PEMBAHASAN
MASALAH BID’AH
MAKNA BID’AH SECARA BAHASA
Pembahasan
mengenai apa itu bid’ah sudah menjadi tema pembahasan ulama sejak dahulu kala.
Namun belum pernah sesemarak masa kini terutama karena munculnya sikap orang
yang berlebih-lebihan dalam masalah bid’ah ini. Sedangkan dunia internet
semakin memudahkan siapa saja menulis apa saja baik, sehingga setiap orang
menjadi terlibat dalam diskusi yang hangat dalam persoalan ini.
Dalil
tentang bid’ah biasanya mengambil keumuman makna dari hadits ini :
“Barangsiapa
mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan kita (agama) yang bukan dari
ajaranku maka akan tertolak” (H.R. Muslim)
Masalah
bidah harus dibahas dengan hati-hati dan teliti, sebab hal ini sering
menimbulkan petaka saling menuduh pihak lain sebagai ahlul bid’ah atau mubtadi’
(orang yang melakukan bid’ah). Orang seringkali menggampangkan (simplifikasi)
dan mengeneralisir (menyamaratakan atau peribahasa jawanya gebyah uyah).
Pokoknya segala sesuatu yang tidak ada pada kaman Nabi, itu dianggap bid’ah.
Bahkan
tidak jarang, saling tuduh bid’ah ini berujung pada menganggap pihak lain sesat
dan kafir. Nah, kalau sudah menyentuh masalah kafir mengkafirkan (takfir)
maka hal ini sangat berbahaya karena :
“Barang
siapa menuduh seorang mukmin sebagai kafir dan ternyata tuduhannya tidak benar,
maka kekafiran itu akan berbalik kepadanya” (H.R. Bukhari Muslim)
Orang
yang melanjutkan tuduhan bid’ah menjadi kafir juga berangkat dari sikap
mengeneralisasi dalil hadits ini :
“Tiap-tiap
yang diada-adakan adalah bid’ah dan tiap bid’ah adalah sesat dan tiap kesesatan
menuju pada neraka” (H.R. Muslim)
Pertama-tama,
harap dibedakan antara makna harfiah secara lughoh (tata bahasa / kamus)
dengan dalil dan makna secara istilah dengan maksud yang spesifik (atau
ada yang menyebutnya makna syariat)
Jika
dicermati dengan kepala dingin, perdebatan masalah bid’ah ini sebagiannya
berakar dari bercampur aduknya penempatan makna harfiah dan makna istilah.
Perbedaan pandangan dalam masalah bid’ah juga berawal dari belum disepakatinya
apakah kata “bid’ah” dalam hadits “kullu bid’atin dlalalah” itu bermakna umum
seluas-luasnya (lafadz ‘aam)? Jika bermakna umum berarti mengambil pada makna
harfiahnya. Ataukah kata “bid’ah” di sini bermakna khusus / terbatas? (lafadz
khas)? Jika bermakna khusus dengan maksud terbatas berarti kita mengambil makna
secara istilah. Ataukah ada yang berkata bahwa ia adalah kalimat umum yang
maksudnya terbatas (‘aam makhshush). Kesepakatan mengenai hal ini sangat
penting terkait pembahasan selanjutnya dalam masalah bid’ah. Jika dari awal
saja di sini sudah tidak sepakat, maka selanjutnya pun tidak akan pernah
sepakat, dan masing-masing berpijak pada rel-nya sendiri-sendiri.
Makna Bid’ah Secara Harfiah
Secara
etimologi, lughowiy (bahasa), secara leksikon (kamus) atau secara harfiah
atau makna hakiki, kata bid’ah bisa kita lihat sebagai berikut :
a. Mencipta
Menciptakan
berbeda dengan membuat. Menciptakan artinya mengadakan dari sesuatu yang
semula tidak ada atau dari tiada menjadi ada sedangkan membuat adalah
mengadakan sesuatu dari apa-apa yang ada sebelumnya. Makna bid’ah sebagai
mencipta digunakan pada kata “badi’u” dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
Badiiu’
as-samaawaati wal ardli (Allah pencipta langit dan bumi) (Q.S. Al-Baqarah [2] : 117)
Badiiu’
as-samaawaati wal ardli (Allah pencipta langit dan bumi) (Q.S. Al-An’aam [6] : 101)
b. Memulai
Dalam
ayat lainnya Allah SWT menggunakan kata “bada’na” dengan arti Kami memulai
Kamaa
bada’na awwala kholqin nu’iiduh (Sebagaimana
Kami memulai penciptaan pada pertama kalinya, maka (begittu pula) Kami
mengulanginya lagi) (Q.S. Al-Anbiya [21] :104)
Dalam
ayat lainnya Allah SWT menggunakan kata “bada-a” dengan arti “memulai”
Fanzhuruu
kaifa bada-a kholqo (perhatikanlah bagaimana kami memulai penciptaan makhluk
yang baru) (Q.S. Al-Ankabut [29] : 20)
Wa
bada-a kholqo insaani min thiin (dan
Dia memulai penciptaan manusia dari tanah) (Q.S. As-Sajdah [32]:7)
Kamaa
bada-akum ta’uuduun (sebagaimana
Kami memulai penciptaan kalian (begitu pula) kami akan mengembalikan kalian)
(Q.S. Al-A’raaf [7] : 29)
Wa
hum bada-ukum awwala marratin (Dan mereka memulai memerangi kalian
pertama kali) (Q.S.
At-Taubah [9] : 13)
Ar-Raghib
al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh Al-Qur’an, menuliskan sebagai
berikut: “Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan
mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka
maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa
dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja.
Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang
baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah
Pencipta langit dan bumi…”. (Mu’jam Mufradat Alfazh Al-Qur’an, Hal. 36)
c. Pertama Ada
Pengertian
yang sama digunakan pada ayat Al-Qur’an dengan kata “bid’an” yang berarti “yang
pertama kali ada” : Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli (Katakanlah :
‘Aku bukanlah rasul yang pertama ada di antara rasul-rasul lainnya)”. (Q.S.
Al-Ahqaf [46] : 9)
Ar-Raghib
al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, berkata Kata
al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis).
Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian juga kata al-Bid’u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’,
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul
(obyek). Firman Allah dalam Q.S. Al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul),
menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul
pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan
dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah:
“Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa
yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat
Alfazh Al-Qur’an, Hal. 36)
d. Urusan Yang Baru
Dalam
kamus Al-Muhith Juz III hal 3 disebutkan bid’ah maknanya “Amrulladzi yakuunu
awwalan” (suatu urusan baru yang baru pertama kali ada).
Imam
Ibnu Mandzur, di dalam Kitab Lisaan al-‘Arab menyatakan; bada’a al-syai` :
yabdi’uhu bid’an wa ibtada’a– ansya`ahu wa bada`ahu (mengadakan dan
mengawalinya). wa al-badii’ wa al-bid’u – al-syai` alladziy yakuun awwalan
(suatu perkara yang menjadi pertama kali).
Secara
bahasa dalam kamus Al-Munawwir hal 65 dikatakan badi’atau bida’ artinya
adalah (1) tidak mengherankan sebagaimana orang berkata laa bid’a sama dengan
laa ‘ajiib. (2) tubuh berisi padat bad’u artinya badanul ma’talu. (3) Yang
pertama kali melakukan sebagaimana orang mengatakan “huwa bid’u fiil amri” (dia
yang pertama kali melakukan) (4) bid’atun artinya perkara baru dalam agama. (5)
madzhabu jadiid madzhab baru (6) ciptaan baru sebagaimana maa uhditsu laa ‘alaa
mitsalu sabiq
e. Tidak Ada Contoh
Sebelumnya
Dalam
kamus Al Munjid disebutkan makna “bid’ah” adalah “maa uhditsa ‘alaa ghoiri
mitsali sabiq” (apa-apa hal baru yang tidak ada semisalnya sebelumnya).
Dalam kamus Mu’tamad dikatakan makna “bid’ah” secara lughoh adalah “ihtaro
‘ahu wa ansya’ahu laa ‘alaa mitsal” (mengadakan dan membuat suatu hal baru
tanpa ada contoh semisalnya). Di dalam kamus Mukhtaar Ash-Shihah disebutkan; ibtada’a
al-syai`a : ikhtara’ahu laa ‘ala mitsaal (menciptakan sesuatu yang
sebelumnya tidak ada)
Secara Bahasa , Semua Hal Baru Yang Tidak Ada Pada Jaman Nabi
s.a.w. Disebut Bid’ah
Dari
uraian di atas kita memahami bahwa “secara bahasa” atau “lughoh” atau secara
harfiah, segala sesuatu yang baru, yang tadinya tidak ada, yang tidak ada
contoh sebelumnya, yang tak ada hal semisal itu sebelumnya, semuanya disebut
bid’ah.
Jika
kita ambil pengertian bid’ah “secara bahasa” ini, maka semua yang tidak ada
pada jaman Rasulullah s.a.w. dan semua yang tidak ada contohnya dari Rasulullah
s.a.w. boleh disebut bid’ah. Maka secara bahasa pula, semua hal yang tidak ada
sebelumnya pada masa Nabi s.a.w. baik urusan agama maupun bukan agama, baik
urusan ibadah maupun bukan ibadah, baik urusan duniawi maupun akhirat.
Siapa
bilang bid’ah meliputi urusan ibadah maupun bukan ibadah? Buktinya adalah
Al-Qur’an
sendiri
yang menggunakan kata bid’ah untuk masalah non ibadah. Saking “segala
sesuatunya” bahkan Allah menciptakan langit dan bumi pun disebut dengan
“badi’u” akar kata yang sama dengan bid’ah, demikian pula persangkaan orang
kafir bahwa kerasulan Muhammad s.a.w. baru pertama kali diada-adakan pun
disebut bid’ah.
Maka
dari itulah para ulama pun sepakat bahwa secara akar kata, secara bahasa,
secara lughoh atau secara harfiah makna bid’ah adalah “hal yang baru”.
Ibnu
Hajar Asqolani berkata : “Dari segi bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang
dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya ” (Fathul Bari’ Juz 4 Hal 253)
Imam
Shan’ani mengatakan : “Menurut bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa contoh sebelumnya..” (Subulus Salam Juz 2 Hal 48)
Ahdats dan Muhdats
Salah
satu petunjuk / pertanda (qorinah) penguat bahwa makna bid’ah secara “bahasa”
atau “lughoh” adalah “segala hal yang baru” yaitu digunakannya istilah “ahdats”
Rasulullah
s.a.w. bersabda : “Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah
dan sebaik-baik jalan hidup adalah jalan hidup Muhammad , Wa syarra umuri
muhdatsatuha (sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah perkara baru), wa
kulla muhdatsatin bid’ah (dan semua perkara baru adalah bid’ah) wa kulla
bid’atin dlolalah (dan semua bid’ah adalah sesat) wa kulla dlolalatin fii naar
(dan semua yang sesat di dalam neraka) “(H.R. Muslim)
Pada
hadits di atas terdapat isyarat yang jelas pada perkataan bahwawa kulla
muhdatsatin bid’ah hal ini menunjukkan bahwa “bid’ah”
adalah “ahdats” dan “ahdats” adalah sama dengan “bid’ah” maka dalam berbagai
hadits banyak digunakan kata “ahdats” ini sebagai kata lain dari bid’ah
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Ibrahim
at-Taimiy dari bapaknya dari ‘Ali r.a. berkata: “Tidak ada sesuatu yang kami
miliki kecuali Kitabullah dan ash-shahifah (lembaran-lembaran hadits) ini, dari
Nabi s.a.w. bersabda: “Madinah adalah tanah suci yang wilayahnya antara gurun
sahara hingga ini. Maka barangsiapa yang berbuat perkara baru yang baru (man
ahdatsa hadatsan) atau membantu orang berbuat muhdats (perkara baru) maka orang
itu akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia dan
tidak akan diterima darinya amalan ‘ibadah wajib dan sunnahnya” (atau
taubat dan tebusannya). (H.R. Bukhari No. 1737)
Makna
“ahdats” adalah fi’il (kata kerja) yang artinya “membuat hal baru” dan
“muhdats” adalah “orang yang membuat perkara baru”. Dalam berbagai hadits
digunakan kata ahdats dan muhdats sebagai ganti kata “bid’ah”. Jadi bid’ah dan
ahdats maknanya adalah sama
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada
kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin
Yazid ia berkata; telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma’dan ia berkata;
telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr
Beliau s.a.w. mengatakan: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada
Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang
budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan
sunahku, sunah para khalifah yang lurus yang mendapat petunjuk (khulafaur
rasyidah), berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.
Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap
perkara yang baru adalah bid’ah dan setaip bid’ah adalah sesat.” (H.R. Abu
Daud No. 3991)
Telah
menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas telah menceritakan kepada kami
Syu’bah telah mengabarkan kepada kami Amru bin Murrah, aku mendengar Murrah Al
Hamdani berkata, Abdullah (bin Mas’ud) berkata, “Sebaik-baik pembicaraan
adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad s.a.w. ,
dan seburuk-buruk perbuatan adalah perkara baru (muhdatsatuha), ” kemudian
beliau mengutip ayat: ‘(Apa yang dijanjikan untuk kalian pasti akan datang) ‘
(Qs. Al an’aam: 134). (Atsar .R. Bukhari No. 6735)
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid bin Maimun Al Madani Abu Ubaid
berkata, telah menceritakan kepada kami bapakku dari Muhammad bin Ja’far bin
Abu Katsir dari Musa bin ‘Uqbah dari Abu Ishaq dari Abul Ahwash dari Abdullah
bin Mas’ud berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Keduanya merupakan
perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan adalah kalamullah, dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Ketahuilah, jangan kalian
membuat perkara-perkara baru (muhdats). Sesungguhnya seburuk-buruk perkara
adalah hal-hal baru dan setiap hal baru (muhdats) adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat.” (H.R. Ibnu Majah No. 45)
Maka
secara bahasa makna bid’ah adalah “muhdats” yaitu sesuatu yang baru diadakan
tanpa contoh sebelumnya.
MAKNA BID’AH SECARA KHUSUS
(SETELAH DITAKHSISH)
Setelah
kita memahami makna “bid’ah” secara bahasa, maka kita harus melangkah pada
pembahasan makna bid’ah secara istilah. Mengapa? Karena jika kita berdiam pada
makna harfiyah saja maka semua hal yang baru (apapun tanpa kecuali) akan
disebut bid’ah padahal dlaam hadits dikatakan setiap bid’ah adalah
sesat dan setiap yang sesat berada di neraka. Berarti semua hal yang baru
(apapun tanpa kecuali) adalah sesat dan masuk neraka. Tentu ini tidak masuk di
akal karena peradaban umat Islam akan mandeg, dan ini bukan tujuan
diturunkannya syari’at Islam.
Makna Bid’ah Secara Istilah
Sebagian
orang menjulukinya “makna istilah” dengan “makna secara syari’at” dengan kata
lain makna “secara istilah syari’at”. Di dalam kamus Mukhtaar Ash-Shihah
disebutkan Al-Bid’ah adalah: al-huduts fi al-diin ba’da al-ikmaal (mengada-adakan
perkara baru dalam urusan agama setelah kesempurnaanya).
Sebagaimana
telah kami uraiakan di atas, bahwa makna secara istilah selalunya bersifat
lebih spesifik dan terbatas. Dalam ilmu ushul fiqih, makna tersebut mengalami
“takhshish” (pengkhususan).
Dalam
ushul fiqih telah masyhur dipahami bahwa setiap dalil yang memiliki makna umum
itu 90% nya mengalami takhsish (pengkhususan atau pengecualian) sehingga
sebenarnya pernyataan yang bersifat umum tadi tidak sungguh-sungguh bermakna
luas dan umum sebagaimana dzhahir (lahiriyah) teksnya.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili berkata :
Jumhur berhujjah bahwa setiap yang umum memiliki kecenderungan
takhsish (pengkhususan), sehingga telah tersebar (motto) di kalangan ulama:
“Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari
(keumuman)nya”. Maka takhsish (pengkhususan) banyak tersebar pada yang umum.
Artinya, bahwa tidak ada yang bebas (suatu dalil umum) daripadanya (takhsish)
melainkan sedikit, itupun dengan qarinah (kata/kalimat penjelas makna yang
mengiringi dalil yang umum). (Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, Dr. Wahbah
az-Zuhaili, Dar el-Fikr, Damaskus, juz 1, hal 245).
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani berkata :
Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun khalaf bahwa takhsish
(pengkhususan) bagi keumuman-keumuman itu adalah boleh (ja’iz), dan tidak ada
seorangpun dari orang-orang yang mendalam (keilmuannya) yang menentangnya, dan
hal itu sudah diketahui termasuk bagian dari syari’at yang suci ini, tidak
tersembunyi (bahkan) bagi orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap
syari’at tersebut, sehingga dikatakan, “Sesungguhnya tidak ada (dalil) yang
umum melainkan dia sudah dikhususkan”, kecuali firman Allah ta’ala, “Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Lihat
Irsyadul-Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Dar El-Fikr, Beirut, hal. 246)
Sesuatu
yang patut dicermati di sini, dan perlu dipahami dengan seksama ialah bahwa
makna “bid’ah” dalam maknanya yang umum (dari makna bahasa) mengalami empat
tingkatan takhsish atau empat tahap pengkhususan.
Takhshish Tingkat Pertama
Dalam
Al-Qur’an kita temukan salah satu julukan bid’ah disematkan pada perilaku
pengikut Nabi Isa a.s. yang mengada-adakan kerahiban (rahib yaitu mengasingkan
diri menjauhi dunia, tidak boleh menikah sebagai bentuk menyerahkan seluruh
hidupnya bagi Tuhan).
“Dan
mereka mengada-adakan rahbaniyyah (wa rahbaniyyatin abtada’uu) padahal kami
tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. Al-Hadiid [57] :
27)
Perkataan
“abtada’uu” yang mensifati kata rahbaniyyatin artinya
adalah bid’ah. Berbeda dengan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menggunakan kata
badi’u dan bid’an untuk hal-hal umum di luar agama, maka julukan bid’ah kali
ini dinisbatkan pada penambah-nambahan dalam urusan agama. dan tata cara
ibadah. Keterangan kata “untuk mencari keridha’an Allah”menunjukkan bahwa
mereka (kaum Nasrani) bermaksud mengadakan hal ini sebagai sarana pendekatan
diri pada Allah Sehingga hal ini jelas merupakan syari’at atau menandingi
syari’at. Maka bid’ah pada ayat ini adalah bid’ah dalam perkara agama.
Hal
ini sama dengan ayat pada Q.S. An-Najm bahwa orang kafir mengada-ada dalam
perkara dewa dan tuhan-tuhan yang mereka sembah sebagai bid’ah dalam urusan
agama.
Itu
tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya
(padahal) Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini
oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka
dari Tuhan mereka. (Q.S.
An-Najm [53] : 23)
Indikasi
bahwa hal ini termasuk urusan agama terdapat pada firman Allah “(padahal) Allah
tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya / menyembah
dewa-dewa itu”. Urusan sembah menyembah disebut ritual atau disebut ibadah
mahdhoh.
Maka
dalam konteks ayat di atas makna bid’ah yang semula bersifat umum, mengalami
pembatasan secara istilah syari’at adalah “hal baru yang diada-adakan dalam
urusan agama”. Inilah takhshih tahap pertama.
Perhatikanlah
bahwa dari semula makna bid’ah secara bahasa adalah sangat umum sangat luas
yaitu “segala sesuatu yang baru” (apa saja tanpa kecuali) meliputi penciptaan
langit dan bumi, bahkan kedatangan seorang Rasul pun disebut dengan “bid’ah”,
kini pengertian itu mengalami perubahan bahwa dalam pengertian spesifik
syari’at yang dimaksud “bid’ah” adalah “segala sesuatu yang baru dalam urusan
agama”
Demikian
pula adanya petunjuk (qorinah) adanya takhshish (pengkhususan) bid’ah hanya
dalam perkara agama, bisa kita lihat pada hadits Rasulullah s.a.w. yang
menjelaskan kata bid’ah ini dengan perkataan “min amrina (dari urusan kami) :
Telah
menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin
Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah r.a. berkata;
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Man ahdatsa fii amrina hadza (Siapa yang membuat perkara baru
dalam urusan kami ini) maa laisa fiihi (yang tidak ada di dalamnya) fahuwa
radda (maka perkara itu tertolak)”. (H.R. Bukhari No. 2499 Abu Daud No.
3990)
Telah
menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ayahku dari
Ayahnya dari Al Qasim bin Muhammad dari Aisyah berkata; Rasulullah s.a.w.
bersabda: “ Man ahdatsa fii amrina hadza
maa laisa minhu fahuwa radda (Barang siapa membuat perkara baru yang bukan dari
kami maka tertolak).” (H.R. Ahmad No. 25124 Ibnu Majah No. 42, )
Perkataan
“fii amrina” di atas mengisyaratkan adanya qorinah (petunjuk) untuk
membatasi atau mengkhususkan (takhshish) dari semula makna umum bid’ah secara
bahasa adalah “segala sesuatu yang baru (tanpa kecuali apapun itu perkaranya)”
baik itu urusan agama atau bukan agama, menjadi “hanya perkara agama saja”.
Maka pada tahap ini definisi bid’ah kita sepakati “yang dimaksud hal baru di
sini adalah hal baru dalam urusan agama”
Dalam
redaksi hadits lain petunjuk (qorinah) adanya takhshish (pembatasan) itu
terdapat pada kata “laisa ‘alaihi amruna” (bukan berasal dari urusan kami)
seperti pada hadits berikut ini :
“Man
‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa radda” Barang siapa yang
mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan kami, maka
(amalan) itu tertolak”.
(H.R. Muslim).
Sedangkan
kata “radd” maknanya adalah tertolak Imam Nawawi berkata : “Telah berkata
para ahli bahasa arab bahwa yang dimaksud dengan ”radd” (tertolak) disini
bermakna di tolak yang maknanya bahwa amalan tersebut bathil tidak dianggap
sebagai ajaran agama”. (Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi juz 16 hal
12)
Orang
masih ada saja yang meragukan keterangan “fii amrina” atau “laisa
‘alaihi amruna” sebagai qorinah (petunjuk) adanya takhshish bahwa yang
dimaksud bid’ah hanyalah bid’ah dalam perkara agama karena tak ada perkataan
yang tegas-tegas menyebut agama. Maka berikut ini kami sampaikan sabda
Rasulullah s.a.w. ketika menasehati Abu Hurairah r.a.
Dari
Thahir As-Shilfi dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda :“Ajarkan
orang-orang tentang sunnahku walaupun mereka membencinya, dan bila kamu suka
janganlah berhenti walau sekejap matapun di tengah jalan hingga kamu masuk ke
dalamnya serta Falaa tahditsu fii diinillah hadatsan bi ro’yika (Janganlah
membuat perkara baru dalam diinullah (agama Allah) menurut pendapatmu sendiri)”(H.R.
Imam Asy-Syatibi dalam I’tisham hal 50)
Dari
hadits di atas jelas sekali dikatakan bahwa muhdats (perkara baru) itu adalah
perkara di bidang agama berdasarkan perkataan “Falaa tahditsu fii
diinillah”.
Dengan
adanya takhsish tingkat pertama ini, maka ketika kita berbicara bid’ah, yang
dimaksud adalah perkara baru dalam bidang agama. Sedangkan perkara-perkara baru
di luar agama, seperti terkait sarana, kendaraan, bangunan, teknologi,
kesehatan, pertanian, transportasi, model pakaian, jenis makanan, bukan
termasuk perkara agama sehingga perkara baru dalam bidang ini bukan termasuk
“bid’ah” yang dimaksud oleh hadits Nabi s.a.w. di atas.
Contohnya,
jika Nabi s.a.w. dahulu menggunakan unta, maka saat ini kita menggunakan sepeda
motor, mobil, pesawat, kereta api, bukanlah bid’ah walaupun hal itu tidak ada
pada jaman Nabi s.a.w. Demikian pula jika saat ini ada listrik, lampu, mesin
diesel, komputer, telepon, internet, walaupun semua itu tidak ada pada masa
Nabi s.a.w namun itu tidak termasuk muhdats dan bid’ah yang dibicarakan pada
hadits tersebut.
Demikianlah
para ulama pun memahami hal ini bahwa yang dimaksud bid’ah yang sedang
dibicarakan dalam hadits “kullu bid’atin dlolalah” adalah makna bid’ah
secara syari’at yang sudah ditakhshish (dikhususkan / dibatasi) hanya di bidang
agama.
Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, membagi bid’ah menjadi bid’ah dalam
adat istiadat (kehidupan di luar agama) dan bid’ah dalam bidang agama.
Sedangkan bid’ah dalam bidang agama dibagi lagi menjadi bid’ah qauliyah
iqtiqodiyyah (perkataan dan keyakinan) dan bid’ah dalam ibadah mahdhoh (teknis
ibadah ritual).
Takhshish Tingkat Kedua
Dalam
takhsish tingat kedua yaitu bahwa bid’ah itu maksudnya adalah perkara baru
dalam agama (yaitu agamanya syari’at Muhammad s.a.w.) yang tidak ada pada masa
Rasullah s.a.w. masih menyisakan kadar “keumumannya makna” yaitu sejauh mana
batasan disebut masalah agama? Kapan sebuah urusan itu disebut urusan agama?
Imam
al-Syathibiy dalam kitab al-I’tishaam mendefinisikan bid’ah sebagai berikut; “Suatu
jalan baru (thariqah) di dalam agama yang dibuat-buat serupa dengan syariat,
dimana, tujuan melakukan perbuatan itu adalah berlebih-lebihan dalam beribadah
kepada Allah swt“.
Berdasarkan
perkataan Imam Syatibi ini maka batasan sesuatu disebut “agama” ialah jika :
1. Merupakan jalan baru (thariqah) di dalam agama
2. Menyerupai syariat yaitu dianggap sebagai ibadah mahdhoh
3. TUjuannya berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beribadah kepada Allah swt.
1. Merupakan jalan baru (thariqah) di dalam agama
2. Menyerupai syariat yaitu dianggap sebagai ibadah mahdhoh
3. TUjuannya berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beribadah kepada Allah swt.
Maka
dari sini kita paham bahwa ketika sebuah perkara baru dalam agama, yaitu
agamanya Nabi Muhammad s.a.w. dan belum ada contohnya / belum dilakukan pada
jaman Nabi Muhammad s.a.w. akan tergolong bid’ah (maksudnya makna bid’ah secara
istilah) jika si pelakunya meyakini ini sebagai thariqah dan menyerupai
syari’at, yaitu tata cara baru dalam beribadah mahdhoh (ritual) yang
dimaksudkan sebagai bentuk taqarub (pendekatan diri) kepada Allah SWT. Mengapa
perlu saya sebutkan ibadah dengan embel-embel mahdhoh (ritual) karena pada
dasarnya konsep Islam menganggap semua perbuatan ini adalah ibadah. Namun dalam
konteks ini yang dibicarakan adalah ibadah ritual yang dimaksudkan untuk penyembahan
dan hubungan langsung dengan Allah (hablum minallah).
Sedangkan
jika pelakunya tidak meyakini ini sebagai ibadah mahdhoh (ritual) dan tetap
menganggap perkara baru ini adalah tradisi saja, atau seremonial demi
membangkitkan semangat umat Islam saja, maka hal itu tidak tergolong pada
“bid’ah” yang dimaksud oleh hadits Rasulullah s.a.w. tersebut. Kalau soal
perkara baru hal ini jelas perkara baru. Tapi hal ini tidak termasuk ibadah
mahdhoh maka tidak tercakup yang dimaksud bid’ah pada hadits ini.
Sebagai
contoh, kita mengadakan peringatan tragedi jatuhnya Palestina ke tangan Israel
pada tahun 1948 dan 1967 atau peringatan tragedi pemusnahan muslim Bosnia
Herzegovina pada tahun 1992, atau kita mengadakan acara peringatan tragedi
jatuhnya kekhilafahan muslim terakhir pada tahun 1942, yang lantas diubah
menjadi republik sekuler oleh Kemal Attaturk, atau kita mengadakan peringatan 1
April (Yang orang barat memperingatinya dengan lelucon april mop) yaitu
dibantainya ribuan umat muslim di Spanyol, atau tragedi-tragedi lainnya demi
mengingatkan umat Islam akan permusuhan kaum kafir. Maka walaupun hal ini
adalah bid’ah (hal baru yang secara bahasa disebut bid’ah) namun tidak
tergolong “menyerupai syari’at” sehingga tidak tergolong bid’ah (secara makna
istilah syari’at). Maka ini adalah bid’ah yang bukan bid’ah. Sengaja kini saya
menggunakan dua kata bid’ah pada satu kalimat, karena bid’ah yang pertama
adalah bid’ah secara bahasa, sedangkan bid’ah kedua maksudnya adalah bid’ah
secara makna istilah syari’at.
Demikian
pula bisa saja umat Islam sepakat mengada-adakan peringatan kemenangan kaum
muslimin merebut Konstatinopel, atau peringatan kemenangan kaum muslimin
mengusir penjajah Rusia dari bumi Afghanistan pada tahun 1989 silam, dan pada
acara itu dibacakan kisah-kisah heroik dalam sejarah demi untuk membangkitkan
semangat dan kebanggan kita akan Islam. Maka jika mereka yang melakoni acara
ini tidak meyakini ini sebagai bagian dari syari’at, ditandai dengan tidak
adanya rasa wajib melaksanakan dan kalau tidak melaksanakan akan berdosa, maka
hal ini adalah bid’ah yang bukan bid’ah (kali ini tidak perlu saya jelaskan
karena sudah paham maksud saya menggunakan dua kata bid’ah dalam satu kalimat
dimana bid’ah yang satu berbeda maknanya dengan bid’ah yang kedua). Namun andaikata
acara seremonial ini diadakan rutin sampai akhirnya orang-orang meyakini (atau
salah meyakini) acara ini sebagai bagian dari syari’at ditandai dengan rasa
berdosa jika tidak menyelenggarakannya atau merasa berdosa jika tidak
menghadirinya maka hal ini menyerupai syari’at dan inilah bid’ah yang memang
“bid’ah”.
Termasuk
juga bid’ah yang memang bid’ah (sesat) adalah ghuluw (berlebih-lebihan) baik
itu menambahi dalam takarannya misal orang yang shalat magrib 4 rokaat atau
shalat ba’diyah dzuhur 8 rakaat, atau thawaf mengitari ka’bah lebih dari 7
putaran. Namun ada juga termasuk bid’ah yang sesat adalah tarku bid’ah
(meninggalkan / menghilangkan hal yang disyariatkan) yaitu menghilangkan salah
satu rukun ibadah atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT.
Takhsish Tingkat Ketiga
Takhshih
tingkat kedua di atas masih menyisakan kadar keumuman maksud yang cukup luas.
Walaupun sudah di-takhshih (dikhususkan) bahwa yang dimaksud baru di sini bukan
sembarang baru melainkan perkara baru dalam bidang agama, dan kriteria termasuk
perkara agama itu telah dijelaskan namun “baru” itu diukur sejak kapan?
Maka
di sini diperlukan takhsih yang ketiga, yaitu dipahami dari perkataan “laisa
minhu (bukan dari kami)” dan “laisa fiihi “(bukan
darinya)” atau dari kata “min amrina” dan “fii amrina” maka
siapakah yang dimaksud dengan kata ganti “na” di sini? Juga siapakah yang
dimaksud dengan kata ganti “hu” di sini ? Para ulama sepakat bahwa semua kata
ganti di situ kembali pada Rasululllah s.a.w. dan para sahabatnya di masa itu.
Maka
dengan adanya “qorinah” ini para ulama memberi tambahan keterangan (takhsish)
bahwa yang dimaksud bid’ah adalah “hal baru dalam perkara agama adalah syariat
yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Sedangkan makna “baru” di sini adalah “yang
belum ada pada masa Rasulullah s.a.w.” Imam Nawawi pun mengatakan : “Hiya
ihdattsu maa lam yakkun fii ‘ahdi Rasulullah “Bid’ah adalah perkara baru
yang belum pernah ada pada masa Rasulullah s.a.w.” (Imam Nawawi dalam
Tahzib Al Asma wa Lughot Juz 3 Hal 22) Imam Izzuddin bin Abdussalam seorang
ulama mazhab Syafi’i mengatakan : “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang
tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah s.a.w.” (Qawa’id Al-Ahkam fii
mashalih Al-Anam juz 2 hal 172)
Maka
pada tahap ini definisi bid’ah kita sepakati “hal baru dalam urusan agama Islam
(syariat yang dibawa Muhammad s.a.w.) yang belum ada pada masa Rasulullah
s.a.w.” Dengan ada nya pembatasan ini makna bid’ah telah mengalami takhshih dan
rincian tiga tahap yaitu :
Tahap
1 Hanya masalah agama
Tahap
2 Hanya yang menyerupai syari’at
Tahap
3 Hanya syari’at nya Nabi Muhammad s.a.w. artinya sesuatu yang belum ada
contohnya pada masa Nabi s.a.w.
Maka
dengan pembatasan ini, kita tidak mengurusi bid’ah atau penyimpangan syari’at
pada masa Nabi Musa a.s. Demikian pula kita tidak membicarakan tambahan perkara
baru dalam agama syari’atnya Nabi Isa a.s. Misalkan saja, shalat menghadap
kiblat Ka’bah ditinjau dari syari’at Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.
jelas meruapakan bid’ah karena syari’at Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.
shalat menghadap baitul maqdis (masjidil aqsho).
Takhsish Tingkat Keempat
Walaupun
kita sudah mentakhsis makna bid’ah tiga kali, baik itu untuk tujuan membatasi,
mengkhususkan atau memerinci lebih detil agar tidak salah paham dengan apa yang
dimaksud bid’ah pada hadits tersebut, namun lagi-lagi hal ini masih menyisakan
kadar keumuman makna.
Ya,
kita sudah sepakat yang dimaksud “baru” di sini adalah dalam perkara agama
Ya,
kita juga sudah sepakat apa batasan “perkara agama” yaitu yang ditujukan menyerupai
syari’at
Kita
juga sudah sepakat yang dimaksud “syari’at” di sini bukan syari’at Nabi-Nabi
lain melainkan adalah “syari’at yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. (mengapa saya
tidak katakan Islam ? Karena hakikatnya risalah yang dibawa oleh para
Nabi dari Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w adalah Islam)
Kita
juga sudah sepakat bahwa yang dimaksud “baru” di sini secara ukuran waktu
adalah yang belum ada pada masa Rasulullah s.a.w.
Namun
hal ini masih menyisakan pertanyaan terkait sabda Nabi s.a.w. berikutnya yaitu
“kullu bid’atin dlolalah”, yaitu apakah lalu semua perkara baru dalam
agama syari’atnya Nabi Muhammad s.a.w. yang belum ada pada jaman Nabi s.a.w.
itu dholal (sesat) ? Apa ukurannya hal itu sesat atau tidak sesat?
Rasulullah
s.a.w. bersabda : “wa manibtada’a bid’ata dlolalatin laa tardlillah wa
rosuulahu fainna alaihi istmi man ‘amila biha laa yanqushu dzalika min atsamin
naas dzalika (barang siapa melakukan bid’ah dlolalah yang tidak diridloi Allah
dan Rosulnya maka baginya dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa sedikitpun
mengurangi dosa orang yang mengikutinya)” (H.R. Tirmidzi)
Perhatikanlah
bahwa tambahan keterangan “laa tardlillah wa rosuulahu” (yang
tidak diridhoi Allah dan RosulNya) masih diperlukan untuk mensifati ”bid’ata
dlolalatin” (bid’ah yang sesat). Ini merupakan takhshish keempat untuk
lebih memerinci apa kriterianya ”dlolal” yaitu yang tidak memiliki
landasan pada nash ayat Allah dan sunnah RasulNya.
Inilah
yang dipahami oleh para ulama salafus sholih sejak dahulu kala, oleh karena itu
mereka berkata :
Abu
Bakar Ibn Al-‘Arabi (catatan : beliau adalah ahli fiqih madzhab Maliki dan beda
dengan tokoh Ibnu ‘Arabi yang menyebarkan paham wihdatul wujud) menuliskan
sebagai berikut : “Perkara yang baru (bid’ah atau muhdats) tidak pasti
tercela (tidak otomatis dlolal) hanya karena secara bahasa disebut bid’ah atau
muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan bid’ah yang tercela (atau
dlolal) itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan muhdats yang tercela
(atau dlolal) itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
(‘Aridath Al-Ahwadzi Syarh Jami’ Tirmidzi juz 10 hal 147)
Sebagaimana
juga Imam Jalalluddin Suyuthi (penulis tafsir Jalalain dan Kitab Hadits Jami’us
Shaghir) mengatakannya :
“Maksud
asal kata bid’ah adalah sesuatu yang baru diadakan tanpa adanya contoh yang
mendahuluinya. Dalam istilah syari’at bid’ah adalah lawan dari sunnah, yaitu
sesuatu yang belum ada pada masa Nabi s.a.w. maka hukum bid’ah terbagi menjadi
lima yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan jaiz atau mu’bah” (Imam Suyuthi
dalam Tanwir Al-Halik Juz 1 Hal 137)
Ibnu
Hajar Asqolani (penulis kitab Fathul Bari) berkata : “Dari segi bahasa,
bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya. Namun dari
segi syara’ (makna secara istilah syari’at) bid’ah diucapkan sebagai lawan dari
sunnah, sehingga bid’ah (dalam makna ini) adalah yang pasti tercela. (Fathul
Bari’ Juz 4 Hal 253)
Sampai
di sini sebenarnya Ibnu Hajar Asqolani telah sampai pada takhshish yang keempat
sehingga berkata bahwa bid’ah dalam hal ini sudah pasti tercela. Namun kemudian
beliau melanjutkan :
Namun
sebenarnya jika bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh
syara’ maka disebut bid’ah hasanah. Bila berada dalam naungan sesuatu yang
dianggap buruk oleh syara’ maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila
tidak termasuk dalam naungan keduanya (baik atau buruk) maka menjadi bagian
yang bersifat mubah (boleh-boleh saja). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi
lima hukum”(Fathul Bari’ Juz 4 Hal 253)
Imam
Shan’ani mengatakan : “Menurut bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa contoh sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud bid’ah (secara makna syari’at)
adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui
Al-Qur’an dan sunnah. Ulama membagi bid’ah ke dalam lima bagian : a) bid’ah
wajib, seperti memelihara ilmu-ilu agama dengan cara membukukannya dan menolak
terhadap kelompok-kelompok dengan menegakkan dalil-dalil b) bid’ah
mandubah seperti membangun berbagai madrasah, c) bid’ah mubahah seperti
memakan berbagai makanan dan baju yang indah d) bid’ah muharamah (yang haram)
dan e) bid’ah makruhah sedangkan keduanya ini (muharamah dan makruhah)
telah jelas contohnya. Dengan demikian bunyi hdits “sema bid’ah adalah sesat
adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya (‘aam makhshush) ”
(Subulus Salam Juz 2 Hal 48)
Al-Imam
Asy-Syafi’i berkata :
“Perkara-perkara
baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau
dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru
semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan perkara baru yang baru yang
baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka hal
yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, Juz 1, Hal
469).
Di
dalam kitab Jaami’ Al-‘Uluum wal Hukm dinyatakan : “Setiap amal yang tidak
sejalan dan terikat dengan syariat, niscaya akan ditolak. Oleh karena itu,
setiap perbuatan harus selalu terikat dengan hukum syariat, dan perbuatan akan
ditolak jika tidak sejalan dan sesuai dengan hukum syariat”
Dalam
kitab Al-Ta’aarif , Imam Al-Manawiy menyatakan : “Al-bid’ah adalah al-fi’lah
al-mukhalifah li al-sunnah (bid’ah adalah perbuatan yang bertentangan dengan
sunnah); sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w; kulla muhdatsat bid’ah, wa kulla
bid’atin dlalaalah wa kulla dlalaalah fi al-naar (setiap yang diada-adakan
adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan masuk ke
dalam neraka). Akan tetapi, ada sebagian bid’ah yang tidak makruh (atau haram),
sehingga dinamakan bid’ah mubah. Yang dimaksud dengan bid’ah mubah adalah semua
perkara baru yang memiliki dasar di dalam syariat, atau perkara baru yang
memberi konsekuensi mashlahat dan menghilangkan mafsadat (kerusakan)”.
Dari
uraian di atas jelaslah bahwa jika kita mengambil makna bid’ah dalam makna
harfiah, yaitu segala sesuatu yang tidak ada sebelumnya, maka secara akal sehat
mengharuskan adanya pemilahan. Karena tidak mungkin segala sesuatu (tanpa
kecuali) yang baru / tidak ada di jaman Nabi s.a.w. dianggap bid’ah yang sesat.
Para ulama sejak dahulu telah memahami hal ini dan tidak menganggap semua
bid’ah otomatis dlalalah dan tidak menganggap sesat semua amal kebajikan yang
mungkin timbul di kemudian hari yang semula tidak pernah ada pada jaman Nabi
s.a.w.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar