Bid'ah 1

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH 

KESALAHPAHAMAN MAKNA KULLU DAN SUNNAH

Anda akan menjumpai berbagai tulisan di dunia maya dari sebagian orang yang bersikeras bahwa makna bid’ah pada hadits “kullu bid’atin dlolalah” bersifat umum tanpa kecuali. Orang sulit untuk beranjak dari pemahaman dan kesan yang kuat bahwa perkataan “kullu bid’atin dlolalah” adalah “semua bid’ah itu sesat: bersifat umum karena memahami kata “kullu” berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga mereka berkata “semua ya semua” kok pake ada yang dlolalah (sesat) dan ada yang hasanah (baik).  Oleh karena itu kita akan bahas bahwa tidak setiap kata “kullu” menunjukkan hal yang umum.
Dan seandainya kata “kullu” ini pun bermakna umum, maka kata “bid’ah” di sini bukanlah dalam makna asal / makna hakiki yaitu “hal yang baru” melainkan adalah hal yang definitif setelah di-takhsish (dikhususkan). Terlebih lagi jika ternyata kata “kullu” nya tidak bermakna umum dan kata “bid’ah” nya juga tidak bermakna umum.
Orang Salah Paham Dengan Keumuman Makna Bid’ah Karena Ada Kata “Kullu”
Salah satu akar permasalahan yang membuat kebanyakan orang salah paham adalah adanya kata “kullu” yang berarti “setiap” atau “semua”. Sehingga kalimat kullu bid’atin dlolalah artinya menjadi setiap bid’ah itu sesat atau semua bid’ah itu sesat.
Padahal semua itu tidak bisa disama-samakan. Sebuah kata kadang di sini maknanya beda dengan di sana. Sebagaimana kata bid’ah di sini beda dengan bid’ah di sana. Maka kata kullu di sini juga beda dengan kullu di sana. Memang kata kullu artinya “setiap” atau “semua” tapi tidak setiap “kullu” artinya sungguh-sungguh “semua”. Hal ini memang suatu hal yang biasa dalam gaya bahasa Arab (lihat tulisan kami yang menjelaskan hal ini) Maka terkadang kata “kufur” tidak bermaksud sungguh-sungguh kafir, kata fasiq tidak sungguh-sungguh fasik, maka ada pula “semua” yang tidak sungguh-sungguh “semua”.
Kaidah ini dalam ushul fiqih dikatakan bahwa hampir semua lafadz ‘aam (perkataan yang bermakna umum) menuntut adanya pengecualian (takkhsish) sehingga tidak ada suatu perkataan umum yang benar-benar umum (lihat tulisan kami yang membahas masalah lafadz ‘am dan lafadz khas).
Masalah ini telah aku (Nawawi) jelaskan dengan dalil-dalilnya yang luas dalam kitab “Tahziibul Asma’ wa-Lughat”. Apabila dimengerti apa yang telah aku sebutkan itu niscaya diketahuilah bahwa hadist Nabi itu termasuk hadist yang ‘am makshush (yang dikhususkan maknanya) dan begitu juga hadist-hadist yang serupa dengannya. Dalam keadaan hadist itu sebagai hadist yang ‘am makhsush (lafadznya umum namun maknanya khusus) tidaklah tercegah oleh sabda Nabi “kullu bid’atin” yang diperkuat dengan kata “kullu” melainkan tetap hal umum itu dimasuki oleh takhsis (ada pengecualian) walaupun bersama “kullu” seperti firman Allah : “Tudammiru kulla syai’in yang berarti “Angin taufan itu menghancurkan segala sesuatu” (namun kenyataannya tidak semua dihancurkan oleh angin topan) “(Tahziibul Asma’ wa-Lughat)”.
Tidak Semua Kata “Kullu” Sungguh-Sungguh Bermakna Semua (Umum)
Apakah kata “kullu” yang tidak sungguh-sungguh bermakna “semua” itu hanya ada pada hadits “kullu bid’atin dlaolalah?” Tentu tidak. Banyak sekali kalimat “kullu” baik pada ayat Al-Qur’an  maupun hadits yang tidak bermakna umum.
Misalnya pada firman Allah SWT berikut ini :
Wa ja’alna minal maa’i KULLA syai’in hayyin” (Dan dari air kami ciptakan segala sesuatu yang hidup) (Q.S. Al-Anbiya [21]:30)
Dari ayat ini kata kulla memiliki makna umum yaitu semua bahkan ditambah lagi kata syai’in yang artinya segala sesuatu, sehingga maknanya benar-benar umum dan tanpa kecuali. Namun kenyatannya keumuman ayat di atas di-takhshish (dikecualikan / dibatasi) oleh ayat-ayat lainnya :
Dan Dia menjadikan Jin dari nyala api” (Q.S. Ar-Rahman [55] : 15)
“Dan Kami ciptakan Al-Jan sebelum (adam) dari api yang sangat panas(Q.S. Al-Hijr :27)
Dari Urwah dari Aisyah Rasulullah SAW bersabda : malaikat diciptakan dari cahaya (nur) sedang kan jin diciptakan dari nyala api (mariij) dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan pada kalian (H.R. Muslim)
Maka dari ayat dan hadits di atas jelas kita pahami bahwa jin dan malaikat walau bukan makhluk kasat mata namun tergolong makluk yang hidup, namun mereka tidak terbuat dari air melainkan jin terbuat dari api dan malaikat terbuat dari cahaya. Maka ayat dan hadits ini men-takhshish (mengecualikan) keumuman dari ayat Q.S. Al-Anbiya [21]:30
Contoh lainnya adalah firman Allah tentang jawaban Nabi Khidir a.s. ketika ditanya oleh Nabi Musa a.s. mengapa ia melubangi perahu yang mereka tumpangi
“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” (Q.S. Al-Kahfi [18]:71)
Maka Nabi Khidir a.s. menjawab :
“Karena di hadapan Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua bahtera (kulla safiinah)” (Q.S. Al-Kahfi [18]:79)
Tapi kenyataannya raja itu tidak merampas semua bahtera melainkan hanya bahtera yang masih bagus saja. Jika tidak, maka untuk apa Nabi Khidir a.s. melubangi perahu itu. Jika benar-benar kata “kulla” bermakna umum, maka semua perahu termasuk yang bocor pun akan dirampas oleh raja itu. Maka perkataan “kulla safiinah” (semua bahtera) pada ayat tersebut tidak sungguh-sungguh bermakna “semua”
Contoh lainnya lagi pada ayat :
“(Angin) yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang tersisa lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Q.S. Al Ahqaf [46] : 25).
Ayat ini berbicara tentang kaum Nabi Hud a.s. yaitu kerabat kaum ‘Ad dan Tsamud. Namun kenyataannya tidak demikian, sisa-sisa peradaban kaum ‘Ad dan Tsamud yang dibinasakan Allah masih bisa dilihat sisa bangunannya dan menjadi pelajaran bagi umat yang kemudian
Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu.” (Q.S. As-Sajadah [32] : 26)
Sebagian ulama ada yang mengajukan dalil bahwa kata “kulla” bermakna umum pada kalimat
Kullu nafsin dzaiqotul maut (Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati) )” (Q.S. Ali-Imran [3] : 185)
Namun kenyataannya tetap saja ada yang dikecualikan yaitu pada ayat :
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (Q.S. Az-Zumar [39] : 68)
Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri. (Q.S. An-Naml [27] : 87 )
Maka pada ayat itu ternyata ada beberapa makhluk hidup (yang pasti adalah malaikat yang meniup sangsakala dimana ia tidak ikut mati) padahal malaikat adalah makhluk yang berjiwa juga karena ia adalah makhluk yang hidup.
Kadang kala kalimat umum itu tidak mesti menggunakan kata kullu, misalnya pada ayat :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…” (Q.S. Al-Maidah [5] : 5)
Ayat di atas bermakna umum artinya bangkai apapun itu haram tanpa kecuali. Namun kenyataannya bangkai binatang dari laut tidak haram
Rasulullah s.a.w. bersabda : “Laut itu suci dan bangkainyapun halal” (H.R. Tirmidzi)
Contoh lain kalimat umum yang tidak menggunakan kata “kullu”  misalnya pada ayat :
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.(Q.S. Al-Baqarah [2] :228).
Pada ayat di atas lafadz al-mutholaqotu adalah isim jamak yang diikuti alif lam sehingga maknanya adalah umum (lafadz ‘am) sehingga artinya wanita manapun dalam kondisi bagaimanapun.
Namun lafadz ‘am ini di-takhshish (dibatasi / dikecualikan) dengan ayat lainnya yaitu :
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S. At-Thalaq [ 65]:4)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Q.S.Al-Ahzab [33]:49).
Maka keumuman ayat Al-Baqarah [2]:228 bahwa wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci, itu  dikecualikan untuk wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
Maka dari sini para ulama mengatakan bahwa hampir tak ada lafadz umum yang bebas dari pengecualian, kecuali ayat-ayat yang berkaitan dengan kekuasaan Allah  yang memang bersifat mutlak dan tanpa kecuali.
Wahbah Zuhaili mengatakan : “Jumhur ulama berhujjah bawah setiap yang umum memiliki kecenderungan takhshish (pengecualian / pembatasan) sehingga telah tersebar di kalangan ulama (anggapan) bahwa tak ada yang umum kecuali telah dikhususkan (dari keumumannya) maka takhshish memang banyak tersebar pada hal-hal yang umum. Artinya bahwa tak ada yang bebas (suatu dalil umum) dari adanya takhshish melainkan sedikit saja” (Ushul Al-Fiqih Al-Islami Juz 1 Hal 245)
Demikian pula Muhammad bin Ali Asy Syaukani mengatakan : “Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun kholaf bahwa takhshish bagi keumuman-keumuman itu adalah sesuatu yang ja’iz (boleh) dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dipandang keilmuannya yang menentangnya, dan hal ini sudah diketahui termasuk bagian dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi bahkan dari orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at sekalipun, sehingga dikatakan tidak ada dalil yang umum melainkan sudah dikhususkan kecuali firman Allah Ta’ala “dan Dia Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu” (Irsyadul Fuhuul Hal 246)
Demikian pula lah dalam pembahasan masalah hadits bid’ah :
kullu muhdatsatin bid’ah, wa kullu bid’atin dlolalah (setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R. Ibnu Majah)
Bahwa perkataan kullu pada hadits di atas tidak sungguh sungguh bermakna “semua” atau “setiap” melainkan hal itu telah dikecualikan (ada takhshish nya)
Qorinah (Petunjuk) Tentang Adanya Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi’ah
Mereka yang bersikeras dengan keumuman bahwa semua bid’ah tanpa kecuali adalah dlolal, juga berkata bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah adalah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah dan berkata “hadza ni’matil bid’ah”  (ini adala bid’ah yang nikmat / bid’ah hasanah).
Orang-orang yang bersikeras dengan keumuman makna “kullu bid’atin dlolalah”  juga berkata bahwa takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tidak boleh sembarangan dilakukan beradasarkan akal-akal-an, melainkan harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli.
Kami sepakat dengan mereka bahwa : walaupun para ulama mengatakan telah masyhur di kalangan ulama adanya kaidah setiap yang ‘aam (umum) menuntut adanya takhshish, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kuasa Allah, namun takhshish (pengkhsususan / pembatasan) makna yang ‘aam (umum) tadi harus berdasarkan qarinah (petunjuk / indikasi) yang jelas yang didukung nash / dalil naqli. Dan sama sekali tidak terbersit niat untuk akal-akal-an di sini. Demikian pula Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani, Ibnu Atsir Jaziri dan ulama-ulama besar salafus sholih sejak jaman dahulu tak pernah akal-akal-an mencari-cari celah untuk melegal-kan perkara bid’ah.
Jika mereka berpendapat bahwa pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah tanpa dasar / dalil yang jelas kecuali hadits dari Umar bin Khattab r.a. ketika menyelenggarakan tarawih berjamaah maka jelas itu adalah pendapat yang salah besar. Karena sesungguhnya qorinah (petunjuk / indikasi) adanya pembagian bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah itu nyata benar adanya dari hadits-hadits Nabi s.a.w. sendiri sebagai berikut :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Syawarib berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Umair dari Al-Mundzir bin Jarir dari Bapaknya ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha kaa na lahu ajruha (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian sunnah itu dikerjakan, maka ia akan mendapatkan pahalanya) dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan fa’mila biha kaa na ‘alaihi wizruhaa wa wizru man ‘amila biha (Dan barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan maka ia menanggung dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya) tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Ibnu Majah)
Perhatikanlah hadits di atas, bukankah jelas-jelas dalam redaksi hadits tersebut ada perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dansunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang baik) ? Hadits ini dengan redaksi yang sama diriwayatkan dari jalur yang lain sebagai berikut :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Al-Hakam dari Abu Juhaifah ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda : “man sanna sunnatan hasanatan fa’mila biha  ba’dahu (Barang siapa merintis sunnah yang baik kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya), maka ia akan mendapatkan seperti pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man sanna sunnatan sayyi-a-tan fa’mila biha ba’dahu kaa na ‘alaihi wizruha wa mitslu (Dan barang siapa merintis suatu sunnah yang buruk kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya) maka ia menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka (yang mengikuti itu) sedikitpun” (H.R Abu Daud dan Ibnu Majah)
Maka jelas dalam hadits di atas bahwa orang yang merintis sunnah yang baik akan mendapat pahala atas kebaikan tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya. Kriteria membedakan apakah rintisan-nya itu baik atau buruk tentu adalah dari timbangan syari’at yaitu kesesuaian dengan Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, ijtihad sahabat atau ijma ulama.
Imam Syafi’i berkata : “Segala perbuatan baru yang memiliki dasar dalil-dalil syara’ maa bukan termasuk bid’ah (maksudnya bi’ah secara istilah) meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena suatu udzur yang terjadi saat itu (situasi kondisi yang tidak memungkinkan) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, atau barangkali hal itu (perkara baru yang baik itu) belum terlintas di dalam pengetahuan mereka (sahabat nabi, tabi’in, para salaf)” (Al-Hafizh Ghumari, Itqon fii Tahqiiq Ma’ani Bid’ah Hal 5)
Orang Yang Mengatakan Bahwa “Sunnah” Di Situ Maksudnya Adalah Sunnah Nabi s.a.w. Yang Sudah Ada Di Jaman Nabi dan Bukannya Perkara Baru
Lagi-lagi orang-orang yang terlalu bersemangat ini (atau mungkin didorong oleh fanatisme kepada kelompoknya) menolak adanya qorinah (petunjuk) yang jelas tentang adanya bid’ah hasanah berupa hadits-hadits di atas. Mereka berargumen bahwa sunnah di situ adalah sunnah Nabi s.a.w. yaitu menghidupkan sunnah Nabi s.a.w. yang sudah lama ditinggalkan orang dan bukannya perkara baru yang diadakan orang. maka barang siapa yang menghidupkannya tentu akan mendapat pahala orang-orang yang mengikutinya.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadits di atas asbabul wurudnya (latar belakang peristiwa timbulnya hadits) adalah anjuran untuk bersedekah. Maka maksud perkataan “sunnatan“ di situ adalah sunnah Rasulullah s.a.w. dan bukannya perkara baru.
Dalam menanggapi penyangkalan di atas, kami berusaha untuk husnu dzhon (berprasangka baik) dalam hal ini, mungkin saja mereka (yang menolak qorinah / petunju dalam hadits itu) terpengaruh dengan hadits dengan redaksi yang sangat mirip namun berbeda maknanya yatu :
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah berkata telah menceritakan kepada kami Zain bin Hulab berkata telah menceritakan kepada kami Katsur bin Amru bin Auf Al-Muzani berkata telah menceritakan kepdaku Bapakku dari Kakekku bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahyaa sunnatan min sunnatii fa’mila biha annaas kaa na lahu mistlu ajri min ‘amila biha (Barang siapa menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku kemudian orang-orang mengerjakannya maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Wa man abtada’a bid’atan fa’mila biha kaa na ‘alaihi au zaaru man ‘amila biha (Dan barang siapa membuat bid’ah kemudian bid’ah itu dikerjakan oleh orang-orang maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang mengerjakannya)” (H.R. Ibnu Majah)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abu Uwais berkata telah menceitakan kepadaku Katsur bin Abdullah dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata : Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : “Man ahya sunnatan min sunnati qod amiitat ba’dii fainnalahu min ajri mitsli ajri man ‘amila biha minannaas (Barang siapa menghidupkan sunnahku yang telah ditinggalkan sepeninggalku maka ia akan mendapat pahala sebagaimana pahala orang yang mengamalkannya) tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Wa man abtada’a bid’atan laa yardlohaa Allah wa Rosuluhu fa inna ‘alaihi mitsla itsmi man ‘amila biha minannaas (Dan barang siapa membuat bid’ah yang Allah dan RasulNya tidak meridlainya, maka ia akan mendapatkan dosa orang yang melakukannya) tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (H.R. Ibnu Majah)
Pada kedua hadits di atas sunnah di sini memang sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang ditinggalkan orang, hal ini ditandai dengan perkataan sunnatan min sunnati (sunnah dari sunnahku) maka akhiran “i” adalah kata ganti yang berarti “ku” dimana “ku” disini adalah Nabi Muhammad s.a.w. Oleh karena sunnah di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya namun ditinggalkan oleh orang (tidak diamalkan lagi) maka yang melakukannya dikatakan dengan kata “man ahya” (barang siapa menghidupkan kembali).
Sedangkan pada hadits yang sebelumnya, perkataan sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)  bukanlah sunnah Nabi s.a.w. yang sudah ada, melainkan “perkara baru dalam agama yang diadakan”. Untuk itulah redaksi hadits tersebut tidak diawali dengan kata man ahya (barang siapa menghidupkan) melainkan “man sanna” yang artinya barang siapa merintis. Maka kata “man sanna” ini menunjukkan bahwa ini adalah perkara baru dalam agama yang belum ada sebelumnya atau tidak dicontohkan oleh Nabi s.a.w.
Selain itu jika perkataan sunnatan di sini adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya maka apakah sunnah yang diajarkan Nabi s.a.w.  itu ada sunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan (sunnah yang buruk)?? Sehingga barang siapa yang melaksanakan sunnah Nabi s.a.w. yang buruk akan mendapat dosa?? Tentu menjadi kacau pengertian hadits ini jika perkataan sunnatan di sini diartikan sebagai sunnah Nabi Muhammad s.a.w. yang sudah ada sebelumnya.
Kesalahpahaman Makna Sunnah
Kami juga ber-husnudzhon bahwa mungkin saja ke-salah-paham-an dalam memahami makna sunnatan dalam hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) timbul karena ada dua pengertian sunnah dalam pembicaraan umum dan pembicaraan ilmu fiqih. Dua pengetian ini bisa saling tertukar atau sekilas membingungkan.
Secara pembicaraan umum, pengertian “sunnah” adalah sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan atau diterima orang untuk dilaksanakan. Secara makna bahasa atau makna lughoh dikatakan bahwa sunnah ialah : “at-thoriqoh mardhiyyatan kanat au ghoiro mardhiyyah” (perilaku yang diterima umum baik itu perbuatan baik yang diridhoi maupun yang tidak diridhoi). Maka  pengertian “sunnah” dalam pembicaraan umum tidak hanya perbuatan yang baik saja melainkan juga bisa meliputi perbuatan buruk yang sudah melembaga di masyarakat atau menjadi konsensus bersama untuk dilaksanakan.
Sedangkan dalam ilmu fiqih, definisi “sunnah” adalah : “ma ja’a ‘annin nabiyy shalallahu alaihi wa salam min qoulin au fi’lin au taqriir” (segala sesuatu yang datang dari Nabi s.a.w. baik itu perkataan, perbuatan maupun pengakuan). Sebagian ulama ada yang menambahkan pada definisi sunnah dengan “diamnya Nabi s.a.w.” artinya meliputi perkara-perkara yang didiamkan oleh Nabi s.a.w. karena hal itu menunjukkan adanya persetujuan Nabi s.a.w. atas perilaku tersebut. Nah pengertian sunnah dalam ilmu fiqih inilah yang lebih sering kita pegang ketika membahas masalah agama. Namun dalam pembicaraan hadits “man sanna sunnatan hasanatan (Barang siapa merintis sunnah yang baik) di atas, mengambil makna sunnah secara pembicaraan umum meliputi perbuatan baik dan perbuatan buruk yang telah diterima atau disepakati untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Maka dari itulah adasunnatan hasanatan (sunnah yang baik) dan ada sunnatan sayyi-a-tan(sunnah yang buruk).
PEMBAHASAN MASALAH BID’AH 

APA YANG DIMAKSUD DENGAN PERKARA AGAMA DALAM KONTEKS BID’AH?

Orang yang paling ngotot dengan perkataan “kullu bid’atin dlolalah (semua bid’ah yaitu dalam makna bahasa maksudnya adalah semua yang baru yang tak ada contoh sebelumnya, adalah sesat) ketika dikatakan bagaimana dengan mobil? Bagaimana dengan telepon? Bagaimana dengan pesawat terbang? Apakah semua itu bid’ah? Mereka akan menjawab : “Itu kan bukan perkara agama, maka ya tidak bid’ah”.
Lho katanya “kullu”? Katanya “setiap dan semua?” Jadi sekarang hanya dibatasi masalah agama saja? Oke, berarti kita sepakat bahwa makna bid’ah di sini minimal telah ditakhsish (dikhususkan dan dikecualikan) hanya dalam perkara agama saja.
Sudah jelas? Selesai ?! Tentu saja masih jauh dari kata “selesai”. Apa yang dimaksud dengan perkara agama? Sebagian orang confused (rancu) tercampur baur antara perkara yang benar-benar perkara agama dengan hal-hal yang berkonotasi agama atau “diduga” atau “disangka” sebagai agama. Padahal orang yang melakukannya tidak bermaksud demikian dan hanya bersifat tradisi saja. Sementara orang yang menghakiminya melihat dari tampilan luar lantas menyimpulkan bahwa hal ini adalah perkara agama.
Apa Yang Dimaksud Dengan Perkara Agama Dalam Konteks Bid’ah?
Kita telah membatasi bahwa yang dimaksud perkara baru (muhdats) dalam pembahasan bid’ah adalah terbatas pada perkara baru di bidang agama. Kelihatannya definisi ini sederhana dan mudah dipahami. Namun kadangkala orang berbeda pendapat apakah suatu perkara termasuk perkara agama atau tidak. Oleh karena itu mari kita bahas masalah ini secara lebih detil.
Istilah agama adalah bahasa sansekerta. Dalam bahasa Al-Qur’an urusan agama ini disebut dengan “diin”. Dan dalam konteks pembicaraan bid’ah ini, patokan yang menunjukkan bahwa perkara baru yang disebut bid’ah atau bukan bid’ah diisyaratkan  dengan perkataan“fii amrina” dan “laisa alaihi amruna” (urusanku atau urusan kami).
Dalam hadits lain jelas-jelas Rasulullah s.a.w. mengaitkan “muhdats” dengan kata “ad-diin” (agama).
Dari Al Hasan Rasulullah s.a.w. bersabda “Apabila kamu ingin tidak tertahan dijembatan Shiratul Mustaqim, walaupun sekejap mata, hingga kamu masuk surga, falaa tahdatsu fii diinillah maka janganlah kamu membuat sesuatu yang baru dalam agama Allah dengan pendapatmu (H.R. Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittsihom hal 58)
Jika kita mengambil makna diin di sini maka batasannya akan luas dan bahkan sangat luas. Maka untuk menjawab apa yang dimaksud dengan perkara diin di sini, kita harus bertanya kapan Rasulullah s.a.w.mengatakan “ini adalah urusanku”? Ataukah kapan Rasulullah s.a.w. menuntut untuk mengembalikan suatu persoalan itu kepada beliau?
Petunjuk mengenai hal ini terdapat dalam beberapa hadits sebagai berikut :
Suatu ketika para sahabat yang melakukan perjalanan dengan Rasulullah s.a.w. lalu bangun kesiangan dan terlambatnya shalat subuh, lalu sebagian mereka terus menyesali perkara itu dan terus mengatakan “kita telah menyia-nyiakan shalat kita”
Selanjutnya Rasulullah S.a.w. naik kendaraan dan kami pun naik. Sebagian dari mereka berkata kepada yang lain; ‘Kita telah menyia-nyiakan shalat kita.’ Rasulullah S.a.w. bersabda: ” maa taqulun (apa yang kamu katakan?) Inkana amro dunyakum fasya-anukum wa inkana amro diinikum fa-ilayya (Bila urusan dunia, itu terserah kalian, tapi bila urusan agama, maka kembalikanlah kepadaku).” (H.R. Ahmad No. 21506) Hadits ini maushul (bersambung sampai Nabi) dan seluruh perawinya tsiqoh.
Pada hadits berikutnya terjadi ketika masalah menyetek atau mengawinkan pohon kurma :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Affan berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad berkata, telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas bin Malik dan Hisyam bin Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah berkata; “Nabi s.a.w. mendengar suara-suara, beliau lalu bertanya, “Suara apa ini?” para sahabat berkata, “Kurma yang mereka kawinkan.” Beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik.” Maka, pada tahun itu para sahabat tidak lagi mengawinkan hingga kurma-kurma mereka rusak. Mereka kemudian menyampaikan hal itu kepada Nabi s.a.w. beliau lalu bersabda: Inkaana syaian min amro dunyakum fasya-anukumbih wa inkaana min amro diinikum fa-ilayya” (segala sesuatu menyangkut urusan dunia kalian maka itu urusan kalian, tetapi jika menyangkut urusan agama kalian maka kembalikanlah kepadaku).” (H.R. Ibnu Majah No. 2462) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih
Telah menceritakan kepada kami Affan, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dai berkata; telah mengabarkan kepada kami Tsabit dari Anas dan Hisyam bin ‘Urwah dari ‘Urwah dari Aisyah bahwa Nabi s.a.w. pernah mendengar suara-suara, maka beliau bersabda: Inkaana syaian min amro dunyakum fasya-anukumbih wa inkaana min amro diinikum fa-ilayya “(segala perkara dunia kalian, maka terserah kalian, namun dari perkara agama kalian maka kembalikanlah kepadaku)” (H.R. Ahmad No. 23773) Hadits ini maushul (bersambung sampai Nabi) dan semua perawinya tsiqoh
Dari hadits ini kita dapat menangkap bahwa apa-apa yang menyangkut perkara agama adalah urusan Rasulullah s.a.w atau hal ini sama dengan perkataan “fii amrina” atau “amruna”. Sedangkan yang apa-apa yang Rasulullah s.a.w. tidak ikut campur (karena tak ada pengaturan Allah di situ) maka hal itu diserahkanpada kita, dan bukan termasuk perkara agama.
Apa-Apa Yang Ada Pengaturan Allah dan RasulNya di situ Maka Itu Termasuk Agama atau Syari’at
Maka apa yang dimaksud dengan “perkara agama” di sini maksudnya adalah hal-hal yang tasyri’ (hal-hal yang ada aturan syari’at di dalamnya) baik itu urusan ibadah mahdhoh (ritual) atau pun ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Sedangkan hal-hal yang tidak tak terdapat aturan syariat di dalamnya (ghoiru tasyri), maka hal itu diserahkan pada kita dan bukan termasuk urusan agama. Jadi yang diserahkan pada kita adalah hal-hal yang Allah mendiamkannya dan tidak mengaturnya.
Rasulullah s.a.w.bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia;(H.R. Daraquthni)
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir r.a. dia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. (H.R. Bukhari Muslim)
Apakah pakaian termasuk perkara agama? Ya dan tidak. Model pakaian bukan perkara agama, teknologi membuat pakaian bukan perkara agama. Namun batasan menutup aurat dan aturan kesopanan dalam berpakaian, karena ada aturan Allah di situ, maka itu termasuk perkara agama.
Apakah makanan termasuk perkara agama? Ya dan tidak. Jenis makanan yang dimakan ada aturannya maka itu termasuk perkara agama. Sedangkan bagaimana cara memasak, apa bumbunya, bagaimana mengawetkannya, dan hal-hal lain yang di situ tak terdapat aturan syari’at maka hal itu bukan termasuk perkara agama.
Sebagai contoh Umar mengaitkan urusan makan dengan perkara menyelisihi sunnah
Diriwayatkan dari Ibnu Al Mubarak dari Umar bin Khaththab r.a. : “Bahwa Yazid bin Abu Sufyan pernah makan beraneka ragam makanan, maka Umar berkata kepada maulanya —bernama Yarfa’—, “Jika kamu mengetahui waktu makan malamnya telah tiba, beritahu aku.” Ketika ia menghidangkan makan malamnya, ia pun memberitahu Umar dan Umar mendatanginya sambil mengucapkan salam kepadanya, kemudian meminta izin untuk masuk dan ia diizinkan masuk. Makan malamnya lalu dihidangkan, yang terdiri dari bubur dan dagjng, maka Umar ikut makan bersama dengannya. Kemudian dihidangkan daging tulang hasta, maka Yazid mengulurkan tangannya (untuk mengambil), namun Umar menahannya sambil berkata, “Demi Allah, wahai YazkJ bin Abu Sufyan, apakah diajarkan makan setelah makan? Demi Dzat yang jiwa Umar ditangan-Nya, apabila kamu menyelisihi Sunnah mereka maka kamu akan dipalingkan dari jalan mereka.”  (Disebutkan oleh Imam Syatibi dalam Al-Ittishom hal 67)
Dalam urusan jual beli, hal ini termasuk muamalah (hubungan antar manusia) sehingga termasuk ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun agama (diin) dalam hal ini ada mengatur di dalamnya. Ada larangan untuk riba, ada larangan untuk curang dalam timbangan, ada larangan menimbun barang, dan lain-lain aturan yang sangat  banyak. Maka untuk hal-hal yang di dalamnya ada aturan agama, itu adalah termasuk perkara agama.
Jadi yang disebut perkara agama bukan hanya ibadah ritual saja. Hampir semua hal ada bagian-bagian yang menjadi perkara agama dan ada bagian-bagian yang di situ agama mendiamkannya dan tidak campur tangan, dengan kata lain itu “terserah kalian”.
Apa-Apa Tentang Rukun Iman, Rukun Islam, Surga dan Neraka Adalah Perkara Agama
Rukun Iman yaitu terkait keyakinan dan aqidah yang benar terhadap Allah dan NabiNya, MalaikatNya, Surga dan Neraka, Hari Kiamat, Kitab-Kitabnya, Qadha dan Qadar merupakan perkara agama.
Rasulullah s.a.w. telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (H.R. Ath-Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir No. 1647)
Demikian pula rukun Islam, yaitu terkait dengan ibadah mahdhoh (ritual) yang bersifat ta’abudi (penghambaan) kepada Allah dan dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan diri ) pada Allah adalah termasuk perkara agama. Sehingga perkara baru yang tidak ada landasannya dalam syari’at terkait rukun Islam ini adalah termasuk bid’ah yang dlolalah.
Sebagai contoh, Rasulullah s.a.w. mengaitkan masalah tatacara shalat dengan bid’ah :
Dari Sulaiman, dari Abdullah Rasulullah s.a.w bersabda “Akan ada orang-orang setelahku yang mengakhirkan shalat dari waktunya dan mereka membuat bid’ah.” Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana aku harus bersikap apabila aku mendapatkan mereka?” Beliau menjawab, “Kamu bertanya kepadaku wahai anak Ummu Abdullah seharusnya kamu bersikap? Tidak ada ketaatan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah.” (H.R. Khaitsamah, Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittishom hal. 60)
Demikian juga sahabat yang lainnya mengaitkan ibadah yang terdapat pada rukun iman seperti shalat, zakat puasa, haji sebagai perkara agama yang menjadi obyek pembahasan bid’ah
Diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan, ia berkata, “Allah tidak akan menerima puasa, shalat, haji, jihad, umrah, sedekah, dan semua amal yang wajib dan yang sunah, yang dilakukan oleh pelaku bid’ah. —Ibnu Wahab menambahkan— akan datang kepada manusia suatu zaman yang mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan yang batil. Jika telah datang maka doa tidak lagi berarti kecuali seperti doa orang yang tenggelam.” (Atsar ini disebutkan oleh Imam Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittishom hal. 77)
Rukun Dan Syarat Menuju Rukun Iman dan Rukun Islam Termasuk Perkara Agama
Syarat sahnya shalat ialah menutup aurat, bersuci, menghadap kiblat dan lain sebagainya. Maka komponen yang menjadi rukun shalat dan syarat sahnya shalat merupakan pokok bahasan agama. Karena di situ Allah dan RasulNya mengatur perkara rukun shalat dan syarat sahnya shalat,
Demikian pula untuk puasa, zakat dan haji, maka rukun-rukunnya dan syarat sahnya adalah termasuk perkara agama. Sehingga hal ini termasuk dalam lingkup pembahasan bid’ah atau tidak bid’ah. Jika ada orang yang membuat perkara baru dalam masalah zakat yang tak didasari dalil Al-Qur’an dan Hadits, maka hal itu merupakan bid’ah yang dlolalah.
Metoda Pengajaran Agama Bukan Termasuk Perkara Agama Itu Sendiri
Semua perkara aqidah, rukun iman dan rukun Islam termasuk perkara agama. Sehingga di situ kita boleh meneliti adanya bid’ah yang dlolalah atau tidak. Demikian pula pemahaman mengenai aqidah adalah termasuk perkara agama. Sehingga jika ada cara pandang dan pemahaman yang salah dalam masalah aqidah termasuk dalam penelitian bid’ah yang dlolalah atau tidak.
Namun metoda dan teknik pengajaran aqidah  bukan termasuk perkara agama.Sebagai contoh : Pembahasan ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah bagian dari aqidah dan termasuk perkara agama. Jika ada pemahaman yang salah mengenai Allah, misalnya meyakini bahwa Allah itu memiliki wajah seperti manusia, meyakini Allah itu berkelamin laki-laki, maka hal itu adalah perkara baru, karena Rasulullah s.a.w. belum pernah memiliki keyakinan seperti itu. Sehingga pemahaman Allah memiliki jism (anggota tubuh jasmani) adalah bid’ah dlolalah (sesat).
Namun metoda pengajaran untuk menjelaskan mengenai kekuasaan Allah dengan membagi tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid ilahiyah dan tauhid asma wa sifat, itu hanyalah metoda pengajaran sehingga bukan termasuk perkara agama. Tidak perlu dibahas apakah dulu pada jaman Nabi s.a.w. tidak ada metoda pembagian seperti itu. Karena hal ini bukan termasuk wilayah pembahasan bid’ah.
Maka sungguh rancu sebagian pihak yang balik menyerang dengan mengatakan bahwa pembagian tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyah, Tauhid Uluhiyah serta Tauhid Asma wa Shifat adalah bid’ah karena tidak ada dalilnya. Maka masalah pembagian ini adalah masalah metoda saja dalam menjelaskan pelajaran tauhid. Tidak bisa disalah artikan dengan membagi bagi dzat Allah.
Apa-Apa Yang Allah Halalkan Dan Allah Haramkan Di Situ Ada Agama atau Syari’at
Dalam Al-Qur’an kita jumpai sebuah petunjuk apa yang dinamakan dengan agama
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (wa laa yadiinuna dinnal haqqi) (Q.S At-Taubah [9]: 29 )
Pada ayat di atas persoalan tidak mau mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan RasulNya disebut dengan tidak beragama secara benar wa laa yadiinuna dinnal haqqi. Maka jelas ada isyarat di sini yang dimaksud dengan perkara agama (diin) adalah dimana di situ ada masalah ketentuan halal haram
Kita kembali pada pembahasan yang telah lalu, mengenai penyebutan bid’ah bagi kaum nasrani pada masa Nabi Isa a.s. Allah menyebut mereka sebagai orang yang melakukan bid’ah maka pada ayat yang lain Allah berfirman :
Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa “. (Q.S At-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya apakah yang dimaksud dengan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah ? Sahabat bertanya, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“  Dalam riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (H.R.Tirmidzi)
Maka lihatlah mengapa Allah menyebut mereka menjadikan para rahib dan pendetanya sebagai Tuhan? Padahal mereka tidak bersujud dan menyembah rahib dan pendeta mereka? Maka Rasulullah s.a.w. menjelaskan bahwa mereka para rahib dan pendeta itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan para jamaah nya meng-amini saja, meng-iya-kan saja apa yang dilakukan oleh pemuka agama mereka.
Maka di sini dapat disimpulkan bahwa persoalan dimana di situ telah ditetapkan adanya yang halal dan haram oleh Allah, itu adalah syari’at dan itu adalah persoalan agama. Dan siapa yang mengubahnya tanpa landasan dalil syara, maka itu adalah bid’ah yang dlolal (sesat).
dan mereka (yang ) mengharamkan apa yang Allah telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat (Q.S. Al-An’aam [6] : 140).
Jelas pada ayat di atas persoalan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dikaitkan dengan “mengada-adakan sesuatu terhadap Allah” sehingga ini adalah pembahasan bid’ah.
Rasulullah s.a.w.bersabda, “Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (H.R. Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in)
Maka persoalan menghalalkan apa yang haram dan mengharamkan apa yang telah ditetapkan halal oleh Allah dan RasulNya itu adalah persoalan mengubah hukum Allah dan bukan persoalan yang sepele. Inilah yang termasuk pada membuat perkara baru (muhdats) dalam agama.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu (Q.S. Al-maidah [5] : 87)
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu,  (demi) mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. At-Tahrim [66] : 1)
Dari Abu Darda’Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (H.R. Al Hakim dan Al Bazzar, beliau menshahihkannya)
Misalkan urusan jual beli, hal ini termasuk muamalah (hubungan antar manusia) sehingga termasuk ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun di situ ada aturan halal dan haram. Riba adalah haram, ada curang dalam timbangan adalah haram, menimbun barang adalah haram. Maka apa-apa yang diharamkan Allah adalah perkara agama dan di situ tak boleh diubah.
Dalam jual beli juga ada hal-hal yang halal, yaitu dihalalkan menjual binatang ternak, dihalalkan memberi melakukan penjualan secara kredit, dihalalkan untuk memberikan waktu khiyar selama 3 hari (boleh jadi atau batal membeli) Maka untuk hal-hal yang pernyataan dihalalkan tak boleh diharamkan,karena  itu termasuk perkara agama.
Sehingga jika ada orang yang menghalalkan riba, maka kita katakan itu adalah bid’ah (perkara baru). Apakah hal itu belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. ? Jawabnya : Ya, Rasulullah s.a.w. belum pernah menghalalkan riba. Lalu apakah itu bid’ah yang dlolalah? Jawabnya : Ya, karena ia telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Demikian pula jika ada orang yang mengharamkan penjualan secara kredit padahal Allah membolehkannya, maka hal itu juga merupakan bid’ah.
Apa Yang Di Situ Ada Perintah dan Larangan Allah dan NabiNya Maka Itu Termasuk Perkara Agama
Termasuk yang dimaksud dengan “urusan agama” adalah hal-hal dimana di situ ada perintah dan larangan baik dari Allah maupun RasulNya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
Dan Allah juga memberikan legitimasi (pengesahan) akan apa-apa yang dilarang oleh Rasul dan apa-apa yangdoperintakan oleh Rasul sebagai bagian dari syari’at.
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya) (Q.S. Al-Anfaal [8] : 20)
Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini (Q.S. Al-Hajj [22] : 67)
Apa yang diberikan Rasul s.a.w. kepada kalian terimalah dan apa yang dilarangnya tinggalkanlah” (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7)
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia (H.R. Daruqutni)
Maka apapun yang disitu ditempatkan perintah dan larangan Allah, maka hal itu merupakan perkara agama. Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menikah dan ini ibadah ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Rasul mengatakan menikah sebagai sunnahnya, dan barang siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan umatku. Maka adanya perintah menikah ini adalah perkara agama. Sedangkan jima’ (bersetubuh) adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan ritual). Namun ada bagian tertentu di situ yang terdapat larangan Allah yaitu dilarang untuk menyetubuhi dari dubur, dan dilarang menyetubuhi wanita yang haid. Maka dalam hal larangan ini, jima’ merupakan perkara agama. Sedangkan hal-hal detil teknis lainnya, Allah dan RasulNya tidak ikut campur dan diserahkan pada kita, sehingga hal ini bukan perkara agama.
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7)

Yang dimaksud mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui adalah menggunakan ra’yu (akalnya sendiri) tanpa mengindahkan nash dalil Al-Qur’an  dan hadits. Adapun metoda-metoda dalam memahami nash dalil pasti memerlukan akal juga seperti ilmu balaghoh, ilmu nahwu shorof, kaidah kaidah ushul fiqih, pertimbangan maqoshid syar’I, pertimbangan antara mudharat dan manfaat dll. Demikian pula metoda istinbath (menghasilkan) hukum fiqih itu semua itu tidak membuang atau mengabaikan sama sekali nash dalil Al-Qur’an maupun hadits bahkan semua kaidah itu digali dan dihasilkan dari metoda (cara) yang diajarkan Al-Qur’an juga ittiba’ (mengikuti) cara Rasulullah s.a.w. dalam memutuskan hukum fiqih. Yang  menjadi masalah pada masa sekarang ini adalah, sebagian orang ber-ittiba (mengikuti) dengan tampak luarnya saja, sedangkan sebagian yang lain mengikuti metode nya cara berfikirnya atau manhajnya dan bukan lahiriyah luarnya. Sehingga hal itu masih bisa dikatakan berada pada rel berlandaskan Al-Qur’an dan hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar