Masjid Dlirar
Dahulu sebelum Nabi SAW Hijrah ke Madinah, di Madinah ada seorang Rahib (pendeta) dari suku Khazraj bernama Abu ‘Amir. Ia memeluk agama Nashrani di masa Jahiliyah dan memiliki kedudukan penting di kalangan qabilah Khazraj. Ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah, kemudian kaum muslimin berhimpun di sekitar beliau dan Islam pun telah menyebar luas, dan Allah pun memberi kemenangan kepada kaum muslimin dalam perang Badr, Abu ‘Amir bangkit menunjukkan permusuhannya kepada Rasulullah SAW. Ia pergi ke Makkah meminta dukungan orang-orang musyrik Quraisy untuk memerangi Rasulullah SAW. Setelah melihat dakwah Rasulullah SAW semakin bertambah maju dan kuat, ia pun pergi menemui Heraclius, raja Romawi untuk meminta bantuan menghadapi Nabi SAW. Heraclius menjanjikan apa yang diinginkannya, kemudian ia pun tinggal di negeri Heraclius. Dari tempat “pengasingannya” itu ia menulis surat kepada orang-orang munafiqin Madinah yang isinya menjanjikan kepada mereka apa yang dijanjikan oleh Heraclius kepada dirinya dan memerintahkan mereka agar membangun sebuah markas tempat mereka berkumpul untuk mewujudkan rencana jahat yang tertuang di dalam surat tersebut.
Kemudian mereka membangun sebuah masjid di dekat masjid Quba’. Masjid ini telah selesai mereka bangun sebelum Rasulullah SAW berangkat ke Tabuk. Kemudian mereka datang kepada Rasulullah SAW, meminta agar Rasulullah SAW berkenan shalat di masjid mereka untuk dijadikan dalih dan bukti persetujuannya. Mereka mengemukakan alasan bahwa masjid tersebut dibangun untuk orang-orang yang lemah diantara mereka dan orang-orang yang tidak dapat keluar di malam yang dingin. Tetapi Allah menyelamatkan beliau dari melaksanakan shalat di masjid mereka. Nabi SAW lalu menjawab permintaan mereka itu :
اِنَّا عَلَى سَفَرٍ وَ لكِنْ اِذَا رَجَعْنَا اِنْ شَاءَ اللهُ. ابن كثير 2: 472
Kami sekarang mau berangkat, insya Allah nanti setelah pulang. [Ibnu Katsir juz 2, hal. 472]
Sebelum Rasulullah SAW tiba di Madinah dari Tabuk, jarak perjalanan sesaat di siang hari, Jibril turun membawa berita tentang masjid Dlirar yang sengaja mereka bangun atas dasar kekafiran dan bertujuan memecah belah Jama’ah kaum mu’minin. Kemudian Rasulullah SAW mengutus beberapa shahabatnya untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum beliau tiba di Madinah :
Adapun orang-orang yang mendirikan masjid Dlirar itu ada dua belas orang, mereka itu ialah : 1. Khizam bin Khalid dari Banu ‘Ubaid bin Zaid, 2. Tsa’labah bin Hathib dari Banu Umayyah bin Zaid, 3. Mu’attib bin Qusyair dari Banu Dlubai’ah bin Zaid, 4. Abu Habibah bin Al-Az’ar dari Banu Dlubai’ah bin Zaid, 5. ‘Abbad bin Hunaif dari Banu ‘Amr bin ‘Auf, 6. Jariyah bin ‘Amir dan dua orang anaknya, yaitu 7. Mujammi’ bin Jariyah dan 8. Zaid bin Jariyah, 9. Nabtal bin Al-Harits dari Banu Dlubai’ah, 10. Bahzaj dari Banu Dlubai’ah, 11. Bijad bin ‘Utsman dari Banu Dlubai’ah dan 12. Wadi’ah bin Tsabit dari Banu Umayyah bin Zaid. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 212]
Kaum muslimin di Quba’ selalu mengerjakan shalat jama’ah di masjid Quba’ yang pertama kali didirikan, tetapi setelah masjid yang kedua tadi didirikan oleh kaum munafiqin, maka sebagian kaum muslimin ada yang mengerjakan shalat di dalamnya, dan meninggalkan masjid Quba’. Peristiwa yang demikian itu tentu menimbulkan perpecahan diantara kaum muslimin, padahal masjid yang kedua itu seringkali dipergunakan oleh kaum munafiqin untuk berkumpul dan pertemuan. Mereka berkumpul untuk mencaci, menghina dan memperolok-olok Nabi SAW. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 203]
Menurut riwayat yang lain, pada waktu masjid itu baru selesai didirikan, maka kaum Bani Ghanmin menyuruh orang supaya datang kepada Nabi SAW untuk memberitahukan bahwa mereka telah selesai mendirikan masjid, dan meminta kepada beliau supaya memerlukan datang ke masjid itu. Setelah mereka menghadap kepada Nabi SAW, lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya sekarang ini kami telah mendirikan sebuah masjid (yang lebih baik daripada masjid yang telah ada), untuk memudahkan orang-orang yang sakit, yang punya keperluan, diwaktu malam sedang turun hujan dan malam yang dingin. Dan kami sangat berharap agar engkau bisa datang kepada kami lalu shalat di dalam masjid itu, dan mendoakan keberkahan untuk kami”.
Ketika mereka datang kepada Nabi SAW itu, kebetulan pada waktu itu beliau sedang bersiap-siap berangkat ke Tabuk, maka beliau lalu memberi jawaban kepada mereka :
اِنّى عَلَى جُنَاحِ سَفَرٍ وَ حَالِ شُغْلٍ، وَ لَوْ قَدِمْنَا اِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى َلاَتَيْنَاكُمْ فَصَلَّيْنَا لَكُمْ فِيْهِ. السيرة الحلبية 3: 203
Sesungguhnya saya (sekarang ini) akan pergi dan sedang sibuk. Nanti jika kami sudah datang, insya Allah akan datang kepada kalian, lalu kami shalat di dalamnya bersama-sama kalian. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 203]
Oleh sebab itu, maka ketika Nabi SAW bersama tentara kaum muslimin kembali dari Tabuk, perjalanan beliau sedang sampai di satu tempat yang bernama Dzi Awan, suatu tempat di luar kota Madinah, kira-kira sejauh perjalanan sesaat di siang hari, datanglah serombongan kaum munafiqin kepada beliau dengan mengemukakan permintaan, supaya beliau datang ke masjid yang baru didirikan oleh mereka itu, sebagaimana yang telah dijanjikan oleh beliau ketika akan berangkat ke Tabuk. Permintaan mereka itu oleh Nabi SAW akan dikabulkan, dan beliau ingin mendatangi-nya, tetapi mendadak beliau menerima wahyu dari Allah SWT :
وَ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَّ كُفْرًا وَّ تَفْرِيْقًا بَيْنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَ اِرْصَادًا لّمَنْ حَارَبَ اللهَ وَ رَسُوْلَه مِنْ قَبْلُ، وَ لَيَحْلِفُنَّ اِنْ اَرَدْنَآ اِلاَّ اْلحُسْنى، وَ اللهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكذِبُوْنَ(107) لاَ تَقُمْ فِيْهِ اَبَدًا، لَمَسْجِدٌ اُسّسَ عَلَى التَّقْوى مِنْ اَوَّلِ يَوْمٍ اَحَقُّ اَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ، فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ اَنْ يَّتَطَهَّرُوْا، وَ اللهُ يُحِبُّ اْلمُطَّهّرِيْنَ(108) اَ فَمَنْ اَسَّسَ بُنْيَانَه عَلى تَقْوى مِنَ اللهِ وَ رِضْوَانٍ خَيْرٌ اَمْ مَّنْ اَسَّسَ بُنْيَانَه عَلى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِه فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ، وَ اللهُ لاَ يَهْدِى اْلقَوْمَ الظّلِمِيْنَ(109) لاَ يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِيْ بَنَوْا رِيْبَةً فِيْ قُلُوْبِهِمْ اِلآَّ اَنْ تَقَطَّعَ قُلُوْبُهُمْ، وَ اللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ(110) التوبة: 107-110
Dan (diantara orang-orang munafiq itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudlaratan (pada orang-orang mukmin) untuk kekafiran, dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (107)
Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. (108).
Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridlaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam ? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dhalim. (109)
Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (110) [QS. At-Taubah : 107-110]
Setelah Nabi SAW menerima wahyu tersebut, beliau tidak jadi berangkat memenuhi permintaan kaum munafiqin mendatangi masjid yang baru itu. Bahkan Nabi SAW memerintahkan kepada beberapa orang dari kaum muslimin, diantaranya seorang yang bernama Wahsyi (pembunuh Hamzah bin‘Abdul Muththalib ketika terjadi perang Uhud), dengan sabdanya :
اِنْطَلِقُوْا اِلىَ اْلمَسْجِدِ الظَّالِمِ اَهْلُهُ فَاَحْرِقُوْهُ وَ اهْدِمُوْهُ عَلَى اَصْحَابِهِ!
Berangkatlah kamu sekalian ke masjid yang penghuninya dhalim itu, lalu bakarlah dan hancurkanlah pada penghuninya !. [Sirah Halabiyah juz 3, hal. 203]
Dalam riwayat lain diterangkan bahwa kaum muslimin yang diperintah supaya membakar dan menghancurkan masjid Dlirar itu ialah Malik bin Dukhsyam dan Ma’nun bin ‘Adiy atau saudaranya, yaitu ‘Ashim bin ‘Adiy. Beliau bersabda kepada keduanya :
اِنْطَلِقَا اِلىَ هذَا اْلمَسْجِدِ الظَّالِمِ اَهْلُهُ فَاهْدِمَاهُ وَ حَرّقَاهُ!
Berangkatlah kamu berdua ke masjid yang ahlinya dhalim itu, lalu hancurkanlah dan bakarlah !. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 211]
Demikian riwayat singkat masjid Dlirar yang didirikan oleh kaum munafiqin, sebuah masjid yang sengaja didirikan untuk mencelakakan dan memecah belah kaum muslimin, yang akhirnya dibakar dan dihancurkan atas perintah Nabi SAW.
Penyesalan tiga orang shahabat yang tidak ikut ke Tabuk
Diantara kaum muslimin yang tidak ikut berangkat ke Tabuk ialah Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi’. Sedang mereka itu tidak mempunyai alasan yang menghalangi keberangkatan mereka. Dengan kata lain, mereka sengaja tidak ikut berangkat.
Kemudian setelah Nabi SAW bersama pasukan muslimin tiba di Madinah, mereka (tiga orang tersebut) terburu-buru datang menghadap kepada beliau lalu memohon supaya dimaafkan segala kesalahan mereka, karena mereka merasa bersalah, tidak ikut berangkat ke Tabuk, padahal tidak ada halangan yang sebenarnya. Tetapi sebelum mereka itu datang menghadap kepada Nabi SAW, beliau telah menyatakan kepada segenap kaum muslimin :
لاَ تُكَلّمُنَّ رَجُلاً تَخَلَّفَ عَنَّا وَ لاَ تُجَالِسُوْهُ حَتىَّ اذَنَ لَكُمْ
Janganlah kalian bercakap-cakap dengan seseorang yang tidak ikut kita, dan janganlah kamu sekalian duduk bersamanya sehingga saya mengijinkan kepada kalian. [Ad-Durrul Mantsur juz 3, hal. 512]
Dalam riwayat lain disebutkan :
لاَ تُكَلّمُنَّ اَحَدًا مِنْ هؤُلاَءِ الثَّلاَثَةِ. ابن هشام 5: 213
Janganlah kalian berbicara dengan seseorang dari mereka bertiga. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 213]
Nabi SAW memerintahkan demikian itu berarti bahwa kaum muslimin supaya memboikot mereka. Tegasnya jangan ada seseorang muslim yang berbicara dan mengadakan hubungan apa saja dengan mereka, yang demikian itu untuk menjadi pengajaran bagi mereka dan untuk contoh bagi segenap kaum muslimin.
Ketika mereka itu datang menghadap kepada Nabi SAW, segenap kaum muslimin seketika itu memalingkan muka dari mereka, dan Nabi SAW pun memalingkan muka juga.
Kemudian Ka’ab bin Malik datang menghadap kepada Nabi SAW sambil mengucapkan salam kepada beliau, lalu beliau menyambut dengan senyuman sinis, lalu beliau bersabda, “Marilah, silakan !”. Ka’ab lalu duduk di hadapan beliau. Beliau bertanya :
مَا خَلَّفَكَ، اَلَمْ تَكُنْ اِبْتَعْتَ ظَهْرَكَ؟
Mengapa kamu tidak ikut berangkat, bukankah kamu telah membeli kendaraanmu ?. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 216]
Ka’ab menjawab, “Ya, demi Allah. Sesungguhnya jika saya duduk di hadapan orang yang selain engkau dari penduduk dunia ini, tentu saya akan terbebas dari kemarahannya, dengan beralasan. Lebih-lebih saya ini orang yang diberi kelebihan pandai bicara dan berbantah. Akan tetapi demi Allah, sesungguhnya saya mengetahui bahwa jika saya mengatakan kepada engkau sekarang ini suatu perkataan dusta, lalu engkau ridla kepada saya, niscaya Allah timpakan kemurkaan engkau kepada saya. Dan jika saya mengatakan kepada engkau dengan sesuatu perkataan yang benar, padahal engkau marah kepada saya, niscaya saya mengharapkan ampunan dari Allah kepada saya tentang itu. Demi Allah, sesungguhnya saya ini tidak ada udzur, tidak berhalangan sesuatu apapun. Demi Allah, bahkan sesungguhnya saya ini belum pernah mempunyai kekuatan dan kelonggaran seperti ketika saya tidak ikut engkau sewaktu berangkat ke Tabuk”. Demikianlah jawab Ka’ab bin Malik.
Mendengar apa yang dikatakan Ka’ab itu Nabi SAW lalu bersabda :
اَمَّا هذَا قَدْ صَدَقْتَ فِيْهِ، فَقُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللهُ فِيْكَ. ابن هشام 5: 216
Tentang ini sesungguhnya kamu benar, maka berdirilah (pergilah) kamu sehingga Allah memberi keputusan kepadamu. [Ibnu Hisyam juz 5, hal. 216]
Kemudian datanglah Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi’ kepada Nabi SAW, maka setelah mereka berdua menghadap kepada beliau lalu mengemukakan permohonan sebagaimana Ka’ab bin Malik. Oleh Nabi SAW mereka diberi jawaban seperti jawaban yang beliau berikan kepada Ka’ab bin Malik. Padahal keduanya itu termasuk dari kaum muslimin yang ikut perang Badr. Berhubung dengan larangan yang telah diumumkan oleh Nabi SAW bahwa kaum muslimin tidak boleh berbicara dan duduk bersama-sama dengan mereka bertiga, maka larangan itu benar-benar dithaati. Segenap kaum muslimin tetap menjauhi dan memboikot mereka, sehingga keadaan mereka bertiga itu seakan-akan tidak hidup di muka bumi. Bumi yang luas ini mereka rasakan sempit.
Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi’ selalu berdiam di rumah saja, karena masing-masing sangat susah dan sedih hati, serta terus-menerus menangis setiap hari. Adapun Ka’ab bin Malik setiap harinya tetap datang ke masjid, mengerjakan shalat bersama-sama kaum muslimin, dan berjalan-jalan ke pasar, masuk kampung keluar kampung seperti biasanya, tetapi tidak seorang pun dari kaum muslimin yang mengajaknya bercakap-cakap, bahkan jika bertemu dengannya, masing-masing memalingkan wajahnya.
Pada suatu hari Ka’ab bin Malik datang kepada Nabi SAW sambil mengucapkan salam, ketika beliau sedang duduk di tempatnya setelah mengerjakan shalat, tetapi beliau diam, tidak kelihatan menjawab, sehingga ia berkata dalam hatinya sendiri, “Entah Rasulullah SAW menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak”.
Kemudian pada suatu hari yang lain Ka’ab bin Malik mengerjakan shalat di dekat beliau. Setelah Nabi SAW selesai mengerjakan shalat, Ka’ab melihat kepada beliau dengan sembunyi-sembunyi. Jika ia menghadapkan wajah ke arah tempat shalatnya, beliau melihat kepadanya. Dan jika ia menengok dan melihat kepada beliau, maka beliau memalingkan wajah dari padanya.
Demikianlah keadaan tiga orang shahabat yang diboikot oleh Nabi SAW dan oleh segenap kaum muslimin ketika itu.
mta 09/2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar