Maka ketika mereka mendengar suara ‘Urwah yang keras dan lantang, yang menyerukan supaya kaumnya masuk Islam, serentak mereka menghujaninya dengan anak panah dari segenap penjuru, sehingga ‘Urwah menemui ajalnya di tempat itu juga.
Betul sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW kepada ‘Urwah, bahwa dia akan dibunuh oleh kaumnya. Namun sekalipun dia mati terbunuh, tetapi matinya adalah mati dalam kemuliaan dan kesucian.

Ketika ‘Urwah akan menghembuskan nafas yang penghabisan, ada yang bertanya :

مَا تَرَى فِى دَمِكَ؟ قَالَ: كَرَامَةٌ اَكْرَمَنِى اللهُ بِهَا، وَ شَهَادَةٌ سَاقَهَا اللهُ اِلَيَّ، فَلَيْسَ فِيَّ اِلاَّ مَا فِى الشُّهَدَاءِ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص قَبْلَ اَنْ يَرْحَلَ عَنْكُمْ فَادْفَنُوْنِى مَعَهُمْ. ابن هشام 5: 222
“Hai ‘Urwah, bagaimanakah pendapatmu mengenai darahmu ?”. Ia menjawab, “Satu kemuliaan yang diberikan Allah kepadaku dan suatu kesaksian yang diberikan-Nya bagiku; maka tidak ada bagiku, kecuali apa-apa yang telah diperoleh oleh pahlawan-pahlawan syahid yang terbunuh dalam pertempuran bersama Rasulullah SAW, sebelum beliau meninggalkan kamu sekalian. Oleh sebab itu, maka quburkanlah aku bersama mereka”. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 222]

Permintaan ‘Urwah ini diperkenankan dan dilaksanakan oleh segenap keluarganya, lalu ia diquburkan di pequburan pahlawan-pahlawan syahid di Thaif dengan tidak mendapat rintangan apa-apa dari kaumnya.
Sehubungan dengan meninggalnya ‘Urwah bin Mas’ud ini, Rasulullah SAW bersabda :
اِنَّ مَثَلَهُ فِى قَوْمِهِ لَكَمَثَلِ صَاحِبِ يَاسِيْنٍ فِى قَوْمِهِ. ابن هشام 5: 223
Sesungguhnya permisalan dia di tengah-tengah kaumnya adalah seperti permisalan shahabat Yasin di tengah-tengah kaumnya. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 223]

Di dalam QS Yaasiin : 20, dijelaskan ada seorang yang berseru kepada kaumnya, “Hai kaumku, ikutilah para Rasul”, lalu ia dubunuh oleh kaumnya.
Setelah kaum Banu Tsaqif membunuh seorang pembesarnya yang ternama, yaitu ‘Urwah bin Mas’ud, maka timbullah kekhawatiran dan ketakutan dalam hati mereka, karena mereka sadar bahwa mereka tidak akan sanggup mempertahankan diri apabila mendapat serangan dari qabilah-qabilah ‘Arab yang berada di sekeliling mereka, yang sebagian besar telah mengikut agama Islam. Kecemasan dan ketakutan mereka yang demikian itu makin lama makin hebat, karena kemungkinan besar kaum muslimin akan mengadakan pembalasan terhadap perbuatan mereka yang kejam itu. Oleh sebab itu mereka senantiasa mengadakan rapat untuk mencari jalan keluar dari ancaman itu dan untuk menyelamatkan diri dari serangan kaum muslimin yang sangat mereka khawatirkan itu.
Akhirnya mereka mengambil suatu keputusan dengan suara bulat, bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari ancaman itu ialah mereka segera mengirimkan seorang pembesar, sebagai utusan mereka untuk menghadap Nabi SAW ke Madinah. Kemudian mereka menetapkan bahwa yang akan menjadi utusan mereka itu adalah ‘Abdu Yalil bin ‘Amr. Keputusan ini tidak diterima oleh ‘Abdu Yalil, karena dia keberatan jika diutus sendirian. Karena ‘Abdu Yalil khawatir kalau-kalau dirinya nanti akan diperlakukan pula oleh kaumnya sebagaimana yang telah mereka perbuat terhadap ‘Urwah bin Mas’ud. ‘Abdu Yalil berkata :
لَسْتُ فَاعِلاً حَتَّى تُرْسِلُوْا مَعِى رِجَالاً. ابن هشام 5: 224
Saya tidak mau melakukannya sehingga kalian mengirimkan beberapa orang untuk menemaniku. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 224]
Ia bersedia dan sanggup menjadi utusan, kalau disertai oleh pembesar-pembesar yang lain. Oleh sebab itu, mereka lalu menetapkan bahwa yang akan menemani ‘Abdu Yalil untuk menghadap Nabi SAW, ialah Hakam bin ‘Amr, Syurahbil bin Ghaylan, ‘Utsman bin Abil ‘Ash, Aus bin ‘Auf dan Numair bin Kharasyah. Jadi utusan itu terdiri dari enam orang dan dikepalai oleh ‘Abdu Yalil.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah mereka ke Madinah untuk menghadap Nabi Muhammad SAW. Karena hampir sampai di Madinah, mereka singgah di suatu tempat, dan di tempat itulah mereka bertemu dengan Mughirah bin Syu’bah Ats-Tsaqafiy, seorang Banu Tsaqif yang sudah lama memeluk Islam. Melihat kedatangan mereka, Mughirah sangat senang, sebab selain mereka itu orang satu qabilah, juga karena kedatangan mereka itu untuk menghadap Nabi SAW. Maka Mughirah segera memberitahukan kepada Nabi SAW tentang kedatangan mereka. Tetapi sebelum dia sampai ke rumah Nabi SAW, dia bertemu dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lalu ia memberitahukan kedatangan mereka itu kepada Abu Bakar. Mendengar berita Mughirah tersebut, maka Abu Bakar berkata :

اَقْسَمْتُ عَلَيْكَ بِاللهِ لاَ تَسْبِقْنِى اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص حَتَّى اَكُوْنَ اَنَا اُحَدّثُهُ. ابن هشام 5: 224
“Saya minta dengan nama Allah kepadamu, supaya kamu jangan datang lebih dahulu kepada Nabi SAW, sebelum saya memberitahukan kedatangan mereka kepada beliau”. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 224]

Dengan patuh Mughirah menuruti apa yang dikatakan Abu Bakar kepadanya, lalu Abu Bakar segera memberitahukan kedatangan mereka itu kepada Nabi SAW.
Kemudian Mughirah menjemput mereka untuk masuk Madinah. Mughirah senantiasa mengajarkan kepada mereka, cara-cara memberi hormat kepada orang lain menurut ajaran Islam, terutama kepada Nabi SAW, dan mereka diperingatkan pula, jangan memberi hormat kepada Nabi dengan penghormatan jahiliyyah.
Tetapi ajaran dan peringatan Mughirah yang baik itu belum mendapat perhatian mereka, sehingga setelah mereka sampai di rumah Nabi SAW, mereka masuk menghadap Nabi dengan memberi hormat secara jahiliyah.
Kedatangan mereka disambut oleh Nabi SAW dengan baik dan hormat sebagaimana beliau menyambut dan menerima tamu-tamu beliau yang lain.
Kemudian Nabi SAW menyediakan sebuah qubbah atau kemah yang didirikan di samping masjid untuk tempat tinggal sementara bagi mereka, selama mereka berada di Madinah.
Demikianlah taktik Nabi SAW, agar masing-masing mereka melihat dan memperhatikan dari dekat, bagaimana keadaan kaum muslimin diwaktu mengerjakan shalat lima waktu pada setiap harinya, dan supaya masing-masing mereka mendengar bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh kaum muslimin, juga supaya mereka tahu bagaimana akhlaq kaum muslimin dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya.
Demikian pula untuk makan, mereka dilayani sebaik-baiknya oleh kaum muslimin, dan itu sudah merupakan suatu tanggungan kaum muslimin yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW.
Adapun orang yang menjadi perantara, yaitu penghubung antara Nabi SAW dengan mereka, ialah salah seorang shahabat Nabi yang bernama Khalid bin Sa’id bin ‘Ash. Namun mereka tidak mau memakan makanan yang telah disediakan untuk mereka, sebelum Khalid bin Sa’id makan lebih dahulu, karena mereka khawatir, kalau-kalau makanan itu dibubuhi racun oleh kaum muslimin.
Kemudian setelah mereka insyaf dan ingin masuk Islam, mereka menyatakan kepada Nabi SAW, bahwa mereka dan segenap kaumnya bersedia memeluk Islam, tetapi dengan syarat sebagai berikut :
1. Berhala mereka yang bernama “Al-Laata” jangan diruntuhkan selama tiga tahun, agar kaum mereka tidak terkejut dan tidak marah kepada mereka.
2.  Supaya mereka dibebaskan dari kewajiban mengerjakan shalat lima waktu.
3.  Supaya yang menghacurkan berhala Al-Laata itu bukan mereka.
Semua permintaan mereka yang demikian itu ditolak oleh Nabi SAW, bahkan beliau menyatakan dengan tegas, bahwa berhala, “Al-Laata” yang mereka puja-puja itu, harus dihancurkan dengan segera, dan tidak ada kebaikan dalam suatu agama, yang tidak ada shalat padanya.
Kemudian mereka memohon lagi, supaya berhala mereka dibiarkan dulu selama dua tahun setelah mereka masuk Islam. Permintaan inipun ditolak pula oleh Nabi SAW. Kemudian mereka meminta lagi kepada Nabi SAW agar berhala “Al-Laata” itu jangan diruntuhkan selama setahun saja, dimulai sejak mereka masuk Islam. Mereka beralasan bahwa tindakan ini perlu sebagai taktik untuk menarik kaum mereka supaya mau masuk Islam. Dan apabila semua kaum mereka telah memeluk Islam, maka bolehlah berhala yang berpengaruh besar itu diruntuhkan. Permintaan mereka yang demikian itupun ditolak oleh Nabi SAW.
Mereka memohon lagi supaya dibolehkan dalam tempo satu bulan saja, dimulai sejak mereka kembali kepada kaum mereka. Mereka meminta demikian untuk menenggang perasaan orang-orang yang kurang akal, para wanita dan anak-anak mereka. Mereka ingin agar kaum mereka tidak terkejut disebabkan dihancurkannya berhala itu, sampai semua kaum mereka memeluk Islam. Permintaan mereka itupun ditolak oleh Nabi SAW. Karena syarat yang demikian itu tidak dapat diterima oleh seorang Nabi yang diutus Allah untuk menyeru manusia kepada tauhid, menyembah Allah Yang Maha Esa. Karena Allah sendiri memerintahkan supaya menghancurkan berhala dan segala sesuatu yang bersifat dan berbau keberhalaan. Oleh sebab itu Nabi SAW tetap menyatakan dengan tegas kepada mereka bahwa berhala “Al-Laata” harus dihancurkan dengan segera.
Setelah tidak ada lagi kemungkinan untuk menangguhkan penghancuran berhala itu, walaupun hanya satu bulan, lalu mereka menyatakan kepada Nabi SAW bahwa mereka tak sanggup menghancurkan berhala itu dengan tangan mereka sendiri, dan mereka tetap meminta kepada Nabi SAW agar mereka dibebaskan dari kewajiban mengerjakan shalat.

Mendengar permintaan mereka yang demikian itu, maka Nabi SAW bersabda :

اَمَّا كَسْرُ اَوْثَانِكُمْ بِاَيْدِيْكُمْ فَسَنُعْفِيْكُمْ مِنْهُ. وَ اَمَّا الصَّلاَةُ فَاِنَّهُ لاَ خَيْرَ فِى دِيْنٍ لاَ صَلاَةَ فِيْهِ. ابن هشام 5: 225
Adapun menghancurkan berhala kalian dengan tangan kalian sendiri, maka kami bebaskan kalian dari padanya, Adapun shalat, sesungguhnya tidak ada kebaikan dalam agama yang tidak ada shalat padanya. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 225]

Keberatan mereka untuk menghancurkan berhala Al-Laata dengan tangan mereka sendiri dapat diterima oleh Nabi SAW, maka mereka dibebaskan dari melakukan pekerjaan itu. Dan berhala itu akan dihancurkan oleh orang-orang yang akan ditunjuk oleh Nabi SAW sendiri. Tetapi permintaan mereka agar mereka dibebaskan dari mengerjakan shalat, tidak dapat diterima oleh Nabi SAW.
Setelah mereka mendengar jawaban Nabi SAW yang demikian, akhirnya mereka menyatakan keislaman mereka kepada Nabi SAW. Setiap pagi mereka datang kepada Nabi SAW untuk belajar agama Islam, kecuali kawan mereka yang termuda, yaitu ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang mereka tugaskan untuk menjaga kemah mereka. Tetapi apabila mereka telah selesai belajar dan kembali ke kemah mereka, maka ‘Utsman pergi sendirian ke rumah Nabi SAW untuk belajar Al-Qur’an dan hukum-hukum agama. Apabila Nabi SAW sedang tidur, dia pergi ke rumah Abu Bakar dengan maksud yang sama. Sebab itu, maka dialah orang yang paling banyak hafal Al-Qur’an dan mengerti hukum-hukum agama Islam diantara mereka.
‘Utsman bin ‘Abil ‘Ash berbuat demikian itu tidak diketahui oleh teman-temannya. Ia sangat rajin membaca Al-Qur’an dan mempelajari agama Islam. Oleh sebab itu Abu Bakar sendiri pernah melaporkan kepada Nabi SAW bahwa dia adalah seorang yang paling rajin mempelajari agama Islam dan membaca Al-Qur’an diantara mereka berenam itu.

mta 08/2005, 01,02/2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar