PEMBAHASAN MASALAH BID’AH
PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN SAHABAT
Ikhtilaf
(Perbedaan Pendapat) Sahabat Termasuk Yang Dimaksud “Ada Landasannya Dalam
Syari’at” dan orang yang mengikuti salah satu pendapat sahabat tidak dapat
dikatakan tidak memiliki landasan atau melakukan bid’ah.
Secara
umum yang dimaksud dengan ada landasannya dalam syariat adalah All-Qur’an dan
Sunnah sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. :
“Aku
tinggalkan kepadamu dua perkara yang mana kamu tidak aakn tersesat,
selama kamu berpegang pada keduanya yaitu Kutabullah dan sunnah Nabinya”
(H.R. Malik dalam Al Muwatha Juz 2 Hal 899 dan Imam Suyuthi dalam Jami’ Ash
Shaghir Hadits No. 2934)
Dari
uraian sebelumnyakita tahu bahwa mengikuti sunnah para sahabat adalah hal yang
diperintahkan oleh Nabi s.a.w. : “berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
para Khulafa’ Ar-Rasyidin (Khalifah yang mendapat petunjuk),
gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600,
Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian
harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi
No. 95).
Umar
bin Abdul Aziz pernah berkata : “Maka ketahuilah tak ada yang melakukan
muhdats (bid’ah) sesudah mereka (sesudah para sahabat) melainkan orang-orang
yang mengikuti sunnah yang bukan sunnah mereka (sunnah para sahabat) dan
menganggap dirinya tidak membutuhkan mereka. Padahal para shahabat itu adalah
pendahulu bagi mereka. Mereka telah berbicara mengenai agama ini dengan apa yang
mencukupi dan mereka telah jelaskan segala sesuatunya dengan penjelasan yang
menyembuhkan (Asy Syari’ah Al Ajurri 212)
Pertanyaan
nya kini adalah : Sunnah sahabat yang mana? Bukankah sahabat s.a.w. itu banyak?
Apa definisinya sahabat? Orang yang bertemu Rasulullah s.a.w. dan masuk Islam
di masa Rasulullah s.a.w. semua disebut sahabat. Tentu tidak termasuk sahabat —
walaupun bertemu Rasulullah s.a.w dan masuk Islam pada masa Rasulullah s.a.w,
namun diketahui umum ia adalah tokoh munafik seperti Abdullah bin Ubay bin
Salul. Tapi sampai di sini pertanyaan nya tetap : sunnah sahabat yang mana?
Maksudnya ketika sahabat A dan B berbeda pendapat, maka kita ikuti yang mana?
Bukankah
kita mengetahui, bahwa sejak dahulu kala bahkan ketika Nabi s.a.w masih hidup
terlah terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara sahabat
dalam masalah-masalah agama? Ketika Rasulullah s.a.w. masih hidup, beliau bisa
memutuskan salah satunya mana yang benar. Namun seringkali juga jika hal itu
masih dalam batas perbedaan penalaran akal (ra’yu) dan masih bisa
dibenarkan kemungkinan timbulnya perbedaan penafsiran, maka Nabi s.a.w. akan
membenarkan keduanya.
Maka
jika kita konsisten dan konsekuen dengan perintah Rasul itu bahwa :
1.
Rasulullah s.a.w memerintahkan untuk mengikuti sunnah para sahabat
2.
Bahwa di antara para sahabat ada orang-orang khusus yaitu
Khulafa’ur Rasyidin
3.
Bahwa di antara para sahabat ada orang-orang khusus yaitu 10
orang yang dijamin masuk surga
4.
Bahwa di antara para sahabat ada orang-orang khusus yaitu yang
faqih dalam urusan agama seperti Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar,
Ibnu Mas’ud, dll
Maka
jika seorang muslim pada masa kini melandaskan diri pada salah satu dari
pendapat sahabat atau penafsiran sahabat, hal itu bukanlah bid’ah. Mengapa hal
ini perlu ditekankan? Contohnya, bisa jadi salah satu kelompok muslim
cenderung mengikuti pendapat sahabat Ibnu Umar r.a., sedangkan muslim yang lain
mengikuti pendapat Ibnu Mas’ud r.a., lantas yang satunya menganggap yang
lainnya tidak tegak di atas sunnah, atau menyelisihi sunnah, lalu menganggap
orang lain melakukan bid’ah, padahal yang terjadi keduanya memiliki landasan
dalil dari qaul sahabat. Maka keduanya sebenarnya berada di atas sunnah dan
tidak ada yang melakukan bid’ah.
Baiklah
kita sampaikan beberapa contoh di bawah ini
1. Perbedaan Pendapat
Tentang Boleh Itikaf Tanpa Berpuasa
Telah
mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Musa dan ‘Amru bin Zurarah dari Abdul Aziz
bin Muhammad dari Abu Suhail ia berkata; “Dahulu, isteriku pernah bernadzar
untuk beri’tikaf di Masjidil Haram selama tiga hari. Kemudian, aku bertanya
kepada Umar bin Abdul Aziz yang saat itu sedang bersama Ibnu Syihab. Aku
bertanya: ‘Apakah ia (istriku) juga wajib berpuasa? ‘, Ibnu Syihab menjawab:
‘Tidak ada i’itikaf kecuali dilakukan sambil berpuasa’.(Karena asalnya itikaf
itu pada bulan ramadhan) Saat itu, Umar bin Abdul Aziz bertanya (pada Ibnu
Syihab): ‘Adakah keterangan yang demikian berasal dari Nabi s.a.w.? ‘ Ia (Ibnu
Syihab) menjawab: ‘tidak’. Kemudian, Umar bin Abdul Aziz bertanya: ‘Adakah keterangan
dari Abu Bakar r.a.? ‘ ia menjawab: ‘tidak ada’, Lalu ia (Umar) bertanya:
‘adakah keterangan dari Umar r.a. ? ‘, ia (ibnu Syihab) menjawab: ‘tidak ada
juga’ ia bertanya: ‘adakah keterangan dari Utsman r.a.? ‘, ia menjawab: ‘tidak
ada’. Umar bin Abdul aziz. berkata: ‘Menurutku tidak wajib bagi wanita itu
untuk berpuasa’, Lalu aku (Abu Suhail) keluar dan bertemu Thawus dan ‘Atho` bin
Abu Rabbah, aku bertanya kepada keduanya. Thawus menjawab: ‘Dahulu Ibnu Abbas
r.a. (pernah berfatwa) bahwa wanita tersebut tidak wajib puasa, kecuali jika ia
bernadzar untuk berpuasa’. Kemudian `Atho` berkata: ‘Begitu juga pendapatku‘”.
(Atsar.R. Darimi No. 162) Husain Assad Salim Ad-Daroni mengatakan atsar ini
sanadnya shahih
Maka
dalam hal ini para sahabat berbeda pendapat tentang ber’itikaf (di luar
ramadhan) apakah harus berpuasa atau tidak. Ibnu Syihab menganalogikan karena
‘itikaf itu asalnya dari bulan ramadhan sehingga dilaksanakan sambil berpuasa.
Dan sebenarnya tidak ada ‘tikaf di luar bulan ramadhan. Namun karena wanita ini
(istri Suhail) bernadzar untuk itikaf di Masjidil Haram, maka menurut Ibnu
Syihab ia juga harus berpuasa. Sedangkan menurut Umar bin Abdul Aziz, Thawys
dan Atho bin Abu Rabbah tidak perlu berpuasa, karena nadzarnya hanya beritikaf.
2. Perbedaan Pendapat
Tentang Wewangian Ketika Berihram
Muhammad
Ibnu Al Muntasyir berkata : Aku bertanya kepada Aisyah tentang apa yang
diucapkan oleh Ibnu Umar r.a. bahwa : “Saya tidak suka kalau berihram dan
pada saat itu memakai wewangian” Aisyah menjawab : “Aku pernah memberi
Rasulullah s.a.w. wewangian lalu beliau mengunjungi para istri beliau, dan pagi
harinya mengenakan ihram (untuk umroh atau haji)” (Atsar R. Bukhari Jilid 1
Hal 396)
Ibnu
Mas’ud r.a. berkata :”Dicat dengan lumpur lebih aku sukai daripda melakukan
hal ini (yaitu memakai wangian ketika berihram) Aisyah menjawab :
“Aku pernah memberi Rasulullah s.a.w. wewangian lalu beliau mengunjungi para
istri beliau, dan pagi harinya mengenakan ihram (untuk umroh atau haji) “
(H.R. Muslim Jilid 4 hal 12)
Mana
dalam hal ini yang lebih kuat pendapatnya? Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari
jalur Abdullah bin Abdullah bin Umar bahwa Aisyah pernah mengatakan tidak
mengapa jika menyentuh wewangian ketika ihram. Said berkata : “Lalu aku panggil
seorang laki-laki. Ketika itu aku sedang duduk di samping Ibnu Umar. Lelaki itu
aku utus kepada Aisyah, padahal aku sudah tahu ucapan Aisyah, hanya saja aku
ingin hal ini didengar juga oleh bapakku (yaitu Ibnu Umar) Lelaki itu berkata :
“Aisyah mengatakan tidak mengapa memakai wewangian sewaktu mau beriharam”. Lalu
lelaki itu berkata : “Aku akan buang pendapatmu”. Said berkata bahwa Ibnu Umar
r.a. terdiam mendengar ucapan lelaki itu (Atsar disebutkan oleh Ibnu Hajar
Asqolani dalam Fathul Bari Jilid 4 hal 140-141)
3. Perbedaan Pendapat
Sahabat Dalam Masalah Jika Tidak Mendapati Air
Dalam
Al-Qur’am sudah jelas dikatakan : “Lalu jika kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah (Q.S. Al-Maidah [5] : 6)
Namun
Umar bin Khattab r.a. suatu ketika berpendapat lain dan melarang sahabat untuk
shalat sampai mereka menemukan air.
Telah
menceritakan kepada kami Adam ia berkata; telah menceritakan kepada kami
Syu’bah berkata, telah menceritakan kepada kami Al Hakam dari Dzar dari Sa’id
bin ‘Abdurrahman bin Abza dari Bapaknya berkata, “Seorang laki-laki datang
kepada Umar Ibnul Khaththab dan berkata, “Aku mengalami junub tapi tidak
mendapatkan air?” Maka berkata lah ‘Ammar bin Yasir kepada ‘Umar bin Al
Khaththab, “Tidak ingatkah ketika kita dalam suatu perjalanan? Saat itu engkau
(berpendapat) tidak mengerjakan shalat sedangkan aku (berpendapat) bergulingan
di atas tanah lalu shalat? Kemudian hal itu aku sampaikan kepada Nabi s.a.w.,
dan Nabi s.a.w. bersabda: “Sebenarnya cukup kamu melakukan begini.” Beliau lalu
memukulkan telapak tangannya ke tanah dan meniupnya, lalu mengusapkannya ke
muka dan kedua telapak tangannya.” (H.R. Bukhari No. 326)
Dan
pendapat ini diikuti oleh Abdullah bin Mas’ud r.a.
Telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Khalid berkata; telah menceritakan kepada
kami Muhammad -Yaitu Ghundar- telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari
Sulaiman dari Abu Wa’il berkata, Abu Musa berkata kepada ‘Abdullah bin Mas’ud,
“Apakah jika seseorang tidak menemukan air maka ia boleh tidak shala?.”
‘Abdullah menjawab, “Jika aku beri keringanan kepada mereka dalam masalah ini,
maka ketika salah seorang mendapati musim dingin pasti ia akan berkata seperti
ini ‘yakni Tayamum dan shalat’. Abu Musa berkata, “Maka aku katakan, “Kalau
begitu dimana kedudukan ucapan ‘Ammar kepada ‘Umar? ‘ ‘Abdullah bin Mas’ud
menjawab: “Aku menganggap bahwa ‘Umar tidak sepakat dengan pendapat ‘ Ammar.”
(H.R. Bukhari No. 332)
Maka
Ibnu Hajar Asqolani dalam Fathul Bari menjelaskan Maksud kedatangan orang itu
untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak namun ‘Umar menjawab :
“Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air.” Sejak itu, ‘Ammar
tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi (karena menghormati Umar sebagai
Khalifah). ‘Umar tetap berpegang teguh pada pendapatnya
yaitu orang junub, bila tidak ada air, jangan shalat sampai bertemu
air. “Wa hadza madzab masyhur ‘an ‘Umar,” Namun banyak
sahabat tidak setuju dengan Umar r.a.
Telah
menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh berkata; telah menceritakan kepada kami
Bapakku berkata; telah menceritakan kepada kami Al A’masy berkata, aku
mendengar Syaqiq bin Salamah berkata; aku pernah berada di dekat ‘Abdullah bin
Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari. Abu Musa lalu berkata kepadanya, “Bagaimana
pendapatmu wahai Abu ‘Abdurrahman bila seseorang mengalami junub dan tidak
mendapatkan air. Apa yang harus ia lakukan?” ‘Abdullah menjawab, “Ia tidak
boleh shalat hingga mendapatkan air.” Abu Musa berkata, “Bagaimana engkau
menyikapi perkataan ‘Ammar ketika Nabi s.a.w. berkata kepadanya ‘Cukup bagimu
begini’? ‘Abdullah, “Apakah kamu tidak tahu kalau ‘Umar tidak menerima pendapat
tersebut?” Abu Musa kembali berkata, “Baik kita tinggalkan pendapat ‘Umar! ‘
Tapi bagaimana sikapmu dengan ayat ini? ‘ ‘Abdullah tidak mengerti apa yang
harus ia katakan, lalu ia berkata, “Jika kami beri keringanan mereka dalam
masalah ini, dikhawatirkan jika mereka merasa dingin dengan air, maka mereka
tidak mau menggunakan air dan akan melakukan tayamum.” Aku berkata kepada
Syaqiq, ‘Bahwasanya ‘Abdullah tidak suka adalah karena hal ini.’ Ia menjawab, “Benar.”
(H.R. Bukhari No. 333)
Abdullah
bin Mas’ud (Abu Abdurrahman) termasuk sahabat yang mengikuti pendapat Umar r.a.
ini. Namun Abu Musa Al-Asy’ari tidak setuju dengan hal ini (karena menyalahi
keumuman nash Al-Qur’an). Maka jelas di sini Abu Umar menganggap Umar
menyelisihi Qur’an dan pendapat Rasulullah s.a.w. Maka Ibnu Mas’ud mencoba
menjelaskan pertimbangan Umar melarang hal ini karena khawatir orang
menggampangkan masalah tayamum, tidak mau berusaha mencari air dulu, atau jika
udara dingin dan air dingin juga langsung tayamum. Namun Abu Musa r.a. tidak
menerima alasan ini. Dan mengajak Ibnu Mas’ud meninggalkan pendapat Umar.
Akhirnya Ibnu Mas’ud r.a. mengikuti Abu Musa walaupun dengan berat hati.
Telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi Telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari Salamah yakni Ibnu Kuhail, dari Abu Malik dan Abdullah bin
Abdurrahman bin Abza dari Abdurrahman bin Abza ia berkata; Kami berada
di sisi Umar, tiba-tiba seorang laki-laki mendatanginya dan berkata, “Wahai
Amirul mukminin, kita bermukim selama satu dan dua bulan, namun kita tidak
mendapat air.” Umar berkata, “Adapun saya, maka saya tidak akan shalat sampai
saya mendapatkan air.” Maka Ammar pun berkata, “Wahai Amirul mukminin, ingatlah
saat kita berada di suatu tempat, saat itu kita sedang mengembalakan Unta.
Bukankah Anda tahu, bahwa saat itu saya sedang junub?” Umar menjawab, “Ya.”
Ammar berkata, “Kemudian saya berguling-guling di atas hamparan tanah, lalu
saya mendatangi Nabi s.a.w. dan menuturkan hal itu pada beliau, maka beliau pun
tertawa dan bersabda: “Untuk itu, debu yang baik telah cukup bagimu.” Ia pun
menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah kemudian meniupnya dan mengusapkan
keduanya pada wajahnya serta sebagian dari sikunya. Kemudian Umar berkata, “Takutlah
kepada Allah wahai Ammar.” Ammar berkata, “Wahai Amirul mukminin, jika Anda
mau, aku tidak akan menyebutkannya selama aku masih hidup.” Umar berkata,
“Jangan sekali-kali, tetapi demi Allah, kami akan mengikuti apa yang telah Anda
ketahui.” (H .R. Ahmad No. 18125)
Maka
dalam kasus ini siapakah yang tegak di atas Sunnah? Apakah ini perkara agama?
Jawabnya Ya, jelas thaharah (bersuci) termasuk perkara agama.
Apakah ini belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. ? Jawabnya : Ya Apakah
pendapat Umar ini tidak berlandaskan dalil? Jawabnya : Ya, Umar seolah
menyelisihi dalil Al-Qur’an dan hadits Nabi. Bahkan Ammar bin Yasir pun pernah
mengingatka apa keputusan Rasulullah dalam masalah ini sewaktu Umar dulu
berpendapat demikian. Namun Umar tetap pada pendapatnya. Lalu apakah Umar
melakukan bid’ah ? Jawabnya : tidak karena Umar menganggap tayamum bukan
sebagai keharusan melainkan boleh tayamum. Dan Umar menggunakan kaidah sa’du
dzara’i yaitu melarang suatu hal yang boleh untuk mencegah pada sikap
menggampangkan sedikit-sedikiti tayamum.
Maka
pada zaman sekarang, yang sependapat dengan madzhab Umar adalah Abu
Hanifah (Madzhab Hanafi). Maka apakah kita anggap Abu Hanifah melakukan bid’ah
padahal beliau berpegang pada pendapat Umar? Jawab kami : bukan bid’ah yang
dlolal. Karena Abu Hanifah melandaskan pada pendapat salah satu Khulafa’ur
Rasyidah, dan ijtihad Umar masih ada sandaran syar’i nya dengan kaidah melarang
sesuatu yang boleh untuk mencegah sikap yang buruk. Maka ini bisa dikatakan
memiliki landasan syar’i juga. Jadi yang mengikut pendapat Umar r.a. dan Ibnu
Mas’ud bukan bid’ah dlolalah. Dan yang mengikut pendapat Abu Musa, Ammar bin
Yasr dan sahabat lain nya juga bukan bid’ah.
4. Perbedaaan Pendapat
Dalam Masalah Junub Ketika Puasa
Dari
Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits berkata : Aku pernah mendengar
Abu Hurairah r.a. berkata : “Barangsiapa pagi-pagi masih dalam keadaan junub
maka sebaiknya ia tidak berpuasa. Lalu ucapan Abu Hurairah ini aku sampaikan
kepada Abdurrahman bin Harits. Ternyata Abdurrahman tidak sependapat. Aku (Abu
Bakar) dan Andurrahman berangkat menemui Aisyah r.ah. dan Ummu Salamah r.ah.
Kemudian kedua wanita itu berkata : “Nabi s.a.w. pernah bangun pagi dalam
keadaan junub bukan karena bermimpi (berarti karena behubungan badan dengan istri
Nabi s.a.w.) lalu beliau berpuasa”. Lalu kami kembali kepada Abu
Hurarirah r.a. Lalu Abu Hurairah r.a. bertanya : “Apakah kedua wanita itu yang
mengatakan demikian kepadamu?” Abdurrahman menjawab : “Ya” Abu Hurairah ra.a.
berkata : “kedua wanita itu lebih tahu daripada aku” (Atsar R. Bukhari
Jilid 5 hal 45 dan Muslim Jilid 3 Hal 137)
Dalam
kasus ini Abu Hurairah r.a. mengakui bahwa istri Rasulullah s.a.w. tentu lebih
mengetahui hal-hal yang bersifat pribadi dan keseharian Rasulullah s.a.w. maka
walaupun pada awalnya berbeda pendapat dengan Aisyah r.a. namun Abu Hurairah
r.a. mengakui kebenaran pendapat istri-istri Rasulullah s.a.w
5. Perbedaan Pendapat
Dalam Hukuman Orang Yang Menyetubuhi Binatang
Jelas
ada petunjuk dari Rasulullah s.a.w. bahwa orang yang mengalami kelainan sex
dengan menyetubuhi binatang, maka hukumannya adalah baik orang itu maupun
binatang itu harus dibunuh.
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad berkata, telah menceritakan
kepadaku Amru bin Abu Amru dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata, “Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Barangsiapa mensetubuhi binatang maka bunuhlah ia
beserta binatang tersebut.” Ibnu Abbas berkata, “Aku lantas bertanya kepada
Rasulullah, “Apa salah binatang tersebut?” Ibnu abbas r.a.berkata, “Aku tidak
melihat beliau mengatakan begitu kecuali karena beliau tidak suka jika binatang
yang telah disetubuhi itu dimakan dagingnya.” (H.R. Abu Daud No. 3871)
Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini derajatnya hasan shahih.
Namun
sepeniggal Rasulullah s.a.w. Ibnu Abbas r.a. (yang mendengar sendiri perkataan
Rasulullah s.a.w.) mengatakan bahwa orang yang menyetubuhi binatang tidak ada
hukuman pidananya. Sedangkan Al-Hakam dan Al-Hasan berpendapat lain.
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus bahwa Syarik dan Abu Al Ahwash dan Abu
bakr bin Ayyasy menceritakan kepada mereka dari Ashim dari Abu Razin (Mas’ud
bin Malik) dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Orang yang menyetubuhi binatang
tidak ada hukuman hadnya.” (Atsar .R. Abu Daud No. 3872) Nashiruddin
Al-Albani menyatakan hadits ini derajatnya hasan.
Abu
Dawud berkata, “Atha juga mengatakan begitu.” Al -Hakam berkata, “Menurutku
ia harus didera, meskipun jumlahnya tidak melebihi hukuman had.” Al-Hasan
r.a. berkata, “Hukumannya sama dengan hukuman pezina.”
Apakah
masalah bersetubuh dan zina itu termasuk perkara agama? Jawabnya :
Bagian-bagian yang mana hadir perintah dan larangan Allah di situ, termasuk
perkara agama. Apakah tindakan ini ada pada masa Rasulullah s.a.w. ? Jawabnya :
Tidak. Rasulullah tidak pernah berpendapat seperti itu. Apakah pendapat Ibnu
Abbas r.a. itu ada dalilnya? Jawabnya : Tidak. Bahkan menyelisihi dalil. Lalu
apakah Ibnu Abbas r.a. melakukan bid’ah dlolalah? Jawabnya : Bukan bid’ah
dlolalah.
6. Perbedaan Pendapat
Dalam Masalah Mengurai Rambut
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ali bin Muhammad keduanya
berkata; telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Hisyam bin ‘Urwah dari
bapaknya (Urwah bin Az-Zubair bin Awwam )dari Aisyah bahwa Nabi s.a.w. berkata
kepadanya ketika sedang haidl:“Urailah rambutmu kemudian mandilah.” -Ali bin
Muhammad menyebutkan dalam haditsnya, -“Lepaskanlah gulungan rambutmu.”(Atsar
.R. Ibnu Majah No. 633)
Dan
telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan
Ali bin Hujr semuanya meriwayatkan dari Ibnu Ulayah Yahya berkata, telah
mengabarkan kepada kami Ismail bin Ulayah dari Ayyub dari Abu az-Zubair dari
Ubaid bin Umair dia berkata, ” Aisyah pernah mendengar Abdullah bin
Amru memerintahkan orang-orang perempuan agar membuka tali ikatan rambut mereka
apabila mereka mandi. Lalu Aisyah berkata, ‘Mengapa dia tidak menyuruh mereka
agar mencukur rambut saja? Aku pernah mandi bersama-sama Rasulullah s.a.w.
menggunakan air dari wadah yang sama. Aku tidak menyiram kepalaku lebih dari
tiga kali siram’.” (Atsar .R. Muslim No. 498)
Dalam
hal ini Aisyah r.ah. berbeda pendapat dengab Abdullah bin Amru dan juga dengan
sahabat lain seperti Urwah bin Az-Zubair bin Awwam mengenai mengurai rambut
ketika mandi jinabat. Namun dalam hal ini semestinya pendapat Aisyah r.ah. yang
lebih kuat karena beliau adalah istri Rasulullah s.a.w.
7. Perbedaan Pendapat
Dalam Menghukumi Orang Gila Yang Berzina
Masalah
hukum hudud (pidana) dalam Islam merupakan masalah agama. Karena apa-apa yang
hadir di situ aturan Allah dan RasulNya, itu termasuk perkara agama. Maka dalam
hal ini Ali bin Abi Thalib r.a. pernah membatalkan hukum rajam padahal secara
umum hukum rajam ini berlaku bagi siapa saja orag yang sudah menikah yang
melakukan perzinaan.
Telah
menceritakan kepada kami Hannad dari Abu Al Ahwash. (dalam jalur lain
disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata,
telah menceritakan kepada kami Jarir secara makna, dari Atha bin As Sa`ib dari
Abu Zhabyan berkata; Hannad Al janbi berkata, “Pernah didatangkan kepada
Umar seorang wanita yang berbuat zina, lalu ia memerintahkan agar wanita itu
dirajam. Ketika Ali r.a. lewat, ia mengambil wanita itu dan melepaskannya. Umar
r.a. (saat itu menjadi khalifah) diberi kabar dengan kejadian tersebut, ia
lantas berkata, “Pangilkanlah Ali agar ia menemuiku.” Ali r.a. kemudian datang
dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah
s.a.w. telah bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat (tidak
dicatat) dari tiga golongan (yaitu) anak kecil hingga ia baligh, orang
tidur hingga ia bangun, dan orang gila hingga ia waras.” Dan wanita ini adalah
wanita gila dari bani Fulan.Lalu Umar r.a. berkata : Aku tidak tahu
(bahwa ia gila) Lalu Ali r.a. menjawab : “Aku juga tidak tahu (ia gila atau
tidak)”. (H.R. Abu Daud No. 3824)
Telah
menceritakan kepada kami ‘Affan telah menceritakan kepada kami Hammad dari
‘Atho` bin As Sa`ib dari Abu Dzabyan Al Jambi :Bahwa didatangkan seorang
wanita yang telah berbuat zina ke hadapan Umar bin Khattab, kemudian
memerintahkan untuk merajamnya, maka orang-orang membawanya untuk merajamnya,
tetapi (ditengah perjalanan) mereka bertemu dengan Ali r.a. lalu bertanya; “Ada
apa ini?” mereka menjawab; “Dia telah berzina dan Umar r,a, menyuruh
merajamnya.” Ali melepaskannya dari tangan mereka dan mencegah mereka, kemudian
mereka kembali kepada Umar, (Sesampainya disana) Umar bertanya; “Apa yang
menyebabkan kalian kembali?” Mereka menjawab; “Ali.” Umar berkata; “Tidaklah
Ali melakukan hal ini kecuali karena sesuatu yang dia ketahui?” maka diutuslah
seseorang kepada Ali kemudian dia datang dengan agak marah, Umar bertanya;
“Kenapa kamu mencegah mereka?” Ali menjawab; Tidakkah kamu mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Diangkat catatan amal dari tiga orang: orang yang tidur
sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia menjadi dewasa dan orang gila
sampai dia berakal?” Umar menjawab; “Ya.” Ali berkata; “Sesungguhnya wanita ini
gila, dari Bani Fulan, kemungkinan ada orang yang memperkosanya saat dia gila.”
Umar berkata; “Aku tidak tahu (ia gila).” Ali berkata; “Saya juga tidak tahu
(ia gila atau tidak).”Maka Umar tidak jadi merajamnya. (H.R. Ahmad
No. 1258)
Dalam
hadits di atas Ali bin Abi Thalib r.a. berpendapat bahwa sebuah hukuman tidak
bisa diterapkan pada orang yang gila, tidak sadar, penyakit jiwa, atau tertidur
dan masih baligh. Namun Ali bin Abi Thalib r.a. juga tidak tahu pasti apakah
wanita itu gila atau tidak namun Ali cenderung untuk membebaskannya.
Tapi
dalam hadits lain diceritakan bahwa di hadapan Umar r.a. dan Ali bin Abi Thalib
didatangkan wanita yang gila dan ia telah berzina, namun Umar r.a. menganggap
ia tetap harus dirajam, sedangkan Ali r.a. berhujjah dengan dalil bahwa orang
gila, anak kecil dan orang tertidur tidak bisa dimintai pertanggung jawaban. Di
sini ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) antara Umar dan Ali bin Abi Thalib r.a.
Walaupun
sebenarnya hadits mengenai anak kecil dan orang tertidur dan orang gila itu
terkait masalah shalat namun Ali r.a. melakukan qiyas untuk menerapkannya dalam
hukum zina.
Telah
menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan
kepada kami Jarir dari Al A’masy dari Abu Zhabyan dari Ibnu Abbas ia berkata :
“Didatangkan kepada Umar seorang wanita gila yang berbuat zina, Umar lalu
minta masukan pendapat kepada orang-orang. Kemudian ia memerintahkan agar
wanita itu dirajam. Wanita itu lalu dibawa melewati Ali bin Abu Thalib -semoga
Allah meridhainya-, ia bertanya, “Ada apa dengan wanita ini?” orang-orang
menjawab, “Wanita gila dari bani fulan, ia telah berbuat zina. Dan Umar
memerintahkan agar ia dirajam saja.” Ibnu Abbas berkata, “Ali kemudian berkata,
“Bawalah ia kembali.” Ali lantas mendatangi Umar dan berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, tidakkah engkau tahu bahwa pena pencatat amal itu diangkat dari tiga
golongan manusia; orang gila hingga ia sembuh, orang tidur hingga ia terbangun
dan anak kecil hingga ia balig?” Umar menjawab, “Tentu.” Ali bertanya lagi,
“Lalu kenapa wanita ini dirajam?” Umar menjawab, “Tidak apa-apa.” Ali berkata,
“Lepaskanlah ia.” Ibnu Abbas berkata, “Umar kemudian membebaskan wanita
tersebut. Lalu Umar pun bertakbir.”(H.R. Abu Daud No. 3823)
Umar
bin Khattab r.a. berpendapat walaupun orang gila tetap bisa dikenai hukuman
hudud (pidana) sedangkan Ali bin Abi Thalib r.a. berpendapat orang gila tak
bisa dimintai pertanggung jawaban atas perilakunya dan oleh karenanya tidak
bisa dikenai hukuman hudud. Kalaupun memang Umar dan Ali tidak pasti ia gila
atau tidak maka di situ telah terdapat syubhat (kesamaran) maka Ali r.a.
cenderung membebaskan karenan berdasarkan hadits :
Dari
Aisyah r.a. “Hindarilah hukuman-hukuman terhadap orang-orang Islam menurut
kemampuanmu” (H.R. Tirmidzi, Baihaqi & Al-Hakim)
Maka
kita tidak mengatakan salah satunya telah menyalahi syari’at dan bid’ah. Karena
masing-masing sahabat memiliki pertimbangan tersendiri dalam pemahaman agama
8. Perbedaan Pendapat
Dalam Puasa Kafarat
Telah
menceritakan kepadaku dari Malik dari Humaid bin Qais Al Maki Bahwasanya ia
mengabarkan kepadanya, ia berkata, “Aku bersama Mujahid saat dia sedang
thawaf di Ka’bah. Lalu ada laki-laki datang kepadanya menanyakan tentang puasa
kafarah, apakah harus dikerjakan secara berturut-turut atau terputus.” Humaid
berkata, “Aku menjawab, “Ya, boleh dikerjakan secara terputus jika mau.” Namun
Mujahid berkata, “Tidak boleh secara terputus, karena dalam qira’ahnya Ubay bin
Ka’b, disebutkan tiga hari berturut-turut.” (H.R. Malik dalam Muwatha’
No. 597)
9. Perbedaan Pendapat
Mengqodho Shalat Setelah Nifas Selesai
Sebagian
sahabat Nabi s.a.w. pernah berpendapat bahwa wanita wajib meng-qodlo sholat
yang tidak dilakukannya karena nifas (pendarahan habis melahirkan). Dan qodho
itu dilaksanakan setelah haid nya selesai.
Telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Yahya telah mengabarkan kepada kami
Muhammad bin Hatim, yakni Hubby telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Al-Mubarak dari Yunus bin Nafi’ dari Katsir bin Ziyad dia berkata; Telah
menceritakan kepadaku Al-Azdiyyah, yakni Mussah dia berkata : “Saya pernah
menunaikan ibadah haji, lalu saya menemui Ummu Salamah seraya berkata; Wahai
Ummul Mukminin, sesungguhnya Samurah bin Jundub memerintahkan kaum wanita untuk
mengqadla` shalat (yang ditingggalkan) di masa haidl. Maka Ummu Salamah
berkata; Mereka tidak usah mengqadla`nya, dahulu seorang istri dari istri-istri
Nabi s.a.w. tidak shalat pada masa nifas, selama empat puluh malam, dan Nabi
s.a.w. tidak memerintahkannya untuk mengqadla` shalat wanita yang nifas.” (H.R.
Abu Daud No. 268)
10. Perbedaan
Pendapat Dalam Tawaf Sebelum Wuquf
Dari
Wabarah dia berkata : Aku pernah duduk di samping Ibnu Umar r.a. tiba-tiba
muncul seorang laki-laki dan berkata : “Bolehkah aku melakukan thawaf di Baitullah
sebelum mendatangi tempat wuquf (Arafah) ?” Ibnu Umar r.a. menjawab : “Boleh”
Laki-Laki itu berkata : “Tetapi Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan : “Janganlah
kamu thawaf di Baitullah sebelum kamu mendatangi tempat wuquf”. Ibnu Umar r.a.
berkata : “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah menunaikan ibadah haji lalu
melakukan thawaf di Baitullah sebelum beliau mendatangi tempat wuquf di Arafah.
Apakah dengan perkataan Rasulullah s.a.w. kamu lebih berpegang atau pada
perkataan Ibnu Abbas jika kamu benar? (H.R. Muslim Jilid 4 Hal 53)
Dalam
hal ini Ibnu Umar r.a. berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas r.a. mengenai
dibolehkannya melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah)sebelum mendatangi Arafah.
11. Perbedaan Pendapat mengenai Mendapat Haid
Ketika Haji
Dari
Ikrimah dikatakan bahwa warga Madinah bertanya pada Ibnu Abbas r.a. mengenai
wanita yang selesai mengerjakan thawaf ifadhah, lalu ia mendapat haid. Ibnu
Abbas berkata kepada mereka : “Pergilah dia (bersama orang-orang) Namun
orang-orang tidak yakin dan berkata : “Kami tidak mengambil pendapat mu, dan
membiarkan perkataan Zaid bin Tsabit. Ibnu Abbas r.a. berkata L “Apabila kalian
sampai di Madinah, tanyakanlah perkara ini” Ketika orang-orang pulang ke
Madinah, mereka menanyakannya kepada Ummu Sulaim. Maka Ummu Sulaim menjawab
dengan hadits Shafiyyah bahwa Shafiyyah pernah ifadhah dan melakukan
thawaf di Baitullah, sedangkan dia haid. Lalu Rasulullah s.a.w. berkata :
“Pergilah kamu bersama yang lainnya (untuk thawaf ifadhah)” (H.R. Bukhari Julud
4 Hal 336 dan Muslim Jilid 4 Hal 93)
Dalam
hal ini Ibnu Abbas r.a. berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit r.a. walaupun
pada akhirnya kelihatannya pendapat Ibnu Abbas r.a. lah yang lebih benar karena
dikuatkan dengan hadits dari istri-istri Rasulullah s.a.w. namun hal ini tidak
mengurangi keutamaan para sahabat dan menghargai ijtihad mereka.
Demikianlah
banyak sekali perbedaan terjadi semenjak pada generasi terbaik umat ini, yaitu
generasi sahabat. Dan berpegang pada salah satu pendapat atau ijtihad sahabat,
adalah sesuai dengan koridor “bersandar pada syariat”. Orang yang bersandar
pada salah satu pendapat sahabat tidak boleh dikatakan berlaku bid’ah karena
dapat dikatakan bahwa ia telah memiliki landasan syari’at. Dan perbedaan
pendapat ini adalah hal yang wajar, sebagaimana Umar bin Abdul Aziz berkata :
Telah
mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun dari hammad bin Salamah dari Humaid ia
berkata: Dikatakan kepada Umar bin Abdul Aziz: “Seandainya kamu satukan manusia
dalam satu paham”, kemudian ia berkata: “Tidaklah menggembirakanku jika
mereka tidak berselisih pendapat”. Kemudian ia menulis surat ke seluruh penjuru
atau negeri-negeri agar setiap kaum berhukum dengan apa yang disepakati oleh
para ahli fikih mereka. (Atsar R. Darimi No. 626)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar