Shalat witir

Shalat witir

Allâh Ta'ala menutupi kekurangan shalat fardhu dengan shalat-shalat sunnah dan memerintahkan untuk menjaga dan melaksanakannya secara berkesinambungan. Di antara shalat sunnah yang diperintahkan untuk dilakukan secara kontinyu, yaitu shalat Witir.
Dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:                                


Sesungguhnya Allâh telah menambah untuk kalian satu shalat,
maka jagalah shalat tersebut.
Shalat itu ialah Witir.
(HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni
dalam Irwa‘ al-Ghalîl, 2/159)

Karenanya, kita perlu mengetahui hukum-hukum seputar shalat Witir ini, agar dapat mengamalkannya sesuai ajaran dan tuntunan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

PENGERTIAN SHALAT WITIR
Yang dimaksud dengan shalat Witir, ialah shalat yang dikerjakan antara setelah shalat Isyâ‘ hingga terbit fajar Subuh sebagai penutup shalat malam.

HUKUM SHALAT WITIR
Shalat Witir merupakan shalat sunnah muakkadah menurut mayoritas ulama. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya sebagai berikut.


Dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, beliau berkata:
“Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan Witir”.
(Muttafaqun ‘alaihi
)

Dalam hadits ini menunjukkan adanya perintah menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam. Ibnu Daqîqi al-’Iid menyatakan, orang yang mewajibkan shalat witir berdalil dengan bentuk perintah (dalam hadits ini). Seandainya mereka berpendapat wajibnya shalat witir pada akhir shalat malam, maka itu lebih tepat”.


  
Shalat Witir tiga raka’at.

Shalat Witir tiga raka’at boleh dilakukan dengan dua cara :
a.
Shalat tiga raka’at, dilaksanakan dengan dua raka’at salam, kemudian ditambah satu rakaat salam. Ini didasarkan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:

"Dahulu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
memisah antara yang ganjil dan genap dengan salam,
dan beliau perdengarkan kepada kami.
(HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni
dalam Irwâ‘ al- Ghalîl, no. 327)

Juga didasarkan pada perbuatan Ibnu ‘Umar sendiri :
"Dahulu, ‘Abdullah bin ‘Umar mengucapkan salam antara satu raka’at dan dua raka’at dalam witir, hingga memerintahkan orang mengambilkan kebutuhannya.'"
(HR al-Bukhâri)

Shalat tiga raka’at secara bersambung dan tidak duduk tahiyyat, kecuali di akhir raka’at saja.
Hal ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu yang berbunyi:
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
'Janganlah berwitir dengan tiga rakaat menyerupai shalat Maghrib,
namun berwitirlah dengan lima raka’at, tujuh, sembilan
atau sebelas raka’at'”.
(HR al-Hâkim dan dishahihkan Syaikh al-Albâni
dalam kitab Shalat Tarawih, hlm.
85)



Demikian ini juga diamalkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, sebagaimana dikisahkan oleh Ubai bin Ka’ab, ia berkata:



"Dahulu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
membaca dari shalat witirnya surat al-A’lâ
dan pada raka’at kedua membaca surat al-Kâfirûn,
dan rakaat ketiga membaca Qul Huwallahu Ahad.
Beliau tidak salam, kecuali di akhirnya."
(HR an-Nasâ‘i, dan dishahihkan Syaikh al-Albâni
dalam Shahih Sunan an-Nasâ’i, 1/372)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar