PEMBAHASAN
MASALAH BID’AH (JILID 5)
APA YANG DIMAKSUD MENYERUPAI SYARIAT ?
Pada
takhshish ke-2 kita menyimpulkan bahwa suatu perkara baru (muhdats) akan
disebut sebagai bid’ah jika menyerupai syari’at. Namun apa yang dimaksud menyerupai
syariat?
Berdasarkan
batasan dari Imam Asy-Syathibiy dalam kitab Al-I’tishaam mendefinisikan bid’ah
sebagai berikut; “Suatu jalan baru (thariqah) di dalam agama yang
dibuat-buat serupa dengan syariat, dimana, tujuan melakukan perbuatan itu
adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt“.
Walaupun
makna bid’ah secara istilah menurut Imam Syatibi di atas dianggap definisi yang
terbaik, namun ternyata masing-masing orang masih memiliki penafsiran yang
berbeda-beda tentang maksud “menyerupai syari’at” di sini.
Jika Diyakini Sebagai Ibadah Mahdhoh (Ritual), Maka Itu
Menyerupai Syari’at
Jika
sebuah perkara baru diyakini merupakan bagian dari ibadah mahdhoh (ritual),
maka hal itu termasuk perkara agama, sehingga menjadi obyek penelitian apakah
termasuk bid’ah yang dlolal atau tidak.
Apa
cirinya hal itu dianggap ibadah mahdhoh (ritual) ?
1.
Menganggap hal itu disyariatkan dan diperintahkan Allah atau
NabiNya
2.
Menganggap hal itu untuk menyembah atau mengabdi pada Allah
3.
Menganggap hal itu merupakan cara pendekatan diri (taqarub)
kepada Allah
4.
Menganggap hal itu berdosa jika tidak melakukannya
5.
Menganggap hal itu mempengaruhi hidup mati dirinya
6.
Menganggap hal itu akan mendatangkan sial jika tidak
melakukannya
Apa
cirinya hal itu dianggap bukan ibadah
mahdhoh (ritual) ?
1.
Menganggap hal itu tradisi saja dan tidak disyariatkan dan
diperintahkan Allah atau NabiNya
2.
Menganggap hal itu bukan bentuk penyembahan atau pengabdian pada
Allah
3.
Menganggap hal itu bukan bentuk pendekatan diri (taqarub) kepada
Allah
4.
Tidak Menganggap hal itu berdosa jika tidak melakukannya
5.
Tidak Menganggap hal itu mempengaruhi hidup mati dirinya
6.
Tidak Menganggap sial jika hal itu tidak dilakukan
Sebagai
contoh : Seseorang dalam melakukan pernikahan mengadakan upacara injak telor.
Tentu saja para sesepuh dengan panjang lebar menjelaskan makna simbol di
dalamnya. Untuk menjawab hal ini bid’ah yang dlolal atau tidak, pertanyaannya
apakah hal ini termasuk perkara agama? Jawabnya : ya, menikah adalah perkara
agama karena disitu terdapat perintah atau kewajiban. Hal yang ada perintah dan
larangan adalah perkara agama. Lalu dalam proses menikah juga terdapat petunjuk
Rasulullah s.a.w. dalam ijab qabul, bagaimana lafadz ijabnya, apa saja syarat
sah nikahnya, siapa yang berhak jadi walinya dll. Maka jelas apa-apa yang
terdapat ketentuan Allah dan RasulNya merupakan bagian dari syariat.
Lalu, apakah injak telor tidak ada pada jaman Rasulullah s.a.w.? Jawabnya :
Jelas tidak ada, apalagi telor ayam, di padang pasir jarang ada ayam. Maka kita
menginjak pada pertanyaan uji terakhir. Apakah ada dalilnya dari Qur’an dan
sunnah? Jawabnya : tidak ada. Jika kita berhenti sampai di sini kesimpulannya
tentu ini adalah bid’ah.
Namun
jika kita menggunakan batu uji rincian dari apa yang dianggap syariat (rincian
takhshih ke-2) Apakah mereka (yang melaksanakan prosesi injak telor itu)
menganggap hal itu disyari’atkan oleh Allah ? Apakah mereka merasa berdosa jika
tidak menjalankan hal ini? Apakah mereka meyakini ini sebagai bentuk
peribadatan, penyembahan dan pengabdian kepada Allah? Atau pengabdian pada
kekuatan lain yang dianggap Tuhan selain Allah? Apakah mereka menganggap akan
sial jika tidak melakukan hal ini? Maka semua jawaban itu tergantung niat dan
keyakinan dalam hati.
Jika
mereka tidak meyakini ini semua dan menganggap tidak apa-apa jika tidak
melakukannya, tidak meyakini adanya dosa dan sial jika tidak melakukannya,
hanya saja mereka mempertimbangkan menghormati budaya, maka mereka menganggap
hal ini sebagai tradisi dan bukan ritual atau syari’at. Maka apakah hal ini
termasuk bid’ah yang dlolal, atau bid’ah yang masih mubah (boleh2 saja)
tergantung dari niatnya. Kalaupun ini adalah bid’ah (dalam arti bahasa yaitu
tak ada pada masa Nabi s.a.w.) maka tidak termasuk bid’ah yang dlolal (sesat)
juga tidak termasuk yang mahmudah (terpuji) karena jika terpuji akan ada pahala
di dalamnya. Ini adalah termasuk yang mubah (boleh saja) dan tak ada pahala
jika melakukannya dan tak ada dosa jika meninggalkannya, juga tak ada pahala
jika meninggalkannya. Hanya saja kebetulan dalam contoh ini sebaiknya telornya
jangan dibuang karena merupakan mubadzir. Dan mubadzir itu dosa.
Namun
jika mereka ada keyakinan bahwa hal ini dilakukan agar langgeng pernikahan
mereka, agar lancar rezekinya (padahal rezeki itu dilapangkan dan disempitkan
atas kuasa Allah) maka hal ini bisa menjadi bid’ah yang dlolalah (sesat). Hal
ini sesuai dengan perkataan imam Syatibi :
Imam
Syatibi mengatakan : “Jika penyamaan itu adalah
dengan perkara-perkara yang tidak disyariatkan maka ia
bukan bid‘ah. Ia termasuk dalam perbuatan-perbuatan adat kebiasaan. (lihat
Al-Syatibi, Al-I’tishom hal 28)
Jika Diyakini Mendatangkan Pahalanya, Belum Tentu Menunjukkan
Menyerupai Syari’at
Pada
penjelasan di atas dijelaskan bahwa jika seseorang menganggap sebuah perbuatan
itu jika tidak dilakukan mendapatkan dosa, maka dia telah menganggap perbuatan
itu menyerupai syariat. Namun hal ini tidak berlaku sebaliknya. Jika seseorang
meyakini sebuah perbuatan itu mendatangkan pahala, belum tentu hal itu termasuk
menyerupai syari’at. Kecuali hadir di dalamnya perintah atau kewajiban dari
Allah dan RasulNya. Karena berbuat baik apa saja secara umum mendatangkan
manfaat bagi orang dan bisa mendatangkan pahala. Maka sah saja jika ia
menganggap hal itu mendatangkan pahala. Namun itu tidak otomatis tindakannya
menyerupai syariat. Sehingga ini di luar willayah pembahasan bid’ah. Atau bisa
bisa jadi sebenarnya orang itu meyakini perbuatannya mendapat pahala padahal
itu termasuk perkara mubah (yang boleh boleh saja). Jika dilakukan tidak
mendapat pahala dan jika ditinggalkan pun tidak mendapat dosa. Namun tidak ada
salahnya orang itu mengira perbuatan mubah itu mendatangkan pahala. Dan itu
tetap bukan menyerupai syari’at.
Sebagai
contoh : seseorang membuat nasi tumpeng untuk merayakan pindah rumah baru, atau
naik pangkat. Lalu nasi tumpeng itu dibagikan kepada tetangganya. Ia meyakini
dengan cara demikian akan mendatangkan pahala dan wujud dari rasa syukur dia.
Apakah hal ini bid’ah yang dlolalah? Mari kita uji. Apakah hal ini termasuk perkara
agama? Jawab : Hmm.. mungkin. Karena masih ragu, maka kita perinci dengan
takhshish ke-2. Agar kita tahu ini termasuk perkara agama atau tidak, maka
apakah hal ini menyerupai syari’at? Jawab : Tergantung, apakah ia meyakini ini
disyari’atkan? Jawab : Tidak. Apakah ia meyakini ini sebagai bentuk taqorub
pada Allah? Jawab : bisa jadi karena ini wujud rasa syukur. Apakah ia meyakini
jika ini tidak dikerjakan akan berdosa? Jawabnya : Tidak, tapi ia meyakini jika
ini dilaksanakan akan mendatangkan pahala dan rezeki dia akan lebih banyak. Hal
ini ada benarnya, karena tumpeng yang dimakan orang banyak Insya Allah
merupakan shodaqoh dan ada pahalanya. Maka kesimpulannya ini bukan termasuk
perbuatan menyerupai syari’at sehingga di luar lingkup pembahasan bid’ah.
Jika
kita tanya : Apakah hal ini adal di masa Rasulullah s.a.w.? Jawabnya : Jelas
tidak. Apakah ini ada landasan dalil dari Kitabullah dan Sunnah? Jawab : bisa
saja jika ini dianggap sebagai shodaqoh. Walaupun bukan pada fakir miskin
(karena tetangganya komplek elit dan kaya semua) namun tetap saja apapun itu
bernilai shodaqoh. Sedangkan memberi makan anak istri dan nasi yang tercecer
dimakan seranggapun ada nilai shodaqohnya. Namun pertanyaan ini sebenaranya
tidak relevan karena memasuki takhshih ke-3 dan ke-4. Sedangkan pada takhshish
ke-2 saja sudah gugur dan dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai tindakan
menyerupai syari’at. Maka tak perlu dilanjutkan pada batu uji takhshish ke-3
dan ke-4
Mengubah Perincian Ibadah, Tidak Selau Menunjukkan Menyerupai Syari’at
Sebagian
ulama mengatakan bahwa bid’ah dalam ibadah itu cirinya apabila menambah-nambah
terhadap ibadah yang disyariatkan. Contohnya menambah shalat Dhuhur atau shalat
ashar menjadi 5 rakaat. Dalam contoh kasus ini kami setuju.
Ada
juga ulama yang membagi bahwa bid’ah dalam ibadah itu terbagi menjadi bid’ah
terhadap ibadah mutlak, yaitu suatu ibadah yang
tidak ditentukan secara khusus oleh Rasulullah
kaifiyatnya (cara teknis pelaksanaannya), jumlahnya, waktunya, tempatnya,
maupun sifatnya. Contohnya adalah menebar salam dan tersenyum. Dan ada juga
bid’ah terhadap ibadah muqoyyad yaitu suatu ibadah yang
ditentukan secara khusus oleh Rasulullah kaifiyatnya (cara
teknis pelaksanaannya), jumlahnya, waktunya, tempatnya, maupun sifatnya secara
khusus dan terperinci. Maka menambahi dan mengurangi dari perincian ini semua
merupakan tindakan bid’ah yang dlolalah.
Sebagai
contoh : Syaikh ‘Utsaimin misalnya memerinci komponen dari ibadah mahdhoh yang
apabila diubah dari bisa menjerumuskan seseorang pada bid’ah yaitu
meliputi 6 hal : asbab-nya, jenisnya, kadar atau jumlah bilangannya, kaifiyat
(caranya), waktunya dan tempatnya (kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar’i)
Namun
kami katakan di sini bahwa jika demikian yang syaikh katakan, niscaya semua sahabat
Nabi s.a.w. adalah mubtadi (pelaku bid’ah) karena semua Khulafa’ur Rasyidin dan
sahabat yang lainnya pernah mengubah perincian ibadah entah dengan pertimbangan
situasional, dengan pertimbangan maslahat dan mafsadat, dengan pertimbangan
skala prioritas, dengan pertimbangan strategi dakwah dan lain halnya yang tidak
kita ketahui.
Baiklah
mari kita ambil contoh satu persatu.
Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Asbab (Sebab Melakukan
Ibadah)
Syaikh
‘Utsaimin mencontohkan, jika suatu ibadah dilakukan dengan
sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah
dan mardud (tertolak). Contoh : seseorang
yang
melakukan sholat tahajjud pada malam 27 Rajab, dengan alasan bahwa malam
tersebut
adalah
malam mi’raj Rasulullah s.a.w., maka itu adalah bid’ah, dikarenakan sholat
tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang
tidak ditetapkan dengan syari’at, walaupun sholat
tahajjud itu sendiri adalah sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab
yang tidak syar’i, sholatnya menjadi bid’ah.
Hal
ini benar demikian sepanjang terdapat dalil yang qoth’iy jelas
menunjukkan kemutlakan asbabnya. Adapun hal ini tidak dapat diterapkan pada
hal-hal yang khilafiyah (masih bisa berbeda pendapat) karena pemahaman dan
penafsiran seseorang bisa saja berbeda. Misalnya dalam perdebatan tentang asbab atau illat dibolehkannya
men-jamak shalat. Dalam Al-Qur’an mengatakan Apabila kamu berjalan di
muka bumi, maka tidak ada halangan bagi mu untuk meng-qoshor sholat, (Q.S.
An-Nisaa’ : 101) Sebagian orang menganggap safar lah yang menjadi
asbab dibolehkannya jamak dan qoshor.
Namun
dalam hadits Ibnu Abbas Ra. berkata : ‘Rasulullah s.a.w. pernah
menjama’ sholat dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’ di Madinah tanpa
disebabkan faktor takut diserang (khauf) atau hujan. Beliau ditanya apa
sebabnya, lalu beliau menjawab : “agar tidak menyulitkan umatnya” (H.R.
Muslim).
Maka
tidak boleh men-jamak shalat pada asbab lain selain safar. Sedangkan yang
lainnya mengatakan sebagaimana diisyaratkan dalam hadits bahwa asbab dibolehkannya
men-jamak shalat adalah “agar tidak menyulitkan umat ku”. Maka yang
menjadi asbab adalah “kesulitannya”. Maka men-jamak shalat dibolehkan
jika timbul kesulitan seperti kesibukan misalnya operasi pasien, peperangan
yang dahsyat, cuaca sangat dingin, dll. Hal ini sebenarnya dibuktikan dengan
adanya hadits-hadits mengenai hal ini. Namun tetap saja ada pro dan kontra
dengan alasannya masing-masing. Maka kita tidak boleh membid’ahkan pihak lain
yang tidak setuju dengan asbab dari sebuah ibadah, karena masing-masing boleh
dikatakan memiliki pijakan dalil.
Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Jenisnya, Belum Tentu
Bid’ah Dlolalah
Syaikh
‘Utsaimin mencontohkan ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya, jika
tidak, maka termasuk bid’ah (maksudnya bid’ah dlolalah).
Contoh : seseorang menyembelih kuda untuk
kurban adalah tidak sah, karena menyelisihi
syari’at dalam ketentuan jenis hewan kurban,
yang disyari’atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.
Kami
sepakat bahwa petunjuk syariat perihal perincian jenis harus dipertahankan,
sepanjang situasi memungkinkan terlaksananya hal itu. Namun bagaimana jika di
suatu wilayah tidak dikenal ada unta sapi dan kambing? Andaikan ada umat Islam
di wilayah kutub utara atau Alaska (memang ada umat Islam di Alaska) yang di
situ hanya ada kijang? Apakah mereka harus mengimpor sapi dan kambing dulu baru
bisa melaksanakan qurban?
Maka
dalam situasi demikian, syari’at dituntut untuk fleksibel karena agama ini
diturunkan bukan untuk menyulitkan umatnya. Kaidah ushul fiqih mengatakan :
taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminati wa al-amkan (perubahan hukum
dimungkinkan karena perubahan tempat dan waktu)
Dan
hal ini lah yang dilakukan oleh Sahabat Rasulullah yaitu Mu’adz bin Jabal r.a.
Dari
Abu Namir dari ‘Atha bin Yasar dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah
s.a.w. mengutusnya ke Yaman dan bersabda kepadanya: “Ambillah biji dari biji,
domba dari kambing, unta dari unta dan sapi dari sapi.” (H.R. Ibnu Majah
No. 1804)
Namun
pertimbangan situasi mungkin karena desa yang didatangi bukan petani dan
peternak melainkan penenun. Selain itu penduduk Madinah sudah tercukupi dalam
hal pangan dan ternak, namun masih kekurangan dalam sandang (pakaian). Maka
Muadz bin Jabal r.a. melakukan inisiatif yang menyelisihi perintah Rasulullah
s.a.w ketika mengutusnya ke Yaman. Ia memungut zakat berupa tombak dan pakaian.
Dari
Thawudz dari Mu’adz bin Jabal r.a. ia berkata : “Berikan kepada saya tombak
atau pakaian (yang mereka bikin sendiri) sebagai ganti jagung dan gandum yang
harus saya pungut dari kalian, jarena hal itu lebih meringankan laian dan lebih
bermanfaat bagi orang-orang Muhajirin di Madinah” (Atsar R. Bukhari dan
Baihaqi)
Secara
sepintas Mu’adz telah menyelisihi perintah Rasul. Namun Mu’adz berani melakukan
modifikasi ini dengan pertimbangan bahwa maqoshid syar’i (tujuan diberlakukan
hukum) dari zakat tetap terpenuhi yaitu untuk membersihkan dan mensucikan
harta, walaupun bentuknya tidak persis seperti perintah Rasulullah s.a.w.
Apakah hal ini ada dalilnya? Jelas tak ada dalil hadits yang memerintahkan
memungut dalam bentuk tombak dan pakaian. Namun apakah ini bid’ah yang dlolal?
Tentu saja bukan bid’ah. Apakah ini tetap tegak di atas sunnah? Tentu saja hal
ini termasuk tetap tegak di atas sunnah walaupun menyelisihi perintah
Rasululllah s.a.w.
Orang
yang gagal memahami hal ini akan serta merta menuduh bid’ah jika ada hal baru
dari segi jenis. Misalnya saja ada yang menganggap bid’ah zakat memakai uang
kertas karena uang kertas baru ada setelah kekhilafahan Utsmani runtuh dan
tidak ada contohnya pada zaman Nabi s.a.w. maupun zaman Khulafaur Rasyidin dan
Tabi’in
Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Kadar Bilangannya Belum
Tentu Bid’ah Dlolalah
Syaikh
Utsaimin memberi contoh bahwa kadar (bilangan) ibadah harus sesuai dengan
bilangan / kadarnya yang ditunjukkan oleh nash syariat, jika menyelisihinya
maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang
sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah
bilangan sholat tersebut. Dalam contoh kasus shalat memang harus demikian
adanya.
Namun
untuk masalah lain, seperti misalnya masalah jarak dibolehkannya men-jamak
shalat dalam kondisi musafir, terdapat banyak dalil yang berbeda-beda. Dari
mulai 3 mil, 5 farsakh sampai 80 kilometer, bahkan ada yang hanya mengambil
patokan batas kota. Masing-masing berpijak pada dalil. Maka salah satu pihak
tidak boleh menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah, gara-gara merasa
penafsirannyalah yang berada di atas sunnah, sedangkan penafsiran orang lain
dianggap tidak memiliki dalil.
Demikian
pula hal ini tidak bisa diterapkan dimana ada hal-terjadi ke-samar-an dalam
dalil yag ada, Dalam beberapa kasus ada jelas contohnya dari Rasulullah
s.a.w. namun karena pertimbangan tertentu, pada suatu situasi dan masa
tertentu berbeda pelaksanaannya. Hal ini terjadi pada para sahabat Nabi s.a.w.
Misalnya
dalam kasus hukuman cambuk bagi peminum khamr. Pada
masa Rasulullah s.a.w menderanya / mencambuk pemabuk dengan 40 kali. Namun pada
masa Khalifah Umar bin Khattab-atas saran Abdurrahman bin ‘Auf menderanya 80
kali. Karena saat itu dianggap orang masih kurang jera dengan cambuk 40 kali.
Telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah memberitakan kepada kami Sa’id
bin Abu ‘Arubah dari Abdullah Ad Danah dari Hudhain bin Al Mundzir bin Al
Harits bin Wa’lah bahwa Al Walid bin Uqbah mengimami orang-orang pada
shalat subuh empat raka’at, kemudian dia menoleh kepada mereka dan berkata;
“Saya sengaja menambahnya.” Hal itu disampaikan kepada Utsman, maka dia
menyuruh agar dijilid. Ali berkata kepada Al Hasan bin Ali; “Bangunlah Wahai
Hasan! dan jilid!” Dia menyanggahnya; “Kenapa dengan anda?” Ali menjawab;
“Kenapa kamu lemah dan loyo? Wahai Abdullah bin Ja’far, jilidlah dia!” Abdullah
bin Ja’far bangkit dan menjilidnya, sedang Ali menghitungnya. Tatkala sampai
pada hitungan empat puluh, dia berkata; “Tahan!” lalu dia berkata; “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memukul pada masalah minum khamer empat puluh
kali, Abu Bakar juga demikian, dan Umar sampai pada masa pertengahan
kekhilafahannya, kemudian dia menyempurnakannya menjadi delapan puluh kali
keduanya adalah sunnah.” (H.R. Ahmad 1167)
Demikian
pula dalam kasus diyat (denda) untuk pengganti qishash terpotongnya jari-jari,
Dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda tentang diyat
jari-jari kedua tangan dan kaki: “Diyatnya sama yaitu sebesar sepuluh ekor
unta pada setiap jari.” (H.R. Tirmidzi No, 1311) Nashiruddin Al-Albani
mengatakan hadits ini shahih.
Maka
pendapat Rasulullah ini diikuti oleh Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, Ibnu Musayyab, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’i, Imam Ahmad ,Ibnu
Ishaq dll dimana diyat 10 unta untuk 1 jari, 20 unta untuk 2 jari, 30 unta
untuk 3 jari dst. Namun suatu ketika Umar bin Khattab r.a. membedakan diyat
antara satu jari dengan jari lainnya, untu jari tengah 10 unta untuk jari manis
9 unta dan jari kelingking hanya 6 unta. Demikian pula Muhahid menetapkan
15 unta untuk diyat terpotongnya Ibu Jari. (Ibnu Rusydi, Bidayatul
Mujtahid Bab Ad-Diyat , Juz III hal 594)
Contoh
di atas merupakan Ijtihad para sahabat yang menyelisihi nash dalil yang jelas
dari Rasulullah s.a.w. Namun ijtihad sahabat terlebih yang termasuk Khulafa’ur
Rasyidin tidak bisa dianggap sebagai bid’ah walaupun ia menyelisihi nash,
karena beliau mungkin memiliki alasan lain yang kita tidak paham dan ilmu
beliau jauh berada di atas generasi berikutnya. Selain itu karena Rasulullah
s.a.w. terlah bersabda bahwahendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku
dan sunnah para Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang mendapat petunjuk), gigitlah
sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (H.R. Tirmidzi No. 2600, Abu Daud
No. 3991, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 16521 dan No 16522) ataukalian harus
mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa`urrasyidin (H.R. Darimi No. 95)
Jika Anda menganggap beliau melakukan bid’ah yang dlolal berarti beliau akan
masuk neraka. Padahal Rasulullah s.a.w menjamin Umar bin Khattab r.a. masuk
surga.
Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Kaifiyatnya Belum Tentu
Bid’ah Dlolalah
Syaikh
Utsaimin memberi contoh dalam kasus kaifiyat (cara) berwudlu ,
seandainya seseorang berwudhu dengan cara
membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah
wudhunya, karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.
Kami
sepakat dengan hal ini sepanjang semua dalil yang ada menunjukkan atau
menjelaskan satu macam kaifiyat (tata cara) ibadah saja tanpa bisa ditafsirkan
lain. Sayangnya, dalam masalah detil teknis pelaksanaan ibadah (sebagaimana
juga masalah fiqih lainnya) terdapat rincian kaifiyat yang berbeda-beda.
Perbedaan
itu ada beberapa kemungkinan :
1.
Daya tangkap dan penafsiran sahabat Nabi s.a.w. yang
berbeda-beda
2.
Proses penyampaian hadits yang bisa jadi sebagian berubah atau
tidak utuh lagi
3.
Bisa jadi, Rasulullah s.a.w. kadang melakukan begini dan di
waktu lain melakukan dengan cara yang berbeda, maka hal ini merupakan pilihan
dan keleluasaan serta keluwesan Islam.
4.
Bisa jadi, Rasulullah s.a.w. kadang melakukan begini dan di
waktu lain berbeda karena situasi yang berbeda
Namun
dalam hal tertentu kita jumpai kasus dimana , petunjuk kaifiyatnya sudah jelas
dari Nabi s.a.w. namun sahabat Nabi s.a.w. melakukan inovasi dan modifikasi,
dan hal itu tidak disalahkan oleh Nabi s.a.w. padahal hal itu merupakan ibadah
mahdhoh yang termasuk rukun Islam yang 5.
Shalat Ashar di Bani Quraidzhah
Sebagai
contoh : perbedaan penafsiran antara yang berpegang pada zhahir teks dalil dan
yang berpegang pada konteks (makna tersirat).
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Asma’ berkata, telah
menceritakan kepada kami Juwairiyah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar berkata, “Nabi
s.a.w. bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab: “Jangan
sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani
Quraizhah.” Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian
dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan
sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau
tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi
s.a.w., dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka.” (H.R. Bukhari
No. 894)
Pada
hadits di atas dapat kita lihat bahwa perbedaan pendapat dalam penafsiran dalil
bisa terjadi, bahkan ketika Rasulullah s.a.w. masih hidup. Para ulama pun
berbeda pendapat mana yang lebih benar dari dua kelompok sahabat ini? Ibnu
Qoyyim berpendapat bahwa yang benar adalah yang shalat ashar di jalan (yaitu
yang berpegang pada konteks bukan pada zhahir teks).
Mandi Junub Bagi Yang Sakit
Contoh
kedua terjadi pada kasus mandi junub, dimana kebanyakan sahabat berpegang pada
makna harfiyah atau zhahirnya dalil, dimana orang yang junub harus mandi.
Telah
menceritakan kepada kami Musa bin Abdurrahman Al-Anthaki telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Salamah dari Az-Zubair bin Khuraiq dari ‘Atha` dan
Jabir dia berkata; Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu
salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya
terluka serius. Kemudian dia bermimpi junub, maka dia bertanya kepada para
sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum saja? Mereka
menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk
menggunakan air, maka orang tersebut mandi dan langsung meninggal. Ketika kami
sampai kepada Nabi s.a.w., beliau diberitahukan tentang kejadian tersebut, maka
beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka!
Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari
kebodohan adalah bertanya! Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayammum dan
meneteskan air pada lukanya -atau- mengikat lukanya.” (H.R. Abu Daud No.
284)
Kita
tidak mengingkari dan mencela orang yang terpaku dan tidak berkutik di hadapan
makna harfiyah dari teks dalil. Karena terbukti orang-orang seperti ini ada,
dan hal itu sudah terjadi sejak jaman sahabat dan Rasulullah s.a.w. masih
hidup. Pada kasus di atas zhahir teks dalil Q.S. Al-Maidah : 6 hanya menunjukan
asbab diberlakukan tayamum karena tidak ada air, tak ada petunjuk bahwa tayamum
boleh diterapkan pada orang yang sakit. Maka sahabat berfatwa bahwa ia harus
tetap mandi karena masih ada air. Maka ternyata penafsiran sahabat ini salah.
Hanya
saja pada kasus di atas, kesalahan penafsiran bisa langsung dikoreksi oleh Nabi
s.a.w. sebagai otoritas pembuat syari’at. Sedangkan kini, tidak ada satupun
yang berhak mengklaim dirinya sebagai pemegang otoritas tunggal dalam menafsiri
teks dalil. Maka kita tidak bisa membid’ahkan seseorang yang berbeda pemahaman
dan berbeda penafsiran, sepanjang dia masih memiliki sandaran pada nash
syari’at.
Seseorang Menambahkan Doa Karangan Sendiri Saat Bangkit Dari
Ruku
Dari
Rifa’ah ibn Rafi’, r.a. berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di
belakang Rasulullah s.a.w.. Ketika beliau bangun setelah ruku’, beliau membaca:
“Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata: Rabbana
walakalhamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih. Setelah selesai shalat,
Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”.
Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah” Lalu Rasulullah berkata:
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama
mencatatnya”.(H.R. Bukhari No. 799 Nasa’i No 1016, Abu Daud No. 770, Ahmad
No. 19018, Ibnu Khuzaimah No. 614)
Pada
hadits di atas Rasulullah s.a.w. mendengar seseorang berdoa dalam shalatnya dan
terdapat isyarat bahwa doa ini belum pernah diajarkan atau dicontohkan
Rasulullah s.a.w. sebelumnya, terbukti dari perkataan pada hadits ini bahwa
Nabi s.a.w. bertanya “ siapa di antara kalian tadi yang berbicara
begitu?” Bila hal itu sesuatu yang diketahi orang banyak dan telah diajarkan
Nabi s.a.w. maka pasti Nabi tidak perlu bertanya apa-apa padad orang
orang. Dan ternyata Nabi s.a.w. membenarkan bahkan memuji doa itu karena
redaksinya memang baik.
Lalu
apakah ini perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah ini belum pernah dilakukan Nabi
s.a.w.? Jawab : Ya, belum pernah. Lalu apakah ini ada landasan dalilnya?
Jawabnya : Tidak, ini adalah inisiatif Mu’adz r.a. Lalu apakah ini bid’ah yang
dlolalah? Jawabnya : Jika Mu’adz r.a. melakukan bid’ah dlolalah berarti ia
sesat dan masuk neraka, padahal ia adalah salah satu sahabat yang dijamin masuk
surga.
Ibnu
Umar r.a. Menambahkan Doa Karangan Sendiri Saat Talbiyah
Ibnu
Umar r.a. meriwayatkan doa talbiyah yang diajarkan Rasulullah s.a.w.
adalah “Labaikallahumma labaik, Labaika Laa Syarika laka labaik, Innal Hamda wa
ni’mata laka wal mulk laa syarikalak” Lalu Ibnu Umar berdoa : “Labaikalabaika
wa saidaika wal khairu biyadaik labaik warraghba’u ilaika wal ‘amal”
(Atsar.R. Bukhari Juz 2 Hal 170, Muslim No. 1184, Abu Daud No. 1812)
Dalam
atsar Ibnu Umar r.a. di atas jelas bahwa Ibnu Umar menambahkan doa karangan
sendiri setelah doa talbiyah yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. tentu saja
doa ini tidak ada pada masa Rasulullah s.a.w. Maka ini jelas modifikasi atas
kaifiyat ibadah yang telah jelas ada petunjuknya dari Rasulullah s.a.w. Lalu
apakah ini perkara agama? Jawabnya : Ya. Apakah ini belum pernah dilakukan Nabi
s.a.w.? Jawab : Ya, belum pernah. Lalu apakah ini ada landasan dalilnya?
Jawabnya : Tidak, ini adalah inisiatif Ibnu Umar r.a. Lalu apakah ini bid’ah
yang dlolalah? Jawabnya : Jika Ibnu Umar r.a. melakukan bid’ah dlolalah berarti
ia sesat dan masuk neraka, padahal ia adalah salah satu sahabat yang dijamin
masuk surga.
Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Waktu Pelaksanaan, Belum
Tentu Bid’ah Dlolalah
Syaikh
Utsaimin mencontohkan bid’ah dari segi raktu, yaitu seandainya ada orang yang
menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka
tidak sah, karena waktunya tidak sebagaimana yang diperintahkan. Kami
sepakat pada kasus ini. Untuk ibadah-ibadah yang telah ditetapkan waktunya maka
hal itu tak dipungkiri lagi tidak boleh diubah. Kecuali memang ada petunjuk
lain, misalnya dalam kasus shalat, jika situasi tertentu boleh dijamak.
Namun
untuk hal tertentu dimana dalil mengenai ketetapan waktu itu dipahami bukan
sebagai kewajiban melainkan sebagai mustahab (lebih disukai) maka hal ini boleh
diubah sesuai kondisi dan situasi. Misalkan waktu pelaksanaan jumroh dimana
disunnahkan setelah dzuhur, namun jika 3-4 Juta orang serentak melaksanakan
pada waktu yang sama, akan terjadi musibah seperti tragedi terowongan Mina.
Maka tidak mengapa jika penguasa mengatur penjadwalan pelaksanaan jumroh dari
sejak subuh (setelah mabit di Mina) hingga waktu dzuhur. Hal ini demi
mempertimbangkan kemaslahatan dan keselamatan umum. Demikian pula hal ini demi
memenuhi maqoshid syar’i yaitu terwujudnya keselamatan jiwa.
Demikian
pula untuk pelaksanaan shalat jum’at dan shalat ‘Id, di negeri-negeri yang
jumlah muslimnya minoritas, dan sarana ibadah sangat terbatas, maka dapat
dilakukan penyesuaian seperlunya dengan tetap mengindahkan dalil syar’i.
Misalnya shalat jum’at dilaksanakan 2X di Pakistan. Atau shalat ‘Id di London
dilaksanakan 8 X dengan waktu berbeda. Namun itu semua masih dalam koridor
waktu yang dimungkinkanmenurut dalil syar’i. Dan tentu ini bukanlah bid’ah
dlolalah (sesat)
Mengubah Perincian Ibadah, Dari Sisi Tempat Pelaksanaan, Belum
Tentu Bid’ah Dlolalah
Syaikh
Utsaimin mencontohkan bid’ah dari segi tempat, seandainya seseorang beri’tikaf
bukan di Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah
disyari’atkan di masjid, tidak pada selainnya. Kami sepakat pada kasus
ini sepanjang hal itu memungkinkan untuk diterapkan.
Sedangkan
dalam kasus situasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena perubahan
zaman dan waktu, terlebih jika menyangkut keselamatan dan kemaslahatan umum,
tidak menutup kemungkinan syari’at dapat melakukan penyesuaian.
Contohnya
pada pelaksanaan tempat miqot pada ibadah haji. sesuai hadits Rasulullah s.a.w.
orang yang berhaji datang dari arah timur harus melakukan miqot (start dengan
cara mandi, shalat 2 rakaat lalu memakai pakaian ihram ) di Yalamlam sebuah
bukit di Thuhaah 80 km sebelah Timur Mekah
Dari
Ibnu Abbas r.a. : “Rasulullah s.a.w. telah menentukan tempat wajib ihram
bagi tiap-tiap pihak yaitu bagi ahli MAdinah dari Zul Hulaifah, bagi ahli Syam
dari Juhfah, bagi Ahli Najdi (Nejd) dari Qarnul Manazil dan bagi Ahli Yaman
dari Yalamlam. Beliau s.a.w. bersabda : “Tempat empat itu untuk penduduk
negeri-negeri tersebut da orang yang datang ke negeri-negeri itu bermaksud
untuk beribadah haji dan umarah. Adapun orang yang negerinya lebih dekat ke
Mekah maka miqatnya dari negerinya masing-masing sehingga bagi ahli Mekah miqat
mereka adalah negeri Mekah” (H.R. Bukhari Muslim)
Dan
para sahabat sejak dahulu tidak ada yang berani mengubah ketentuan miqot ini
Ibnu
Al Arabi menceritakan dari Az-Zubair bin Bakkar, ia berkata: Aku mendengar
Malik bin Anas berkata —ketika seseorang bertanya kepadanya, “Wahai Abu
Abdullah! Dari mana aku harus berihram?’ Dijawab: “Dari Dzul Khulaifah,
bagaimana Rasulullah SAW berihram dari tempat tersebut.” Orang itu lalu
berkata, “Aku ingin berihram dari masjid.” Ia berkata,” Jangan kamu lakukan.”
Orang tersebut berkata, “Aku ingin berihram dari masjid di dekat makam.” Ia
berkata, “Jangan kamu lakukan, karena aku khawatir akan turun fitnah atas
dirimu.” Orang itu bertanya, “Fitnah apa? Bukankah aku hanya menambah beberapa
mil.” Ia menjawab, “Fitnah apa yang lebih besar dari dirimu yang telah
mendahului keutamaan yang tidak diperintahkan Rasulullah s.a.w.? Sesungguhnya
aku mendengar Allah berfirman, ‘Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah-perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih’.”
(Disebutkan oleh Imam Syatibi dalam Al-Ittishom hal 138)
Namun
pesawat masa kini melewati Yalamlam dan mendarat di Jeddah. Apakah ia kembali
berjalan dari Jeddah ke Yalamlam Ataukah ia miqot di Jeddah? Atau ia miqot di
atas pesawat?? Maka hal ini jelas perkara bid’ah tidak hanya belum ada di masa
Nabi s.a.w. namun juga menyelisihi syari’at.
Jika
kita bersikeras untuk miqot saat berada di titik Yalamlam, maka pada saat
bersamaan (sekitar 400 s/d 600 orang dalam pesawat) harus mengantri mandi,
shalat 2 rakaat dan memakai pakaian ihram, sedangkan
kamar mandi di pesawat hanya ada 6 s/d 8 buah. Jelas hal ini tidak mungkin
dilaksanakan. Maka diambilah keringanan dan kaidah dalam ushul fiqih yang
disebut dengan “istishan” (memilih 2 qiyas/analogi yang lebih baik).
Maka
dengan kaidah istishan ini dibolehkan untuk miqot dari Jeddah atau Riyadh
sesuai dengan tempat mendarat pesawat. Hal ini dengan mengqiyaskan seolah
jamaah haji itu setelah mendarat di airport maka dia dianggap jamaah dari
negeri sekitar mekah yaitu berasal dari Riyadh atau Jeddah sehingga boleh miqot
dari kota itu, dan bukan dianggap jamaah dari Indonesia walaupun passportnya
dari Indonesia. Maka hal ini sesuai dengan sabda Rasul s.a.w
Adapun
orang yang negerinya lebih dekat ke Mekah maka miqatnya dari negerinya
masing-masing sehingga bagi ahli Mekah miqat mereka adalah negeri Mekah” (H.R. Bukhari Muslim)
Mengkhususkan Dan Merutinkan Sesuatu Bukan Selalu Menyerupai
Syari’at
Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan memerinci bid’ah dalam ibadah mahdhoh
salah satu ciri nya adalah menghususkan suatu ibadah yang disyari’atkan
(apalagi yang tidak disyaria’atkan), sedangkan syari’at tidak pernah
mengkhususkan hal itu.
Namun
dalam contoh kasus lainnya, misalkan seseorang mengkhususkan menghafal
Al-Qur’an setiap malam senin, maka membaca Al-Qur;an adalah ibadah, namun
pengkhususan pada hari tertentu itu bukan diniatkan untuk menjadikan ia
menyerupai syari’at dan jelas hal ini memang tidak ada dalilnya. Melainkan
pengkhususan dan perutinan itu hanyalah masalah penjadwalan saja
dalam aktifitas hidupnya. Maka ini bukanlah bid’ah yang dlolalah.
Dalam
kasus lain dikisahkan Ibnu Taimiyah telah mengkhususkan dan merutinkan suatu
cara ia berdoa sementara hal itu belum pernah dilakukan oleh orang lain
sebelumnya.
Salah
seorang murid Ibnu Taimiyyah bernama Umar bin Ali Al-Bazzar berkata : “Apabila
Ibnu Taimiyyah selesai shalat subuh maka ia berdzikir kepada Allah bersama
jamaah dengan doa yang datang dari Nabi s.a.w. yaitu : “Allahumma antas salaam
wa minkas salaam tabarakta ya dzaljalali wal ikrom. Lalu beliau menghadap
kepada jamaah lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi s.a.w. lalu
tasbih, tahmid dan takbir masing-masing 33 kali, dan diakhiri dengan tahlil
sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir.
Kemudian ia berdoa kepada Allah ta’ala untuk dirinya dan jamaah serta kaum
muslimin. Kebiasaan Ibnu Taimiyyah sudah dimaklumi, ia sulit diajak bicara
setelah shalat subuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan cukup
didengar sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang yang ada di
sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu ia sering mengarahkan pandangannya ke
langit dan ini kebiasaannya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis.
Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering
mendekatkan ku kepadanya sehingga aku duduk di sampingnya. Pada saat itu aku
selalu mendengar apa yang dibacanya dan yang dijadikannya sebagai dzikir. Aku
melihatnya membaca Al-Fatihah mengulang-ulangnya dan menghabiskan seluruh
waktunya dengan membacanya yakni dengan mengulang-ulang Al-Fatihah sejak
selesai shalat subuh hingga matahari naik. Dalam hal ini aku merenung mengapa
ia hana rutin membaca Al-Fatihah dan tidak yang lainnya ? Akhirya aku tahu
bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam berbagai hadits dan
apa yang disebutkan para ulama yaitu : “Apakah pada saat itu disunnahkan
mendahulukan dzikir dzikir yang datang dari Nabi s.a.w. daripada Al-Qur’an atau
sebaliknya?” Beliau berpendapat bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang
Al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara dua pendapat dan meraih dua
keutamaan, ini termasuk bukti kecerdasan dan pandangan hatinya yang jitu “
(Al-A’lam Al-‘Aliyyah fii Manaqib Ibnu Taimiyyah Hal 37-39)
PEMBAHASAN MASALAH BID’AH
APA YANG DIMAKSUD ADA LANDASANNYA DALAM SYARIAT?
Pada takhshish tahap yang ke-4 kita telah memahami bahwa
perkara baru (yang secara bahasa disebut muhdats atau bid’ah) akan menjadi
sesat dan tergolong bid’ah dlolalah jika tidak ada asalnya dalam syari’at atau
tidak ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Orang-orang yang terlalu bersemangat dalam agama seringkali
mengutip ayat ini :
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (Q.S. An-Nisaa’ [4] :
59)
Lantas mereka langsung membuka ayat dan hadits kemudian memahami
arti teks tersebut menurut daya nalarnya sendiri. Saat membaca dalil Al-Qir’an
maupun hadits, mau tidak mau ia menggunakan nalar otaknya. Tidak mungkin tidak.
Lalu orang yang tidak sependapat dengan mereka dikatakan menyelisihi Al-Qur’an
atau sunnah. Padahal yang sebenarnya adalah orang menyelisihi pemahaman versi
mereka dan belum tentu menyelisihi Al-Qur’an atau sunnah.
Apa yang dimaksud dengan “ada asalnya dalam syari’at”? Apa yang
Anda maksud ada atau tidak ada landasan dalilnya dari Al-Qur’an maupun Hadits?
Apakah setiap yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan hadits itu bid’ah?
Pertanyaan ini bisa dibalik : “Apakah setiap sesuatu pasti ada dalilnya dalam
Al-Qur’an dan Sunnah?” Mereka menjawab : Oh ya pasti ada ! Lalu mengutip dalil
:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. (Q.S. Al-Maidah [5] : 3)
Kebanyakan orang hanya terpaku pada sabda Rasulullah s.a.w.
berikut ini :
Abu Dzar r.a. berkata : “ Rasulullah
s.a.w. meninggalkan kami, tidaklah ada burung yang mengepakkan sayapnya di
udara melainkan beliau telah memberitahukan kepada kita ilmunya, lalu beliau
berkata : lalu Rasulullah s.a.w. bersabda : “ tidak ada satu perkarapun yang
tertinggal yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka ,
melainkan telah dijelaskan kepada kalian “
( H.R. Thabrani No. 1647 dalam Mu’jamul Kabir Juz 2 hal 155).
Telah menceritakan kepadaku (Yahya) dari Malik telah sampai
kepadanya bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Telah aku tinggalkan untuk
kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh
dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (H.R. Imam Malik Dalam
Al-Muwatha’ No. 1395)
Perkataan di atas adalah benar adanya dari segi keyakinan atau
aqidah yang bersifat normatif. Dimana sebagai muslim memang kita meyakini
segala perkara di dunia ini dapat kita carai penyelesaiannya dalam diin Islam
yang agung ini. Namun mereka salah paham bahwa yang dimaksud bukanlah segala
sesuatu kemudian ada penjelasannya secara tekstual. Karena perkara di dunia ini
senantiasa berkembang dan urusan manusia juga bertambah. Jika Allah berkehendak
memerinci semuanya itu maka akan seperti apa tebalnya Al-Qur’an? Jika
Rasulullah s.a.w. mau menjabarkan semuanya maka entah berapa milyar sabda
beliau yang akan dicatat orang. Sedangkan saat ini saja dari 1 juta hadits yang
dikumpulkan Imam Ahmad hanya 9.000 atau 7.000 saja yang dimasukkan oleh Imam
Bukhari dalam Kitab Shahihnya. Itupun belum semuanya kita baca.
Apa-apa yang jelas ada ayat atau sabda Rasulullah s.a.w. dengan
makna yang qoth’i maka itu adalah perkara yang Allah dan RasulNya telah
jelaskan duduk perkaranya. Namun Allah dan RasulNya tidak memerinci semuanya,
melainkan ditinggalkan bagi kita berupa manhaj dan metodologi untuk memecahkan
perkara-perkara yang tidak dijelaskan hukumnya. Maka yang kita ikuti dalam hal
ini adalah metodanya
Apakah segala hal baru yang tidak ada landasan dalilnya dari
Al-Qur’an maupun Hadits otomatis tergolong bid’ah yang sesat? Kita tidak
bahas perkara-perkara yang jelas-jelas ada ayatnya yang qoth’i. Kita juga tidak
bertanya perihal yang jelas-jelas ada haditsnya. Walaupun yang jelas ada
ayatnya dan ada haditsnya pun tidak menutup kemungkinan berbeda penafsiran,
berbeda menangkap maksudnya. Ada yang menangkap maksud berdasarkan zhahir teks
dalil.
Maka apakah ini yang Anda maksud ada landasan dalilnya dari
Al-Qur’an maupun Hadits? Lalu bagaimana dengan perkataan Rasulullah s.a.w. :
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.
Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar)(H.R.
Bukhari Muslim)
Berarti ada perkara yang abu-abu (samar) yang tidak jelas haram
atau halalnya itu memang ada.
Lalu bagaimana dengan perkataan perkataan Rasulullah s.a.w.
dalam hadits ini :
“… dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka,
terimalah kebolehan dari Allah” (H.R. Al-Hakim dan Al-Bazzar)
Berarti ada perkara yang didiamkan oleh Allah?? Kami tahu bahwa
yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah dan RasulNya pasti ada nash dalilnya
dari Kitabullah atau Hadits. Tapi bagaimana bentuk apa-apa yang didiamkan
Allah? Bukankah yang didiamkan Allah itu adalah yang tak ada teks dalilnya?
Jika ada teks dalilnya berarti itu tidak didiamkan Allah.
Lalu bagaimana dengan definisi bahwa “segala sesuatu yang tidak
ada landasan dari Al-Qur’an maupun Hadits itu pasti bid’ah yang dlolalah?
Bukankah ada hal –hal yang didiamkan oleh Allah? Lalu apa-apa yang didiamkan
oleh Allah itu termasuk ada landasannya atau tidak?? Lalu bagaimana status
hukumnya dengan perkara yang didiamkan ini? Apakah didiamkan itu artinya haram?
Atau kah apa-apa yang
didiamkanNya adalah dibolehkan? Ataukah
apa-apa yang didiamkan ini berarti masih perlu kajian oleh manusia? Lalu
bagaimana jika hasil kajian manusia itu menyimpulkan hal ini haram? Beranikah
manusia mengharamkan perkara yang didiamkan Allah? Beranikah manusia
menghalalkan perkara yang didiamkan Allah? Apakah yang didiamkan itu cenderung
haram? Ataukah yang didiamkan itu berarti mubadh (boleh) ? Ataukah yang
didiamkan itu belum ditentukan hukumnya, artinya diserahkan pada manusia untuk
meng-elaborasi hukumnya melalui ijtihad? Sehingga hasil ijtihad itu bisa haram
wajib sunnah makruh atau mubah. Dalam hal ini ulama pun berbeda pendapat
Lalu bagaimana dengan perkataan pertanyaan Rasulullah s.a.w.
dalam hadits ini :
“Bagaimana engkau memutuskan hukum?” ia (Mu’adz) menjawab; Aku
memutuskan hukum dari apa yang terdapat di dalam kitabullah. Beliau s.a.w.
bertanya lagi: “Jika tidak ada di dalam kitabullah?” ia (Mu’adz) menjawab;
Dengan sunnah Rasulullah s.a.w.. Beliau bertanya: “Jika tidak terdapat di dalam
sunnah Rasulullah s.a.w.??” Ia menjawab; Aku akan berijtihad dengan pendapatku.
Beliau mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada
utusan Rasulullah s.a.w..” (H.R. Tirmidzi
No. 1249)
Lalu bagaimana dengan perkataan perkataan Umar bin Khattab r.a.
dalam atsar ini :
“….Jika tidak ditemukan dalam Kitabullah, tidak pula dalam sunah
Rasulullah s.a.w. dan orang-orang shalih juga tidak memutuskan ketetapan
hukumnya, …”(Atsar R.Nasa’i dalam Sunan No. 5304) Nashiruddin
Al-Albani mengatakan atsar ini sanadnya shahih sampai pada Umar bin Khattab
r.a..
Artinya memang ada hal-hal yang tidak terdapat landasan dalilnya
dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya dong? Padahal definisi orang-orang
yang bersemangat tadi menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ada landasan
dari Al-Qur’an maupun Hadits itu pasti bid’ah (maksud mereka adalah bid’ah yang
dlolalah) ? Lalu akan kita temukan di dunia maya ini bantahannya : Ya, itu
bukan bid’ah. Itu adalah Ijtihad beda dengan bid’ah. Yang disebut bid’ah
itu adalah mengadakan-adakan hal yang baru untuk perkara-perkara yang sudah
jelas ada dalilnya. Sedangkan untuk perkara-perkara yang tidak ada dalilnya maka
itu adalah lapangan ijtihad !
Lho? Jadi apa Anda akan menjilat kembali semua perkataan dan
tulisan Anda yang panjang dan berlembar-lembar tadi? Bukankah berkali-kali Anda
tegaskan bahwa segala perkara baru yang tidak ada landasan dari Al-Qur’an
maupun Hadits itu pasti bid’ah? Lalu sekarang Anda memerinci lagi bahwa Yang
disebut bid’ah itu adalah mengadakan-adakan hal yang baru untuk perkara-perkara
yang sudah jelas ada dalilnya. Sedangkan untuk perkara-perkara yang tidak ada
dalilnya maka itu adalah lapangan ijtihad ?
Oke, berarti Anda sudah mentakhsish dua kali, pertama Anda
mentakhsish (mengkhususkan) bahwa yang dimaksud bid’ah adalah dalam perkara
agama. Lalu kini Anda mentakhsish (mengkhususkan) bahwa yang dimaksud bid’ah
adalah hal yang baru untuk perkara-perkara yang sudah jelas ada dalilnya.
Sedangkan untuk perkara-perkara yang tidak ada dalilnya, itu bukan bid’ah
melainkan ijtihad . Baiklah, tampaknya lambat laun perbedaan pendapat ini tidak
terlalu berbeda lagi.
“Bid’ah ialah setiap yang bertentangan
dengan sunnah dari jenis perkataan (ucapan)
perbuatan (amalan) atau akidah
(pegangan/kepercayaan) sekalipun melalui usaha ijtihad.”
(Lihat: Ihkamu Janaiz wal bid’ah Hal. 306. Muhammad Nashiruddin
Al-Albani)
Bukankah di sini ada kontradiksi dan lingkaran tak berujung?
Berdasarkan hadits Rasulullah s.a.w, ijtihad itu diterapkan untuk hal-hal yang
tak ditemukan nash dalil nya dalam Kitabullah dan Hadits. Tapi katanya yang tak
ada nash dalil nya dalam Kitabullah dan Hadits termasuk bid’ah walaupun itu
adalah ijtihad…??
Sebagian pemuda Islam yang sedang semangat menyala ingin
berislam di segala sektor tentu menyenangi retorika yang heroik dan simple,
mudah dipahami, namun mereka lupa bahwa ini hanya berkutat pada tataran teori
saja tanpa mencoba menukik pada aplikasi praktis di lapangan. Mereka yang
terlalu bersemangat dalam beragama, hanya membahas aspek normatif
saja. Pokoknya ikuti sunnah Rasul dan sunnah khulafa’u rasyidin. Pokoknya
mengikuti sunnah para sahabat. Bagaimana jika para sahabat berbeda pendapat?
Mereka menjawab : Gampang saja, “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 59).
Lha semua yang berbeda pendapat itu juga masing-masing merasa berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul kok.
Mereka tidak menyadari bahwa kenyataan di lapangan tidak semudah
konsep dan slogan normatif. Tak usahlah persoalan pada masa kini, bahkan
persoalan pada masa Rasulullah s.a.w dan masa sahabat pun terjadi ikhtilaf
(beda pendapat) lalu mana yang kita pilih? Jika Anda pilih salah satunya
berarti Anda mengkafirkan sahabat lainnya? Lha iya, jika salah satu sahabat
melakukan bid’ah yang dlolalah, berarti mereka sesat dan mereka masuk neraka.
Padahal Rasulullah telah menjamin Khulafa’ Ar-Rasyidin dan termasuk 10
sahabat lainnya masuk surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar