PEMBAHASAN
MASALAH BID’AH
KESALAHPAHAMAN MAKNA KULLU DAN SUNNAH
Anda
akan menjumpai berbagai tulisan di dunia maya dari sebagian orang yang
bersikeras bahwa makna bid’ah pada hadits “kullu bid’atin dlolalah”
bersifat umum tanpa kecuali. Orang sulit untuk beranjak dari pemahaman dan
kesan yang kuat bahwa perkataan “kullu bid’atin dlolalah” adalah “semua
bid’ah itu sesat: bersifat umum karena memahami kata “kullu” berarti
“setiap” atau “semua”. Sehingga mereka berkata “semua ya semua” kok pake ada
yang dlolalah (sesat) dan ada yang hasanah (baik). Oleh karena itu kita
akan bahas bahwa tidak setiap kata “kullu” menunjukkan hal yang umum.
Dan
seandainya kata “kullu” ini pun bermakna umum, maka kata “bid’ah”
di sini bukanlah dalam makna asal / makna hakiki yaitu “hal yang baru”
melainkan adalah hal yang definitif setelah di-takhsish (dikhususkan). Terlebih
lagi jika ternyata kata “kullu” nya tidak bermakna umum dan kata “bid’ah” nya
juga tidak bermakna umum.
Orang
Salah Paham Dengan Keumuman Makna Bid’ah Karena Ada Kata “Kullu”
Salah
satu akar permasalahan yang membuat kebanyakan orang salah paham adalah adanya
kata “kullu” yang berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga kalimat kullu
bid’atin dlolalah artinya menjadi setiap bid’ah itu sesat atau semua bid’ah itu
sesat.
Padahal
semua itu tidak bisa disama-samakan. Sebuah kata kadang di sini maknanya beda
dengan di sana. Sebagaimana kata bid’ah di sini beda dengan bid’ah di sana.
Maka kata kullu di sini juga beda dengan kullu di sana. Memang kata kullu
artinya “setiap” atau “semua” tapi tidak setiap “kullu” artinya sungguh-sungguh
“semua”. Hal ini memang suatu hal yang biasa dalam gaya bahasa Arab (lihat
tulisan kami yang menjelaskan hal ini) Maka terkadang kata “kufur” tidak bermaksud
sungguh-sungguh kafir, kata fasiq tidak sungguh-sungguh fasik, maka ada pula
“semua” yang tidak sungguh-sungguh “semua”.
Kaidah
ini dalam ushul fiqih dikatakan bahwa hampir semua lafadz ‘aam (perkataan yang
bermakna umum) menuntut adanya pengecualian (takkhsish) sehingga tidak ada
suatu perkataan umum yang benar-benar umum (lihat tulisan kami yang membahas
masalah lafadz ‘am dan lafadz khas).
Masalah
ini telah aku (Nawawi) jelaskan dengan dalil-dalilnya yang luas dalam kitab
“Tahziibul Asma’ wa-Lughat”. Apabila dimengerti apa yang telah aku sebutkan itu
niscaya diketahuilah bahwa hadist Nabi itu termasuk hadist yang ‘am makshush
(yang dikhususkan maknanya) dan begitu juga hadist-hadist yang serupa
dengannya. Dalam keadaan hadist itu sebagai hadist yang ‘am makhsush (lafadznya
umum namun maknanya khusus) tidaklah tercegah oleh sabda Nabi “kullu bid’atin”
yang diperkuat dengan kata “kullu” melainkan tetap hal umum itu dimasuki oleh
takhsis (ada pengecualian) walaupun bersama “kullu” seperti firman Allah : “Tudammiru
kulla syai’in yang berarti “Angin taufan itu menghancurkan segala sesuatu”
(namun kenyataannya tidak semua dihancurkan oleh angin topan) “(Tahziibul Asma’ wa-Lughat)”.
Tidak Semua Kata “Kullu” Sungguh-Sungguh Bermakna Semua (Umum)
Apakah
kata “kullu” yang tidak sungguh-sungguh bermakna “semua” itu hanya ada pada
hadits “kullu bid’atin dlaolalah?” Tentu tidak. Banyak sekali kalimat “kullu”
baik pada ayat Al-Qur’an maupun hadits yang tidak bermakna umum.
Misalnya
pada firman Allah SWT berikut ini :
“Wa
ja’alna minal maa’i KULLA syai’in hayyin” (Dan dari air kami ciptakan
segala sesuatu yang hidup) (Q.S. Al-Anbiya [21]:30)
Dari
ayat ini kata kulla memiliki makna umum yaitu semua bahkan ditambah lagi kata
syai’in yang artinya segala sesuatu, sehingga maknanya benar-benar umum dan
tanpa kecuali. Namun kenyatannya keumuman ayat di atas di-takhshish
(dikecualikan / dibatasi) oleh ayat-ayat lainnya :
“Dan
Dia menjadikan Jin dari nyala api” (Q.S. Ar-Rahman [55] : 15)
“Dan
Kami ciptakan Al-Jan sebelum (adam) dari api yang sangat panas(Q.S. Al-Hijr :27)
Dari
Urwah dari Aisyah Rasulullah SAW bersabda : malaikat diciptakan dari
cahaya (nur) sedang kan jin diciptakan dari nyala api (mariij) dan Adam
diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan pada kalian (H.R. Muslim)
Maka
dari ayat dan hadits di atas jelas kita pahami bahwa jin dan malaikat walau
bukan makhluk kasat mata namun tergolong makluk yang hidup, namun mereka tidak
terbuat dari air melainkan jin terbuat dari api dan malaikat terbuat dari
cahaya. Maka ayat dan hadits ini men-takhshish (mengecualikan) keumuman dari
ayat Q.S. Al-Anbiya [21]:30
Contoh
lainnya adalah firman Allah tentang jawaban Nabi Khidir a.s. ketika ditanya
oleh Nabi Musa a.s. mengapa ia melubangi perahu yang mereka tumpangi
“Maka
berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr
melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya?” (Q.S.
Al-Kahfi [18]:71)
Maka
Nabi Khidir a.s. menjawab :
“Karena
di hadapan Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja
di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada
seorang raja yang merampas semua bahtera (kulla safiinah)” (Q.S. Al-Kahfi [18]:79)
Tapi
kenyataannya raja itu tidak merampas semua bahtera melainkan hanya bahtera yang
masih bagus saja. Jika tidak, maka untuk apa Nabi Khidir a.s. melubangi perahu
itu. Jika benar-benar kata “kulla” bermakna umum, maka semua perahu termasuk
yang bocor pun akan dirampas oleh raja itu. Maka perkataan “kulla safiinah”
(semua bahtera) pada ayat tersebut tidak sungguh-sungguh bermakna “semua”
Contoh
lainnya lagi pada ayat :
“(Angin)
yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka
tidak ada yang tersisa lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami
memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Q.S. Al Ahqaf [46] : 25).
Ayat
ini berbicara tentang kaum Nabi Hud a.s. yaitu kerabat kaum ‘Ad dan Tsamud.
Namun kenyataannya tidak demikian, sisa-sisa peradaban kaum ‘Ad dan Tsamud yang
dibinasakan Allah masih bisa dilihat sisa bangunannya dan menjadi pelajaran
bagi umat yang kemudian
Dan
apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka
yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat
kediaman mereka itu.” (Q.S.
As-Sajadah [32] : 26)
Sebagian
ulama ada yang mengajukan dalil bahwa kata “kulla” bermakna umum pada kalimat
Kullu
nafsin dzaiqotul maut (Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati) )” (Q.S. Ali-Imran [3] : 185)
Namun
kenyataannya tetap saja ada yang dikecualikan yaitu pada ayat :
Dan
ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali
siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka
tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (Q.S. Az-Zumar [39] : 68)
Dan
(ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di
langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua
mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. (Q.S. An-Naml [27] : 87 )
Maka
pada ayat itu ternyata ada beberapa makhluk hidup (yang pasti adalah malaikat
yang meniup sangsakala dimana ia tidak ikut mati) padahal malaikat adalah
makhluk yang berjiwa juga karena ia adalah makhluk yang hidup.
Kadang
kala kalimat umum itu tidak mesti menggunakan kata kullu, misalnya pada ayat :
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai…” (Q.S. Al-Maidah [5] : 5)
Ayat
di atas bermakna umum artinya bangkai apapun itu haram tanpa kecuali. Namun
kenyataannya bangkai binatang dari laut tidak haram
Rasulullah
s.a.w. bersabda : “Laut itu suci dan bangkainyapun halal” (H.R.
Tirmidzi)
Contoh
lain kalimat umum yang tidak menggunakan kata “kullu” misalnya pada ayat
:
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.(Q.S.
Al-Baqarah [2] :228).
Pada
ayat di atas lafadz al-mutholaqotu adalah isim jamak yang diikuti alif lam
sehingga maknanya adalah umum (lafadz ‘am) sehingga artinya wanita manapun
dalam kondisi bagaimanapun.
Namun
lafadz ‘am ini di-takhshish (dibatasi / dikecualikan) dengan ayat lainnya yaitu
:
Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.
(Q.S. At-Thalaq [ 65]:4)
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya.(Q.S.Al-Ahzab
[33]:49).
Maka
keumuman ayat Al-Baqarah [2]:228 bahwa wanita yang dicerai harus beriddah tiga
kali suci, itu dikecualikan untuk wanita yang sedang hamil dan yang
dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
Maka
dari sini para ulama mengatakan bahwa hampir tak ada lafadz umum yang bebas
dari pengecualian, kecuali ayat-ayat yang berkaitan dengan kekuasaan
Allah yang memang bersifat mutlak dan tanpa kecuali.
Wahbah
Zuhaili mengatakan : “Jumhur ulama berhujjah bawah setiap yang umum memiliki
kecenderungan takhshish (pengecualian / pembatasan) sehingga telah tersebar di
kalangan ulama (anggapan) bahwa tak ada yang umum kecuali telah dikhususkan
(dari keumumannya) maka takhshish memang banyak tersebar pada hal-hal yang
umum. Artinya bahwa tak ada yang bebas (suatu dalil umum) dari adanya takhshish
melainkan sedikit saja” (Ushul Al-Fiqih Al-Islami Juz 1 Hal 245)
Demikian
pula Muhammad bin Ali Asy Syaukani mengatakan : “Telah sepakat ahli ilmu
baik salaf maupun kholaf bahwa takhshish bagi keumuman-keumuman itu adalah
sesuatu yang ja’iz (boleh) dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang
dipandang keilmuannya yang menentangnya, dan hal ini sudah diketahui termasuk
bagian dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi bahkan dari orang yang
memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at sekalipun, sehingga dikatakan
tidak ada dalil yang umum melainkan sudah dikhususkan kecuali firman Allah
Ta’ala “dan Dia Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu” (Irsyadul Fuhuul Hal
246)
Demikian
pula lah dalam pembahasan masalah hadits bid’ah :
kullu
muhdatsatin bid’ah, wa kullu bid’atin dlolalah (setiap perkara baru adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R.
Ibnu Majah)
Bahwa
perkataan kullu pada hadits di atas tidak sungguh sungguh bermakna “semua” atau
“setiap” melainkan hal itu telah dikecualikan (ada takhshish nya)
Qorinah (Petunjuk) Tentang Adanya Sunnah Hasanah dan Sunnah
Sayyi’ah
Mereka
yang bersikeras dengan keumuman bahwa semua bid’ah tanpa
kecuali adalah dlolal, juga berkata bahwa pembagian bid’ah menjadi
bid’ah hasanah adalah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar
bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah dan berkata “hadza
ni’matil bid’ah” (ini adala bid’ah yang nikmat / bid’ah hasanah).
Orang-orang
yang bersikeras dengan keumuman makna “kullu bid’atin dlolalah”
juga berkata bahwa takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam
(umum) tidak boleh sembarangan dilakukan beradasarkan akal-akal-an, melainkan
harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash /
dalil naqli.
Kami
sepakat dengan mereka bahwa : walaupun para ulama mengatakan telah masyhur di
kalangan ulama adanya kaidah setiap yang ‘aam (umum) menuntut adanya takhshish,
kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kuasa Allah, namun takhshish
(pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tadi harus berdasarkan
qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli. Dan
sama sekali tidak terbersit niat untuk akal-akal-an di sini. Demikian pula Imam
Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani, Ibnu Atsir Jaziri dan ulama-ulama besar salafus
sholih sejak jaman dahulu tak pernah akal-akal-an mencari-cari celah untuk
melegal-kan perkara bid’ah.
Jika
mereka berpendapat bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah tanpa dasar /
dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika
menyelenggarakan tarawih berjamaah maka jelas itu adalah pendapat yang salah
besar. Karena sesungguhnya qorinah (petunjuk / indikasi) adanya pembagian
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah itu nyata benar adanya dari hadits-hadits
Nabi s.a.w. sendiri sebagai berikut :
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Syawarib berkata
telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah berkata, telah menceritakan kepada
kami Abdul Malik bin Umair dari Al-Mundzir bin Jarir dari Bapaknya ia berkata
Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha kaa
na lahu ajruha (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian sunnah itu
dikerjakan, maka ia akan mendapatkan pahalanya) dan pahala orang-orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan
sayyi-a-tan fa’mila biha kaa na ‘alaihi wizruhaa wa wizru man ‘amila biha (Dan
barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan maka ia
menanggung dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya) tanpa mengurangi dosa mereka
(yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Ibnu Majah)
Perhatikanlah
hadits di atas, bukankah jelas-jelas dalam redaksi hadits tersebut ada
perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dansunnatan
sayyi-a-tan (sunnah yang baik) ? Hadits ini dengan redaksi yang sama
diriwayatkan dari jalur yang lain sebagai berikut :
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada
kami Abu Nu’aim berkata telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Al-Hakam
dari Abu Juhaifah ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan
hasanatan fa’mila biha ba’dahu (Barang siapa merintis sunnah yang baik
kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya), maka ia akan mendapatkan
seperti pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna
sunnatan sayyi-a-tan fa’mila biha ba’dahu kaa na ‘alaihi wizruha wa mitslu (Dan
barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan oleh
orang-orang setelahnya) maka ia menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R
Abu Daud dan Ibnu Majah)
Maka
jelas dalam hadits di atas bahwa orang yang merintis sunnah yang baik akan
mendapat pahala atas kebaikan tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya.
Kriteria membedakan apakah rintisan-nya itu baik atau buruk tentu adalah dari
timbangan syari’at yaitu kesesuaian dengan Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat,
ijtihad sahabat atau ijma ulama.
Imam
Syafi’i berkata : “Segala perbuatan baru yang memiliki dasar dalil-dalil
syara’ maa bukan termasuk bid’ah (maksudnya bi’ah secara istilah) meskipun
belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan
hal tersebut terkadang karena suatu udzur yang terjadi saat itu (situasi
kondisi yang tidak memungkinkan) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama,
atau barangkali hal itu (perkara baru yang baik itu) belum terlintas di dalam
pengetahuan mereka (sahabat nabi, tabi’in, para salaf)” (Al-Hafizh Ghumari,
Itqon fii Tahqiiq Ma’ani Bid’ah Hal 5)
Orang
Yang Mengatakan Bahwa “Sunnah” Di Situ Maksudnya Adalah Sunnah Nabi s.a.w. Yang
Sudah Ada Di Jaman Nabi dan Bukannya Perkara Baru
Lagi-lagi
orang-orang yang terlalu bersemangat ini (atau mungkin didorong oleh fanatisme
kepada kelompoknya) menolak adanya qorinah (petunjuk) yang jelas tentang adanya
bid’ah hasanah berupa hadits-hadits di atas. Mereka berargumen bahwa sunnah di
situ adalah sunnah Nabi s.a.w. yaitu menghidupkan sunnah Nabi s.a.w. yang sudah
lama ditinggalkan orang dan bukannya perkara baru yang diadakan orang. maka
barang siapa yang menghidupkannya tentu akan mendapat pahala orang-orang yang
mengikutinya.
Ada
juga yang mengatakan bahwa hadits di atas asbabul wurudnya (latar belakang
peristiwa timbulnya hadits) adalah anjuran untuk bersedekah. Maka maksud
perkataan “sunnatan“ di situ adalah sunnah Rasulullah s.a.w. dan
bukannya perkara baru.
Dalam
menanggapi penyangkalan di atas, kami berusaha untuk husnu dzhon (berprasangka
baik) dalam hal ini, mungkin saja mereka (yang menolak qorinah / petunju dalam
hadits itu) terpengaruh dengan hadits dengan redaksi yang sangat mirip namun
berbeda maknanya yatu :
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah berkata telah menceritakan
kepada kami Zain bin Hulab berkata telah menceritakan kepada kami Katsur bin
Amru bin Auf Al-Muzani berkata telah menceritakan kepdaku Bapakku dari Kakekku
bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahyaa sunnatan min sunnatii fa’mila
biha annaas kaa na lahu mistlu ajri min ‘amila biha (Barang siapa
menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku kemudian orang-orang
mengerjakannya maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang
mengamalkannya) tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Wa man abtada’a
bid’atan fa’mila biha kaa na ‘alaihi au zaaru man ‘amila biha (Dan barang siapa
membuat bid’ah kemudian bid’ah itu dikerjakan oleh orang-orang maka ia
mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang mengerjakannya)” (H.R. Ibnu
Majah)
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata telah menceritakan kepada
kami Ismail bin Abu Uwais berkata telah menceitakan kepadaku Katsur bin
Abdullah dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata : Aku mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda : “Man ahya sunnatan min sunnati qod amiitat ba’dii
fainnalahu min ajri mitsli ajri man ‘amila biha minannaas (Barang siapa
menghidupkan sunnahku yang telah ditinggalkan sepeninggalku maka ia akan
mendapat pahala sebagaimana pahala orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun. Wa man abtada’a bid’atan laa yardlohaa Allah wa
Rosuluhu fa inna ‘alaihi mitsla itsmi man ‘amila biha minannaas (Dan barang
siapa membuat bid’ah yang Allah dan RasulNya tidak meridlainya, maka ia akan
mendapatkan dosa orang yang melakukannya) tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun (H.R. Ibnu Majah)
Pada
kedua hadits di atas sunnah di sini memang sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang
ditinggalkan orang, hal ini ditandai dengan perkataan sunnatan min
sunnati (sunnah dari sunnahku) maka akhiran “i” adalah kata ganti yang
berarti “ku” dimana “ku” disini adalah Nabi Muhammad s.a.w. Oleh karena sunnah
di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya namun
ditinggalkan oleh orang (tidak diamalkan lagi) maka yang melakukannya dikatakan
dengan kata “man ahya” (barang siapa menghidupkan kembali).
Sedangkan
pada hadits yang sebelumnya, perkataan sunnatan hasanatan (sunnah
yang baik) dan sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)
bukanlah sunnah Nabi s.a.w. yang sudah ada, melainkan “perkara baru dalam agama
yang diadakan”. Untuk itulah redaksi hadits tersebut tidak diawali dengan kata man
ahya (barang siapa menghidupkan) melainkan “man sanna” yang
artinya barang siapa merintis. Maka kata “man sanna” ini menunjukkan
bahwa ini adalah perkara baru dalam agama yang belum ada sebelumnya atau tidak
dicontohkan oleh Nabi s.a.w.
Selain
itu jika perkataan sunnatan di sini adalah sunnah Nabi
Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya maka apakah sunnah yang diajarkan
Nabi s.a.w. itu ada sunnatan hasanatan (sunnah yang
baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)??
Sehingga barang siapa yang melaksanakan sunnah Nabi s.a.w. yang buruk akan
mendapat dosa?? Tentu menjadi kacau pengertian hadits ini jika perkataan sunnatan di
sini diartikan sebagai sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya.
Kesalahpahaman Makna Sunnah
Kami
juga ber-husnudzhon bahwa mungkin saja ke-salah-paham-an dalam memahami makna sunnatan dalam
hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah
yang baik) timbul karena ada dua pengertian sunnah dalam pembicaraan umum dan
pembicaraan ilmu fiqih. Dua pengetian ini bisa saling tertukar atau sekilas
membingungkan.
Secara
pembicaraan umum, pengertian “sunnah” adalah sesuatu yang sudah menjadi
kesepakatan atau diterima orang untuk dilaksanakan. Secara makna bahasa atau
makna lughoh dikatakan bahwa sunnah ialah : “at-thoriqoh mardhiyyatan kanat
au ghoiro mardhiyyah” (perilaku yang diterima umum baik itu perbuatan baik
yang diridhoi maupun yang tidak diridhoi). Maka pengertian “sunnah” dalam
pembicaraan umum tidak hanya perbuatan yang baik saja melainkan juga bisa
meliputi perbuatan buruk yang sudah melembaga di masyarakat atau menjadi
konsensus bersama untuk dilaksanakan.
Sedangkan
dalam ilmu fiqih, definisi “sunnah” adalah : “ma ja’a ‘annin nabiyy
shalallahu alaihi wa salam min qoulin au fi’lin au taqriir” (segala sesuatu
yang datang dari Nabi s.a.w. baik itu perkataan, perbuatan maupun pengakuan).
Sebagian ulama ada yang menambahkan pada definisi sunnah dengan “diamnya Nabi
s.a.w.” artinya meliputi perkara-perkara yang didiamkan oleh Nabi s.a.w. karena
hal itu menunjukkan adanya persetujuan Nabi s.a.w. atas perilaku tersebut. Nah
pengertian sunnah dalam ilmu fiqih inilah yang lebih sering kita pegang ketika
membahas masalah agama. Namun dalam pembicaraan hadits “man sanna sunnatan
hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) di atas, mengambil makna
sunnah secara pembicaraan umum meliputi perbuatan baik dan perbuatan buruk yang
telah diterima atau disepakati untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Maka dari itulah
adasunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan
sayyi-a-tan(sunnah yang buruk).
PEMBAHASAN MASALAH BID’AH
APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERKARA AGAMA DALAM KONTEKS BID’AH?
Orang
yang paling ngotot dengan perkataan “kullu bid’atin dlolalah (semua bid’ah
yaitu dalam makna bahasa maksudnya adalah semua yang baru yang tak ada contoh
sebelumnya, adalah sesat) ketika dikatakan bagaimana dengan mobil? Bagaimana
dengan telepon? Bagaimana dengan pesawat terbang? Apakah semua itu bid’ah?
Mereka akan menjawab : “Itu kan bukan perkara agama, maka ya tidak bid’ah”.
Lho
katanya “kullu”? Katanya “setiap dan semua?” Jadi sekarang hanya dibatasi
masalah agama saja? Oke, berarti kita sepakat bahwa makna bid’ah di sini
minimal telah ditakhsish (dikhususkan dan dikecualikan) hanya dalam perkara
agama saja.
Sudah
jelas? Selesai ?! Tentu saja masih jauh dari kata “selesai”. Apa yang dimaksud
dengan perkara agama? Sebagian orang confused (rancu) tercampur baur antara
perkara yang benar-benar perkara agama dengan hal-hal yang berkonotasi agama
atau “diduga” atau “disangka” sebagai agama. Padahal orang yang melakukannya
tidak bermaksud demikian dan hanya bersifat tradisi saja. Sementara orang yang
menghakiminya melihat dari tampilan luar lantas menyimpulkan bahwa hal ini
adalah perkara agama.
Apa Yang Dimaksud Dengan Perkara Agama Dalam Konteks Bid’ah?
Kita
telah membatasi bahwa yang dimaksud perkara baru (muhdats) dalam pembahasan
bid’ah adalah terbatas pada perkara baru di bidang agama. Kelihatannya definisi
ini sederhana dan mudah dipahami. Namun kadangkala orang berbeda pendapat
apakah suatu perkara termasuk perkara agama atau tidak. Oleh karena itu mari
kita bahas masalah ini secara lebih detil.
Istilah
agama adalah bahasa sansekerta. Dalam bahasa Al-Qur’an urusan agama ini disebut
dengan “diin”. Dan dalam konteks pembicaraan bid’ah ini, patokan yang
menunjukkan bahwa perkara baru yang disebut bid’ah atau bukan bid’ah
diisyaratkan dengan perkataan“fii amrina” dan “laisa alaihi amruna”
(urusanku atau urusan kami).
Dalam
hadits lain jelas-jelas Rasulullah s.a.w. mengaitkan “muhdats” dengan
kata “ad-diin” (agama).
Dari
Al Hasan Rasulullah s.a.w. bersabda “Apabila kamu ingin tidak tertahan
dijembatan Shiratul Mustaqim, walaupun sekejap mata, hingga kamu masuk surga,
falaa tahdatsu fii diinillah maka janganlah kamu membuat sesuatu yang baru
dalam agama Allah dengan pendapatmu (H.R. Imam Syatibi menyebutkan
dalam Al-Ittsihom hal 58)
Jika
kita mengambil makna diin di sini maka batasannya akan luas
dan bahkan sangat luas. Maka untuk menjawab apa yang dimaksud dengan perkara diin di
sini, kita harus bertanya kapan Rasulullah s.a.w.mengatakan “ini adalah
urusanku”? Ataukah kapan Rasulullah s.a.w. menuntut untuk mengembalikan suatu
persoalan itu kepada beliau?
Petunjuk
mengenai hal ini terdapat dalam beberapa hadits sebagai berikut :
Suatu
ketika para sahabat yang melakukan perjalanan dengan Rasulullah s.a.w. lalu
bangun kesiangan dan terlambatnya shalat subuh, lalu sebagian mereka terus
menyesali perkara itu dan terus mengatakan “kita telah menyia-nyiakan shalat
kita”
Selanjutnya
Rasulullah S.a.w. naik kendaraan dan kami pun naik. Sebagian dari mereka
berkata kepada yang lain; ‘Kita telah menyia-nyiakan shalat kita.’ Rasulullah
S.a.w. bersabda: ” maa taqulun (apa yang kamu katakan?) Inkana
amro dunyakum fasya-anukum wa inkana amro diinikum fa-ilayya (Bila urusan
dunia, itu terserah kalian, tapi bila urusan agama, maka kembalikanlah
kepadaku).” (H.R. Ahmad No. 21506) Hadits ini maushul (bersambung sampai
Nabi) dan seluruh perawinya tsiqoh.
Pada
hadits berikutnya terjadi ketika masalah menyetek atau mengawinkan pohon kurma
:
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada
kami Affan berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad berkata, telah
menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas bin Malik dan Hisyam bin Urwah dari
Bapaknya dari ‘Aisyah berkata; “Nabi s.a.w. mendengar suara-suara, beliau
lalu bertanya, “Suara apa ini?” para sahabat berkata, “Kurma yang mereka kawinkan.”
Beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap)
baik.” Maka, pada tahun itu para sahabat tidak lagi mengawinkan hingga
kurma-kurma mereka rusak. Mereka kemudian menyampaikan hal itu kepada Nabi
s.a.w. beliau lalu bersabda: Inkaana syaian min amro dunyakum fasya-anukumbih
wa inkaana min amro diinikum fa-ilayya” (segala sesuatu menyangkut urusan dunia
kalian maka itu urusan kalian, tetapi jika menyangkut urusan agama kalian maka
kembalikanlah kepadaku).” (H.R. Ibnu Majah No. 2462) Nashiruddin
Al-Albani mengatakan hadits ini shahih
Telah
menceritakan kepada kami Affan, dia berkata; telah menceritakan kepada kami
Hammad bin Salamah, dai berkata; telah mengabarkan kepada kami Tsabit dari Anas
dan Hisyam bin ‘Urwah dari ‘Urwah dari Aisyah bahwa Nabi s.a.w. pernah
mendengar suara-suara, maka beliau bersabda: Inkaana syaian min amro
dunyakum fasya-anukumbih wa inkaana min amro diinikum fa-ilayya “(segala
perkara dunia kalian, maka terserah kalian, namun dari perkara agama kalian
maka kembalikanlah kepadaku)” (H.R. Ahmad No. 23773) Hadits ini
maushul (bersambung sampai Nabi) dan semua perawinya tsiqoh
Dari
hadits ini kita dapat menangkap bahwa apa-apa yang menyangkut perkara agama
adalah urusan Rasulullah s.a.w atau hal ini sama dengan perkataan “fii
amrina” atau “amruna”. Sedangkan yang apa-apa yang Rasulullah s.a.w. tidak
ikut campur (karena tak ada pengaturan Allah di situ) maka hal itu
diserahkanpada kita, dan bukan termasuk perkara agama.
Apa-Apa Yang Ada Pengaturan Allah dan RasulNya di situ Maka Itu
Termasuk Agama atau Syari’at
Maka
apa yang dimaksud dengan “perkara agama” di sini maksudnya adalah hal-hal yang
tasyri’ (hal-hal yang ada aturan syari’at di dalamnya) baik itu urusan ibadah mahdhoh (ritual)
atau pun ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Sedangkan hal-hal yang
tidak tak terdapat aturan syariat di dalamnya (ghoiru tasyri), maka hal
itu diserahkan pada kita dan bukan termasuk urusan agama. Jadi yang diserahkan
pada kita adalah hal-hal yang Allah mendiamkannya dan tidak mengaturnya.
Rasulullah
s.a.w.bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban ,
maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan,
maka jangan kamu langgar dia;(H.R. Daraquthni)
Dari
Abu Abdillah Nu’man bin Basyir r.a. dia berkata: Saya mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu
jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar)
yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat
berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang
terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang
diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya
disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan
memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah
adalah apa yang Dia haramkan. (H.R. Bukhari Muslim)
Apakah
pakaian termasuk perkara agama? Ya dan tidak. Model pakaian bukan perkara
agama, teknologi membuat pakaian bukan perkara agama. Namun batasan menutup
aurat dan aturan kesopanan dalam berpakaian, karena ada aturan Allah di situ,
maka itu termasuk perkara agama.
Apakah
makanan termasuk perkara agama? Ya dan tidak. Jenis makanan yang dimakan ada
aturannya maka itu termasuk perkara agama. Sedangkan bagaimana cara memasak,
apa bumbunya, bagaimana mengawetkannya, dan hal-hal lain yang di situ tak
terdapat aturan syari’at maka hal itu bukan termasuk perkara agama.
Sebagai
contoh Umar mengaitkan urusan makan dengan perkara menyelisihi sunnah
Diriwayatkan
dari Ibnu Al Mubarak dari Umar bin Khaththab r.a. : “Bahwa Yazid bin Abu
Sufyan pernah makan beraneka ragam makanan, maka Umar berkata kepada maulanya
—bernama Yarfa’—, “Jika kamu mengetahui waktu makan malamnya telah tiba,
beritahu aku.” Ketika ia menghidangkan makan malamnya, ia pun memberitahu Umar
dan Umar mendatanginya sambil mengucapkan salam kepadanya, kemudian meminta
izin untuk masuk dan ia diizinkan masuk. Makan malamnya lalu dihidangkan, yang
terdiri dari bubur dan dagjng, maka Umar ikut makan bersama dengannya. Kemudian
dihidangkan daging tulang hasta, maka Yazid mengulurkan tangannya (untuk
mengambil), namun Umar menahannya sambil berkata, “Demi Allah, wahai YazkJ bin
Abu Sufyan, apakah diajarkan makan setelah makan? Demi Dzat yang jiwa Umar
ditangan-Nya, apabila kamu menyelisihi Sunnah mereka maka kamu akan dipalingkan
dari jalan mereka.” (Disebutkan oleh Imam Syatibi dalam
Al-Ittishom hal 67)
Dalam
urusan jual beli, hal ini termasuk muamalah (hubungan antar manusia) sehingga
termasuk ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun agama (diin)
dalam hal ini ada mengatur di dalamnya. Ada larangan untuk riba, ada larangan
untuk curang dalam timbangan, ada larangan menimbun barang, dan lain-lain
aturan yang sangat banyak. Maka untuk hal-hal yang di dalamnya ada aturan
agama, itu adalah termasuk perkara agama.
Jadi
yang disebut perkara agama bukan hanya ibadah ritual saja. Hampir semua hal ada
bagian-bagian yang menjadi perkara agama dan ada bagian-bagian yang di situ
agama mendiamkannya dan tidak campur tangan, dengan kata lain itu “terserah
kalian”.
Apa-Apa Tentang Rukun Iman, Rukun Islam, Surga dan Neraka Adalah
Perkara Agama
Rukun
Iman yaitu terkait keyakinan dan aqidah yang benar terhadap Allah dan NabiNya,
MalaikatNya, Surga dan Neraka, Hari Kiamat, Kitab-Kitabnya, Qadha dan Qadar
merupakan perkara agama.
Rasulullah
s.a.w. telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu
dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ”
(H.R. Ath-Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir No. 1647)
Demikian
pula rukun Islam, yaitu terkait dengan ibadah mahdhoh (ritual) yang bersifat
ta’abudi (penghambaan) kepada Allah dan dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan
diri ) pada Allah adalah termasuk perkara agama. Sehingga perkara baru yang
tidak ada landasannya dalam syari’at terkait rukun Islam ini adalah termasuk
bid’ah yang dlolalah.
Sebagai
contoh, Rasulullah s.a.w. mengaitkan masalah tatacara shalat dengan bid’ah :
Dari
Sulaiman, dari Abdullah Rasulullah s.a.w bersabda “Akan ada orang-orang
setelahku yang mengakhirkan shalat dari waktunya dan mereka membuat bid’ah.”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana aku harus bersikap apabila aku
mendapatkan mereka?” Beliau menjawab, “Kamu bertanya kepadaku wahai anak Ummu
Abdullah seharusnya kamu bersikap? Tidak ada ketaatan kepada orang yang
bermaksiat kepada Allah.” (H.R. Khaitsamah, Imam Syatibi menyebutkan dalam
Al-Ittishom hal. 60)
Demikian
juga sahabat yang lainnya mengaitkan ibadah yang terdapat pada rukun iman
seperti shalat, zakat puasa, haji sebagai perkara agama yang menjadi obyek
pembahasan bid’ah
Diriwayatkan
dari Hisyam bin Hassan, ia berkata, “Allah tidak akan menerima puasa,
shalat, haji, jihad, umrah, sedekah, dan semua amal yang wajib dan yang sunah,
yang dilakukan oleh pelaku bid’ah. —Ibnu Wahab menambahkan— akan datang kepada
manusia suatu zaman yang mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan yang
batil. Jika telah datang maka doa tidak lagi berarti kecuali seperti doa orang
yang tenggelam.” (Atsar ini disebutkan oleh Imam Syatibi menyebutkan dalam
Al-Ittishom hal. 77)
Rukun Dan Syarat Menuju Rukun Iman dan Rukun Islam Termasuk
Perkara Agama
Syarat
sahnya shalat ialah menutup aurat, bersuci, menghadap kiblat dan lain
sebagainya. Maka komponen yang menjadi rukun shalat dan syarat sahnya shalat
merupakan pokok bahasan agama. Karena di situ Allah dan RasulNya mengatur
perkara rukun shalat dan syarat sahnya shalat,
Demikian
pula untuk puasa, zakat dan haji, maka rukun-rukunnya dan syarat sahnya adalah
termasuk perkara agama. Sehingga hal ini termasuk dalam lingkup pembahasan
bid’ah atau tidak bid’ah. Jika ada orang yang membuat perkara baru dalam
masalah zakat yang tak didasari dalil Al-Qur’an dan Hadits, maka hal itu
merupakan bid’ah yang dlolalah.
Metoda Pengajaran Agama Bukan Termasuk Perkara Agama Itu Sendiri
Semua
perkara aqidah, rukun iman dan rukun Islam termasuk perkara agama. Sehingga di
situ kita boleh meneliti adanya bid’ah yang dlolalah atau tidak. Demikian pula
pemahaman mengenai aqidah adalah termasuk perkara agama. Sehingga jika ada cara
pandang dan pemahaman yang salah dalam masalah aqidah termasuk dalam penelitian
bid’ah yang dlolalah atau tidak.
Namun
metoda dan teknik pengajaran aqidah bukan termasuk perkara agama.Sebagai
contoh : Pembahasan ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah bagian dari aqidah
dan termasuk perkara agama. Jika ada pemahaman yang salah mengenai Allah,
misalnya meyakini bahwa Allah itu memiliki wajah seperti manusia, meyakini
Allah itu berkelamin laki-laki, maka hal itu adalah perkara baru, karena
Rasulullah s.a.w. belum pernah memiliki keyakinan seperti itu. Sehingga
pemahaman Allah memiliki jism (anggota tubuh jasmani) adalah bid’ah dlolalah
(sesat).
Namun
metoda pengajaran untuk menjelaskan mengenai kekuasaan Allah dengan membagi
tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid ilahiyah dan tauhid asma wa sifat,
itu hanyalah metoda pengajaran sehingga bukan termasuk perkara agama. Tidak
perlu dibahas apakah dulu pada jaman Nabi s.a.w. tidak ada metoda pembagian
seperti itu. Karena hal ini bukan termasuk wilayah pembahasan bid’ah.
Maka
sungguh rancu sebagian pihak yang balik menyerang dengan mengatakan bahwa
pembagian tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyah, Tauhid Uluhiyah
serta Tauhid Asma wa Shifat adalah bid’ah karena tidak ada dalilnya. Maka
masalah pembagian ini adalah masalah metoda saja dalam menjelaskan pelajaran
tauhid. Tidak bisa disalah artikan dengan membagi bagi dzat Allah.
Apa-Apa Yang Allah Halalkan Dan Allah Haramkan Di Situ Ada Agama
atau Syari’at
Dalam
Al-Qur’an kita jumpai sebuah petunjuk apa yang dinamakan dengan agama
Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (wa laa yadiinuna dinnal
haqqi) (Q.S
At-Taubah [9]: 29 )
Pada
ayat di atas persoalan tidak mau mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan
RasulNya disebut dengan tidak beragama secara benar wa laa yadiinuna
dinnal haqqi. Maka jelas ada isyarat di sini yang dimaksud dengan
perkara agama (diin) adalah dimana di situ ada masalah ketentuan halal haram
Kita
kembali pada pembahasan yang telah lalu, mengenai penyebutan bid’ah bagi kaum
nasrani pada masa Nabi Isa a.s. Allah menyebut mereka sebagai orang yang
melakukan bid’ah maka pada ayat yang lain Allah berfirman :
“Mereka
menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan
(juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan yang Esa “. (Q.S At-Taubah [9]:31 )
Ketika
Nabi ditanya apakah yang dimaksud dengan para rahib dan pendeta mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah ? Sahabat bertanya, “apakah mereka
menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai
tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para
rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan
sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan
pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Dalam riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan
pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan
menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian
itulah penyembahannya kepada mereka.” (H.R.Tirmidzi)
Maka
lihatlah mengapa Allah menyebut mereka menjadikan para rahib dan pendetanya
sebagai Tuhan? Padahal mereka tidak bersujud dan menyembah rahib dan pendeta
mereka? Maka Rasulullah s.a.w. menjelaskan bahwa mereka para rahib dan pendeta
itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan para jamaah nya
meng-amini saja, meng-iya-kan saja apa yang dilakukan oleh pemuka agama mereka.
Maka
di sini dapat disimpulkan bahwa persoalan dimana di situ telah ditetapkan
adanya yang halal dan haram oleh Allah, itu adalah syari’at dan itu adalah
persoalan agama. Dan siapa yang mengubahnya tanpa landasan dalil syara, maka
itu adalah bid’ah yang dlolal (sesat).
dan
mereka (yang ) mengharamkan apa yang Allah telah rezki-kan pada mereka dengan
semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat (Q.S. Al-An’aam [6] : 140).
Jelas
pada ayat di atas persoalan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dikaitkan
dengan “mengada-adakan sesuatu terhadap Allah” sehingga ini adalah pembahasan
bid’ah.
Rasulullah
s.a.w.bersabda, “Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu
pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda
kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.”
(H.R. Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in)
Maka
persoalan menghalalkan apa yang haram dan mengharamkan apa yang telah ditetapkan
halal oleh Allah dan RasulNya itu adalah persoalan mengubah hukum Allah dan
bukan persoalan yang sepele. Inilah yang termasuk pada membuat perkara baru
(muhdats) dalam agama.
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu (Q.S.
Al-maidah [5] : 87)
Hai
Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, (demi)
mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (Q.S.
At-Tahrim [66] : 1)
Dari
Abu Darda’Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam
kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram,
dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari
Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian
beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (H.R.
Al Hakim dan Al Bazzar, beliau menshahihkannya)
Misalkan
urusan jual beli, hal ini termasuk muamalah (hubungan antar manusia) sehingga
termasuk ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun di situ ada aturan halal dan
haram. Riba adalah haram, ada curang dalam timbangan adalah haram, menimbun
barang adalah haram. Maka apa-apa yang diharamkan Allah adalah perkara agama
dan di situ tak boleh diubah.
Dalam
jual beli juga ada hal-hal yang halal, yaitu dihalalkan menjual binatang
ternak, dihalalkan memberi melakukan penjualan secara kredit, dihalalkan untuk
memberikan waktu khiyar selama 3 hari (boleh jadi atau batal membeli) Maka
untuk hal-hal yang pernyataan dihalalkan tak boleh diharamkan,karena itu
termasuk perkara agama.
Sehingga
jika ada orang yang menghalalkan riba, maka kita katakan itu adalah bid’ah
(perkara baru). Apakah hal itu belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. ?
Jawabnya : Ya, Rasulullah s.a.w. belum pernah menghalalkan riba. Lalu apakah
itu bid’ah yang dlolalah? Jawabnya : Ya, karena ia telah menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. Demikian pula jika ada orang yang mengharamkan penjualan
secara kredit padahal Allah membolehkannya, maka hal itu juga merupakan bid’ah.
Apa
Yang Di Situ Ada Perintah dan Larangan Allah dan NabiNya Maka Itu Termasuk
Perkara Agama
Termasuk
yang dimaksud dengan “urusan agama” adalah hal-hal dimana di situ ada perintah
dan larangan baik dari Allah maupun RasulNya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
Dan
Allah juga memberikan legitimasi (pengesahan) akan apa-apa yang dilarang oleh
Rasul dan apa-apa yangdoperintakan oleh Rasul sebagai bagian dari syari’at.
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar
(perintah-perintah-Nya) (Q.S.
Al-Anfaal [8] : 20)
Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang
mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan
(syari’at) ini (Q.S.
Al-Hajj [22] : 67)
“Apa
yang diberikan Rasul s.a.w. kepada kalian terimalah dan apa yang dilarangnya
tinggalkanlah” (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7)
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka
jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka
jangan kamu langgar dia (H.R. Daruqutni)
Maka
apapun yang disitu ditempatkan perintah dan larangan Allah, maka hal itu
merupakan perkara agama. Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menikah dan ini
ibadah ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Rasul mengatakan menikah sebagai
sunnahnya, dan barang siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan umatku.
Maka adanya perintah menikah ini adalah perkara agama. Sedangkan jima’
(bersetubuh) adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun ada bagian
tertentu di situ yang terdapat larangan Allah yaitu dilarang untuk menyetubuhi
dari dubur, dan dilarang menyetubuhi wanita yang haid. Maka dalam hal larangan
ini, jima’ merupakan perkara agama. Sedangkan hal-hal detil teknis lainnya,
Allah dan RasulNya tidak ikut campur dan diserahkan pada kita, sehingga hal ini
bukan perkara agama.
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7)
Yang
dimaksud mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui adalah
menggunakan ra’yu (akalnya sendiri) tanpa mengindahkan nash dalil
Al-Qur’an dan hadits. Adapun metoda-metoda dalam memahami nash dalil
pasti memerlukan akal juga seperti ilmu balaghoh, ilmu nahwu shorof, kaidah
kaidah ushul fiqih, pertimbangan maqoshid syar’I, pertimbangan antara mudharat
dan manfaat dll. Demikian pula metoda istinbath (menghasilkan) hukum fiqih itu
semua itu tidak membuang atau mengabaikan sama sekali nash dalil Al-Qur’an
maupun hadits bahkan semua kaidah itu digali dan dihasilkan dari metoda (cara)
yang diajarkan Al-Qur’an juga ittiba’ (mengikuti) cara Rasulullah s.a.w. dalam
memutuskan hukum fiqih. Yang menjadi masalah pada masa sekarang ini
adalah, sebagian orang ber-ittiba (mengikuti) dengan tampak luarnya saja,
sedangkan sebagian yang lain mengikuti metode nya cara berfikirnya atau
manhajnya dan bukan lahiriyah luarnya. Sehingga hal itu masih bisa dikatakan
berada pada rel berlandaskan Al-Qur’an dan hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar