Bid'ah 3

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH 

PEMBAGIAN BID’AH BERDASARKAN LIMA HUKUM FIQIH
Pembagian Ulama menjadi bid’ah dua jenis saja sebagaimana diuraikan di atas yaitu :
Imam Syafi’i  membagi: bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah (tercela)
Ibnu Hajar Asqolani membagi :  bid’ah hasanah dan bidh’ah mustaqbahah
Ibnu Atsir Aj-Jaziri membagi :  bid’ah huda (sesui petunjuk) dan bidh’ah dlolal (sesat)
ternyata masih dianggap belum cukup memadai karena kenyataannya bid’ah yang mahmudah (terpuji) pun ada yang merupakan keharusan (wajib) diadakan dan ada juga yang tidak harus melainkan lebih baik jika diadakan. Demikian pula bid’ah yang bid’ah madmumah (tercela) kadarnya berbeda beda ada yang haram namun ada juga yang sekadar makruh.
Untuk itulah ulama lainnya membagi bid’ah dengan pembagian yang berbeda yaitu sesuai kedudukan hukum fiqihnya sesuai kadar kebolehannya dan kadar terlarangnya.
Contohnya adalah Imam Nawawi yang mengatakan : “Para ulama berkata, bid’ah itu ada lima macam : wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. Termasuk bid’ah yang wajib adalah menyusun dalil-dalil ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan penyimpangan akidah dan para pelaku bid’ah serta yang seumpamanya. Termasuk bid’ah yang mandub adalah menyusun kitab-kitab ilmu, membangun madrasah, dan tempat-tempat pengajian serta yang lainnya. Termasuk ia bid’ah yang mubah adalah memperbanyak warna-warna, makanan dan lainnya. Sedangkan bid’ah yang haram dan makruh sudah jelas”. (Lihat Dalam Kitab Tahziibul Asma’ wa-Lughat)
Imam Shan’ani juga mengatakan : Ulama membagi bid’ah ke dalam lima bagian : a) bid’ah wajib, seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan cara membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok dengan menegakkan dalil-dalil b) bid’ah mandubah  seperti membangun berbagai madrasah, c) bid’ah mubahah seperti memakan berbagai makanan dan baju yang indah d) bid’ah muharamah (yang haram) dan e) bid’ah makruhah  sedangkan keduanya ini (muharamah dan makruhah) telah jelas contohnya. Dengan demikian bunyi hdits “sema bid’ah adalah sesat adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya (‘aam makhshush) ” (Subulus Salam Juz 2 Hal 48)
Imam Izzuddin bin Abdussalam seorang ulama mazhab Syafi’i mengatakan : “Bid’ah terbagi lima : bid’ah wajibah, bid’ah muharamah, bid’ah mandubah (bid’ah sunnat), bid’ah makruhah, dan bid’ah mubahah (bid’ah yang mubah). Jalan untuk mengetahui hal itu ialah dengan cara membandingkan bid’ah (hal baru tsb) dengan kaidah-kaidah syari’at. Apabila bid’ah (hal baru) itu masuk ke dalam kaidah wajib maka disebut bid’ah wajibah. Jika masuk kedalam kaidah haram, maka menjadi bid’ah muharamah. Apabila masuk ke dalam kaidah sunnat maka menjadi bid’ah mandubah Dan apabila masuk dalam kaidah mubah menjadi  bid’ah mubahah” (Qawa’id Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anam juz 2 hal 172)
Lebih lanjut Imam Izzuddin bin Abdussalam memberikan contoh sebagai berikut : “Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu (jaman Nabi takada ilmu nahwu) sebagai sarana memahami Al-Qur’an dan Sunnah Rasul s.a.w. Hal ini hukumnya wajib karena menjaga syari’at itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya hal yang wajib, maka hukumnya juga wajib. Contoh kedua, adalah ilmu jarh dan ta’dil (dulu tak ada ilmu jarh wa ta’dil) untuk membedakan hadits yang shahih yang shahih dan lemah. Bid’ah muharamah memiliki banyak contoh, diantaranya bid’ah ajaran qadariyah, jahmiyah, murji’ah dan mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah jenis ini adalah hal yang wajib.
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, diantaranya mendirikan madrasah-madrasah, jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa generasi awal, diantaranya termasuk shalat tarawih (berjamaah). Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushaf Al-Qur’an. Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya memakan makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran, dll.”(Qawa’id Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anam juz 2 hal 133)
Maka perlu dipahami di sini bahwa pembagian bid’ah menjadi lima katagori sesuai dengan status hukum fiqihnya yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah adalah pada posisi pen-takhshish-an yang ketiga. Dan mereka para ulama sampai pada pen-takhshish-an yang keempat dengan menimbangnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah sehingga akhirnya bisa menetapkannya termasuk pada bid’ah yang wajib, haram, sunnah, makruh atau mubah.
Pembagian ini menjadi lain perkaranya jika disalahpahami bahwa pembagian ini terjadi setelah menetapkan istilah bid’ah itu sebagai bid’ah yang dlolalah (sesat) tentu saja tak ada pembagian bid’ah yang wajib, haram, sunnah, makruh atau mubah setelah bid’ah yang dlolalah. Maka jika disalahpahami bahwa pembagian ini terjadi setelah takhshish yang ke-4 akan menimbulkan tuduhan bahwa para ulama itu telah menyimpang dan sesat dalam agama.
Pemilahan Bid’ah Oleh Para Ulama Berada Pada Takhshish Yang Mana?
Kita kembali pada pembahasan makna bid’ah secara istilah syari’ah dimana makna bid’ah yang semula umum, telah mengalami 4 tahap pengkhususan atau 4 tahap pembatasan makna yaitu :
Tahap 1 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah bid’ah dalam perkara agama
Tahap 2 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang menyerupai syari’at
Tahap 3 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang terjadi pada syari’at Muhammad s.a.w.
Tahap 3 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang belum ada di masa Muhammad s.a.w.
Tahap 4 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang tidak memiliki landasan dari nash ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w.
Maka perhatikanlah bahwa pembagian ulama tentang adanya 5 jenis bid’ah itu adalah pada posisi takhsish tahap ke-3.
Oleh karena ahdats (membuat perkara baru) atau muhdats juga merupakan persamaan dari bid’ah maka ia mengalami 4 tahap pengkhususan atau 4 tahap pembatasan makna yang sama yaitu :
Tahap 1 : Yang dimaksud muhdats adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan dalam perkara agama
Tahap 2 : Yang dimaksud muhdats adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan dengan tujuan menyerupai syari’at
Tahap 3 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan pada syari’at Muhammad s.a.w.
Tahap 3 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang belum ada di masa Muhammad s.a.w.
Tahap 4 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang tidak memiliki landasan dari nash ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w.
Maka perlu dipahami bahwa pembagian bid’ah oleh para ulama terjadi pada tahapan takhshish yang ke-3 yaitu ketika menetapkan sesuatu yang baru dan belum menetapkan nya bahwa sesuatu yang baru itu adalah dlolalah (sesat) .
Sebagai contoh Imam Asy-Syafi’i berkata:
Bid’ah ada dua macam: Bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madmumah (yang tercela ). Bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi sunnah adalah bid’ah tercela”. (Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, Juz 9 hal  113)
Imam Syai’i juga membagi muhdats dengan perkataan yang sama :“Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela(Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I (1: 468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)
Imam Syafi’i membagi bidah menjadi bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah (tercela) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun dalam tahap ini Imam Syafi’i masih perlu membagi bid’ah menjadi bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan bid’ah yang madmumah (tercela) Hal ini dillakukan agar tidak salah kaprah bahwa semua perkara baru dalam agama (yaitu sampai takhsish yang ketiga) adalah pasti bid’ah yang tercela.
Lalu apa kriterianya untuk mengetahui mana bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan mana bid’ah yang madmumah (tercela) ? Maka lebih lanjut Imam asy-Syafi’i menjelaskan kriterianya sb :
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka hal yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, Juz 1, Hal 469).
Maka sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ini adalah tahapan takhshsish yang keempat dimana landasan syariat adalah kriteria untuk memilah lagi bid’ah menjadi bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan mana bid’ah yang madmumah (tercela).
Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata :
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan (dalil) dalam syari’at sebagai pendukung. Adapun jika didukung oleh dalil syar’i, maka itu bukanlah bid’ah menurut istilah syar’i, namun bid’ah secara bahasa.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 127)
Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128)
Apa yang dimaksud tidak memiliki dalil? Apa definisi tidak memiliki landasan dalam syariat? Apa batasan yang disebut tidak memiliki dasar dalam Islam? Persoalan ini tidak semudah mengatakannya sehingga dapat membahwa pada sikap terlalu berlebih-lebihan dalam menyalahkan dan menuduh bid’ah .
 Bisa jadi suatu praktek ibadah dikatakan orang tidak memiliki landasan dalil  padahal ia melakukan itu mengikuti pendapat salah satu sahabat Rasulullah s.a.w. (yang mana terkadang sahabat yang satu  berbeda dengan sahabat yang lain). Bisa jadi ia mengikuti salah satu pendapat  tabi’in atau tabiut tabi’in. Atau dapat saja ia menyandarkan diri pada qiyas, atau metoda istishan dengan mempertahankan maqoshid syar’i. Maka kita tidak boleh gegabah menuduh sesuatu perbuatan itu bid’ah karena sepintas lalu tidak ada landasannya dalam syari’at.
Demikianlah Ibnu Taimiyyah ketika mengomentari pernyataan Imam Syafi’i : “Maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di atas ialah apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak disebut bid’ah (Majmu’ Al Fatawa, 20: 163)
Senada dengan Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani (penulis kitab Fathul Bari) berkata :
“Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu dilihat.”  (Fathul Bari, Juz 13 hal. 253)
Ibnu Hajar  Asqolani berkata :
“Yang dimaksud perkataan kullu bid’ah dlaolalh, yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.” (Fathul Bari Juz 13 hal. 254)
Ibnu Hajar Asqolani menjelaskan lebih lanjut :
“Jika bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ maka disebut bid’ah hasanah. Bila berada dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’ maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak termasuk dalam naungan keduanya (baik atau buruk) maka menjadi bagian yang bersifat mubah (boleh-boleh saja). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum” (Fathul Bari’ Juz 4 Hal 253)
Ibnu Hajar Asqolani membagi bidah menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah mustaqbahah (tercela) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali. Sudah jelas bagi beliay bahwa yang dimaksud bid’ah atau muhdats adalah perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun masih dibagi menjadi bid’ah yang hasanah (baik) dan bid’ah yang mustaqbahah (tercela).
Demikian pula dengan Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri berkata : “Bid’ah itu terbagi dua yaitu bid’ah huda (bid’ah yang sesuai dengan petunjuk) dan bid’ah dholal (bid’ah yang sesat). (An Nihayah Al-Gharib fii Hadits wa Al-Atsar juz 1 Hal 267)

Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri membagi bidah menjadi bid’ah huda (mendapat petunjuk) dan bid’ah dlolal (sesat) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali, yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa Muhammad s.a.w , namun masih dibagi menjadi bid’ah yang huda (sesuai petunjuk) dan bid’ah yang dlolal (sesat).
Lalu apa kriterianya untuk mengetahui mana bid’ah yang huda (sesuai petunjuk) dan mana bid’ah yang dlolal (sesat ) ? Maka lebih lanjut Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri menjelaskan kriterianya sb :
Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah s.a.w. tergolong bid’ah tercela dan tertolak (dzammi wal inkar). Bid’ah yang masih termasuk di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan RasulNya maka termasuk hal yang terpuji sedangkan bid’ah yang belum ada semisalnya seperti cara kedermawanan dan cara berbuat kebajikan, maka tergolong yang terpuji (mahmudah) dan tidak mungkin hal tersebut menyelisihi syara’“ (An Nihayah Al-Gharib fii Hadits wa Al-Atsar juz 1 Hal 267)
Imam Ibnu Abdul Barr ulama fiqih dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam bahasa arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada (umum). Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah)  maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir) wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)” (Al-Istidzkar Juz 5 Hal 152)
Di sini Imam Abni Abdul Barr membagi bid’ah menjadi bid’ah laa khoir (bid’ah yang tidak baik) dan ni’matil bid’ah (diambil dari perkataan Umar bin Khattab yang artinya bid’ah yang nikmat). Untuk membedakan mana bid’ah laa khoir  dan mana yang ni’matil bid’ah, maka sebagaimana penjelasan beliau di atas apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah)  maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir). Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)”
Said Hawwa berkata : “Bid’ah itu ada bermacam-macam diantaranya ada bid’ah sayyi’at (buruk) dan bid’ah hasanah (baik) Apa-apa yang sesuai dengan pokok-pokok syari’at yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, qiyas, ijma, maslahah mursalah, ‘istishab, istishan, menolak mafsadah dan mengambil masalahat, maka hal itu tak ada salahnya. Akan tetapi ada orang-orang yang bersikap kaku dan keras mengenai masalah ini sehingga mereka menuduh umat dan para imam melakukan dosa padahal tidak ada dosa yang telah mereka perbuat” (Mudzakarat fii Manazil Shiddiqiin wa Rabbaniyiin, hal 63)
Memang Semua Bid’ah Adalah Sesat, Yaitu Bid’ah Yang Telah Ditakhshish
Makna bid’ah yang benar-benar lengkap secara istilah atau secara syari’at menurut cara penjelasan kami adalah makna bid’ah yang telah mengalami pentakhshishan 4 (empat) tahap yaitu :
-          Takhshih pertama : Maksudnya perkara baru adalah di bidang agama
-          Takhshih kedua  : Maksudnya agama adalah yang menyerupai thariqah, syari’at baru atau ghuluw
-          Takhshih ketiga : Maksudnya agama adalah agamanya syari’at Muhammad s.a.w. dan tidak ada pada masa Muhammad s.a.w.
-          Takhshih keempat : Yang tidak memiliki dalil / landasan dari Al-Qur’an dan Sunnah,
Tentu saja kita setuju jika makna bid’ah yang dipakai pada hadits kullu bid’atin dlolalah dan kullu dlolalah fii naar adalah makna secara istilah atau makna syariat yang lengkap yang telah ditakhshish dalam 4 tahapan di atas. Jika pengertian bid’ah ini yang diambil, maka semua sepakat bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kalimat lengkapnya agar tidak salah paham : “semua bid’ah yang tidak sesuai dengan sunnah adalah sesat” atau ““semua bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya adalah sesat”. Maka bid’ah dlolalah lah yang sesat.
Imam Ibnu Abdul Barr ulama fiqih dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam bahasa arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada (umum). Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah)  maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa khoir) wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)” (Al-Istidzkar Juz 5 Hal 152)
Lihatlah perkataan Ibnu Abdul Baar bahwa yang dimaksud harus kita jauhi harus kita tinggalkan sebagaimana hadits : adalah bid’ah yang tercela yaitu yang telah didetilkan, dirinci melalui pentakhshishan 4 tahap di atas.
Demikian pula Imam Jurjani mengatakan :
Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi sunnah. Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i (Al-Jurjani dalam At-Ta’rifaat Juz 1 hal 13)
Jika Yang Dimaksud Makna Bid’ah Secara Istilah, Tentu Tak Ada Bid’ah Hasanah
Dari uraian makna “bid’ah” secara istilah yang telah spesifik dan khusus sebagaimana telah ditakhshish dalam 4 tahap jelas tidak pada tempatnya dibagi lagi menjadi bid’ah terpuji atau bid’ah tercela. Dan pada makna khusus ini juga tidak bisa dibagi lagi ada bid’ah hasanah dan bid’ah dlolalah. Karena : “tak ada bid’ah dlolalah yang hasanah” (tak ada bid’ah sesat yang baik). Maka klaim dari pihak yang bersemangat bahwa tak ada itu yang namanya bid’ah hasanah. Ya, tentu saja, jika yang Anda maksud bid’ah di sini adalah bid’ah yang itu tuh, bid’ah yang tak ada landasannya dalam syariat dan bid’ah yang jelas kesesatannya, maka kita sepakat bahwa tak ada yang namanya bid’ah hasanah.
Maka wajar jika ada ulama dan sebagian umat muslim yang ngotot mengatakan tak ada bid’ah hasanah. Perkataan ini tidak harus menjadi perdebatan melainkan ditempatkan dan diartikan bahwa di sini yang dipakai adalah makna secara istilah atau makna bid’ah secara syariat yang telah ditakhshish secara lengkap dan detil, sehingga maksudnya kalimat “tak ada bid’ah hasanah” adalah “bid’ah yang itu tuh” bukan bid’ah secara umum, yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syari’at, yaitu syari’atnya Muhammad s.a.w., yaitu yang tak ada pada masa Muhammad s.a.w. dan yaitu yang tak ada landasan dalil syar’iny baik Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, tabi’in atau ijma ulama.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Ibnu Taimiyyah sebagai berikut : Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu jika memang telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan tersebut termasuk sunnah. Namun jika bukan wajib dan bukan pula sunnah, maka tidak ada seorang ulama pun boleh mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah (Majmu’ Al Fatawa, 1: 162)
PEMBAHASAN MASALAH BID’AH 

Pendapat Khulafa’  Ar-Rasyidin Adalah Termasuk Yang Dimaksud “Ada Landasannya Dalam Syari’at”
Dalam sebuah hadits Rasulullah s.a.w. menyampaikan bahwa Khulafa’  Ar-Rasyidin  adalah termasuk sebagai pegangan pokok dalam agama, yaitu setelah Al-Qur’an dan Hadits. Yang dimaksud Khulafa’  Ar-Rasyidin  adalah Abu Bakar r.a., Umar bin Khattab r.a., Utsman bin Affan r.a. dan Ali bin Abi Thalib r.a.
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin al Walid dari Bahir bin Sa’d dari Khalid bin Ma’dan dari Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al ‘Irbadh bin Sariyah dia berkata : “Suatu hari Rasulullah s.a.w.  memberi wejangan kepada kami setelah shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; ‘seakan-akan ini merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya Rasulullah? ‘ Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara baru dalam urusanku (muhdatsati umuri), karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522)
Abu Isa (Tirmidzi) berkata; hadits ini adalah hadits hasan shahih. Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih
Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Ashim telah mengabarkan kepada kami Tsaur bin Yazid telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma’dan dari Abdur Rahman bin ‘Amr dari ‘Irbadl bin Sariah ia berkata; ” Rasulullah s.a.w.  shalat subuh bersama kami, kemudian beliau memberikan wejangan : Barang siapa diantara kalian yang hidup setelahku niscaya ia melihat perbedaan yang banyak, maka kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin yang lurus, gigitlah dengan gigi geraham kalian (peganglah dengan teguh), berhati-hatilah dengan muhdats (sesuatu yang baru ), karena kulla muhdats (segala sesuatu yang baru ) itu bid`ah”. (H.R. Ad-Darimi No. 95) Husain Assad Salim Ad-Daroni mengatakan sanadnya shahih.
Maka takhshish yang ke-4 yang menyatakan bahwa yang dimaksud bid’ah yang benar benar bid’ah ialah yagn dlolalah yaitu yang tidak ada landasannyad alam syari’at, namun perlu dipahami bahwa perkataan dan pendapat serta ijtihad Khulafa’  Ar-Rasyidin merupakan salah satu landasan syari’at.
Maka amalan apapun yang dilandasi  perkataan dan pendapat serta ijtihad Khulafa’  Ar-Rasyidin bukanlah bid’ah yang dlolalah (sesat). Seandainya apa yang dilakukan Khulafa’  Ar-Rasyidin  itu tidak ada landasannya pada Al-Qur’an dan Hadits, dan belum pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. maka hal itu adalah bid’ah hasanah.
Sekali lagi kami tegaskan di sini bahwa apabila ada pendapat atau keputusan Khulafa’  Ar-Rasyidin yang nampak seolah  menyelisihi syari’at atau suatu perkara baru yang belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w., maka hal itu bukanlah termasuk bid’ah yang dlolalah, karena mereka telah mendapat legitimasi (pengesahan) dari Rasulullah s.a.w. untuk boleh memutuskan hukum, dan menetapkan syariat, sebagaimana sabda beliau hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk),, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95)
Lalu orang bertanya : “Memangnya ada pendapat dan perkataan Khulafa’  Ar-Rasyidin  yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.  sebelumnya ? Memangnya ada pendapat dan perkataan Khulafa’  Ar-Rasyidin  tidak ada contonya daro Rasulullah s.a.w.  sebelumnya ? Jawabnya : Ada dan banyak.
Contohnya sebagai berikut :
1.       Shalat Tarawih Berjamaah Sebulan Penuh Pada Bulan Ramadhan Oleh Umar bin Khattab r.a.
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob r.a. pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (ni’matil bid’ah hadzihi). Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam”. (Atsar .R. Bukhari 1871, Muslim No. 1271 dan Imam Malik dalam Muwatha No. 231 )
Walaupun pada Atsar di atas dikatakan bahwa hal ini merupakan ijtihad Umar bin Khatab r.a. namun beberapa riwayat menyatakan bahwa hal ini telah berlangsung sejak jaman Kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.  Ibnu Syihab berkata : Setelah Rasulullah s.a.w. wafat, namun orang-orang terus melestarikan tradisi menegakkan malam Ramadhan (secara bersama berjamaah), keadaan tersebut terus berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan kekhilafahan ‘Umar bin Al Khaththob r.a.
Jika kita menggunakan tahapan takhshish dari makna bid’ah maka kita bisa mengujinya dengan pertanyaan : Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : Jelas, shalat tarawih merupakan perkara agama. Apakah hal ini menyerupai syari’at? Jawabnya : bukan hanya menyerupai memang hal ini adalah syari’at. Apakah hal ini merupakan perkara baru (muhdats) yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah s.a.w.? : Ya, karena walaupuan Rasulullah s.a.w. pernah keluar shalat tarawih berjamaah namun hanya melakukan maksimal 3 malam saja dan belum pernah Rasululullah keluar shalat tarawih berjamaah selama sebulan penuh. Apakah hal ini ada landasannya dalam syari’at? Jawabnya : tergantung apa yang Anda maksud ada landasannya. Yang jelas Rasulullah s.a.w. pernah keluar shalat tarawih berjamaah, artinya hal ini tidak terlarang dan hal ini merupakan dalil untuk dibolehkannya shalat tarawih berjamaah. Namun dari segi terus menerus dilaksanakannya selama sebulan penuh, Rasulullah s.a.w. sama sekali belum pernah melakukannya.
Sebagian kalangan yang ngotot dengan keumuman makna bid’ah dan menolak adanya bid’ah hasanah mengatakan bahwa terjadi salah paham pada perkataan ni’matil bid’ah hadzihi oleh Umar bin Khattab r.a. bahwa maksud bid’ah di sini adalah secara bahasa (artinya baru) karena hal itu memang baru dan belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah s.a.w. namun hal itu bukanlah bid’ah karena masih ada landasannya dalam syari’at.
Kalaupun itu bid’ah maka perhatikan sabda Rasulullah s.a.w. berikut ini :
“Karena orang-orang yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnah Khulafa’  Ar-Rasyidin  yang diberi petunjuk (Alloh). Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”)
Maka lihatlah bahwa ini adalah sunnah Khulafa’  Ar-Rasyidin , tidak mungkin mereka tidak paham agama dan melakukan bida’ah. Jadi sesungguhnya antara kita dan dia tak ada perbedaan dalam hal ini. Karena pembagian adanya bid’ah hasanah adalah pada tahapan takhshish yang ke-3 yaitu perkara yang tak ada contohnya pada masa Rasulullah s.a.w. , namun adal dalilnya yaitu ijtihad Khulafa’  Ar-Rasyidin  karena apa yang mereka lakukan adalah termasuk pada sunnah sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. di atas. Sehingga pembahasan masalah ini tidak termasuk pada takhshish yang ke-4 yaitu yang tak ada dalilnya dari syari’at.
2.       Shalat Tarawih Berjamaah 23 Rakaat Oleh Umar bin Khattab r.a.
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yazid bin Ruman dia berkata; “Para sahabat pada masa Umar bin Khatthab mengerjakan shalat malam dua puluh tiga rakaat.” (Atsar .R. Imam Malik dalam Muwatha’ Hadits No. 233)
Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan lebih dari 11 rakaat.
Mengapa orang-orang menambahkan sampai 23 rakaat? Karena mereka berkehendak menambah ibadah sebanyak-banyaknya pada bulan Ramadhan. Dan selain itu dahulu Rasulullah s.a.w. melaksanakan shalat tarawih itu sampai 1/3 malam lewat artinya sampai sekitar jam 10 atau 11 malam.
Telah menceritakan kepada kami Zakariya bin ‘Adi telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’ dari Daud bin Abu Hindun dari Al Walid bin Abdurrahman dari Jubair bin Nufair dari Abu Dzar, ia berkata; “Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah s.a.w. pada bulan Ramadhan namun beliau tidak melakukan shalat malam bersama kami pada bulan tersebut hingga tinggal tujuh hari. Abu Dzar melanjutkan; “Kemudian beliau melakukan shalat malam bersama kami sampai berlalu sepertiga malam.”
Sebetulnya hal ini karena panjangnya surat yang dibaca Rasulullah. Bahkan dalam beberapa riwayat shalat tarawih ini dilaksanakan sampai menjelang fajar subuh.
Ketika bulan (Ramadhan) tinggal tiga hari lagi, beliau bangun untuk shalat malam bersama kami, lalu mengumpulkan keluarga dan para istrinya hingga kami khawatir kehilangan Al Falah ini.” Aku lalu bertanya; “Apakah (Al Falah) itu?” Ia menjawab; “Waktu sahur“. (H.R. Nasa’i No. 1587 dan No. 1347) Al-Albani mengatakan hadits ini shahih
Pada mulanya Umar bin Khattab r.a. mengambil bentuk generik (murni asli) sebagaimana shalat tarawihnya Rasulullah s.a.w. namun orang-orang mengeluh dan tidak tahan.
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata; “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.”(Atsar R. Imam Malik dalam Muwatha’ Atsar No. 232)
Maka akhirnya Umar bin Khattab r.a. berijtihad menambahkan rakaat shalat tarawih hingga 23 rakaat karena hendak mengejar atau menyamai keutamaan shalat qiyam ramadhannya di masa Rasulullah s.a.w.
Jika kita analisa : Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah hal ini belum pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah s.a.w. Jawabnya : Ya. Lalu apakah hal ini tidak ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah ? Jawabnya : Ya. Lalu apakah ini bid’ah dlolalah? Jawabnya : Tidak. Jika ini adalah bid’ah, maka ini adalah bid’ah hasanah. Karena  ijtihad sahabat terlebih yang termasuk Khulafa’  Ar-Rasyidin tidak bisa dianggap sebagai bid’ah walaupun ia menyelisihi nash, karena beliau mungkin memiliki alasan lain yang kita tidak paham
Umar bin Khattab r.a. termasuk Khulafa’  Ar-Rasyidin dan Rasulullah s.a.w. telah bersabda berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin(H.R. Darimi No. 95). Bagaimana mungkin yang dijamin mendapat petunjuk melakukan bid’ah dlolalah? Ilmu beliau yang berguru langsung dan berjihad bersama Rasulullah s.a.w. jauh di atas generasi berikutnya.
3.       Penetapan Diyat Jari Yang Berbeda oleh Umar bin Khattab r.a.
Dalam hukum pidana Islam dikenal adanya hukum qishash yaitu orang yang membunuh tanpa haq dikenai hukuman bunuh pula (kecuali pihak keluarga terbunuh memaafkan dan bersedia diberi kompensasi dengan uang yang disebut diyat).  Hal ini berdasarkan firman Allah :
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnyabahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Maidah [5]:45)
Namun para sahabat berbeda pendapat ketika memutuskan hukum diyat (ganti rugi) terhadap terpotongnya jari-jari apakah jika denda untuk terpotongnya jari kelingking dan jempol sama? Apakah tangan kanan dan kiri sama? Bukankah tangan kanan lebih penting dipakai bekerja?
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Ini dan ini adalah sama, yakni jari kelingking dan ibu jari.” (H.R. Tirmidzi No. 1312, Ibnu Majah No. 2642, Ad-Darimi No. 2264) Abu Isa berkata  hadits ini hasan shahih, Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.
Dari Masruq bin Aus dari Abu Musa Al Asy’ari, dari s.a.w. bersabda: “Semua jari hukumnya sama.” (H.R. Ibnu Majah No. 2644) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda tentang diyat jari-jari kedua tangan dan kaki: “Diyatnya sama yaitu sebesar sepuluh ekor unta pada setiap jari.” (H.R. Tirmidzi No, 1311) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih. Abu Isa (Tirmidzi) berkata hadits dari Ibnu Abbas ini adalah hadits hasan shahih, gharib.
Maka pendapat Rasulullah ini diikuti oleh Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Musayyab,  Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’i, Imam Ahmad ,Ibnu Ishaq dll dimana diyat 10 unta untuk 1 jari, 20 unta untuk 2 jari, 30 unta untuk 3 jari dst. Namun suatu ketika Umar bin Khattab r.a. membedakan diyat antara satu jari dengan jari lainnya, untu jari tengah 10 unta untuk jari manis 9 unta dan jari kelingking hanya 6 unta. Demikian pula Muhahid menetapkan 15  unta untuk diyat terpotongnya Ibu Jari. (Ibnu Rusydi,  Bidayatul Mujtahid Bab Ad-Diyat , Juz III hal 594)
Contoh di atas merupakan Ijtihad para sahabat yang menyelisihi nash dalil yang jelas dari Rasulullah s.a.w. Namun ijtihad sahabat terlebih yang termasuk Khulafa’  Ar-Rasyidin tidak bisa dianggap sebagai bid’ah walaupun ia menyelisihi nash, karena beliau mungkin memiliki alasan lain yang kita tidak paham dan ilmu beliau jauh berada di atas generasi berikutnya. Selain itu karena Rasulullah s.a.w. terlah bersabda bahwahendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin(H.R. Darimi No. 95)
4.       Meng-qadha Puasa Ramadhan Yang Batal Karena Mendung
Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Zaid bin Aslam dari saudaranya Khalid bin Aslam bahwa “Umar bin al Khatthab suatu hari pernah berbuka di bulan Ramadan saat hari mendung. Dia mengira hari sudah sore serta matahari telah tenggelam. Lalu ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata; “Wahai Amirul Mukminin, matahari masih bersinar! ” ‘Umar berkata; “Masalah mudah. Kami (Umar) telah berijtihad.” Malik berkata, “Maksud dari perkataan Umar menurut kami adalah qadla. Sebab untuk memenuhinya tidak sulit karena adanya kesempatan. Umar juga berkata, “Kami berpuasa sehari menggantikannya.” (Atsar R. Imam Malik dalam Muwatha’ No. 592)
Hal ini adalah ijtihad Umar r.a. Padahal Rasulullah s.a.w. pernah memberi petunjuk :
Telah menceritakan kepadaku Amru bin Muhamamd Naqid telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Hisyam Al Qurdusi dari Muhamamd bin Sirin dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Siapa yang makan dan minum karena lupa, sedangkan ia puasa, maka hendaklah diteruskannya puasanya itu, karena Allah telah memberinya makan dan minum.” (H.R. Muslim No. 1952, Ahmad No. 10251, Ad-Darimi  No. 1663 )
Namun Umar bin Khattab r.a. menyelisihi petunjuk Rasulullah s.a.w. dan lebih memilih untuk tetap berbuka / membatalklan puasanya dan menqadha puasanya di hari yang lain. Jika kita analisa : Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah hal ini belum pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah s.a.w. Jawabnya : Ya. Lalu apakah hal ini tidak ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah ? Jawabnya : Ya. Lalu apakah ini bid’ah dlolalah? Jawabnya : Tidak. Jika ini adalah bid’ah maka ini adalah bid’ah hasanah karena Umar bin Khattab r.a. termasuk Khulafa’  Ar-Rasyidin dan Rasulullah s.a.w. telah bersabdaberpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95). Bagaimana mungkin yang dijamin mendapat petunjuk melakukan bid’ah dlolalah? Ilmu beliau yang berguru langsung dan berjihad bersama Rasulullah s.a.w. jauh di atas generasi berikutnya.
 5.       Shalat Qobliyah dan Ba’diyah Pada Shalat ‘id oleh Ali bin Abi Thalib r.a.
Shalat ‘Id disunnahkan untuk dilakukan di lapangan terbuka. Jika shalat dilaksanakan di masjid ada shalat sunnah tahiyatul masjid, sedangkan jika di lapangan tidak ada shalat tahiyatul lapangan. Demikian pula tak ada contoh dari Nabi s.a.w. ada shalat sebelum (qobliyah) dan sesudah (ba’doyah) shalat ‘Id. Dan jelas hal ini adalah perkara agama yang jelas pedomannya dari Rasulullah s.a.w. namun Ali bin Abi Thalib tidak menganggap bid’ah orang yang melaksanakan shalat qobliyah dan ba’diyah shalat ‘Id.
Dari Al Walid bin Sari r.a. berkata : “Pada suatu hari raya kami keluar bersama amirul mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau menanyakan tentang shalat sunnah sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang menanyakan hal yang sama. Dan beliau pun tidak menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir tujuh kali dan lima kali kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya : “Hai amirul mukminin mereka melakukan shalat sunnah sesudah shalat ‘Id”. Beliau menjawab : “Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi s.a.w. belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tapi barang siapa mau melakukannya, lakukanlah, dan barang siapa mau meninggalkannya, tinggalkanlah. Aku tidak menghalangi kalian yag mau shalat, agar tidak termasuk orang yang melarang seorang hamba ketika ia mau mengerjakan shalat” (H.R. Al Bazzar)
Al Hafidz Haitsami juga menjelaskan bahwa shalat qobliyah dan ba’diyah shalaty ‘Id dilakukan oleh Anas bin Malik dan Hasan Al-Bashri (Haitsami dalam Majma’u Zawaid Juz 2 Hal 438).
Mengapa Ali bin Abi Thalib r.a. tidak tegas saja melarang mereka atau mengatakan bahwa hal ini sebagai bid’ah yang dlolalah? Padahal Ali bin Abi Thalib r.a. secara tegas mengatakan : “Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi s.a.w. belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya.” Namun Ali bin Abi Thalib menganggap ini sebagai pilihan yang boleh : “Tapi barang siapa mau melakukannya, lakukanlah, dan barang siapa mau meninggalkannya, tinggalkanlah. Aku tidak menghalangi kalian yag mau shalat, agar tidak termasuk orang yang melarang seorang hamba ketika ia mau mengerjakan shalat” Mungkin Ali bin Abi Thalib r.a. menganggap kalaupun shalat itu ternyata tidak ada dalam sunnah maka shalatitu tetap berpahala sebagai shalat sunnah mutlak karena tak ada yang sia-sia dalam jika seseorang mengerjakan shalat walaupun niatnya berebda. Walalhua’lam.
6.       Khalifah Utsman bin Afffan Tidak Mengqashar Shalat Saat Mabit di Mina
Dalam rangkaian ibadah haji dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. untuk melakukan wuquf di Arafah dan menjamak qoshor sholat dhuhur dan ashar. Lalu setelah ashar bergerak ke Mina dan menginap (mabit) di Mina. Pada saat mabit di Mina, Rasulullah s.a.w. menjamak shalat Maghrib dan Isya.
Namun Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat.
Adalah Ibnu Mas’ud r.a. di antara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud r.a. :
Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud r.a.) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau (Ibnu Mas’ud r.a.) mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Atsar Riwayat Abu Daud)”
Ketika berita ini sampai ke Abdullah bin Mas’ud perihal Utsman bin Affan melaksanakan shalat di Mina sebanyak empat rakaat ia (Abdullah bin Mas’ud) berkata : “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un aku telah shalat bersama Rasulullah s.a.w. di Mina sebanyak dua rakaat, Aku juga pernah shalat bersama Abu Bakar di Mina sebanyak dua rakaat, dan aku shalat bersama Umar bin Khattab di Mina juga dua rakaat. Alangkah indahnya jika bagianku dari empat rakaat menjadi dua rakaat yang dapat diterima” (Atsar R. Bukhari No. 1084 dan Muslim No. 695)
Maka penjelasan atas ijtihad Utsman r.a. ini adalah sebagai berikut :
Dari Ikrimah bin Ibrahim Al-Azdi dari Ibnu Abi Dzubab dari ayahnya ia berkata : “Utsman shalat bersama penduduk Mina empat rakaat lalu berkata : “Wahai manusia, ketika aku sampai di tempat ini aku telah menikah dengan penduduk Mina. Dan sungguh aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Jika seseorang berkeluarga di satu negeri, maka ia menunakan shalat bersama keluarganya dengan shalat yang dilakukan oleh muqim” (H.R. Ahmad Juz I hal 62, dan Abdullah bin Az-Zubair Al Humaidi dalam Musnadnya) Baihaqi mengatakan hadits ini munqathi (terputus sampai tabi’in) karena Ikrimah bin Ibrahim di nyatakan dla’if oleh Nasa’i. Ibnu Hajas Asqolani mengatakan hadits ini tidak sah (Fathul Bari Juz II hal 664) Yahya bin Ma’in dan abu Daud berkata ia tidak ada apa-apanya. Al-Uqail berkata : dalam masalah hafalan terdapat gangguan. Ibnu Hibban mengatakan ia suka membolak balikkan hadits. (Al-Mizan No. 5708)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa  Khulafa’ur Rasyidin melakukan inovasi dan ijtihad yang belum pernah dilakukan pada masa Nabi s.a.w. yang sepintas lalu tidak ada dalilnya dalam syari’at. Maka orang yang tidak paham akan menganggap hal itu sebagai bid’ah dlolalah (sesat). Sedangkan Khulafa’ur Rasyidin bukanlah orang yang lemah iman dan tidak paham agama. Mereka adalah sebaik-baik generasi yang menimba ilmu dari mata air paling jernih yaitu Rasulullah s.a.w. Mereka (Khulafa’ur Rasyidinm dan para sahabat Nabi s.a.w. ) melakukan ijtihad dengan menggunakan salah satu kaidah ushul fiqih merupakan bagian dari syari’at itu sendiri.
 7.       Khalifah Umar Bin Khattab r.a. Mengenakan Zakat Kuda
Secara umum kita dapatkan sabda Rasulullah s.a.w. yang menyatakan tidak mengenakan zakat pada kuda dalam beberapa hadits ini :
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dinar berkata; Aku mendengar Sulaiman bin Yasar dari ‘Irak bin Malik dari Abu Hurairah r.a. berkata : “Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada kuda dan budaknya“. (H.R. Bukhari No. 1370 dan 1371)
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin ‘Ala’ dan Mahmud bin Ghailan keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dan Syu’bah dari Abdullah bin Dinar dari Sulaiman bin Yasar dari ‘Irak bin Malik dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang muslim tidak wajib membayar zakat pada kuda tunggangan dan budaknya.”  (H.R. Tirmidzi No. 569) Hadiin
Abu ‘Isa (Tirmidzi berkata) berkata, apabila diperjualbelikan maka wajib untuk dikeluarkan zakatnya setelah satu haul (satu tahun).
Telah mengabarkan kepada kami Al Mu’alla bin Asad telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Abu Ishaq dari ‘Ashim bin Dlamrah dari Ali dan ia merafa’kannya kepada Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Aku telah memaafkan dari zakat kuda dan budak.”  (H.R. Darimi No. 1573) Husain Salim Assad Ad-Daroni mengatakan isnadnya jayyid. Hanya Ashim bin Dlamrah yang dikatakan oleh Nasa’i sebagai laisa bihi ba’s(tidak ada apa-apanya) ini adalah pernyata jarh (pendiskreditan) level 2, dan Ibnu Hajar Asqolani mengatakan shaduuq (jujur) ini adalah pernyataan tad’l (keadilan) level 4. Namun Al Ajli dan Ibnu Madini menyatakan tsiqoh (terpercaya).
Pada awalnya Umar bin Khattab r.a. menolak mengenakan zakat kuda di awal masa pemerintahannya sebagaimana kisah dalam hadits ini :
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari Sulaiman bin Yasar Bahwasanya penduduk Syam berkata kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, “Ambillah zakat kuda dan budak kami! ” Tetapi Abu Ubaidah menolaknya. Setelah itu Ia menulis surat kepada kepada Umar bin Khatthab, dan ternyata Umar juga menolak. Penduduk Syam kembali menyampaikan permintaannya kepada Abu Ubaidah, hingga akhirnya Abu Ubaidah kembali menulis surat kepada Umar. Umar kemudian menulis balasan, “Jika mereka mau, maka ambillah zakat dari mereka lalu kembalikanlah kepada mereka  (Atsar R. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ No. 540)
Imam Malik berkata, “Yang dimaksud dari ucapan Umar ‘kembalikanlah kepada mereka’, adalah bahwa hasil zakat itu dikembalikan untuk diberikan kepada orang-orang fakir dari kalangan mereka.”
Namun dalam perkembangannya kuda yang semula hanya dipakai untuk berperang berubah menjadi komoditi yang diperjual belikan dengan keuntungan yang besar. Maka Umar bin Khattab r.a. berfikir ulang dan menetapkan untuk memungut zakat kuda.
Dari Ya’la bin Umayah ia berkata : “Abdurrahman (saudara Ya’la) telah membeli kuda betina seharga 100 unta jantan muda dari seorang penduduk Yaman. Si penjual merasa sedih, lalu ia mengadukan perihal tersebut kepada Umar r.a. Ia berkata : Ya’la dan saudaranya telah mengghoshob (mencuri) kudaku. Lalu Umar menulis surat kepada Ya’la yang menerangkan bahwa hak itu untukku. Maka Ya’la datang kepada Umar dan memberitahukan bahwa ia telah membelinya dari orang itu. Maka Umar bertanya : “Apakah kuda ini bisa seharga sekian??” Aku tak tahu bahwa kuda bisa sampai seharga segitu”. Kemudian Umar mengambil dari kuda kuda itu zakatnya satu dinar satu dinar”  (Atsar R. Baihaqi dan Abdurrazaq)
As-Sa’ib bin Yazid ia berkata : “Aku melihat  bapakku sedang membenahi kuda kuda dan membayar zakatnya kepada Umar bin Khattab r.a.” (Atsar R. Daruquthni dan Ath-Thahawi)
Dari Anas bin Malik r.a. “bahwa Umar bin Khattab r.a. memungut 10 dirham dari kuda dan dari kawanan kuda jantan (zakatnya) 5 dirham”. (Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla  Juz 5 hal 226)
Keputusan umar ini sepintas lalu menyelisihi dari hadits hadits Rasulullah s.a.w. dan sesuatu yang belum pernah ada contohnya pada masa Rasulullah s.a.w. Namun apa yang dilakukan Umar r.a. merupakan contoh dari kaidah taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan (perubahan hukum dimungkinkan seiring dengan perubahan tempat dan waktu). Umar r.a. melakukan qiyas (analogi atau mempersamakan) kuda dengan unta. Yaitu ketika ia mendengar bahwa kuda betina dijual setara denga harga 100 unta jantan. Sedangkan unta itu ada zakatnya. Maka Umar ber-ijtihad bahwa kalau begitu kuda juga ada zakatnya.
8.       Khalifah Umar Bin Khattab r.a. Mengenakan Zakat Progressif
Pada masa Rasulullah s.a.w. zakat diperintahkan untuk dipungut dari setiap orang yang baligh (dewasa) dan nilainya sama rata untuk semua orang yaitu 1 dinar atau senilai baju mu’afir
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Abu Wail, dari Mu’adz, : “bahwa Nabi s.a.w. tatkala mengutusnya ke Yaman beliau memerintahkannya agar ia mengambil dari dari setiap orang yang baligh zakat satu dinar atau yang setara dengannya dari mu’afiri, yaitu pakaian yang ada di Yaman”. (H.R. Abu Daud No. 2642 Nasa’i No. 2407, Ahmad 21027)
Namun sepeninggal Rasulullah s.a.w. Islam tersebar ke Iraq, Yaman dan Syiria. Dan Umar r.a. melihat tingkatan hidup manusia sangat beragam dari yang sangat miskin sampai amat sangat kaya. Maka Umar r.a. menerapkan zakat progressif (bertingkat) yang berbeda-beda untuk tingkatan kekayaan yang berbeda. Orang kaya dikenakan pajak 48 dirham dalam satu tahun. Orang yang sedang-sedang saja kekeyaannya, dikenakan pajak 24 dirham per tahun sedangkan orang yang miskin dikenakan 12 dirham pertahun (Nailul Authar Jilid 8 Hal 217)
Dari Ibnu Abi Nujaib berkata : Saya bertanya kepada Mujahid mengapa penduduk Syiria wajib membayar empat dinar sedangkan penduduk Yaman hanya membayar dua dina saja? Mujahid menjawab kebijakan itu disesuaikan dengan kemampuan penduduk negeri itu (Nailul Authar Jilid 8 Hal 217)
Umar r.a. juga menerapkan jizyah pada kafir dzimmi dengan tarif  berbeda untuk tiap profesi yang berbeda :

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Nafi’ dari Aslam mantan budak ‘Umar bin al Khattab, bahwa Umar bin Khattab mewajibkan jizyah pada warga penghasil emas sebesar empat Dinar, dan para penghasil perak sebesar empat puluh dirham. Selain itu mereka harus memberi sedekah kepada kaum muslimin dan menjamu selama tiga hari.” (Atsar R. Imam Malik dalam Muwatha’ No. 545)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar