PEMBAHASAN MASALAH BID’AH
(JILID 9)
PENETAPAN TARAWIH BERJAMAAH OLEH UMAR BIN KHATTAB R.A.
Ada yang mengatakan bahwa perkataan Umar r.a. “hadza ni’matil
bid’ah” disalah pahami dan sesungguhnya yang dimaksud Umar r.a. adalah
bid’ah secara bahasa, sedangkan secara makna istilah bukan bid’ah. Lebih lanjut
mereka menjelaskan bahwa shalat taraweh berjamaah masih memiliki landasan
syar’i karena Rasulullah s.a.w. bukannya tidak pernah shalat berjamaah,
melainkan beliau hanya tiga kali saja shalat berjamaah selebihnya sengaja
shalat di rumah karena khawatir dianggap wajib oleh umatnya.
tatkala malam kelima (yaitu malam ke dua puluh lima dari awal
Ramadhan) beliau melakukan shalat malam bersama kami (berjamaah) hingga berlalu
setengah malam terakhir (H.R. Ad-Darimi No. 1712)
Bahkan Abu Hurairah r.a. mengatakan ia tidak pernah melihat
Rasulullah s.a.w. shalat berjamaah :
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Umar telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin
Abdurrahman dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah
s.a.w. tidak pernah shalat tarawih bersama orang-orang (berjama’ah).” (H.R. Ahmad No. 7542)
Lalu bukankah orang orang yang bersemangat itu mengatakan bahwa
“merutinkan sesuatu yang tak ada petunjuknya dari Rasulullah s.a.w.
adalah bid’ah?” Mengapa mereka tidak konsisten dengan rumusan mereka sendiri?
Ada sebagian orang yang dalam rangka bersikukuh menolak adanya
bid’ah hasanah dengan mengatakan bahwa perkataan umar “hadza ni’matil bid’ah”
(ini sebaik-baik bid’ah) adalah bid’ah secara bahasa karena hal ini bersifat
baru (muhdats) karena belum pernah dilakukan sebelumnya pada masa Rasulullah
s.a.w.namun apa yang dilakukan Umar r.a. masih ada landasannya dalam syari’at.
Memang benar Rasulullah s.a.w. bukannya sama sekali tidak pernah
melakukan taraweh berjamah bahkan Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa hal itu
lebih utama
Beliau bersabda : ‘Jika seseorang shalat bersama imam (berarti
berjamaah) hingga usai, maka Allah menuliskan baginya pahala menegakkan shalat
malam’. Kemudian beliau tidak bangun (guna shalat malam) bersama kami. (H.R. Nasa’i No. 1242)
Namun kenyataannya setelah mengatakan hal itu, Rasulullah s.a.w.
hanya melakukan sekitar 3 malam dan selebihnya beliau melakukan sendiri di
dalam rumah agar orang tidak mengira bahwa hal ini diwajibkan. Tapi tetap saja
mengapa Umar bin Khattab r.a. berani merutinkan sebulan penuh, yang justru
Rasulullah s.a.w. sengaja tidak merutinkannya?
Mereka menjawab lagi bahwa karena setelah orang-orang semua
paham bahwa hal ini tidak wajib dan tak timbul lagi kekhawatiran akan dianggap
wajib oleh orang-orang, maka hal ini tidak mengapa dirutinkan.
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman
bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; “Aku
keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob r.a. pada malam Ramadhan menuju masjid,
ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada
yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang
jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya
mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih
baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka
dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi
bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu
jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya
bid’ah adalah ini ”. (Atsar
.R. Bukhari 1871)
Maka kalau pun benar bahwa Umar r.a. merutinkan hal ini karena
‘tidak ada kekhwatiran orang menganggap wajib” maka ini menunjukkan
dibolehkannya kaidah taghayyur
al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan (perubahan hukum dimungkinkan seiring
dengan perubahan tempat dan waktu), artinya berbeda situasi dan kondisi
membolehkan kita melakukan sesuatu yang berbeda dengan dalil (atau istilahnya
menyelisihi dalil).
Namun sebenarnya jika kita merujuk pada apa yang dikatakan Umar
r.a. sendiri, ia tidak mengatakan bahwa sebab diberlakukannya berjamaah dalam
taraweh itu karena tidak khawatir lagi dianggap wajib. Tidak. Umar r.a. tidak
pernah mengatakan begitu. Yang ada adalah umar mengatakan :
Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat
berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. (H.R. Bukhari 1871)
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari
Urwah bin Az Zubair dari Abdurrahman bin Abdul Al-Qari dia berkata : “Umar
berkata, “Demi Allah, sesungguhnya saya berpendapat, jika saya kumpulkan mereka
dengan satu Qari’, niscaya akan lebih baik.” Muwatha’ Malik No. 231)
Perhatikanlah Umar mengatakan ‘illat atau sebab diberlakukannya sebuah
fatwa untuk membuat taraweh berjamaah adalah karena dipandang “hal itu lebih
baik”. Maka wajar dari sinilah Imam Syafi’i, Ibnu Hajar Asqolani dan ulama
lainnya mengatakan adanya bid’ah mahmudah (terpuji). Dan mereka bukanlah
orang yang tidak paham agama. Nashiruddin Al-Albani pun mengatakan : siapapun
yang ingin meminum samudera Hadits Bukhari tak bisa lepas dari kitab “Fathul
Bari” syarah (penjelas) Hadits Bukhari yang terbaik sepanjang sejarah,
yang disusun oleh Ibnu Hajar Asqolani.
Perbincangan Taraweh 23 Rakaat
Oleh Umar bin Khattab r.a.
Baiklah jika masalah berjamaah atau tidak berjamaah itu bukanlah
sesuatu yang prinsipil karena Rasulullah s.a.w pun pernah melakukannya, namun
tidak hanya itu, Umar bin Khattab r.a.menambahkan rakaatnya menjadi 23 rakaat.
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yazid bin Ruman dia
berkata; “Para sahabat pada masa Umar bin Khatthab mengerjakan shalat malam
dua puluh tiga rakaat.” (Atsar
.R. Imam Malik dalam Muwatha’ Hadits No. 233)
Padahal Aisyah jelas-jelas bersaksi bahwa tidak pernah sekalipun
Rasulullah s.a.w. melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik pada
ramadhan maupun pada bulan-bulan lainnya.
Maka ‘Aisyah r.ah menjawab: “Tidaklah Rasulullah s.a.w.
(melaksanakan shalat malam) di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih
dari sebelas raka’at ( H.R. Bukhari No. 1874, No. 1079
dan Muslim No. 1219, Nasa’i No. 1679, Abu Daud No. 1143)
Ada yang mengatakan bahwa selalu 11 rakaat yang Rasulullah s.a.w
lakukan itu adalah di luar bulan Ramadhan sedangkan pada bulan Ramadhan boleh
dilebihkan karena keutamaan bulan Ramadhan. Apa dasarnya pendapat ini?
Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, dari Malik bin Anas,
dari Sa’id Al-Maqbury, dari Abu Salamah bin Abdurrohman, dia berkata; saya
bertanya kepada Aisyah, saya mengatakan; bagaimana (shalat malam) Rasulullah
s.a.w. pada bulan Ramadhan? Aisyah menjawab : “Shalat (malam) Rasulullah pada
bulan Ramadhan dan selain bulan Ramadhan adalah sama, Beliau shalat sebelas
rakaat (H.R. Ahmad No. 23589)
Perhatikanlah bahwa “Shalat (malam) Rasulullah pada bulan
Ramadhan dan selain bulan Ramadhan adalah sama” Tidak ada perkataan
Rasulullah s.a.w. yang menyatakan “silakan melebihkan jika kamu mau” yang ada
adalah Rasulullah s.a.w. melebihkan bacaan surah Al-Qur’an pada shalat qiyam
ramadhan bahkan saking panjangnya, sampai menjelang fajar.
Ketika bulan (Ramadhan) tinggal tiga hari lagi, beliau bangun untuk
shalat malam bersama kami, lalu mengumpulkan keluarga dan para istrinya hingga
kami khawatir kehilangan Al Falah ini.” Aku lalu bertanya; “Apakah (Al Falah)
itu?” Ia menjawab; “Waktu sahur“. (H.R. Nasa’i No.
1587 dan No. 1347) Al-Albani mengatakan hadits ini shahih
Maka pada mulanya hal inilah yang diperintahkan Umar r.a. untuk
melakukannya yaitu shalat taraweh berjamaah 11 rakaat saja namun dengan surat
yang sangat panjang hingga pelaksanaan taraweh itu mendekati subuh. Hal ini
karena keinginan untuk meniru se-asli mungkin sesuai apa yang dilakukan
Rasulullah s.a.w
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf
dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, ” Umar
bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami
orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata; “Imam membaca dua
ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya
berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (Atsar R. Imam
Malik dalam Muwatha’ No. 232)
Namun sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas orang tidak
sanggup mengikuti pembacaan sampai 200 an ayat. Sehingga sebagian orang sampai
bersandar di tongkat. Maka untuk itulah selanjutnya Umar r.a. mengambil
inisiatif mengubah kaifiyat (perincian teknis) ibadah menjadi bacaan surat yang
pendek saja namun agar mendekati kualitas taraweh Rasulullah s.a.w. dan karena
keutamaan bulan Ramadhan itu sendiri maka diperbanyaklah menjadi 23 rakaat.
Namun sebagian ulama (misalnya syaikh Utsaimin) menyatakan bahwa
mengubah kaifiyat ibadah yang telah dicontohkan Rasulullah s.a.w. itu merupakan
tindakan bid’ah karena menyelisihi sunnah. Jika demikian, bukankah Umar r.a.
telah berani mengubah kaifiyat ibadah mahdhoh dimana Aisyah r.ah mengatakan
Nabi s.a.w. tidak pernah shalat malam lebih dari 11 rakaat? Apakah Umar r.a.
melakukan bid’ah?
Lalu seorang ustadz yang lain dari Indonesia dalam sebuah
ceramah nya mengatakan justru hadits Umar r.a. memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan
Tamim Ad-Dari untuk mengimami orang sebelas rakaat ini yang betul. Sedangkan
hadits yang 23 rakaat itu hanyalah perkataan dari Yazid bin Ruman. Yang betul
adalah dua-duanya adalah atsar (perkataan sahabat) dimana yang 23 rakaat adalah
perkataan Yazid bin Ruman dan yang 11 rakaat adalah perkataan Sa’ib bin Yazid.
Justru Atsar dari Sa’ib bin Yazid ini lah yang menceritakan
bahwa orang-orang berat mengikuti kaifiyat asli shalat tarawih sebagaimana
dilakukan Rasulullah s.a.w. yaitu Imam membaca dua ratusan ayat,
hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri.Sehingga
menyebabkan Umar bin Khattab r.a. mengubah kaifiyat ibadah tarawih
menjadi 23 rakaat.
PEMBAHASAN MASALAH BID’AH
PRAKTEK KEAGAMAAN PARA SAHABAT SELAIN KHULAFA’ AR-RASYIDAH
Atsar Sahabat (Selain Khulafa’
Ar-Rasyidin ) Adalah Termasuk “Landasan Dalam Syari’at”
Kita pasti sering mendengar bahwa landasan syari’at itu adalah
Al-Qur’an dan Hadits, karena Allah bersabda :
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul” (Q.S.
An-Nuur [24] : 54)
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” (Q.S.
An-Nisaa [4]: 59)
Dan Rasulullah s.a.w. pun juga bersabda :
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang
(selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat,
yaitu Kitabullah dan Sunnah-ku.” (H.R. Al-Hakim dan
Daruquthni )
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang mana kamu tidak
aakn tersesat, selama kamu berpegang pada keduanya yaitu Kutabullah dan
sunnah Nabinya” (H.R. Malik dalam Al Muwatha Juz 2 Hal 899 dan Imam Suyuthi
dalam Jami’ Ash Shaghir Hadits No. 2934)
Hal ini diamini dan diikuti oleh para sahabat misalnya :
Dari Juwairiyah Bin Qudamah dia berkata; “Aku melaksanakan
ibadah haji, kemudian pada tahun Umar mendapat musibah aku datang ke Madinah, ”
Juwairiyah berkata; “Umar berkhutbah dan berkata “Berpegang teguhlah kepada
kitab Allah (Al Qur’an), sebab kalian tidak akan tersesat selama kalian
mengikutinya.” (H.R. Ahmad No. 342)
Namun apa yang dimaksud “kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah”? Apa
yang dimaksud dengan “ada landasannya dalam kitabullah dan sunnah??” Hal
ini adalah pernyataan umum yang bersifat normatif yang perlu diperinci lebih
lanjut, karena di situ ada perkataan para sahabat karena di situ terdapat
kaidah-kaidah yang apabila orang tidak paham akan langsung menuduh para sahabat
menyelisihi sunnah. Sahabat ini ada banyak. Salah satunya adalah khalifah yang
4 yang disebut Khulafa’ Ar-Rasyidin .
Selain Khulafa’ur Rasyidin, juga terdapat sahabat lainnya. Maka
ucapan dan ijtihad para sahabat selain Khulafaur Rasyidin harus kita
perhatikan juga dan termasuk bagian dari sunnah Rasulullah s.a.w. Artinya jika
kita mengikuti sebagian pendapat sahabat , maka bisa dikatakan telah
berlandaskan syari’at.
Dalam sebuah atsar dari Ibnu Mas’ud r.a. dikaitkan antara
“mengikuti peninggalan kami (yaitu fikih para sahabat Nabi s.a.w) dengan
perkara bid’ah
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. berkata : “Ikutilah
peninggalan- peninggalan kami (para sahabat Nabi s.a.w) dan janganlah kalian
berbuat bid’ah karena ajaran- ajaran telah dicukupkan bagimu.” (Hadits ini
disebutkan oleh Imam Syatibi dalam Al-Ittishom hal 65)
Siapa yang dimaksud kami di sini? Yaitu Ibnu Mas’ud r.a. dan
kawan-kawannya, yaitu para sahabat Rasulullah s.a.w.
Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash r.a. , bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda : “Bagaimana
keadaanmu dan dengan putaran zaman —atau beliau berkata: Hampir-hampir tiba
suatu zaman— yang akan membuat manusia binasa dengan kebinasaan yang tak
terhingga, dan yang tersisa adalah kelompok manusia yang hina, yang melanggar
perjanjian dan amanat yang ada pada diri mereka. Mereka berselisih sehingga
menjadi seperti ini.” beliau mengaitkan jari-jemari tangannya. Para sahabat
lalu bertanya, “Apa yang harus kami lakukan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Hendaklah kalian mengambil perkara yang kalian ketahui dan hendaklah kalian
meninggalkan perkara yang kalian ingkari. Wa tuqbiluuna ‘alaa amri khoshotikum
(Hendaklah kalian mengerjakan perkara orang-orang khusus kalian) Wa tadzaruuna
amri ammatikum ( dan hendaklah kalian meninggalkan perkara orang-orang umum
dari kalian).” (H.R. Ath-Thahawiy Imam
Syatibi menyebutkan dalam Al-Ittishom hal. 61)
Siapa yang dimaksud dengan orang-orang khusus di sini? Yaitu
para sahabat yang dikenal senior dan faqih dalam agama. Dan siapa yang dimaksud
orang umum? Yaitu orang ammah yaitu yang awam (tidak paham) terhadap agama.
Jika cermati, para sahabat Rasulullah s.a.w. tidak
sama, derajatnya dan keutamaannya. Di antara mereka ada yang mula-mula masuk
Islam, yang mula-mula berhijrah, yang mula-mula ikut berperang di perang Badar.
Allah bersabda tentang mereka :
“Dan orang-orang yang terdahulu yang petama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dengan mereka dan
mereka ridho kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang agung.” (Q.S. At-Taubah [9] : 100)
Merekalah orang-orang khusus itu. Ketika ada persoalan,dan
pengangkatan khalifah maka orang-orang khusus ini bertindak sebagai ahlul hali
wal aqdi (semacam DPR) yang dimintai pendapat dan melakukan musyarah.
Jadi mereka adalah semacam majelis syuro.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ telah
menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Hushain dari
Hilal bin Yasaf dari Abdullah bin Dlalim Al Mazini dari Sa’id bin Zaid bin
‘Amru bin Nufail bahwa dia berkata; “Saya bersaksi terhadap sembilan orang
yang telah dijamin masuk surga dan sekiranya aku bersaksi terhadap sepuluh
orang, maka aku tidak akan berdosa.” Dikatakan; “Bagaimana bisa begitu?.” Dia
menjawab; “Kami pernah bersama Rasulullah s.a.w. di (goa) Hira’, lalu beliau
bersabda: “Tenanglah wahai (goa) Hira’, tidaklah orang yang ada di atasmu
melainkan seorang Nabi, orang yang shiddiq (membenarkan) atau orang yang
syahid.” Dikatakan; “Siapakah mereka?” Dia menjawab; (mereka adalah) Rasulullah
s.a.w. , Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad dan Abdurrahman
bin ‘Auf.” Dikatakan; “Siapa yang kesepuluh?” Dia menjawab; “Saya.” (H.R.
Tirmidzi No. 3690)
Maka perhatikanlah bahwa Rasulullah s.a.w. sendiri menjuluki
mereka selain dari diri Nabi, yaitu orang2 yang shiddiq dan yang syahid, mereka
adalah Abu Bakar r.a. , Umar r.a., Utsman r.a., Ali bin Abi Thalib r.a.,
Thalhah r.a., Zubair r.a.m Abdurrahman bin Aur r.a. dan Zaid.
Abu Isa (Tirmidzi) berkata; “Hadits ini adalah
hadits hasan shahih.” Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.
Itulah 10 orang yang dijamin masuk surga. Sementara itu di
tempat lain Rasulullah s.a.w. memuji keutamaan para sahabat :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata,
telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin Abdul Majid berkata, telah
menceritakan kepada kami Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah dari Anas bin
Malik ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Umatku yang paling
penyayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas di antara mereka
adalah Umar, yang paling benar rasa malunya adalah Utsman, yang paling tepat
keputusannya adalah Ali bin Abu Thalib, yang paling bagus bacaannya terhadap
kitabullah adalah Ubai bin Ka’ab, yang paling tahu terhadap perkara yang halal
dan yang haram adalah Mu’adz bin Jabal, dan yang paling paham terhadap ilmu
Fara’idl adalah Zaid binTsabit. Ketahuilah bahwa setiap umat itu mempunyai
orang yang terpercaya, dan orang terpercaya umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al
Jarrah.” Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah
menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu
Qilabah seperti hadits di atas. Hanya saja Ibnu Qudamah menyebutkan; “bahwa
Zaid adalah yang paling tahu terhadap ilmu fara’idl.” (H.R. Ibnu Majah No.
151)
Perhatikanlah bahwa Ali bin Abi Thalib dikatakan paling tepat
keputusannya, Mu’adz adalah orang yang paling tahu terhadap halal dan haram,
lalu Zaid bin Tsabit adalah yang paling paham perkara fara’idl. Hal ini
perlu kami tegaskan agar tak ada keraguan dan nantinya mengatakan bahwa mereka
adalah orang-orang yang tidak paham agama, dan mereka telah menyelisihi sunnah,
sembari berkata kami orang pada masa sekarang ini lebih paham dibanding mereka.
Kita berlindung pada Allah dari anggapan semacam ini.
A. Modifikasi
Ibadah Mahdhoh oleh Sahabat (Selain Khulafa’ur Rasyidin) Saat Rasululah s.a.w.
Masih Hidup
Beberapa sahabat pernah merintis suatu perbuatan yang berbeda
dengan yang biasa dilakukan Rasulullah s.a.w. atau memodifikasi tata cara
ibadah yang dicontohkan Rasulullah s.a.w. Namun hal ini tidak disalahkan oleh
Rasulullah s.a.w. bahkan dinyatakan sebagai hal yang baik.
1. Mu’adz bin Jabal Memulai Perubahan Mengganti Shalat Yang
Tertinggal
Abdurrahman bin Abi Laila berkata : “Pada masa Rasulullah
s.a.w bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat
berjamaah maka orang-orang yang lebih dahulu datang akan memberi isyarat
kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani sehingga orang itu mengerjakan
rakaat yang tertinggal itu lebih dulu baru menyusul masuk berjamaah bersama
mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal r.a. datang terlambat lalu orang-orang
mengisyaratkan padanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan,
tetapi Mu’adz langsung masuk dalam jamaah dan tidak menghiraukan isyarat
mereka, namun setelah Rasulullah s.a.w. menyelesaikan shalat berjamaah, Mu’adz
segera mengganti rakaat yang tertinggal. Setelah Rasulullah s.a.w.
menyelesaikan shalat mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda
dengan kebiasaaan mereka. Lalu beliau s.a.w. menjawab : “Mu’adz telah
mempelopori cara yang baik buat shalat kalian. Dalam riwayat lain dikatakan :
Beliau s.a.w. bersabda : “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat
kalian, begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan” (H.R. Abu Daud,
Imam Ahmad Juz 5 Hal 233, Imam Ibnu Abi Syaibah , Thabrani dalam Al Mu’jam
Kabir juz 20 Hal 271. Ibnu Hazm dan Ibnu Daqiiq Al-‘Id mengatakan hadits ini
shahih)
2. Seseorang
Sahabat Menambahkan Doa Setelah Ruku
Dari Rifa’ah ibn Rafi’, r.a. berkata: “Suatu hari kami shalat
berjama’ah di belakang Rasulullah s.a.w.. Ketika beliau bangun setelah ruku’,
beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum
berkata: Rabbana walakalhamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih. Setelah
selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan
kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai
Rasulullah” Lalu Rasulullah berkata: “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat
berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.(H.R. Bukhari No. 799
Nasa’i No 1016, Abu Daud No. 770, Ahmad No. 19018, Ibnu Khuzaimah No. 614)
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah dari Malik
dari Nu’aim bin ‘Abdullah Al Mujmir dari ‘Ali bin Yahya bin Khallad Az Zuraqi
dari Bapaknya dari Rifa’ah bin Rafi’ Az Zuraqi berkata, “Pada suatu hari
kami shalat di belakang Nabi s.a.w. . Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk
beliau mengucapkan: ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar punjian
orang yang memuji-Nya) ‘. Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di
belakang beliau membaca; ‘RABBANAA WA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN
MUBAARAKAN FIIHI (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan
pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah) ‘.” Selesai shalat beliau
bertanya: “Siapa orang yang membaca kalimat tadi?” Orang itu menjawab, “Saya.”
Beliau bersabda: “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di
antara mereka yang lebih dahulu untuk menuliskan kalimat tersebut.” (H.R.
Bukhari No. 757)
Bacaan tersebut jelas sesuatu yang belum pernah dicontohkan oleh
Rasulullah s.a.w. sehingga beliau bertanya siapa yang membaca seperti itu tadi?
Namun Rasulullah s.a.w. tidak mengecam dan menyalahkan orang tersebut lantaran
mengucapkan doa yang belum pernah beliau ajarkan
3. Mu’adz bin Jabal Mengambil Zakat Berupa Tombak dan Kain
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang harus ditunaikan,
bahkan Allah berfirman dengan menggunakan kalimat perintah “khudz” (pungutlah)
artinya sifatnya pro aktif memungut dan menagih, bukan menunggu orang
menyerahkan zakat. Tujuan zakat adalah membersihkan harta dari hak-hak fakir
miskin di dalamnya. Karena di dalam harta yang kita peroleh dititipi hak rejeki
fakir miskin dan orang yang berhak lainnya.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkandan mensucikan mereka “ (Q.S. At-Taubah [9]
: 103)
Maka Rasulullah s.a.w. memberi petunjuk teknis (kaifiyat)
pengambilan zakat ini :
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Sawwad Al Mishri
berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb berkata, telah
mengabarkan kepadaku Sulaiman bin Bilal dari Syarik bin Abu Namir dari ‘Atha
bin Yasar dari Mu’adz bin Jabal bahwa
Rasulullah s.a.w. mengutusku ke Yaman dan bersabda kepadanya: “Ambillah biji
dari biji, domba dari kambing, unta dari unta dan sapi dari sapi.” (H.R.
Ibnu Majah No. 1804)
Namun Muadz bin Jabal r.a. melakukan inisiatif yang menyelisihi
perintah Rasulullah s.a.w ketika diutus ke Yaman. Ia memungut zakat berupa
tombak dan pakaian.
Dari Thawudz dari Mu’adz bin Jabal r.a. ia berkata : “Berikan
kepada saya tombak atau pakaian (yang mereka bikin sendiri) sebagai ganti
jagung dan gandum yang harus saya pungut dari kalian, jarena hal itu lebih
meringankan laian dan lebih bermanfaat bagi orang-orang Muhajirin di Madinah”
(Atsar R. Bukhari dan Baihaqi)
Secara sepintas Mu’adz telah menyelisihi perintah Rasul. Namun
Mu’adz berani melakukan modifikasi ini dengan pertimbangan bahwa maqoshid
syar’i dari zakat tetap terpenuhi yaitu untuk membersihkan dan mensucikan
harta, walaupun bentuknya tidak persis seperti perintah Rasulullah s.a.w.
Apakah hal ini ada dalilnya? Jelas tak ada dalil hadits yang memerintahkan
memungut dalam bentuk tombak dan pakaian. Namun apakah ini bid’ah yang dlolal?
Tentu saja bukan bid’ah. Apakah ini tetap tegak di atas sunnah? Tentu saja hal
ini termasuk tetap tegak di atas sunnah walaupun menyelisihi perintah
Rasululllah s.a.w. Terbukti Rasulullah s.a.w juga tidak menyalahkan Mu’adz.
4. Ammar
bin Yasir Mencampur Surat ini Dan Itu
Secara umum dikatakan di dalam Al-Qur’an bahwa :
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan suara
lembut. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang meampaui batas” (Q.S.
Al-A’raaf [7] : 55)
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara” (Q.S. Al-A’raaf [7] : 105)
Demikian pula di dalam hadits Rasulullah s.a.w. bersabda :
: Hai manusia
sesungghnya zat yang kamu seru itu tidak tuli dan tidak jauh, sesungguhnya
Tuhan yang kamu seru itu ada di antara kamu dan di antara leher kendaraan kamu (H.R. Bukhari Muslim)
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., dia berkata, Rasulullah s.a.w.
pernah beri’tikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara
bacaan al-Qur’an, lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda,
“Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian bermunajat kepada Rabb-nya.
Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah
sebagian mengangkat suara atas yang lainnya dalam membaca al-Qur’an.” (H.R.
Abu Daud)
Namun sahabat Umar bin Khattab r.a. punya alasan sendiri untuk
membaca Al-Qur’an dengan suara yang keras (disamping memang karakter Umar r.a.
yang garang dan keras). Lalu sahabat Ammar bin Yasr juga menyusun redaksi doa
sendiri dengan mencampur ayat ini dan ayat itu dari berbagai surat Al-Qur’an
Ali r.a. berkata : “Abu Bakar bila membaca Al-Qur’an dengan
suara lirih sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar bila membaca Al-Qur’an
mencampur surat ini dan itu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi s.a.w.
sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar : “Mengapa
kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab : “Allah dapat mendengar suaraku
walaupun lirih”. Lalu beliau bertanya kepada Umar: “Mengapa kamu membaca dengan
suara keras ?” Umar menjawab : “Aku mengusir setan dan menghilangkan kantuk”.
Lalu beliau bertanya pada Ammar : “Mengapa kamu mencampur surat ini dengan
surat itu?” Ammar menjawab : “Apakah engkau pernah mendengar aku mencampurnya
dengan selain Al-Qur’an?” Beliau s.a.w. menjawab : “Tidak” Lalu beliau bersabda
: “Semua itu baik” (H.R. Ahmad No. 865 ) Al-Haistami berkata isnad hadits
ini tsiqat / terpercaya (Majma’u Zawaid Juz 2 hal 544)
Namun kita lihat Rasulullah s.a.w. tidak menyalahkan ijtihad
para sahabatnya ini dan menganggap hal itu baik. Jika kita tanyakan : Apakah
hal ini pernah dilakukan Rasulullah s.a.w.? Jawabannya belum pernah, oleh
karena itulah Rasulullah s.a.w. mempertanyakan mengapa melakukan ini dan itu.
Dan belum pernah Rasulullah s.a.w. mengajarkan hal sedemikian itu. Maka dapat
kita katakan bahwa apa yang dilakukan sahabat ini adalah bid’ah (perkara baru)
dalam agama. Namun apakah mereka melakukan bid’ah yang dlolalah (sesat) atau
madzmumah (tercela)? Ternyata Nabi s.a.w. mengatakan “semuanya baik”. Berarti
ini adalah inovasi (muhdats) dalam agama yang masih dianggap baik (hasanah).
B. Modifikasi oleh Sahabat (Selain Khulafa’ur Rasyidin) Saat
Rasululah s.a.w. Sudah Wafat
Ada yang membantah perubahan kaifiyat (perincian teknis) ibadah
mahdhoh oleh sahabat dimungkinkan karena belum selesai masa penetapan syari’at,
yaitu karena Rasulullah s.a.w. masih hidup. Lalu apakah setelah
Rasulullah s.a.w wafat tidak pernah ada perubahan pada ibadah mahdhoh?
Ternyata pada masa berikutnya setelah Rasulullah s.a.w. wafat pun beberapa
sahabat melakukan modifikasi pada ibadah mahdhoh. Contoh sebagai berikut :
1. Ibnu
Umar r.a. Menambahkan Bacaan Tasyahud
Doa-doa yang dilafalkan selama sholat adalah telah jelas
ketentuan dan petunjuknya dari Rasulullah s.a.w. Sebagian ulama masa kini
mengatakan bahwa perubahan pada kaifiyat ibadah mahdhoh merupakan bid’ah yang
terlarang. Namun kenyataannya Ibnu Umar r.a. pernah menambahkan doa tasyahud
yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali telah menceritakan
kepadaku ayahku telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Bisyr aku
mendengar Mujahid menceritakan dari Ibnu Umar r.a. dari Rasulullah s.a.w.
tentang tasyahud, yaitu: “Attahiyyatu lillah Asshalawatut-thayyibat Assalamu
‘alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakatuh” Ibnu Umar berkata bahwa ana
zidtuha (aku menambahkan) “wahdahu la syarikalah wa asyhadu anna
muhammadan abduhu warasuluh”(tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah Rasulullah).” (H.R. Abu Daud No. 826)
Apakah masalah tasyahud masalah agama? Ya jelas bacaan sholat
adalah perkara agama. Apakah doa yang dibaca dalam sholat adalah masalah
kaifiyat ibadah? Ya jelas, itu adalah kaifiyat ibadah. Apakah hal ini belum ada
di jaman Nabi s.a.w.? Ya jelas belum ada. Berarti ini muhdats (perkara baru).
Lalu apakah muhdats ini ada landasannya dari kitabullah dan sunnah? Jawabannya
: tidak ada landasannya bahkan menyelisihi sabda Nabi s.a.w.
Lalu ada yang membantah : “Ah, itukan pendapat Ibnu Umar. r.a.
yang menjadi patokan adalah Nabi s.a.w” Kami katakan : Memang itu adalah yang
dilakukan Ibnu Umar r.a. Namun yang ingin kami tanyakan adalah : “Apakah
menurut Anda Ibnu Umar r.a. dalam hal ini telah melakukan bid’ah? Jika ya,
apakah Ibnu Umar r.a. telah melakukan bid’ah dlolalah? (sesat) dan masuk
neraka? Jika benar Ibnu Umar r.a. melakukan bid’ah namun tidak dlolal (sesat)
berarti ada bid’ah yang tidak sesat. Hal itu menunjukkan ada bid’ah yang hasanah.
Dan mengubah kaifiyat ibadah belum tentu otomatis sebagai bid’ah yang dlolal
(sesat).
2. Ibnu Umar Menambahkan Doa Talbiyah Ketika Haji
Haji Termasuk salah satu rukun Islam dan termasuk salah satu
ibadah mahdhoh. Maka menurut sebagian ulama, mengubah kaifiyat (perincian
teknis) tata cara pelaksanaan ibadah haji adalah terlarang dan bid’ah.
Namun dalam khazanah sejarah kita dapati bahwa Ibnu Umar r.a.
pernah menambahkan bacaan talbiyah dari apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah s.a.w.
Ibnu Umar r.a. meriwayatkan doa
talbiyah yang diajarkan Rasulullah s.a.w. adalah “Labaikallahumma labaik,
Labaika Laa Syarika laka labaik, Innal Hamda wa ni’mata laka wal mulk laa
syarikalak” Lalu Ibnu Umar (menambahi) berdoa : “Labaikalabaika wa saidaika wal
khairu biyadaik labaik warraghba’u ilaika wal ‘amal” (Atsar.R.
Bukhari Juz 2 Hal 170, Muslim No. 1184, Abu Daud No. 1812)
Dalam atsar Ibnu Umar r.a. di atas jelas bahwa Ibnu Umar
menambahkan doa karangan sendiri setelah doa talbiyah yang diajarkan oleh Rasulullah
s.a.w. tentu saja doa ini tidak ada pada masa Rasulullah s.a.w. Maka ini jelas
modifikasi atas kaifiyat ibadah yang telah jelas ada petunjuknya dari
Rasulullah s.a.w. Lalu apakah ini perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah ini
belum pernah dilakukan Nabi s.a.w.? Jawab : Ya, belum pernah. Lalu apakah ini
ada landasan dalilnya? Jawabnya : Tidak, ini adalah inisiatif Ibnu Umar r.a.
Lalu apakah ini bid’ah yang dlolalah? Jawabnya : Jika Ibnu Umar r.a. melakukan
bid’ah dlolalah berarti ia sesat dan masuk neraka, padahal ia adalah salah satu
sahabat yang dijamin masuk surga.
3. Abu Hurairah Berwudlu Karena Makan Keju / Susu Kering
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan
kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Umar bin Abdul Aziz dari Ibrahim bin
Abdullah bin Qarizh, dia berkata: “Saya bertemu dengan Abu Hurairah yang
sedang berwudlu, maka dia berkata; “Apakah kamu tahu kenapa saya berwudlu
setelah memakan sepotong susu kering? sesungguhnya saya mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Berwudhulah kalian dari apa saja yang tersentuh oleh api.”
(H.R. Ahmad No. 7287)
Hal di atas adalah pendapat Abu Hurairah r.a. karena pernah
mendengar sabda Rasulullah s.a.w. demikian. Namun mungkin Abu Hurairah belum
pernah mendengar bahwa tidak semua makanan yang dibakar harus berwudlu,
terbukti untuk kambing bakar tidak perlu berwudlu.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Fudhail bin Husain
al-Jahdari telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Utsman bin Abdullah
bin Mauhab dari Ja’far bin Abi Tsaur dari Jabir bin Samurah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah s.a.w. “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing?”
Beliau menjawab, “Jika kamu berkehendak maka berwudhulah, dan jika kamu tidak
berkehendak maka janganlah kamu berwudhu.” Dia bertanya lagi, “Apakah harus
berwudhu disebabkan (makan) daging unta?” Beliau menjawab, “Ya. Berwudhulah
disebabkan (makan) daging unta.” (H.R.
Muslim No. 539)
dari Ibnu Al Munkadir dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dari
Jabir, sesungguhnya Nabi s.a.w. makan daging kemudian sholat dengan tidak
berwudlu lagi. Abu Bakar makan daging kemudian sholat tanpa berwudlu lagi.
‘Umar makan daging kemudian sholat tanpa berwudlu lagi. (H.R. Ahmad No.
13780)
Maka mana saja dari perkara ini adalah memiliki landasan syar’i
dan baik yang berwudlu maupun tidak berwudlu keduanya bisa diakatakan berada di
atas sunnah.
4. Mu’awiyah r.a. Membatalkan Qishash Orang Gila Yang Membunuh
Secara umum dikatakan bahwa orang membunuh tanpa haq harus
dikenai hukuman qishash, yaitu dibalas sesuai perbuatannya kecuali ahli waris
korban setuju menerima diyat (denda atau tebusan) Namun Mu’awaiyah pernah
membatalkan hukuman qishash karena diduga pembunuhnya adalah orang gila
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa’id
bahwa Marwan bin Al Hakam menulis surat kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, bahwa
pernah dihadapkan kepada orang gila yang telah membunuh seseorang. Maka
Mu’awiyah menjawab; “Ikatlah dia dan jangan engkau balas semisal dengan
perbuatannya, karena orang gila itu tidak boleh diqishas.” (H.R. Imam Malik
dalam Muwatha’ No. 1340)
5. Ibnu Umar r.a. Mengunjungi Muhashib Sebagai Sunnah Dalam Berhaji
Dalam berbagai hadits diceritakan bahwa ketika Rasulullah s.a.w
melaksanakan haji, beliau berkunjung ke Muhashib
Telah menceritakan kepada kami Ashbagh bin Al Faraj telah
mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb dari ‘Amru bin Al Harits dari Qatadah bahwa
Anas bin Malik radliallahu ‘anhu menceritakan kepadanya bahwa Nabi s.a.w. melaksanakan
shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya’ kemudian Beliau tidur sejenak di Al
Muhashib (tempat melempar jumrah di Mina) lalu Beliau menunggang tunggangannya
menuju ke Ka’bah Baitullah lalu thawaf disana“. (H.R. Bukhari No. 1637 dan
No. 1643)
Maka hal ini diikuti oleh Umar bin Khattab r.a. dan juga Ibnu
Umar r.a. mereka berdua mengangap hal ini sebagai bagian dari sunnah Rasul
dalam melaksanakan haji
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdul Wahhab telah
menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits berkata; ‘Ubaidullah ditanya
tentang Al Muhashshab”. Maka ‘Ubaidullah menceritakan kepada kami dari Nafi’
berkata: “Rasulullah s.a.w. pernah berhenti singgah disana, begitu juga
‘Umar dan Ibnu ‘Umar”. Dan dari Nafi’ bahwa Ibnu’Umar r.a. pernah di sana,
yaitu di Al Muhashshab, shalat Zhuhur, dan ‘Ashar”. Dan aku (Nafi) menduga dia
berkata: “dan shalat Maghrib.” Khailid berkata: “Aku tidak meragukan tentang
shalat ‘Isya’, lalu dia tidur sejenak disana”. Lalu dia menyebutkan bahwa hal
itu dari Nabi s.a.w. (H.R. Bukhari No. 1647)
Namun Aisyah r.ah. mengatakan bahwa hal itu bukanlah merupakan
bagian dari rukun haji
Aisyah r.ah. berkata : “Al Muhashshab bukan lah apa-apa ia
adalah tempat yang pernah dikunjungi Rasulullah s.a.w. maksudnya agar lebih
mudah untuk keluar dari kota Madinah karena tempat itu luas dan ramai” (Atsar R. Bukhari)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah,
ia berkata; “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. singgah di Al Muhashshab agar
beliau mudah untuk keluar, hal tersebut bukanlah perkara yang sunnah. Maka
barangsiapa yang ingin singgah padanya, ia boleh singgah, dan barangsiapa yang
tidak ingin singgah padanya, maka ia boleh tidak singgah”. (Atsar. R. Abu
Daud No. 1717)
Namun kita tetap menghargai pendapat Umar bin Khattab r.a.
dan Ibnu Umar r.a.
6. Ibnu Mas’ud Membolehkan Hibah Lebih Dari Sepertiga Harta
Telah mafhum di kalangan kaum muslimin bahwa hibah yang
diperbolehkan maksimalkan adalah 1/3 dari keseluruhan harta dan tidak boleh
lebih dari itu, karena akan menyisakan sedikit sekali bagi ahli waris.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abu
Waqash dari bapaknya r.a. berkata; Rasulullah s.a.w. pernah mengunjungiku pada
hari Haji Wada’ (perpisahan) saat sakitku sudah sangat parah, lalu aku berkata:
” Sakitku sudah sangat parah (menjelang kematianku) dan aku banyak memiliki
harta sedangkan tidak ada yang akan mewarisinya kecuali anak perempuanku.
Bolehkah aku menyedekahkan sepertiga dari hartaku ini?. Beliau menjawab: “Tidak
boleh”. Aku katakan lagi: “Bagaimana kalau setengahnya?”. Beliau menjawab:
“Tidak boleh”. Kemudian Beliau melanjutkan: “Sepertiga dan sepertiga itu sudah
besar atau banyak. Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan berkecukupan (kaya) itu lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka
serba kekurangan sehingga nantinya mereka meminta-minta kepada manusia. (H.R. Bukhari No. 1213)
Namun Ibnu Hazm dalam Kitab Al-Muhalla mengatakan bahwa Ibnu
Mas’ud r.a. membolehkan hibah lebih dari sepertiga harta. Dan pendapat ini juga
diikuti oleh Ubaidah Al Salmani (Al-Maqoshid Al Syari’ah Al- Islamiyyah Hal
30-39)
7. Shalawat Karangan Abdullah bin Mas’ud r.a.
Bacaan shalawat adalah sesuatu yang sudah jelas petunjuknya dari
Nabi s.a.w. terdapat sekitar 3 atau 4 variasi pilihan bacaan shalawat yang
diajarkan Nabi s.a.w. Namun Dalam sebuah atsar sahabat diceritakan Abdullah bin
Mas’ud r.a. menyusun doa shalawat sendiri
Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Bayan berkata,
telah menceritakan kepada kami Ziyad bin Abdullah berkata, telah menceritakan
kepada kami Al Mas’udi dari Aun bin Abdullah dari Abu Fakhitah dari Al Aswad
bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata; “Jika kalian membaca shalawat
kepada Rasulullah s.a.w. maka baguskanlah, sebab kalian tidak tahu, bisa jadi
shalawat itu dihadirkan di hadapannya (Rasulullah). ” Al Aswad berkata;
“Orang-orang pun berkata Abdullah bin Mas’ud, “Ajarkanlah kepada kami, ” Abdullah
bin Mas’ud berkata; “Bacalah; ALLAHUMMA IJ’AL SHALAATAKA WA RAHMATAKA WA
BARAKA’ATIKA ‘ALA SAYYIDIL MURSALIIN WA IMAAMIL MUTTAQIIN WA KHAATAMIN NABIYYIN
MUHAMMADIN ‘ABDIKA WA RASUULIKA IMAAMIL KHAIRI WA QAA`IDIL KHAIRI WA RASUULIR RAHMAH.
ALLAHUMMAB’ATSHU MAQAAMAN MAHMUUDAN YAGHBITHUHU BIHIL AWWALIIN WAL AKHIRIIN.
ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMADIN WA ‘ALA ALI MUHAMMADIN KAMAA SHALLAITA ‘ALA
IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALA
MUHAMMAD WA ‘ALA ALI MUHAMMADIN KAMAA BAARAKTA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM
INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN (Ya Allah, jadikanlah shalawat, rahmat dan berkah-Mu
kepada pemimpin para Nabi yang diutus, imam orang-orang yang bertakwa dan
penutup para Nabi, Muhammad, hamba dan rasul-Mu. Seorang imam dan pemimpin
kebaikan, serta rasul pembawa rahmat. Ya Allah, bangkitkanlah ia pada kedudukan
yang terpuji, kedudukan yang menjadikan iri orang-orang terdahulu dan yang akan
datang. Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana
Engkau memberi shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau
Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya
sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. ” (Atsar .R. Ibnu Majah No. 896
Thabrani dalam Mu’jam Kabir Juz 9 Hal 115, Imam Abdurrazzaq No. 3109, Imam Abu
Ya’la No. 5267)
Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini dla’if karena
Ziyad bin Abdullah bin Ath-Thufail dikatakan dla’if oleh Nasa’i serta Abu Hatim
mengatakan hadits Ziyad tidak bisa dijadikan hujah. Namun atsar Ibnu Mas’ud ini
dijadikan hujjah oleh Ibnul Qoyyim (murid Ibnu Taimiyyah) dan disebutkan dalam
Kitab Jada’ Al-Afham Hal 36 dan Hal 72.
8. Shalawat Karangan Abdullah bin Abbas r.a.
Dari Ibnu Abbas r.a. : “Apabila
membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. beliau berkata : ‘Ya Allah kabulkanlah
syafaat Muhammad yang agung, tinggikan derajatnya yang luhur, dan berilah
permohonannya di dunia dan di akhirat sebagaimana Engkau kabulkan permohonan
Ibrahim dan Musa” (Atsar Riwayat Abdullah bin Humaid, Imam Abdurrazzaq
dalam Mushannaf No. 3104, Ismail Al Qadhi, Atsar ini juga disebutkan oleh Ibnul
Qoyyim dalam Kitab Jada’ Al-Afham Hal 76)
9. Perubahan Lafadz Adzan Oleh Ibnu Abbas
Bacaan adzan adalah sesuatu yang sudah jelas petunjuknya dari
Nabi s.a.w. Namun Dalam sebuah atsar sahabat diceritakan Ibnu Abbas r.a.
berinisiatif sendiri ketika saat cuaca atau situasi tidak memungkinkan untuk
shalat di masjid, justru menyerukan agar orang shalat di rumah, dan lafal ini
disisipkan pada adzan.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah
menceritakan kepada kami Hammad dari Ayyub dan ‘Abdul Hamid sahabat Az Zayadi,
dan ‘Ashim Al Ahwal dari ‘Abdullah bin Al Harits berkata, “Pada suatu hari
ketika jalan penuh dengan air dan lumpur (becek) akibat hujan, Ibnu ‘Abbas r.a.
pernah menyampaikan khuthbah kepada kami. Ketika
mu’adzin sampai pada ucapan: ‘Hayya ‘Alash shalaah (Marilah mendirikan shalat)
‘ ia perintahkan mu’adzin tersebut untuk menyerukan: ‘Shalatlah di tempat
tinggal masing-masing’. Lalu orang-orang saling memandang satu sama lain karena
heran. Maka Abdullah bin Al Harits pun berkata, “Hal yang demikian ini pernah
dilakukan oleh orang yang lebih baik darinya, dan itu merupakan kewajiban
Mu’akkad (yang ditekankan).”
(Atsar Riwayat Bukhari 581)
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdul Wahhab
berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid berkata, telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul Hamid sahabatnya Az Zayadi, ia berkata, aku
mendengar ‘Abdullah bin Al Harits berkata, “Pada suatu hari ketika jalan
penuh dengan air dan lumpur akibat hujan, Ibnu ‘Abbas menyampaikan khuthbah
kepada kami. Saat mu’adzin mengucapkan ‘Hayya ‘Alashshalaah’ (Marilah mendirikan
shalat) ia perintahkan kepadanya untuk mengucapkan: ‘Shalatlah di tempat
tinggal masing-masing’. Maka orang-orang pun saling memandang satu sama lain
seakan mereka mengingkarinya. Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Seakan kalian
mengingkari masalah ini. Sesungguhnya hal yang demikian ini pernah dilakukan
oleh orang yang lebih baik dariku, yakni Nabi s.a.w.. Dan sesungguhnya itu
merupakan keringanan (‘azimah) dan aku enggan untuk mengungkapkannya kepada
kalian.” Dan dari Hammad dari ‘Ashim dari ‘Abdullah bin Al Harits dari Ibnu
‘Abbas seperti itu. Hanya saja ia menambahkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Aku
tidak mau untuk membuat kalian berdosa, kalian mendatangi shalat sementara
lutut kaki kalian penuh dengan lumpur.” (H.R. Bukhari No. 628)
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah
menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Abdul
Hamid sahabatnya Az Ziyadi, berkata; telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah
bin Al Harits anak pamannya Muhammad bin Sirin, Ibnu ‘Abbas berkata kepada
Mu’adzinnya saat hari turun hujan, “Jika kamu sudah mengucapkan ‘ASYHADU
ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH’, janganlah kamu sambung dengan HAYYA ‘ALASHSHALAAH
(Marilah mendirikan shalat) ‘. Tapi serukanlah, ‘SHALLUU FII BUYUUTIKUM
(Shalatlah di tempat tinggal masing-masing) ‘.” Lalu orang-orang seakan
mengingkarinya. Maka Ibnu ‘Abbas pun berkata, “Sesungguhnya hal yang demikian
ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya shalat
Jum’at adalah kewajiban dan aku tidak suka untuk mengeluarkan kalian, sehingga
kalian berjalan di tanah yang penuh dengan air dan lumpur.” (H.R. Bukhari
No. 850)
Lafadz adzan seperti ini pernah dilakukan Rasulullah s.a.w.
namun mungkin banyak orang tidak mengetahuinya sehingga hal ini dianggap
sebagai bid’ah
10. Doa Buka Puasa Karangan
Abdullah bin Amru Al Ash r.a.
Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah
menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada
kami Ishaq bin Ubaidullah Al Madini ia berkata; aku mendengar Abdullah bin Abu
Mulaikah berkata; aku mendengar Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash ia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sungguh orang yang berpuasa mempunyai do`a yang dikabulkan dan tidak akan
ditolak tatkala berbuka puasa. ” Ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku mendengar
Abdullah bin Amru berdo`a saat berbuka puasa, “ALLAHUMMA INNI AS`ALUKA
BIRAHMATIKAL LATII WASI’AT KULLA SYAI’IN AN TAGHFIRA LII (Ya Allah,
sesungguhnya aku meminta-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi setiap sesuatu, agar
Engkau mengampuniku). ” (H.R.
Ibnu Majah No. 1743) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if. Namun
banyak ahli hadits lain menshahihkan hadits ini. Hisyam bin Ammar dinyatakan
shaduuq (jujur) oleh Ibnu Hajar Asqolani dan Daruquthni. Bahkan Yahya bin Ma’in
yang terkenal ketat dalam penilaian rawi mengatakan ia tsiqoh. Al Walid bin
Muslim dinyatakan shahih oleh Ibnu Hajar Asqolani dan Abu Hatim. Ishaq bin
Ubaidillah dinyatakan maqbul oleh Ibnu Hajar Asqolani. Abdullah bin Ubaidillah
bin Mulaikah dinyatakan tsiqoh faqih oleh Ibnu Hajar Asqolani
11. Muawiyah r.a. Shalat Witir
Selalu Hanya Satu Rakaat
Telah bercerita kepada kami Ibnu Abu Maryam telah bercerita
kepada kami Nafi’ bin ‘Umar telah bercerita kepadaku Ibnu Abu Mulaikah; “Pernah
ditanyaan kepada Ibnu ‘Abbas, apakah anda punya pendapat tentang amirul
mu’minin, Mu’awiyah, yang tidak shalat witir kecuali satu raka’at?”. Ibnu
‘Abbas menjawab; “Dia benar, karena dia seorang yang faqih (faham agama) “.
(H.R. Bukhari No. 3481)
Lihatlah bagaimana Ibnu Abbas r.a. ber-husnudzhon dan mengatakan
bahwa shahabat Nabi s.a.w. Mu’awiyah adalah orang yang faham agama walaupun ia
melakukan shalat witir mengkhususkan diri hanya 1 rakaat. Orang jaman sekarang
mungkin berpendapat Mu’awiyah melakukan bid’ah karena Rasulullah s.a.w. tidak
pernah mengkhususkan diri shalat witir selalu hanya 1 rakaat.
12. Khalid bin Walid r.a.
Menolak Memberikan Harta Salab
Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa orang yang membunuh musuh dan
memiliki saksi atau bukti bahwa dialah yang membunuhnya maka ia berhak atas
harta yang melekat pada musuh tersebut. Hal ini disebut sebagai salab.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi,
dari Malik dari Yahya bin Sa’id dari Umar bin Katsir bin Aflah, dari Abu
Muhammad, mantan budak Abu Qatadah, dari Abu Qatadah, ia berkata : “Beliau
s.a.w. mengatakan: “Barangsiapa yang membunuh seseorang dengan memiliki bukti
maka baginya salabnya (segala yang melekat pada tubuhnya).” Abu Qatadah
berkata; lalu aku berdiri kemudian aku katakan; siapakah yang memberikan persaksian
untukku? Kemudian aku duduk, lalu beliau mengatakan hal tersebut yang kedua
kalinya: “Barangsiapa yang membunuh seseorang dengan memiliki bukti, maka
baginya salabnya (segala yang melekat pada tubuhnya).” (H.R. Abu Daud
No. 2342)
Nabi s.a.w. bersabda : barang
siapa membunuh orang kafir dalam peperangan maka harta yang dibawa atau dipakai
oleh orang kafie tersebut adalah haknya (H.R.
Muslim Juz III Hal. 1371)
Namun dalam sebuah kasus Khalid bin Walid menganggap harta salab
itu terlalu banyak dan menyita sebagian harta itu. Orang-orang memprotes
tindakan Khalid bin Walid dan menganggapnya menyalahi sabda Rasulullah s.a.w.
hingga akhirnya hal ini diadukan ke Rasulullah s.a.w. Pada awalnya Rasulullah
s.a.w. memerintahkan Khalid mengembalikan harta salab itu namun akhirnya
Rasulullah s.a.w. mendiamkan hal ini dan menganggap hal ini sebagai masalah
yang masih keruh (khilafiyah) dan adalah hak seorang pemimpin untuk berijtihad
sesuai situasi dan kondisi.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, ia
berkata; telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim, ia berkata; telah
menceritakan kepadaku Shafwan bin ‘Amr dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair,
dari ayahnya dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i, ia berkata : “Aku keluar
bersama Zaid bin Haritsah pada perang Mu’tah. Kemudian aku disertai bala
bantuan dari penduduk Yaman dengan hanya membawa pedangnya. Kemudian salah
seorang muslim menyembelih unta dan seorang bala bantuan meminta kulit unta
tersebut, kemudian ia memberikan kepadanya. Lalu orang-orang tersebut
menjadikannya seperti tameng. Dan kami berjalan dan bertemu dengan orang-orang
Romawi, dan diantara mereka terdapat seorang laki-laki yang menunggang kuda
berwarna blonde padanya terdapat pelana emas serta senjata yang dilapisi emas.
Kemudian orang Romawi tersebut menyerang muslimin dengan tiba-tiba. Kemudian
seorang bala bantuan tersebut menunggunya di balik batu besar, kemudian orang
Romawi tersebut lewat, lalu orang bala bantuan tersebut memotong kaki kudanya,
maka orang Romawi tersebut terjatuh dan salah seorang bala bantuan tersebut
membunuhnya dan mengumpulkan kuda serta senjatanya. Kemudian tatkala Allah
‘azza wajalla memenangkan untuk orang-orang muslim, khalid bin Al Walid
mengirim utusan kepadanya dan mengambil sebagian dari salab tersebut. ‘Auf
berkata; kemudian aku mendatangi Khalid dan berkata; wahai Khalid, bukanlah
engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. memutuskan bahwa salab adalah
untuk orang yang yang membunuh? Ia berkata; benar. Akan tetapi aku menganggapnya
terlalu banyak. Maka aku katakan; sungguh engkau kembalikan kepadanya aku akan
memberitahukanmu di hadapan Rasulullah s.a.w.. Kemudian ia enggan untuk
mengembalikannya. ‘Auf berkata; kemudian kami berkumpul di sisi Rasulullah
s.a.w., lalu aku ceritakan kisah orang bantuan tersebut kepada beliau dan apa
yang dilakukan Khalid. Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata: “Wahai Khalid apa
yang mendorongmu untuk melakukan apa yang telah engkau perbuat?” ia berkata;
wahai Rasulullah, sungguh aku menganggapnya sudah terlalu banyak. Kemudian
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Wahai Khalid, kembalikan kepadanya apa yang telah
engkau ambil!” Lalu aku katakan kepadanya; sebentar wahai Khalid, bukankah aku
telah memenuhi janjiku kepadamu? Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata; apakah itu?
Kemudian aku beritahukan kepada beliau. Kemudian Rasulullah s.a.w. marah dan
berkata: “Wahai Khalid, jangan engkau kembalikan kepadanya! Apakah kalian akan
meninggalkan para pemimpinku? Kalian mendapatkan urusan mereka yang telah
bersih dan bagi mereka urusan yang masih keruh.” (H.R. Abu Daud No. 2344)
Hadits ini dinyatakan shahih oleh Nashiruddin Al-Albani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar