Bid'ah 4

PEMBAHASAN MASALAH BID’AH

PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN SAHABAT

Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat) Sahabat Termasuk Yang Dimaksud “Ada Landasannya Dalam Syari’at” dan orang yang mengikuti salah satu pendapat sahabat tidak dapat dikatakan tidak memiliki landasan atau melakukan bid’ah.
Secara umum yang dimaksud dengan ada landasannya dalam syariat adalah All-Qur’an dan Sunnah sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. :
Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang mana kamu tidak aakn tersesat,  selama kamu berpegang pada keduanya yaitu Kutabullah dan sunnah Nabinya” (H.R. Malik dalam Al Muwatha Juz 2 Hal 899 dan Imam Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir Hadits No. 2934)
Dari uraian sebelumnyakita tahu bahwa mengikuti sunnah para sahabat adalah hal yang diperintahkan oleh Nabi s.a.w. : “berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’  Ar-Rasyidin  (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) atau kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95).
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata : “Maka ketahuilah tak ada yang melakukan muhdats (bid’ah) sesudah mereka (sesudah para sahabat) melainkan orang-orang yang mengikuti sunnah yang bukan sunnah mereka (sunnah para sahabat) dan menganggap dirinya tidak membutuhkan mereka. Padahal para shahabat itu adalah pendahulu bagi mereka. Mereka telah berbicara mengenai agama ini dengan apa yang mencukupi dan mereka telah jelaskan segala sesuatunya dengan penjelasan yang menyembuhkan (Asy Syari’ah Al Ajurri 212)
Pertanyaan nya kini adalah : Sunnah sahabat yang mana? Bukankah sahabat s.a.w. itu banyak? Apa definisinya sahabat? Orang yang bertemu Rasulullah s.a.w. dan masuk Islam di masa Rasulullah s.a.w. semua disebut sahabat. Tentu tidak termasuk sahabat — walaupun bertemu Rasulullah s.a.w dan masuk Islam pada masa Rasulullah s.a.w, namun diketahui umum ia adalah tokoh munafik seperti Abdullah bin Ubay bin Salul. Tapi sampai di sini pertanyaan nya tetap : sunnah sahabat yang mana? Maksudnya ketika sahabat A dan B berbeda pendapat, maka kita ikuti yang mana?
Bukankah kita mengetahui, bahwa sejak dahulu kala bahkan ketika Nabi s.a.w masih hidup terlah terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara sahabat dalam masalah-masalah agama? Ketika Rasulullah s.a.w. masih hidup, beliau bisa memutuskan salah satunya mana yang benar. Namun seringkali juga jika hal itu masih dalam batas perbedaan penalaran akal (ra’yu) dan masih bisa dibenarkan kemungkinan timbulnya perbedaan penafsiran, maka Nabi s.a.w. akan membenarkan keduanya.
Maka jika kita konsisten dan konsekuen dengan perintah Rasul itu bahwa :
1.    Rasulullah s.a.w memerintahkan untuk mengikuti sunnah para sahabat
2.    Bahwa di antara para sahabat ada orang-orang khusus yaitu Khulafa’ur Rasyidin
3.    Bahwa di antara para sahabat ada orang-orang khusus yaitu 10 orang yang dijamin masuk surga
4.    Bahwa di antara para sahabat ada orang-orang khusus yaitu yang faqih dalam urusan agama seperti Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dll
Maka jika seorang muslim pada masa kini melandaskan diri pada salah satu dari pendapat sahabat atau penafsiran sahabat, hal itu bukanlah bid’ah. Mengapa hal ini perlu ditekankan? Contohnya,  bisa jadi salah satu kelompok muslim cenderung mengikuti pendapat sahabat Ibnu Umar r.a., sedangkan muslim yang lain mengikuti pendapat Ibnu Mas’ud r.a., lantas yang satunya menganggap yang lainnya tidak tegak di atas sunnah, atau menyelisihi sunnah, lalu menganggap orang lain melakukan bid’ah, padahal yang terjadi keduanya memiliki landasan dalil dari qaul sahabat. Maka keduanya sebenarnya berada di atas sunnah dan tidak ada yang melakukan bid’ah.
Baiklah kita sampaikan beberapa contoh di bawah ini
1.       Perbedaan Pendapat Tentang Boleh Itikaf Tanpa Berpuasa
Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Musa dan ‘Amru bin Zurarah dari Abdul Aziz bin Muhammad dari Abu Suhail ia berkata; “Dahulu, isteriku pernah bernadzar untuk beri’tikaf di Masjidil Haram selama tiga hari. Kemudian, aku bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz yang saat itu sedang bersama Ibnu Syihab. Aku bertanya: ‘Apakah ia (istriku) juga wajib berpuasa? ‘, Ibnu Syihab menjawab: ‘Tidak ada i’itikaf kecuali dilakukan sambil berpuasa’.(Karena asalnya itikaf itu pada bulan ramadhan) Saat itu, Umar bin Abdul Aziz bertanya (pada Ibnu Syihab): ‘Adakah keterangan yang demikian berasal dari Nabi s.a.w.? ‘ Ia (Ibnu Syihab) menjawab: ‘tidak’. Kemudian, Umar bin Abdul Aziz bertanya: ‘Adakah keterangan dari Abu Bakar r.a.? ‘ ia menjawab: ‘tidak ada’, Lalu ia (Umar) bertanya: ‘adakah keterangan dari Umar r.a. ? ‘, ia (ibnu Syihab) menjawab: ‘tidak ada juga’ ia bertanya: ‘adakah keterangan dari Utsman r.a.? ‘, ia menjawab: ‘tidak ada’. Umar bin Abdul aziz. berkata: ‘Menurutku tidak wajib bagi wanita itu untuk berpuasa’, Lalu aku (Abu Suhail) keluar dan bertemu Thawus dan ‘Atho` bin Abu Rabbah, aku bertanya kepada keduanya. Thawus menjawab: ‘Dahulu Ibnu Abbas r.a. (pernah berfatwa) bahwa wanita tersebut tidak wajib puasa, kecuali jika ia bernadzar untuk berpuasa’. Kemudian `Atho` berkata: ‘Begitu juga pendapatku‘”. (Atsar.R. Darimi No. 162) Husain Assad Salim Ad-Daroni mengatakan atsar ini sanadnya shahih
Maka dalam hal ini para sahabat berbeda pendapat tentang ber’itikaf (di luar ramadhan) apakah harus berpuasa atau tidak. Ibnu Syihab menganalogikan karena ‘itikaf itu asalnya dari bulan ramadhan sehingga dilaksanakan sambil berpuasa. Dan sebenarnya tidak ada ‘tikaf di luar bulan ramadhan. Namun karena wanita ini (istri Suhail) bernadzar untuk itikaf di Masjidil Haram, maka menurut Ibnu Syihab ia juga harus berpuasa. Sedangkan menurut Umar bin Abdul Aziz, Thawys dan Atho bin Abu Rabbah tidak perlu berpuasa, karena nadzarnya hanya beritikaf.
2.       Perbedaan Pendapat Tentang Wewangian Ketika Berihram
Muhammad Ibnu Al Muntasyir berkata : Aku bertanya kepada Aisyah tentang apa yang diucapkan oleh Ibnu Umar r.a. bahwa : “Saya tidak suka kalau berihram dan pada saat itu memakai wewangian” Aisyah menjawab : “Aku pernah memberi Rasulullah s.a.w. wewangian lalu beliau mengunjungi para istri beliau, dan pagi harinya mengenakan ihram (untuk umroh atau haji)” (Atsar R. Bukhari Jilid 1 Hal 396)
Ibnu Mas’ud r.a. berkata :”Dicat dengan lumpur lebih aku sukai daripda melakukan hal ini (yaitu memakai wangian ketika berihram) Aisyah menjawab : “Aku pernah memberi Rasulullah s.a.w. wewangian lalu beliau mengunjungi para istri beliau, dan pagi harinya mengenakan ihram (untuk umroh atau haji) “ (H.R. Muslim Jilid 4 hal 12)
Mana dalam hal ini yang lebih kuat pendapatnya? Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari jalur Abdullah bin Abdullah bin Umar bahwa Aisyah pernah mengatakan tidak mengapa jika menyentuh wewangian ketika ihram. Said berkata : “Lalu aku panggil seorang laki-laki. Ketika itu aku sedang duduk di samping Ibnu Umar. Lelaki itu aku utus kepada Aisyah, padahal aku sudah tahu ucapan Aisyah, hanya saja aku ingin hal ini didengar juga oleh bapakku (yaitu Ibnu Umar) Lelaki itu berkata : “Aisyah mengatakan tidak mengapa memakai wewangian sewaktu mau beriharam”. Lalu lelaki itu berkata : “Aku akan buang pendapatmu”. Said berkata bahwa Ibnu Umar r.a. terdiam mendengar ucapan lelaki itu (Atsar disebutkan oleh Ibnu Hajar Asqolani dalam Fathul Bari Jilid 4 hal 140-141)
3.       Perbedaan Pendapat Sahabat Dalam Masalah Jika Tidak Mendapati Air
Dalam Al-Qur’am sudah jelas dikatakan : “Lalu jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah (Q.S. Al-Maidah [5] : 6)
Namun Umar bin Khattab r.a. suatu ketika berpendapat lain dan melarang sahabat untuk shalat sampai mereka menemukan air.
Telah menceritakan kepada kami Adam ia berkata; telah menceritakan kepada kami Syu’bah berkata, telah menceritakan kepada kami Al Hakam dari Dzar dari Sa’id bin ‘Abdurrahman bin Abza dari Bapaknya berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Umar Ibnul Khaththab dan berkata, “Aku mengalami junub tapi tidak mendapatkan air?” Maka berkata lah ‘Ammar bin Yasir kepada ‘Umar bin Al Khaththab, “Tidak ingatkah ketika kita dalam suatu perjalanan? Saat itu engkau (berpendapat) tidak mengerjakan shalat sedangkan aku (berpendapat) bergulingan di atas tanah lalu shalat? Kemudian hal itu aku sampaikan kepada Nabi s.a.w., dan Nabi s.a.w. bersabda: “Sebenarnya cukup kamu melakukan begini.” Beliau lalu memukulkan telapak tangannya ke tanah dan meniupnya, lalu mengusapkannya ke muka dan kedua telapak tangannya.” (H.R. Bukhari No. 326)
Dan pendapat ini diikuti oleh Abdullah bin Mas’ud r.a.
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Khalid berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad -Yaitu Ghundar- telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Sulaiman dari Abu Wa’il berkata, Abu Musa berkata kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, “Apakah jika seseorang tidak menemukan air maka ia boleh tidak shala?.” ‘Abdullah menjawab, “Jika aku beri keringanan kepada mereka dalam masalah ini, maka ketika salah seorang mendapati musim dingin pasti ia akan berkata seperti ini ‘yakni Tayamum dan shalat’. Abu Musa berkata, “Maka aku katakan, “Kalau begitu dimana kedudukan ucapan ‘Ammar kepada ‘Umar? ‘ ‘Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Aku menganggap bahwa ‘Umar tidak sepakat dengan pendapat ‘ Ammar.” (H.R. Bukhari No. 332)
Maka Ibnu Hajar Asqolani dalam Fathul Bari menjelaskan Maksud kedatangan orang itu untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak namun  ‘Umar menjawab :  “Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air.” Sejak itu, ‘Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi (karena menghormati Umar sebagai Khalifah). ‘Umar tetap  berpegang  teguh  pada pendapatnya  yaitu  orang junub, bila tidak ada air, jangan shalat sampai bertemu air. “Wa  hadza  madzab  masyhur ‘an  ‘Umar,” Namun banyak sahabat tidak setuju dengan Umar r.a.
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh berkata; telah menceritakan kepada kami Bapakku berkata; telah menceritakan kepada kami Al A’masy berkata, aku mendengar Syaqiq bin Salamah berkata; aku pernah berada di dekat ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari.  Abu Musa lalu berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu ‘Abdurrahman bila seseorang mengalami junub dan tidak mendapatkan air. Apa yang harus ia lakukan?” ‘Abdullah menjawab, “Ia tidak boleh shalat hingga mendapatkan air.” Abu Musa berkata, “Bagaimana engkau menyikapi perkataan ‘Ammar ketika Nabi s.a.w. berkata kepadanya ‘Cukup bagimu begini’? ‘Abdullah, “Apakah kamu tidak tahu kalau ‘Umar tidak menerima pendapat tersebut?” Abu Musa kembali berkata, “Baik kita tinggalkan pendapat ‘Umar! ‘ Tapi bagaimana sikapmu dengan ayat ini? ‘ ‘Abdullah tidak mengerti apa yang harus ia katakan, lalu ia berkata, “Jika kami beri keringanan mereka dalam masalah ini, dikhawatirkan jika mereka merasa dingin dengan air, maka mereka tidak mau menggunakan air dan akan melakukan tayamum.” Aku berkata kepada Syaqiq, ‘Bahwasanya ‘Abdullah tidak suka adalah karena hal ini.’ Ia menjawab, “Benar.” (H.R. Bukhari No. 333)
Abdullah bin Mas’ud (Abu Abdurrahman) termasuk sahabat yang mengikuti pendapat Umar r.a. ini. Namun Abu Musa Al-Asy’ari tidak setuju dengan hal ini (karena menyalahi keumuman nash Al-Qur’an). Maka jelas di sini Abu Umar menganggap Umar menyelisihi Qur’an dan pendapat Rasulullah s.a.w. Maka Ibnu Mas’ud mencoba menjelaskan pertimbangan Umar melarang hal ini karena khawatir orang menggampangkan masalah tayamum, tidak mau berusaha mencari air dulu, atau jika udara dingin dan air dingin juga langsung tayamum. Namun Abu Musa r.a. tidak menerima alasan ini. Dan mengajak Ibnu Mas’ud meninggalkan pendapat Umar. Akhirnya Ibnu Mas’ud r.a. mengikuti Abu Musa walaupun dengan berat hati.
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Salamah yakni Ibnu Kuhail, dari Abu Malik dan Abdullah bin Abdurrahman bin Abza dari Abdurrahman bin Abza ia berkata; Kami berada di sisi Umar, tiba-tiba seorang laki-laki mendatanginya dan berkata, “Wahai Amirul mukminin, kita bermukim selama satu dan dua bulan, namun kita tidak mendapat air.” Umar berkata, “Adapun saya, maka saya tidak akan shalat sampai saya mendapatkan air.” Maka Ammar pun berkata, “Wahai Amirul mukminin, ingatlah saat kita berada di suatu tempat, saat itu kita sedang mengembalakan Unta. Bukankah Anda tahu, bahwa saat itu saya sedang junub?” Umar menjawab, “Ya.” Ammar berkata, “Kemudian saya berguling-guling di atas hamparan tanah, lalu saya mendatangi Nabi s.a.w. dan menuturkan hal itu pada beliau, maka beliau pun tertawa dan bersabda: “Untuk itu, debu yang baik telah cukup bagimu.” Ia pun menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah kemudian meniupnya dan mengusapkan keduanya pada wajahnya serta sebagian dari sikunya. Kemudian Umar berkata, “Takutlah kepada Allah wahai Ammar.” Ammar berkata, “Wahai Amirul mukminin, jika Anda mau, aku tidak akan menyebutkannya selama aku masih hidup.” Umar berkata, “Jangan sekali-kali, tetapi demi Allah, kami akan mengikuti apa yang telah Anda ketahui.” (H .R. Ahmad No. 18125)
Maka dalam kasus ini siapakah yang tegak di atas Sunnah? Apakah ini perkara agama? Jawabnya Ya, jelas thaharah (bersuci) termasuk perkara agama. Apakah ini belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. ? Jawabnya : Ya Apakah pendapat Umar ini tidak berlandaskan dalil? Jawabnya : Ya, Umar seolah menyelisihi dalil Al-Qur’an dan hadits Nabi. Bahkan Ammar bin Yasir pun pernah mengingatka apa keputusan Rasulullah dalam masalah ini sewaktu Umar dulu berpendapat demikian. Namun Umar tetap pada pendapatnya. Lalu apakah Umar melakukan bid’ah ? Jawabnya : tidak karena Umar menganggap tayamum bukan sebagai keharusan melainkan boleh tayamum. Dan Umar menggunakan kaidah sa’du dzara’i yaitu melarang suatu hal yang boleh untuk mencegah pada sikap menggampangkan sedikit-sedikiti tayamum.
Maka pada zaman sekarang, yang sependapat dengan  madzhab Umar adalah Abu Hanifah (Madzhab Hanafi). Maka apakah kita anggap Abu Hanifah melakukan bid’ah padahal beliau berpegang pada pendapat Umar? Jawab kami : bukan bid’ah yang dlolal. Karena Abu Hanifah melandaskan pada pendapat salah satu Khulafa’ur Rasyidah, dan ijtihad Umar masih ada sandaran syar’i nya dengan kaidah melarang sesuatu yang boleh untuk mencegah sikap yang buruk. Maka ini bisa dikatakan memiliki landasan syar’i juga. Jadi yang mengikut pendapat Umar r.a. dan Ibnu Mas’ud bukan bid’ah dlolalah. Dan yang mengikut pendapat Abu Musa, Ammar bin Yasr dan sahabat lain nya juga bukan bid’ah.
4.       Perbedaaan Pendapat Dalam Masalah Junub Ketika Puasa
Dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits berkata : Aku pernah mendengar Abu Hurairah r.a. berkata : “Barangsiapa pagi-pagi masih dalam keadaan junub maka sebaiknya ia tidak berpuasa. Lalu ucapan Abu Hurairah ini aku sampaikan kepada Abdurrahman bin Harits. Ternyata Abdurrahman tidak sependapat. Aku (Abu Bakar) dan Andurrahman berangkat menemui Aisyah r.ah. dan Ummu Salamah r.ah. Kemudian kedua wanita itu berkata : “Nabi s.a.w. pernah bangun pagi dalam keadaan junub bukan karena bermimpi (berarti karena behubungan badan dengan istri Nabi s.a.w.)  lalu beliau berpuasa”.  Lalu kami kembali kepada Abu Hurarirah r.a. Lalu Abu Hurairah r.a. bertanya : “Apakah kedua wanita itu yang mengatakan demikian kepadamu?” Abdurrahman menjawab : “Ya” Abu Hurairah ra.a. berkata : “kedua wanita itu lebih tahu daripada aku” (Atsar R. Bukhari Jilid 5 hal 45 dan Muslim Jilid 3 Hal 137)
Dalam kasus ini Abu Hurairah r.a. mengakui bahwa istri Rasulullah s.a.w. tentu lebih mengetahui hal-hal yang bersifat pribadi dan keseharian Rasulullah s.a.w. maka walaupun pada awalnya berbeda pendapat dengan Aisyah r.a. namun Abu Hurairah r.a. mengakui kebenaran pendapat istri-istri Rasulullah s.a.w
5.       Perbedaan Pendapat Dalam Hukuman Orang Yang Menyetubuhi Binatang
Jelas ada petunjuk dari Rasulullah s.a.w. bahwa orang yang mengalami kelainan sex dengan menyetubuhi binatang, maka hukumannya adalah baik orang itu maupun binatang itu harus dibunuh.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepadaku Amru bin Abu Amru dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata, “Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Barangsiapa mensetubuhi binatang maka bunuhlah ia beserta binatang tersebut.” Ibnu Abbas berkata, “Aku lantas bertanya kepada Rasulullah, “Apa salah binatang tersebut?” Ibnu abbas r.a.berkata, “Aku tidak melihat beliau mengatakan begitu kecuali karena beliau tidak suka jika binatang yang telah disetubuhi itu dimakan dagingnya.” (H.R. Abu Daud No. 3871) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini derajatnya hasan shahih.
Namun sepeniggal Rasulullah s.a.w. Ibnu Abbas r.a. (yang mendengar sendiri perkataan Rasulullah s.a.w.) mengatakan bahwa orang yang menyetubuhi binatang tidak ada hukuman pidananya. Sedangkan Al-Hakam dan Al-Hasan berpendapat lain.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus bahwa Syarik dan Abu Al Ahwash dan Abu bakr bin Ayyasy menceritakan kepada mereka dari Ashim dari Abu Razin (Mas’ud bin Malik) dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Orang yang menyetubuhi binatang tidak ada hukuman hadnya.” (Atsar .R. Abu Daud No. 3872) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini derajatnya hasan.
Abu Dawud berkata, “Atha juga mengatakan begitu.” Al -Hakam berkata, “Menurutku ia harus didera, meskipun jumlahnya tidak melebihi hukuman had.” Al-Hasan r.a. berkata, “Hukumannya sama dengan hukuman pezina.”
Apakah masalah bersetubuh dan zina itu termasuk perkara agama? Jawabnya : Bagian-bagian yang mana hadir perintah dan larangan Allah di situ, termasuk perkara agama. Apakah tindakan ini ada pada masa Rasulullah s.a.w. ? Jawabnya : Tidak. Rasulullah tidak pernah berpendapat seperti itu. Apakah pendapat Ibnu Abbas r.a. itu ada dalilnya? Jawabnya : Tidak. Bahkan menyelisihi dalil. Lalu apakah Ibnu Abbas r.a. melakukan bid’ah dlolalah? Jawabnya : Bukan bid’ah dlolalah.
6.       Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Mengurai Rambut
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ali bin Muhammad keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya (Urwah bin Az-Zubair bin Awwam )dari Aisyah bahwa Nabi s.a.w. berkata kepadanya ketika sedang haidl:“Urailah rambutmu kemudian mandilah.” -Ali bin Muhammad menyebutkan dalam haditsnya, -“Lepaskanlah gulungan rambutmu.”(Atsar .R. Ibnu Majah No. 633)
Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ali bin Hujr semuanya meriwayatkan dari Ibnu Ulayah Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Ismail bin Ulayah dari Ayyub dari Abu az-Zubair dari Ubaid bin Umair dia berkata, ” Aisyah pernah mendengar Abdullah bin Amru memerintahkan orang-orang perempuan agar membuka tali ikatan rambut mereka apabila mereka mandi. Lalu Aisyah berkata, ‘Mengapa dia tidak menyuruh mereka agar mencukur rambut saja? Aku pernah mandi bersama-sama Rasulullah s.a.w. menggunakan air dari wadah yang sama. Aku tidak menyiram kepalaku lebih dari tiga kali siram’.” (Atsar .R. Muslim No. 498)
Dalam hal ini Aisyah r.ah. berbeda pendapat dengab Abdullah bin Amru dan juga dengan sahabat lain seperti Urwah bin Az-Zubair bin Awwam mengenai mengurai rambut ketika mandi jinabat. Namun dalam hal ini semestinya pendapat Aisyah r.ah. yang lebih kuat karena beliau adalah istri Rasulullah s.a.w.
7.       Perbedaan Pendapat Dalam Menghukumi Orang Gila Yang Berzina
Masalah hukum hudud (pidana) dalam Islam merupakan masalah agama. Karena apa-apa yang hadir di situ aturan Allah dan RasulNya, itu termasuk perkara agama. Maka dalam hal ini Ali bin Abi Thalib r.a. pernah membatalkan hukum rajam padahal secara umum hukum rajam ini berlaku bagi siapa saja orag yang sudah menikah yang melakukan perzinaan.
Telah menceritakan kepada kami Hannad dari Abu Al Ahwash. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Jarir secara makna, dari Atha bin As Sa`ib dari Abu Zhabyan berkata; Hannad Al janbi berkata, “Pernah didatangkan kepada Umar seorang wanita yang berbuat zina, lalu ia memerintahkan agar wanita itu dirajam. Ketika Ali r.a. lewat, ia mengambil wanita itu dan melepaskannya. Umar r.a. (saat itu menjadi khalifah) diberi kabar dengan kejadian tersebut, ia lantas berkata, “Pangilkanlah Ali agar ia menemuiku.” Ali r.a. kemudian datang dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat (tidak dicatat) dari tiga golongan (yaitu)  anak kecil hingga ia baligh, orang tidur hingga ia bangun, dan orang gila hingga ia waras.” Dan wanita ini adalah wanita gila dari bani Fulan.Lalu Umar r.a. berkata : Aku tidak tahu (bahwa ia gila) Lalu Ali r.a. menjawab : “Aku juga tidak tahu (ia gila atau tidak)”. (H.R. Abu Daud No. 3824)
Telah menceritakan kepada kami ‘Affan telah menceritakan kepada kami Hammad dari ‘Atho` bin As Sa`ib dari Abu Dzabyan Al Jambi :Bahwa didatangkan seorang wanita yang telah berbuat zina ke hadapan Umar bin Khattab, kemudian memerintahkan untuk merajamnya, maka orang-orang membawanya untuk merajamnya, tetapi (ditengah perjalanan) mereka bertemu dengan Ali r.a. lalu bertanya; “Ada apa ini?” mereka menjawab; “Dia telah berzina dan Umar r,a, menyuruh merajamnya.” Ali melepaskannya dari tangan mereka dan mencegah mereka, kemudian mereka kembali kepada Umar, (Sesampainya disana) Umar bertanya; “Apa yang menyebabkan kalian kembali?” Mereka menjawab; “Ali.” Umar berkata; “Tidaklah Ali melakukan hal ini kecuali karena sesuatu yang dia ketahui?” maka diutuslah seseorang kepada Ali kemudian dia datang dengan agak marah, Umar bertanya; “Kenapa kamu mencegah mereka?” Ali menjawab; Tidakkah kamu mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Diangkat catatan amal dari tiga orang: orang yang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia menjadi dewasa dan orang gila sampai dia berakal?” Umar menjawab; “Ya.” Ali berkata; “Sesungguhnya wanita ini gila, dari Bani Fulan, kemungkinan ada orang yang memperkosanya saat dia gila.” Umar berkata; “Aku tidak tahu (ia gila).” Ali berkata; “Saya juga tidak tahu (ia gila atau tidak).”Maka Umar tidak jadi merajamnya. (H.R.  Ahmad No. 1258)
Dalam hadits di atas Ali bin Abi Thalib r.a. berpendapat bahwa sebuah hukuman tidak bisa diterapkan pada orang yang gila, tidak sadar, penyakit jiwa, atau tertidur dan masih baligh. Namun Ali bin Abi Thalib r.a. juga tidak tahu pasti apakah wanita itu gila atau tidak namun Ali cenderung untuk membebaskannya.
Tapi dalam hadits lain diceritakan bahwa di hadapan Umar r.a. dan Ali bin Abi Thalib didatangkan wanita yang gila dan ia telah berzina, namun Umar r.a. menganggap ia tetap harus dirajam, sedangkan Ali r.a. berhujjah dengan dalil bahwa orang gila, anak kecil dan orang tertidur tidak bisa dimintai pertanggung jawaban. Di sini ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) antara Umar dan Ali bin Abi Thalib r.a.
Walaupun sebenarnya hadits mengenai anak kecil dan orang tertidur dan orang gila itu terkait masalah shalat namun Ali r.a. melakukan qiyas untuk menerapkannya dalam hukum zina.
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Al A’masy dari Abu Zhabyan dari Ibnu Abbas ia berkata : “Didatangkan kepada Umar seorang wanita gila yang berbuat zina, Umar lalu minta masukan pendapat kepada orang-orang. Kemudian ia memerintahkan agar wanita itu dirajam. Wanita itu lalu dibawa melewati Ali bin Abu Thalib -semoga Allah meridhainya-, ia bertanya, “Ada apa dengan wanita ini?” orang-orang menjawab, “Wanita gila dari bani fulan, ia telah berbuat zina. Dan Umar memerintahkan agar ia dirajam saja.” Ibnu Abbas berkata, “Ali kemudian berkata, “Bawalah ia kembali.” Ali lantas mendatangi Umar dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau tahu bahwa pena pencatat amal itu diangkat dari tiga golongan manusia; orang gila hingga ia sembuh, orang tidur hingga ia terbangun dan anak kecil hingga ia balig?” Umar menjawab, “Tentu.” Ali bertanya lagi, “Lalu kenapa wanita ini dirajam?” Umar menjawab, “Tidak apa-apa.” Ali berkata, “Lepaskanlah ia.” Ibnu Abbas berkata, “Umar kemudian membebaskan wanita tersebut. Lalu Umar pun bertakbir.”(H.R. Abu Daud No. 3823)
Umar bin Khattab r.a. berpendapat walaupun orang gila tetap bisa dikenai hukuman hudud (pidana) sedangkan Ali bin Abi Thalib r.a. berpendapat orang gila tak bisa dimintai pertanggung jawaban atas perilakunya dan oleh karenanya tidak bisa dikenai hukuman hudud. Kalaupun memang Umar dan Ali tidak pasti ia gila atau tidak maka di situ telah terdapat syubhat (kesamaran) maka Ali r.a. cenderung membebaskan karenan berdasarkan hadits :
Dari Aisyah r.a. “Hindarilah hukuman-hukuman terhadap orang-orang Islam menurut kemampuanmu” (H.R. Tirmidzi, Baihaqi & Al-Hakim)
Maka kita tidak mengatakan salah satunya telah menyalahi syari’at dan bid’ah. Karena masing-masing sahabat memiliki pertimbangan tersendiri dalam pemahaman agama
8.       Perbedaan Pendapat Dalam Puasa Kafarat
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Humaid bin Qais Al Maki Bahwasanya ia mengabarkan kepadanya, ia berkata, “Aku bersama Mujahid saat dia sedang thawaf di Ka’bah. Lalu ada laki-laki datang kepadanya menanyakan tentang puasa kafarah, apakah harus dikerjakan secara berturut-turut atau terputus.” Humaid berkata, “Aku menjawab, “Ya, boleh dikerjakan secara terputus jika mau.” Namun Mujahid berkata, “Tidak boleh secara terputus, karena dalam qira’ahnya Ubay bin Ka’b, disebutkan tiga hari berturut-turut.” (H.R. Malik  dalam Muwatha’ No. 597)
9.       Perbedaan Pendapat Mengqodho Shalat Setelah Nifas Selesai
Sebagian sahabat Nabi s.a.w. pernah berpendapat bahwa wanita wajib meng-qodlo sholat yang tidak dilakukannya karena nifas (pendarahan habis melahirkan). Dan qodho itu dilaksanakan setelah haid nya selesai.
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Hatim, yakni Hubby telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al-Mubarak dari Yunus bin Nafi’ dari Katsir bin Ziyad dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Al-Azdiyyah, yakni Mussah dia berkata : “Saya pernah menunaikan ibadah haji, lalu saya menemui Ummu Salamah seraya berkata; Wahai Ummul Mukminin, sesungguhnya Samurah bin Jundub memerintahkan kaum wanita untuk mengqadla` shalat (yang ditingggalkan) di masa haidl. Maka Ummu Salamah berkata; Mereka tidak usah mengqadla`nya, dahulu seorang istri dari istri-istri Nabi s.a.w. tidak shalat pada masa nifas, selama empat puluh malam, dan Nabi s.a.w. tidak memerintahkannya untuk mengqadla` shalat wanita yang nifas.” (H.R. Abu Daud No. 268)
10.   Perbedaan Pendapat Dalam Tawaf Sebelum Wuquf
Dari Wabarah dia berkata : Aku pernah duduk di samping Ibnu Umar r.a. tiba-tiba muncul seorang laki-laki dan berkata : “Bolehkah aku melakukan thawaf di Baitullah sebelum mendatangi tempat wuquf (Arafah) ?” Ibnu Umar r.a. menjawab : “Boleh” Laki-Laki itu berkata : “Tetapi Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan : “Janganlah kamu thawaf di Baitullah sebelum kamu mendatangi tempat wuquf”. Ibnu Umar r.a. berkata : “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah menunaikan ibadah haji lalu melakukan thawaf di Baitullah sebelum beliau mendatangi tempat wuquf di Arafah. Apakah dengan perkataan Rasulullah s.a.w. kamu lebih berpegang atau pada perkataan Ibnu Abbas jika kamu  benar? (H.R. Muslim Jilid 4 Hal 53)
Dalam hal ini Ibnu Umar r.a. berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas r.a. mengenai dibolehkannya melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah)sebelum mendatangi Arafah.
11.   Perbedaan Pendapat mengenai Mendapat Haid Ketika Haji
Dari Ikrimah dikatakan bahwa warga Madinah bertanya pada Ibnu Abbas r.a. mengenai wanita yang selesai mengerjakan thawaf ifadhah, lalu ia mendapat haid. Ibnu Abbas berkata kepada mereka : “Pergilah dia (bersama orang-orang) Namun orang-orang tidak yakin dan berkata : “Kami tidak mengambil pendapat mu, dan membiarkan perkataan Zaid bin Tsabit. Ibnu Abbas r.a. berkata L “Apabila kalian sampai di Madinah, tanyakanlah perkara ini” Ketika orang-orang pulang ke Madinah, mereka menanyakannya kepada Ummu Sulaim. Maka Ummu Sulaim menjawab dengan hadits Shafiyyah bahwa Shafiyyah pernah ifadhah dan  melakukan thawaf di Baitullah, sedangkan dia haid. Lalu Rasulullah s.a.w. berkata : “Pergilah kamu bersama yang lainnya (untuk thawaf ifadhah)” (H.R. Bukhari Julud 4 Hal 336 dan Muslim Jilid 4 Hal 93)
Dalam hal ini Ibnu Abbas r.a. berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit r.a. walaupun pada akhirnya kelihatannya pendapat Ibnu Abbas r.a. lah yang lebih benar karena dikuatkan dengan hadits dari istri-istri Rasulullah s.a.w. namun hal ini tidak mengurangi keutamaan para sahabat dan menghargai ijtihad mereka.
Demikianlah  banyak sekali perbedaan terjadi semenjak pada generasi terbaik umat ini, yaitu generasi sahabat. Dan berpegang pada salah satu pendapat atau ijtihad sahabat, adalah sesuai dengan koridor “bersandar pada syariat”. Orang yang bersandar pada salah satu pendapat sahabat tidak boleh dikatakan berlaku bid’ah karena dapat dikatakan  bahwa ia telah memiliki landasan syari’at. Dan perbedaan pendapat ini adalah hal yang wajar, sebagaimana Umar bin Abdul Aziz berkata :

Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun dari hammad bin Salamah dari Humaid ia berkata: Dikatakan kepada Umar bin Abdul Aziz: “Seandainya kamu satukan manusia dalam satu paham”, kemudian ia berkata: “Tidaklah menggembirakanku jika mereka tidak berselisih pendapat”. Kemudian ia menulis surat ke seluruh penjuru atau negeri-negeri agar setiap kaum berhukum dengan apa yang disepakati oleh para ahli fikih mereka. (Atsar R. Darimi No. 626)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar