PEMBAHASAN MASALAH BID’AH
PEMBAGIAN
BID’AH BERDASARKAN LIMA HUKUM FIQIH
Pembagian
Ulama menjadi bid’ah dua jenis saja sebagaimana diuraikan di atas yaitu :
Imam
Syafi’i membagi: bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah (tercela)
Ibnu
Hajar Asqolani membagi : bid’ah hasanah dan bidh’ah mustaqbahah
Ibnu
Atsir Aj-Jaziri membagi : bid’ah huda (sesui petunjuk) dan bidh’ah dlolal
(sesat)
ternyata
masih dianggap belum cukup memadai karena kenyataannya bid’ah yang mahmudah
(terpuji) pun ada yang merupakan keharusan (wajib) diadakan dan ada juga yang
tidak harus melainkan lebih baik jika diadakan. Demikian pula bid’ah yang
bid’ah madmumah (tercela) kadarnya berbeda beda ada yang haram namun ada juga
yang sekadar makruh.
Untuk
itulah ulama lainnya membagi bid’ah dengan pembagian yang berbeda yaitu sesuai
kedudukan hukum fiqihnya sesuai kadar kebolehannya dan kadar terlarangnya.
Contohnya
adalah Imam Nawawi yang mengatakan : “Para ulama berkata, bid’ah itu ada
lima macam : wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. Termasuk bid’ah yang wajib
adalah menyusun dalil-dalil ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang
melakukan penyimpangan akidah dan para pelaku bid’ah serta yang seumpamanya.
Termasuk bid’ah yang mandub adalah menyusun kitab-kitab ilmu, membangun
madrasah, dan tempat-tempat pengajian serta yang lainnya. Termasuk ia bid’ah
yang mubah adalah memperbanyak warna-warna, makanan dan lainnya. Sedangkan
bid’ah yang haram dan makruh sudah jelas”. (Lihat Dalam Kitab Tahziibul Asma’
wa-Lughat)
Imam
Shan’ani juga mengatakan : Ulama
membagi bid’ah ke dalam lima bagian : a) bid’ah wajib, seperti memelihara
ilmu-ilmu agama dengan cara membukukannya dan menolak terhadap
kelompok-kelompok dengan menegakkan dalil-dalil b) bid’ah mandubah
seperti membangun berbagai madrasah, c) bid’ah mubahah seperti memakan berbagai
makanan dan baju yang indah d) bid’ah muharamah (yang haram) dan e) bid’ah
makruhah sedangkan keduanya ini (muharamah dan makruhah) telah jelas
contohnya. Dengan demikian bunyi hdits “sema bid’ah adalah sesat adalah
kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya (‘aam makhshush) ” (Subulus Salam Juz 2 Hal 48)
Imam
Izzuddin bin Abdussalam seorang ulama mazhab Syafi’i mengatakan : “Bid’ah
terbagi lima : bid’ah wajibah, bid’ah muharamah, bid’ah mandubah (bid’ah
sunnat), bid’ah makruhah, dan bid’ah mubahah (bid’ah yang mubah). Jalan untuk mengetahui hal itu
ialah dengan cara membandingkan bid’ah (hal baru tsb) dengan kaidah-kaidah
syari’at. Apabila bid’ah (hal baru) itu masuk ke dalam kaidah wajib maka
disebut bid’ah wajibah. Jika masuk kedalam kaidah haram, maka menjadi bid’ah
muharamah. Apabila masuk ke dalam kaidah sunnat maka menjadi bid’ah mandubah
Dan apabila masuk dalam kaidah mubah menjadi bid’ah mubahah” (Qawa’id Al-Ahkam fii Mashalih Al-Anam
juz 2 hal 172)
Lebih
lanjut Imam Izzuddin bin Abdussalam memberikan contoh sebagai berikut : “Bid’ah
wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu (jaman
Nabi takada ilmu nahwu) sebagai sarana memahami Al-Qur’an dan Sunnah Rasul
s.a.w. Hal ini hukumnya wajib karena menjaga syari’at itu wajib dan tidak
mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang
menjadi sebab terlaksananya hal yang wajib, maka hukumnya juga wajib. Contoh
kedua, adalah ilmu jarh dan ta’dil (dulu tak ada ilmu jarh wa ta’dil) untuk
membedakan hadits yang shahih yang shahih dan lemah. Bid’ah muharamah memiliki
banyak contoh, diantaranya bid’ah ajaran qadariyah, jahmiyah, murji’ah dan
mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah jenis ini adalah hal yang wajib.
Bid’ah
mandubah memiliki banyak contoh, diantaranya mendirikan madrasah-madrasah,
jembatan-jembatan, dan setiap perbuatan yang belum pernah dikenal pada masa
generasi awal, diantaranya termasuk shalat tarawih (berjamaah). Bid’ah makruhah
memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi
mushaf Al-Qur’an. Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya memakan
makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang
mewah, memakai baju kebesaran, dll.”(Qawa’id Al-Ahkam fii
Mashalih Al-Anam juz 2 hal 133)
Maka
perlu dipahami di sini bahwa pembagian bid’ah menjadi lima katagori sesuai
dengan status hukum fiqihnya yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah
adalah pada posisi pen-takhshish-an yang ketiga. Dan mereka para ulama sampai
pada pen-takhshish-an yang keempat dengan menimbangnya dengan Al-Qur’an dan
Sunnah sehingga akhirnya bisa menetapkannya termasuk pada bid’ah yang wajib,
haram, sunnah, makruh atau mubah.
Pembagian
ini menjadi lain perkaranya jika disalahpahami bahwa pembagian ini terjadi
setelah menetapkan istilah bid’ah itu sebagai bid’ah yang dlolalah (sesat)
tentu saja tak ada pembagian bid’ah yang wajib, haram, sunnah, makruh atau
mubah setelah bid’ah yang dlolalah. Maka jika disalahpahami bahwa pembagian ini
terjadi setelah takhshish yang ke-4 akan menimbulkan tuduhan bahwa para ulama
itu telah menyimpang dan sesat dalam agama.
Pemilahan
Bid’ah Oleh Para Ulama Berada Pada Takhshish Yang Mana?
Kita
kembali pada pembahasan makna bid’ah secara istilah syari’ah dimana makna
bid’ah yang semula umum, telah mengalami 4 tahap pengkhususan atau 4 tahap
pembatasan makna yaitu :
Tahap
1 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah bid’ah dalam perkara agama
Tahap
2 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang menyerupai syari’at
Tahap
3 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang terjadi pada syari’at
Muhammad s.a.w.
Tahap
3 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang belum ada di masa Muhammad
s.a.w.
Tahap
4 : Yang dimaksud bid’ah (secara istilah) adalah yang tidak memiliki landasan
dari nash ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w.
Maka
perhatikanlah bahwa pembagian ulama tentang adanya 5 jenis bid’ah itu adalah
pada posisi takhsish tahap ke-3.
Oleh
karena ahdats (membuat perkara baru) atau muhdats juga merupakan persamaan dari
bid’ah maka ia mengalami 4 tahap pengkhususan atau 4 tahap pembatasan makna
yang sama yaitu :
Tahap
1 : Yang dimaksud muhdats adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan
dalam perkara agama
Tahap
2 : Yang dimaksud muhdats adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan
dengan tujuan menyerupai syari’at
Tahap
3 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan pada
syari’at Muhammad s.a.w.
Tahap
3 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang
belum ada di masa Muhammad s.a.w.
Tahap
4 : Yang dimaksud adalah perkara baru yang dibuat atau di-ada-ada-kan yang
tidak memiliki landasan dari nash ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah
s.a.w.
Maka
perlu dipahami bahwa pembagian bid’ah oleh para ulama terjadi pada tahapan
takhshish yang ke-3 yaitu ketika menetapkan sesuatu yang baru dan belum
menetapkan nya bahwa sesuatu yang baru itu adalah dlolalah (sesat) .
Sebagai
contoh Imam Asy-Syafi’i berkata:
“Bid’ah
ada dua macam: Bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madmumah (yang tercela
). Bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang
menyalahi sunnah adalah bid’ah tercela”. (Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, Juz 9
hal 113)
Imam
Syai’i juga membagi muhdats dengan perkataan yang sama :“Perkara yang
muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan
menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk
bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang
tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah)
yang tercela(Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I (1:
468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam
tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131)
Imam
Syafi’i membagi bidah menjadi bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madmumah
(tercela) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga kali yaitu
perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi pada
agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa
Muhammad s.a.w , namun dalam tahap ini Imam Syafi’i masih perlu membagi bid’ah
menjadi bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan bid’ah yang madmumah (tercela) Hal
ini dillakukan agar tidak salah kaprah bahwa semua perkara baru dalam agama
(yaitu sampai takhsish yang ketiga) adalah pasti bid’ah yang tercela.
Lalu
apa kriterianya untuk mengetahui mana bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan mana
bid’ah yang madmumah (tercela) ? Maka lebih lanjut Imam asy-Syafi’i menjelaskan
kriterianya sb :
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka hal yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, Juz 1, Hal 469).
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka hal yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, Juz 1, Hal 469).
Maka
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ini adalah tahapan takhshsish yang keempat
dimana landasan syariat adalah kriteria untuk memilah lagi bid’ah menjadi
bid’ah yang mahmudah (terpuji) dan mana bid’ah yang madmumah (tercela).
Ibnu
Rajab Al-Hanbali berkata :
“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang
tidak memiliki landasan (dalil) dalam syari’at sebagai pendukung. Adapun jika
didukung oleh dalil syar’i, maka itu bukanlah bid’ah menurut istilah syar’i,
namun bid’ah secara bahasa.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 127)
“Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan
tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri
dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan,
perkataan yang lahir dan batin.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128)
Apa
yang dimaksud tidak memiliki dalil? Apa definisi tidak memiliki landasan dalam
syariat? Apa batasan yang disebut tidak memiliki dasar dalam Islam? Persoalan
ini tidak semudah mengatakannya sehingga dapat membahwa pada sikap terlalu
berlebih-lebihan dalam menyalahkan dan menuduh bid’ah .
Bisa
jadi suatu praktek ibadah dikatakan orang tidak memiliki landasan dalil
padahal ia melakukan itu mengikuti pendapat salah satu sahabat Rasulullah
s.a.w. (yang mana terkadang sahabat yang satu berbeda dengan sahabat yang
lain). Bisa jadi ia mengikuti salah satu pendapat tabi’in atau tabiut
tabi’in. Atau dapat saja ia menyandarkan diri pada qiyas, atau metoda istishan
dengan mempertahankan maqoshid syar’i. Maka kita tidak boleh gegabah menuduh
sesuatu perbuatan itu bid’ah karena sepintas lalu tidak ada landasannya dalam
syari’at.
Demikianlah
Ibnu Taimiyyah ketika mengomentari pernyataan Imam Syafi’i : “Maksud
perkataan Imam Asy Syafi’i di atas ialah apa saja yang menyelisihi dalil, maka
itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa
yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak disebut bid’ah (Majmu’ Al Fatawa, 20: 163)
Senada
dengan Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani (penulis kitab Fathul Bari) berkata :
“Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak
didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu dilihat.” (Fathul Bari, Juz 13 hal. 253)
Ibnu
Hajar Asqolani berkata :
“Yang dimaksud perkataan kullu bid’ah dlaolalh, yaitu setiap
amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau
umum.” (Fathul Bari Juz 13 hal. 254)
Ibnu
Hajar Asqolani menjelaskan lebih lanjut :
“Jika
bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ maka
disebut bid’ah hasanah. Bila berada dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk
oleh syara’ maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak termasuk
dalam naungan keduanya (baik atau buruk) maka menjadi bagian yang bersifat
mubah (boleh-boleh saja). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum” (Fathul Bari’ Juz 4
Hal 253)
Ibnu
Hajar Asqolani membagi bidah menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan
bid’ah mustaqbahah (tercela) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah
ditakhsish tiga kali. Sudah jelas bagi beliay bahwa yang dimaksud bid’ah atau
muhdats adalah perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan
terjadi pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya
pada masa Muhammad s.a.w , namun masih dibagi menjadi bid’ah yang hasanah
(baik) dan bid’ah yang mustaqbahah (tercela).
Demikian
pula dengan Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri berkata : “Bid’ah itu terbagi dua
yaitu bid’ah huda (bid’ah yang sesuai dengan petunjuk) dan bid’ah dholal
(bid’ah yang sesat). (An
Nihayah Al-Gharib fii Hadits wa Al-Atsar juz 1 Hal 267)
Imam
Ibnu Atsir Al-Jaziri membagi bidah menjadi bid’ah huda (mendapat petunjuk) dan
bid’ah dlolal (sesat) adalah dalam tingkatan bid’ah yang telah ditakhsish tiga
kali, yaitu perkara baru dalam agama, yaitu yang menyerupai syariat dan terjadi
pada agamanya syari’at Muhammad s.a.w, dan yang belum ada contohnya pada masa
Muhammad s.a.w , namun masih dibagi menjadi bid’ah yang huda (sesuai petunjuk)
dan bid’ah yang dlolal (sesat).
Lalu apa
kriterianya untuk mengetahui mana bid’ah yang huda (sesuai petunjuk) dan mana
bid’ah yang dlolal (sesat ) ? Maka lebih lanjut Imam Ibnu Atsir Al-Jaziri
menjelaskan kriterianya sb :
Maka
bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah s.a.w. tergolong bid’ah
tercela dan tertolak (dzammi wal inkar). Bid’ah yang masih termasuk di bawah
naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan RasulNya maka termasuk
hal yang terpuji sedangkan bid’ah yang belum ada semisalnya seperti cara
kedermawanan dan cara berbuat kebajikan, maka tergolong yang terpuji (mahmudah)
dan tidak mungkin hal tersebut menyelisihi syara’“ (An
Nihayah Al-Gharib fii Hadits wa Al-Atsar juz 1 Hal 267)
Imam
Ibnu Abdul Barr ulama fiqih dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam
bahasa arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada
(umum). Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini
khilafan lil sunnah) maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa
khoir) wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan
pelakunya apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak
menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil
bid’ah)” (Al-Istidzkar Juz 5
Hal 152)
Di
sini Imam Abni Abdul Barr membagi bid’ah menjadi bid’ah laa khoir (bid’ah yang
tidak baik) dan ni’matil bid’ah (diambil dari perkataan Umar bin Khattab yang
artinya bid’ah yang nikmat). Untuk membedakan mana bid’ah laa khoir dan
mana yang ni’matil bid’ah, maka sebagaimana penjelasan beliau di atas apabila bid’ah tersebut dalam agama
menyalahi sunnah (fii diini khilafan lil sunnah) maka ia adalah bid’ah
yang tidak baik (bid’atun laa khoir). Sedangkan bid’ah yang tidak menyelisihi
syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil bid’ah)”
Said
Hawwa berkata : “Bid’ah itu ada bermacam-macam diantaranya ada bid’ah
sayyi’at (buruk) dan bid’ah hasanah (baik) Apa-apa yang sesuai dengan
pokok-pokok syari’at yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, qiyas, ijma, maslahah
mursalah, ‘istishab, istishan, menolak mafsadah dan mengambil masalahat, maka
hal itu tak ada salahnya. Akan tetapi ada orang-orang yang bersikap kaku dan
keras mengenai masalah ini sehingga mereka menuduh umat dan para imam melakukan
dosa padahal tidak ada dosa yang telah mereka perbuat” (Mudzakarat fii
Manazil Shiddiqiin wa Rabbaniyiin, hal 63)
Memang
Semua Bid’ah Adalah Sesat, Yaitu Bid’ah Yang Telah Ditakhshish
Makna
bid’ah yang benar-benar lengkap secara istilah atau secara syari’at menurut
cara penjelasan kami adalah makna bid’ah yang telah mengalami pentakhshishan 4
(empat) tahap yaitu :
-
Takhshih pertama : Maksudnya perkara baru adalah di bidang agama
-
Takhshih kedua : Maksudnya agama adalah yang menyerupai thariqah,
syari’at baru atau ghuluw
-
Takhshih ketiga : Maksudnya agama adalah agamanya syari’at Muhammad s.a.w. dan
tidak ada pada masa Muhammad s.a.w.
-
Takhshih keempat : Yang tidak memiliki dalil / landasan dari Al-Qur’an dan
Sunnah,
Tentu
saja kita setuju jika makna bid’ah yang dipakai pada hadits kullu bid’atin dlolalah dan kullu
dlolalah fii naar adalah
makna secara istilah atau makna syariat yang lengkap yang telah ditakhshish
dalam 4 tahapan di atas. Jika pengertian bid’ah ini yang diambil, maka semua
sepakat bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kalimat lengkapnya agar tidak salah
paham : “semua bid’ah yang tidak sesuai dengan sunnah adalah sesat” atau
““semua bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya adalah sesat”. Maka bid’ah
dlolalah lah yang sesat.
Imam
Ibnu Abdul Barr ulama fiqih dari madzhab Maliki mengatakan : “Bid’ah dalam
bahasa arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada
(umum). Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah (fii diini
khilafan lil sunnah) maka ia adalah bid’ah yang tidak baik (bid’atun laa
khoir) wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan
pelakunya apabila telah jelas keburukannya. Sedangkan bid’ah yang tidak
menyelisihi syari’at dan sunnah, maka itu adalah sebaik-baik bid’ah (ni’matil
bid’ah)” (Al-Istidzkar Juz 5
Hal 152)
Lihatlah
perkataan Ibnu Abdul Baar bahwa yang dimaksud harus kita jauhi harus kita
tinggalkan sebagaimana hadits : adalah bid’ah yang tercela yaitu yang telah
didetilkan, dirinci melalui pentakhshishan 4 tahap di atas.
Demikian
pula Imam Jurjani mengatakan :
Bid’ah
ialah perbuatan yang menyelisihi sunnah. Dinamakan bid’ah karena pelakunya
mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti
perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan
tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i (Al-Jurjani dalam At-Ta’rifaat Juz 1 hal
13)
Jika
Yang Dimaksud Makna Bid’ah Secara Istilah, Tentu Tak Ada Bid’ah Hasanah
Dari
uraian makna “bid’ah” secara istilah yang telah spesifik dan khusus sebagaimana
telah ditakhshish dalam 4 tahap jelas tidak pada tempatnya dibagi lagi menjadi
bid’ah terpuji atau bid’ah tercela. Dan pada makna khusus ini juga tidak bisa
dibagi lagi ada bid’ah hasanah dan bid’ah dlolalah. Karena : “tak ada bid’ah
dlolalah yang hasanah” (tak ada bid’ah sesat yang baik). Maka klaim dari pihak
yang bersemangat bahwa tak ada itu yang namanya bid’ah hasanah. Ya, tentu saja,
jika yang Anda maksud bid’ah di sini adalah bid’ah yang itu tuh, bid’ah yang
tak ada landasannya dalam syariat dan bid’ah yang jelas kesesatannya, maka kita
sepakat bahwa tak ada yang namanya bid’ah hasanah.
Maka
wajar jika ada ulama dan sebagian umat muslim yang ngotot mengatakan tak ada
bid’ah hasanah. Perkataan ini tidak harus menjadi perdebatan melainkan
ditempatkan dan diartikan bahwa di sini yang dipakai adalah makna secara
istilah atau makna bid’ah secara syariat yang telah ditakhshish secara lengkap
dan detil, sehingga maksudnya kalimat “tak ada bid’ah hasanah” adalah “bid’ah
yang itu tuh” bukan bid’ah secara umum, yaitu perkara baru dalam agama, yaitu
yang menyerupai syari’at, yaitu syari’atnya Muhammad s.a.w., yaitu yang tak ada
pada masa Muhammad s.a.w. dan yaitu yang tak ada landasan dalil syar’iny baik
Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, tabi’in atau ijma ulama.
Hal
ini sesuai dengan penjelasan Ibnu Taimiyyah sebagai berikut : Siapa yang menyatakan bahwa
sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu jika memang telah ada dalil
syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan tersebut termasuk sunnah.
Namun jika bukan wajib dan bukan pula sunnah, maka tidak ada seorang ulama pun
boleh mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan
diri kepada Allah (Majmu’ Al Fatawa, 1: 162)
PEMBAHASAN MASALAH BID’AH
Pendapat
Khulafa’ Ar-Rasyidin Adalah Termasuk Yang Dimaksud “Ada Landasannya Dalam
Syari’at”
Dalam
sebuah hadits Rasulullah s.a.w. menyampaikan bahwa Khulafa’ Ar-Rasyidin
adalah termasuk sebagai pegangan pokok dalam agama, yaitu setelah
Al-Qur’an dan Hadits. Yang dimaksud Khulafa’ Ar-Rasyidin adalah Abu
Bakar r.a., Umar bin Khattab r.a., Utsman bin Affan r.a. dan Ali bin Abi Thalib
r.a.
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah menceritakan
kepada kami Baqiyyah bin al Walid dari Bahir bin Sa’d dari Khalid bin Ma’dan
dari Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al ‘Irbadh bin Sariyah dia berkata : “Suatu
hari Rasulullah s.a.w. memberi wejangan kepada kami setelah shalat subuh
wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata mengalir dan hati
menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; ‘seakan-akan ini merupakan
wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya Rasulullah?
‘ Rasulullah s.a.w. bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk (selalu)
bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at meskipun terhadap seorang budak
habasyi, sesungguhnya
siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat
banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara baru dalam urusanku (muhdatsati
umuri), karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara
kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan
sunnah para Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah
sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No.
2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522)
Abu
Isa (Tirmidzi) berkata; hadits ini adalah hadits hasan shahih. Nashiruddin
Al-Albani menyatakan hadits ini shahih
Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Ashim telah mengabarkan
kepada kami Tsaur bin Yazid telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma’dan dari
Abdur Rahman bin ‘Amr dari ‘Irbadl bin Sariah ia berkata; ” Rasulullah s.a.w.
shalat subuh bersama kami, kemudian beliau memberikan wejangan : Barang siapa diantara kalian yang
hidup setelahku niscaya ia melihat perbedaan yang banyak, maka kalian
harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin yang lurus,
gigitlah dengan gigi geraham kalian (peganglah dengan teguh), berhati-hatilah
dengan muhdats (sesuatu yang baru ), karena kulla muhdats (segala sesuatu yang
baru ) itu bid`ah”. (H.R. Ad-Darimi No. 95) Husain Assad Salim Ad-Daroni
mengatakan sanadnya shahih.
Maka
takhshish yang ke-4 yang menyatakan bahwa yang dimaksud bid’ah yang benar benar
bid’ah ialah yagn dlolalah yaitu yang tidak ada landasannyad alam syari’at,
namun perlu dipahami bahwa perkataan dan pendapat serta ijtihad Khulafa’
Ar-Rasyidin merupakan salah satu landasan syari’at.
Maka
amalan apapun yang dilandasi perkataan dan pendapat serta ijtihad
Khulafa’ Ar-Rasyidin bukanlah bid’ah yang dlolalah (sesat). Seandainya
apa yang dilakukan Khulafa’ Ar-Rasyidin itu tidak ada landasannya
pada Al-Qur’an dan Hadits, dan belum pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.
maka hal itu adalah bid’ah hasanah.
Sekali
lagi kami tegaskan di sini bahwa apabila ada pendapat atau keputusan
Khulafa’ Ar-Rasyidin yang nampak seolah menyelisihi syari’at atau
suatu perkara baru yang belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w., maka hal itu
bukanlah termasuk bid’ah yang dlolalah, karena mereka telah mendapat legitimasi
(pengesahan) dari Rasulullah s.a.w. untuk boleh memutuskan hukum, dan
menetapkan syariat, sebagaimana sabda beliau hendaknya
dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Ar-Rasyidin
(Khalifah yang mendapat petunjuk),, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan
gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No.
42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian
harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95)
Lalu
orang bertanya : “Memangnya ada pendapat dan perkataan Khulafa’
Ar-Rasyidin yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.
sebelumnya ? Memangnya ada pendapat dan perkataan Khulafa’ Ar-Rasyidin
tidak ada contonya daro Rasulullah s.a.w. sebelumnya ? Jawabnya :
Ada dan banyak.
Contohnya
sebagai berikut :
1. Shalat
Tarawih Berjamaah Sebulan Penuh Pada Bulan Ramadhan Oleh Umar bin Khattab r.a.
Dan
dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy
bahwa dia berkata; “Aku keluar
bersama ‘Umar bin Al Khaththob r.a. pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata
orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat
sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang
dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya
shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian
Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah
yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada
malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan
dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini
(ni’matil bid’ah hadzihi). Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih
baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat
di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal
malam”. (Atsar .R. Bukhari 1871, Muslim No. 1271 dan Imam Malik dalam Muwatha
No. 231 )
Walaupun
pada Atsar di atas dikatakan bahwa hal ini merupakan ijtihad Umar bin Khatab
r.a. namun beberapa riwayat menyatakan bahwa hal ini telah berlangsung sejak
jaman Kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Ibnu Syihab berkata :
Setelah Rasulullah s.a.w. wafat, namun orang-orang terus melestarikan tradisi
menegakkan malam Ramadhan (secara bersama berjamaah), keadaan tersebut terus
berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan kekhilafahan ‘Umar bin Al
Khaththob r.a.
Jika
kita menggunakan tahapan takhshish dari makna bid’ah maka kita bisa mengujinya
dengan pertanyaan : Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : Jelas,
shalat tarawih merupakan perkara agama. Apakah hal ini menyerupai syari’at?
Jawabnya : bukan hanya menyerupai memang hal ini adalah syari’at. Apakah hal
ini merupakan perkara baru (muhdats) yang belum pernah dilakukan pada masa
Rasulullah s.a.w.? : Ya, karena walaupuan Rasulullah s.a.w. pernah keluar
shalat tarawih berjamaah namun hanya melakukan maksimal 3 malam saja dan belum
pernah Rasululullah keluar shalat tarawih berjamaah selama sebulan penuh.
Apakah hal ini ada landasannya dalam syari’at? Jawabnya : tergantung apa yang
Anda maksud ada landasannya. Yang jelas Rasulullah s.a.w. pernah keluar shalat
tarawih berjamaah, artinya hal ini tidak terlarang dan hal ini merupakan dalil
untuk dibolehkannya shalat tarawih berjamaah. Namun dari segi terus menerus
dilaksanakannya selama sebulan penuh, Rasulullah s.a.w. sama sekali belum
pernah melakukannya.
Sebagian
kalangan yang ngotot dengan keumuman makna bid’ah dan menolak adanya bid’ah
hasanah mengatakan bahwa terjadi salah paham pada perkataan ni’matil bid’ah hadzihi oleh Umar bin Khattab r.a. bahwa
maksud bid’ah di sini adalah secara bahasa (artinya baru) karena hal itu memang
baru dan belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah s.a.w. namun hal itu
bukanlah bid’ah karena masih ada landasannya dalam syari’at.
Kalaupun
itu bid’ah maka perhatikan sabda Rasulullah s.a.w. berikut ini :
“Karena
orang-orang yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, hendaklah
kalian berpegang teguh kepada sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin yang
diberi petunjuk (Alloh). Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan
jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah
sesat.” (H.R.
Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”)
Maka
lihatlah bahwa ini adalah sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin , tidak mungkin
mereka tidak paham agama dan melakukan bida’ah. Jadi sesungguhnya antara kita
dan dia tak ada perbedaan dalam hal ini. Karena pembagian adanya bid’ah hasanah
adalah pada tahapan takhshish yang ke-3 yaitu perkara yang tak ada contohnya
pada masa Rasulullah s.a.w. , namun adal dalilnya yaitu ijtihad Khulafa’
Ar-Rasyidin karena apa yang mereka lakukan adalah termasuk pada sunnah
sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. di atas. Sehingga pembahasan masalah ini
tidak termasuk pada takhshish yang ke-4 yaitu yang tak ada dalilnya dari
syari’at.
2. Shalat
Tarawih Berjamaah 23 Rakaat Oleh Umar bin Khattab r.a.
Telah
menceritakan kepadaku dari Malik dari Yazid bin Ruman dia berkata; “Para
sahabat pada masa Umar bin Khatthab mengerjakan shalat malam dua puluh tiga
rakaat.” (Atsar .R. Imam
Malik dalam Muwatha’ Hadits No. 233)
Sebagaimana
kita ketahui bahwa Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukan lebih dari 11
rakaat.
Mengapa
orang-orang menambahkan sampai 23 rakaat? Karena mereka berkehendak menambah
ibadah sebanyak-banyaknya pada bulan Ramadhan. Dan selain itu dahulu Rasulullah
s.a.w. melaksanakan shalat tarawih itu sampai 1/3 malam lewat artinya sampai
sekitar jam 10 atau 11 malam.
Telah
menceritakan kepada kami Zakariya bin ‘Adi telah menceritakan kepada kami Yazid
bin Zurai’ dari Daud bin Abu Hindun dari Al Walid bin Abdurrahman dari Jubair
bin Nufair dari Abu Dzar, ia berkata; “Kami pernah berpuasa bersama
Rasulullah s.a.w. pada bulan Ramadhan namun beliau tidak melakukan shalat malam
bersama kami pada bulan tersebut hingga tinggal tujuh hari. Abu Dzar
melanjutkan; “Kemudian beliau melakukan shalat malam bersama kami sampai
berlalu sepertiga malam.”
Sebetulnya
hal ini karena panjangnya surat yang dibaca Rasulullah. Bahkan dalam beberapa
riwayat shalat tarawih ini dilaksanakan sampai menjelang fajar subuh.
Ketika
bulan (Ramadhan) tinggal tiga hari lagi, beliau bangun untuk shalat malam
bersama kami, lalu mengumpulkan keluarga dan para istrinya hingga kami khawatir
kehilangan Al Falah ini.” Aku lalu bertanya; “Apakah (Al Falah) itu?” Ia
menjawab; “Waktu sahur“. (H.R. Nasa’i No. 1587 dan No. 1347)
Al-Albani mengatakan hadits ini shahih
Pada
mulanya Umar bin Khattab r.a. mengambil bentuk generik (murni asli) sebagaimana
shalat tarawihnya Rasulullah s.a.w. namun orang-orang mengeluh dan tidak tahan.
Telah
menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin
Yazid dia berkata, “Umar bin
Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami
orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata; “Imam membaca dua
ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya
berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.”(Atsar R. Imam
Malik dalam Muwatha’ Atsar No. 232)
Maka
akhirnya Umar bin Khattab r.a. berijtihad menambahkan rakaat shalat tarawih
hingga 23 rakaat karena hendak mengejar atau menyamai keutamaan shalat qiyam
ramadhannya di masa Rasulullah s.a.w.
Jika
kita analisa : Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah hal
ini belum pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah s.a.w. Jawabnya : Ya. Lalu
apakah hal ini tidak ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah ? Jawabnya : Ya.
Lalu apakah ini bid’ah dlolalah? Jawabnya : Tidak. Jika ini adalah bid’ah, maka
ini adalah bid’ah hasanah. Karena ijtihad sahabat terlebih yang termasuk
Khulafa’ Ar-Rasyidin tidak bisa dianggap sebagai bid’ah walaupun ia
menyelisihi nash, karena beliau mungkin memiliki alasan lain yang kita tidak
paham
Umar
bin Khattab r.a. termasuk Khulafa’ Ar-Rasyidin dan Rasulullah s.a.w.
telah bersabda berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Ar-Rasyidin (Khalifah yang
mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R.
Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No
16522) atau kalian harus
mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin(H.R. Darimi No. 95).
Bagaimana mungkin yang dijamin mendapat petunjuk melakukan bid’ah dlolalah?
Ilmu beliau yang berguru langsung dan berjihad bersama Rasulullah s.a.w. jauh
di atas generasi berikutnya.
3. Penetapan
Diyat Jari Yang Berbeda oleh Umar bin Khattab r.a.
Dalam
hukum pidana Islam dikenal adanya hukum qishash yaitu orang yang membunuh tanpa
haq dikenai hukuman bunuh pula (kecuali pihak keluarga terbunuh memaafkan dan
bersedia diberi kompensasi dengan uang yang disebut diyat). Hal ini
berdasarkan firman Allah :
Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnyabahwasanya jiwa (dibalas) dengan
jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Q.S.
Al-Maidah [5]:45)
Namun
para sahabat berbeda pendapat ketika memutuskan hukum diyat (ganti rugi)
terhadap terpotongnya jari-jari apakah jika denda untuk terpotongnya jari
kelingking dan jempol sama? Apakah tangan kanan dan kiri sama? Bukankah tangan
kanan lebih penting dipakai bekerja?
Dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Ini dan ini
adalah sama, yakni jari kelingking dan ibu jari.” (H.R. Tirmidzi No. 1312,
Ibnu Majah No. 2642, Ad-Darimi No. 2264) Abu Isa berkata hadits ini hasan
shahih, Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.
Dari
Masruq bin Aus dari Abu Musa Al Asy’ari, dari s.a.w. bersabda: “Semua jari
hukumnya sama.” (H.R. Ibnu Majah No. 2644) Nashiruddin Al-Albani mengatakan
hadits ini shahih.
Dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda tentang diyat
jari-jari kedua tangan dan kaki: “Diyatnya sama yaitu sebesar sepuluh ekor
unta pada setiap jari.” (H.R. Tirmidzi No, 1311) Nashiruddin Al-Albani
mengatakan hadits ini shahih. Abu Isa (Tirmidzi) berkata hadits dari Ibnu Abbas
ini adalah hadits hasan shahih, gharib.
Maka
pendapat Rasulullah ini diikuti oleh Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, Ibnu Musayyab, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’i, Imam Ahmad ,Ibnu
Ishaq dll dimana diyat 10 unta untuk 1 jari, 20 unta untuk 2 jari, 30 unta
untuk 3 jari dst. Namun suatu ketika Umar bin Khattab r.a. membedakan diyat
antara satu jari dengan jari lainnya, untu jari tengah 10 unta untuk jari manis
9 unta dan jari kelingking hanya 6 unta. Demikian pula Muhahid menetapkan
15 unta untuk diyat terpotongnya Ibu Jari. (Ibnu Rusydi, Bidayatul
Mujtahid Bab Ad-Diyat , Juz III hal 594)
Contoh
di atas merupakan Ijtihad para sahabat yang menyelisihi nash dalil yang jelas
dari Rasulullah s.a.w. Namun ijtihad sahabat terlebih yang termasuk
Khulafa’ Ar-Rasyidin tidak bisa dianggap sebagai bid’ah walaupun ia
menyelisihi nash, karena beliau mungkin memiliki alasan lain yang kita tidak
paham dan ilmu beliau jauh berada di atas generasi berikutnya. Selain itu
karena Rasulullah s.a.w. terlah bersabda bahwahendaknya dia berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Ar-Rasyidin (Khalifah yang
mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R.
Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No
16522) atau kalian harus
mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin(H.R. Darimi No. 95)
4. Meng-qadha
Puasa Ramadhan Yang Batal Karena Mendung
Telah
menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Zaid bin Aslam dari saudaranya
Khalid bin Aslam bahwa “Umar bin al Khatthab suatu hari pernah berbuka di
bulan Ramadan saat hari mendung. Dia mengira hari sudah sore serta matahari
telah tenggelam. Lalu ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata; “Wahai
Amirul Mukminin, matahari masih bersinar! ” ‘Umar berkata; “Masalah mudah. Kami
(Umar) telah berijtihad.” Malik berkata, “Maksud dari perkataan Umar menurut
kami adalah qadla. Sebab untuk memenuhinya tidak sulit karena adanya
kesempatan. Umar juga berkata, “Kami berpuasa sehari menggantikannya.”
(Atsar R. Imam Malik dalam Muwatha’ No. 592)
Hal
ini adalah ijtihad Umar r.a. Padahal Rasulullah s.a.w. pernah memberi petunjuk
:
Telah
menceritakan kepadaku Amru bin Muhamamd Naqid telah menceritakan kepada kami
Isma’il bin Ibrahim dari Hisyam Al Qurdusi dari Muhamamd bin Sirin dari Abu
Hurairah r.a., ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Siapa yang
makan dan minum karena lupa, sedangkan ia puasa, maka hendaklah diteruskannya
puasanya itu, karena Allah telah memberinya makan dan minum.” (H.R. Muslim
No. 1952, Ahmad No. 10251, Ad-Darimi No. 1663 )
Namun
Umar bin Khattab r.a. menyelisihi petunjuk Rasulullah s.a.w. dan lebih memilih
untuk tetap berbuka / membatalklan puasanya dan menqadha puasanya di hari yang
lain. Jika kita analisa : Apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : Ya.
Apakah hal ini belum pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah s.a.w. Jawabnya :
Ya. Lalu apakah hal ini tidak ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah ? Jawabnya
: Ya. Lalu apakah ini bid’ah dlolalah? Jawabnya : Tidak. Jika ini adalah bid’ah
maka ini adalah bid’ah hasanah karena Umar bin Khattab r.a. termasuk
Khulafa’ Ar-Rasyidin dan Rasulullah s.a.w. telah bersabdaberpegang
teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Ar-Rasyidin
(Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi
geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42,
Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian
harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95). Bagaimana
mungkin yang dijamin mendapat petunjuk melakukan bid’ah dlolalah? Ilmu beliau
yang berguru langsung dan berjihad bersama Rasulullah s.a.w. jauh di atas
generasi berikutnya.
5. Shalat
Qobliyah dan Ba’diyah Pada Shalat ‘id oleh Ali bin Abi Thalib r.a.
Shalat
‘Id disunnahkan untuk dilakukan di lapangan terbuka. Jika shalat dilaksanakan
di masjid ada shalat sunnah tahiyatul masjid, sedangkan jika di lapangan tidak
ada shalat tahiyatul lapangan. Demikian pula tak ada contoh dari Nabi s.a.w.
ada shalat sebelum (qobliyah) dan sesudah (ba’doyah) shalat ‘Id. Dan jelas hal ini
adalah perkara agama yang jelas pedomannya dari Rasulullah s.a.w. namun Ali bin
Abi Thalib tidak menganggap bid’ah orang yang melaksanakan shalat qobliyah dan
ba’diyah shalat ‘Id.
Dari
Al Walid bin Sari r.a. berkata : “Pada suatu hari raya kami keluar bersama
amirul mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau
menanyakan tentang shalat sunnah sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tetapi
beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang menanyakan hal
yang sama. Dan beliau pun tidak menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat
shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir tujuh kali dan lima kali
kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari mimbar, beliau menaiki
kendaraannya. Kemudian mereka bertanya : “Hai amirul mukminin mereka melakukan
shalat sunnah sesudah shalat ‘Id”. Beliau menjawab : “Apa yang akan aku
lakukan? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi s.a.w.
belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tapi
barang siapa mau melakukannya, lakukanlah, dan barang siapa mau
meninggalkannya, tinggalkanlah. Aku tidak menghalangi kalian yag mau shalat,
agar tidak termasuk orang yang melarang seorang hamba ketika ia mau mengerjakan
shalat” (H.R. Al Bazzar)
Al
Hafidz Haitsami juga menjelaskan bahwa shalat qobliyah dan ba’diyah shalaty ‘Id
dilakukan oleh Anas bin Malik dan Hasan Al-Bashri (Haitsami dalam Majma’u
Zawaid Juz 2 Hal 438).
Mengapa
Ali bin Abi Thalib r.a. tidak tegas saja melarang mereka atau mengatakan bahwa
hal ini sebagai bid’ah yang dlolalah? Padahal Ali bin Abi Thalib r.a. secara
tegas mengatakan : “Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya
Nabi s.a.w. belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘Id dan
sesudahnya.” Namun Ali bin
Abi Thalib menganggap ini sebagai pilihan yang boleh : “Tapi barang siapa
mau melakukannya, lakukanlah, dan barang siapa mau meninggalkannya,
tinggalkanlah. Aku tidak menghalangi kalian yag mau shalat, agar tidak termasuk
orang yang melarang seorang hamba ketika ia mau mengerjakan shalat” Mungkin
Ali bin Abi Thalib r.a. menganggap kalaupun shalat itu ternyata tidak ada dalam
sunnah maka shalatitu tetap berpahala sebagai shalat sunnah mutlak karena tak
ada yang sia-sia dalam jika seseorang mengerjakan shalat walaupun niatnya
berebda. Walalhua’lam.
6. Khalifah
Utsman bin Afffan Tidak Mengqashar Shalat Saat Mabit di Mina
Dalam
rangkaian ibadah haji dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. untuk melakukan wuquf
di Arafah dan menjamak qoshor sholat dhuhur dan ashar. Lalu setelah ashar
bergerak ke Mina dan menginap (mabit) di Mina. Pada saat mabit di Mina,
Rasulullah s.a.w. menjamak shalat Maghrib dan Isya.
Namun
Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat
saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini
diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di
belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat.
Adalah
Ibnu Mas’ud r.a. di antara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu
ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud r.a. :
“Wahai
Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud r.a.) bagaimanakah bisa-bisanya engkau
mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi,
Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau (Ibnu Mas’ud r.a.)
mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Atsar
Riwayat Abu Daud)”
Ketika
berita ini sampai ke Abdullah bin Mas’ud perihal Utsman bin Affan melaksanakan
shalat di Mina sebanyak empat rakaat ia (Abdullah bin Mas’ud) berkata : “Inna
lillahi wa inna ilaihi roji’un aku telah shalat bersama Rasulullah s.a.w. di
Mina sebanyak dua rakaat, Aku juga pernah shalat bersama Abu Bakar di Mina
sebanyak dua rakaat, dan aku shalat bersama Umar bin Khattab di Mina juga dua
rakaat. Alangkah indahnya jika bagianku dari empat rakaat menjadi dua rakaat
yang dapat diterima” (Atsar R. Bukhari No. 1084 dan Muslim No. 695)
Maka
penjelasan atas ijtihad Utsman r.a. ini adalah sebagai berikut :
Dari
Ikrimah bin Ibrahim Al-Azdi dari Ibnu Abi Dzubab dari ayahnya ia berkata : “Utsman
shalat bersama penduduk Mina empat rakaat lalu berkata : “Wahai manusia, ketika
aku sampai di tempat ini aku telah menikah dengan penduduk Mina. Dan sungguh
aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Jika seseorang berkeluarga di
satu negeri, maka ia menunakan shalat bersama keluarganya dengan shalat yang
dilakukan oleh muqim” (H.R. Ahmad Juz I hal 62, dan Abdullah bin Az-Zubair
Al Humaidi dalam Musnadnya) Baihaqi mengatakan hadits ini munqathi (terputus
sampai tabi’in) karena Ikrimah bin Ibrahim di nyatakan dla’if oleh Nasa’i. Ibnu
Hajas Asqolani mengatakan hadits ini tidak sah (Fathul Bari Juz II hal 664)
Yahya bin Ma’in dan abu Daud berkata ia tidak ada apa-apanya. Al-Uqail berkata
: dalam masalah hafalan terdapat gangguan. Ibnu Hibban mengatakan ia suka
membolak balikkan hadits. (Al-Mizan No. 5708)
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Khulafa’ur Rasyidin melakukan
inovasi dan ijtihad yang belum pernah dilakukan pada masa Nabi s.a.w. yang
sepintas lalu tidak ada dalilnya dalam syari’at. Maka orang yang tidak paham
akan menganggap hal itu sebagai bid’ah dlolalah (sesat). Sedangkan Khulafa’ur
Rasyidin bukanlah orang yang lemah iman dan tidak paham agama. Mereka adalah
sebaik-baik generasi yang menimba ilmu dari mata air paling jernih yaitu
Rasulullah s.a.w. Mereka (Khulafa’ur Rasyidinm dan para sahabat Nabi s.a.w. )
melakukan ijtihad dengan menggunakan salah satu kaidah ushul fiqih merupakan
bagian dari syari’at itu sendiri.
7. Khalifah
Umar Bin Khattab r.a. Mengenakan Zakat Kuda
Secara
umum kita dapatkan sabda Rasulullah s.a.w. yang menyatakan tidak mengenakan
zakat pada kuda dalam beberapa hadits ini :
Telah
menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dinar berkata; Aku mendengar Sulaiman
bin Yasar dari ‘Irak bin Malik dari Abu Hurairah r.a. berkata : “Nabi s.a.w.
bersabda: “Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada kuda dan
budaknya“. (H.R. Bukhari No. 1370 dan 1371)
Telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin ‘Ala’ dan Mahmud bin Ghailan
keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dan Syu’bah
dari Abdullah bin Dinar dari Sulaiman bin Yasar dari ‘Irak bin Malik dari Abu
Hurairah dia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang muslim tidak wajib membayar zakat pada kuda tunggangan dan budaknya.”
(H.R. Tirmidzi No. 569) Hadiin
Abu
‘Isa (Tirmidzi berkata) berkata, apabila diperjualbelikan maka wajib untuk
dikeluarkan zakatnya setelah satu haul (satu tahun).
Telah
mengabarkan kepada kami Al Mu’alla bin Asad telah menceritakan kepada kami Abu
‘Awanah dari Abu Ishaq dari ‘Ashim bin Dlamrah dari Ali dan ia merafa’kannya
kepada Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Aku telah memaafkan dari zakat kuda
dan budak.” (H.R. Darimi No. 1573) Husain Salim Assad Ad-Daroni
mengatakan isnadnya jayyid. Hanya Ashim bin Dlamrah yang dikatakan oleh Nasa’i
sebagai laisa bihi ba’s(tidak ada apa-apanya) ini adalah pernyata jarh
(pendiskreditan) level 2, dan Ibnu Hajar Asqolani mengatakan shaduuq (jujur)
ini adalah pernyataan tad’l (keadilan) level 4. Namun Al Ajli dan Ibnu Madini
menyatakan tsiqoh (terpercaya).
Pada
awalnya Umar bin Khattab r.a. menolak mengenakan zakat kuda di awal masa
pemerintahannya sebagaimana kisah dalam hadits ini :
Telah
menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari Sulaiman bin Yasar
Bahwasanya penduduk Syam berkata kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, “Ambillah
zakat kuda dan budak kami! ” Tetapi Abu Ubaidah menolaknya. Setelah itu Ia
menulis surat kepada kepada Umar bin Khatthab, dan ternyata Umar juga menolak.
Penduduk Syam kembali menyampaikan permintaannya kepada Abu Ubaidah, hingga
akhirnya Abu Ubaidah kembali menulis surat kepada Umar. Umar kemudian menulis
balasan, “Jika mereka mau, maka ambillah zakat dari mereka lalu kembalikanlah
kepada mereka “ (Atsar R. Imam Malik dalam Al-Muwatha’
No. 540)
Imam
Malik berkata, “Yang dimaksud dari ucapan Umar ‘kembalikanlah kepada mereka’,
adalah bahwa hasil zakat itu dikembalikan untuk diberikan kepada orang-orang
fakir dari kalangan mereka.”
Namun
dalam perkembangannya kuda yang semula hanya dipakai untuk berperang berubah
menjadi komoditi yang diperjual belikan dengan keuntungan yang besar. Maka Umar
bin Khattab r.a. berfikir ulang dan menetapkan untuk memungut zakat kuda.
Dari
Ya’la bin Umayah ia berkata : “Abdurrahman (saudara Ya’la) telah membeli
kuda betina seharga 100 unta jantan muda dari seorang penduduk Yaman. Si
penjual merasa sedih, lalu ia mengadukan perihal tersebut kepada Umar r.a. Ia
berkata : Ya’la dan saudaranya telah mengghoshob (mencuri) kudaku. Lalu Umar
menulis surat kepada Ya’la yang menerangkan bahwa hak itu untukku. Maka Ya’la
datang kepada Umar dan memberitahukan bahwa ia telah membelinya dari orang itu.
Maka Umar bertanya : “Apakah kuda ini bisa seharga sekian??” Aku tak tahu bahwa
kuda bisa sampai seharga segitu”. Kemudian Umar mengambil dari kuda kuda itu
zakatnya satu dinar satu dinar” (Atsar R. Baihaqi dan Abdurrazaq)
As-Sa’ib
bin Yazid ia berkata : “Aku melihat bapakku sedang membenahi kuda kuda
dan membayar zakatnya kepada Umar bin Khattab r.a.” (Atsar R. Daruquthni dan Ath-Thahawi)
Dari
Anas bin Malik r.a. “bahwa Umar bin Khattab r.a. memungut 10 dirham dari
kuda dan dari kawanan kuda jantan (zakatnya) 5 dirham”. (Ibnu Hazm dalam
Al-Muhalla Juz 5 hal 226)
Keputusan
umar ini sepintas lalu menyelisihi dari hadits hadits Rasulullah s.a.w. dan
sesuatu yang belum pernah ada contohnya pada masa Rasulullah s.a.w. Namun apa
yang dilakukan Umar r.a. merupakan contoh dari kaidah taghayyur al-ahkam bi taghayyur
al-azminati wa al-amkan (perubahan
hukum dimungkinkan seiring dengan perubahan tempat dan waktu). Umar r.a.
melakukan qiyas (analogi atau mempersamakan) kuda dengan unta. Yaitu ketika ia
mendengar bahwa kuda betina dijual setara denga harga 100 unta jantan.
Sedangkan unta itu ada zakatnya. Maka Umar ber-ijtihad bahwa kalau begitu kuda
juga ada zakatnya.
8. Khalifah
Umar Bin Khattab r.a. Mengenakan Zakat Progressif
Pada
masa Rasulullah s.a.w. zakat diperintahkan untuk dipungut dari setiap orang
yang baligh (dewasa) dan nilainya sama rata untuk semua orang yaitu 1 dinar
atau senilai baju mu’afir
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili, telah menceritakan
kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Abu Wail, dari Mu’adz, : “bahwa
Nabi s.a.w. tatkala mengutusnya ke Yaman beliau memerintahkannya agar ia
mengambil dari dari setiap orang yang baligh zakat satu dinar atau yang setara
dengannya dari mu’afiri, yaitu pakaian yang ada di Yaman”. (H.R. Abu Daud
No. 2642 Nasa’i No. 2407, Ahmad 21027)
Namun
sepeninggal Rasulullah s.a.w. Islam tersebar ke Iraq, Yaman dan Syiria. Dan
Umar r.a. melihat tingkatan hidup manusia sangat beragam dari yang sangat
miskin sampai amat sangat kaya. Maka Umar r.a. menerapkan zakat progressif
(bertingkat) yang berbeda-beda untuk tingkatan kekayaan yang berbeda. Orang
kaya dikenakan pajak 48 dirham dalam satu tahun. Orang yang sedang-sedang saja
kekeyaannya, dikenakan pajak 24 dirham per tahun sedangkan orang yang miskin
dikenakan 12 dirham pertahun (Nailul Authar Jilid 8 Hal 217)
Dari
Ibnu Abi Nujaib berkata : Saya bertanya kepada Mujahid mengapa penduduk Syiria
wajib membayar empat dinar sedangkan penduduk Yaman hanya membayar dua dina
saja? Mujahid menjawab kebijakan itu disesuaikan dengan kemampuan penduduk
negeri itu (Nailul Authar Jilid 8 Hal 217)
Umar
r.a. juga menerapkan jizyah pada kafir dzimmi dengan tarif berbeda untuk
tiap profesi yang berbeda :
Telah
menceritakan kepadaku dari Malik dari Nafi’ dari Aslam mantan budak ‘Umar bin
al Khattab, bahwa Umar bin
Khattab mewajibkan jizyah pada warga penghasil emas sebesar empat Dinar, dan
para penghasil perak sebesar empat puluh dirham. Selain itu mereka harus
memberi sedekah kepada kaum muslimin dan menjamu selama tiga hari.” (Atsar
R. Imam Malik dalam Muwatha’ No. 545)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar