MASBUQ DALAM SHOLAT
Sholat merupakan
rukun Islam kedua setelah syahadat. Ia memiliki kedudukan yang sangat urgen
dalam Islam. Rosulullah bersabda:
رَأْسُ الْأَمْرِ
الْإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
“Pokok urusan itu adalah Islam, tiangnya sholat, dan
puncak ketinggiannya adalah jihad”. (HR. Tirmidzi, no: 2616; dll, dishohihkan
oleh Syeikh Al-Albani)
Umar bin Khathab pernah
berkata: “Perkara yang paling
urgen menurutku adalah sholat, Siapa saja yang menjaganya, maka ia telah
menjaga agamanya. Dan siapa saja yang menyia-nyiakannya maka ia akan lebih
menyia-nyiakan terhadap selainnya. Dan tidak ada bagian dalam Islam utnuk
orang yang meninggalkan sholat.”
Terlebih
lagi jika sholat itu dilakukan secara berjamaah. Rasululloh SAW
bersabda, “Sesungguhnya Allah
Ta’ajub pada shalat (yang dilakukan) secara berjamaah.” (Lihat shahihul Jami’,
(1820).
“Shalat berjama’ah itu lebih utama 25 derajat
daripada shalat sendirian.” (HR. al-Bukhari). Dalam
riwayat lain disebutkan: “(lebih
utama) 27 derajat.” (Fathul
Baari’, 2/131).
Setiap muslim
dianjurkan untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid tepat pada waktunya.
Namun dalam prakteknya ada diantara kaum muslimin yang masih tertinggal
sholat berjamaah atau lebih di kenal dengan istilah Masbuq. Maka seperti apakah
permasalahan Masbuq itu?
Dalam tulisan
sederhana ini, penulis akan mencoba membahas seputar permasalahan yang urgen
mengenai masbuq.
1. Devinisi
Masbuq
Secara etimologi Masbuq
adalah isim maf’ul dari kata “ سبق” yang bermakna “
terdahului/tertinggal”.
Adapun
secara terminologi Masbuq adalah Orang yang tertinggal
sebagian raka’at atau semuanya dari imam dalam sholat berjama’ah. Atau orang
yang mendapati imam setelah raka’at pertama atau lebih dalam sholat
berjama’ah. (Kamus al-Muhith, Qawaid al-Fiqh dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin,
1/400)
- 2. Kapan
Seorang Makmum itu Disebut Masbuq?
Dalam hal ini,
terdapat perbedaan pendapat. Dimana ada dua pendapat mengenai kapan
seorang makmum itu disebut masbuq.
Pendapat
Pertama:
Yaitu
pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa
seorang makmum disebut masbuq itu apabila ia tertinggal ruku’ bersama imam.
Jika seorang makmum mendapati imam sedang ruku’, kemudian ia ruku bersama
imam, maka ia mendapatkan satu raka’at dan tidak disebut masbuq. Dan gugurlah
kewajiban membaca surat al-Fatihah.
Dalil-dalil Pendapat Pertama:
1. مَنْ
أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ { أبو داود ، الفقه الإسلامي – سليمان رشيد 116 }
Artinya: “Siapa yang mendapatkan
ruku’, maka ia mendapatkan satu raka’at”. (HR. Abu Dawud, FIqh Islam-Sulaiman
Rasyid : 116)
- عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ، قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلم : ” إِذَا
جِئْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ وَ نَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا وَ لاَ
تَعُدُّوْهاَ شَيْئاً وَ مَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ
الصَّلاَةَ “ {
رواه أبو داود 1 : 207،عون المعبود 3 : 145}
Dari
Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “
Apabila kamu datang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah,
dan jangan kamu hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’,
bererti ia mendapat satu rak’at dalam sholat (nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 :
207, Aunul Ma’bud – Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 145 )
Jumhur
Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan raka’at disni adalah ruku’,
maka yang mendapati imam sedang ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia mendapatkan satu
raka’at. (Al-Mu’in Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 : 145)
- إِنَّ
أَباَ بَكْرَةَ إِنْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم وَ هُوَ
رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم فَقاَلَ : ” زَادَكَ اللهُ حِرْصاً وَ لاَ
تُعِدْ “ {
رواه البخاري، فتح الباري 2 : 381}
“ Sesungguhnya
Abu Bakrah telah datang untuk solat bersama Nabi SAW (sedangkan) Nabi SAW dalam
keadaan ruku’, kemudian ia ruku’ sebelum sampai menuju shaf. Hal itu
disampaikan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW bersabda (kepadanya) : “
Semoga Allah menambahkan kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi ”.
Dalil berikut ini:
"Dan apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A'raaf: 204)
Dari Jabir berkata,
Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang mempunyai imam, maka bacaan
imam menjadi bacaannya juga." Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika dia takbir
maka takbirlah kalian, jika dia membaca maka diamlah kalian, dan jika dia
mengucapkan sami'allahu liman hamidah, maka katakanlah Allahumma Rabbana lakal
hamdu." (HR. Nasai)
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, jika dia takbir,
maka takbirlah kalian, jika dia membaca, maka diam dan simaklah (HR.
Ahmad)
Dari dalil-dalil
diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa menurut jumhur ulama seorang dikatakan
masbuk itu apabila ia tidak sempat ruku’ bersama imam.
Pendapat
Kedua
Pendapat
ini mengatakan bahwa makmum disebut masbuk apabila ia tertinggal bacaan surat
Al-Fatihah. Ini adalah pendapat segolongan dari ulama.
Diantaranya adalah ucapan Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Imam
Bukhori tentang bacaan al-Afatihah di belakang imam dari setiap
pendapat yang mewajibkan bacaan al-Afatihah di belakang imam. Demikian pula
pendapat Ibnu Khuzaimah,Dhob’i dan selain keduanya
dari Muhaddits Syafi’iyyah kemudian diperkuat oleh Syaikh
Taqiyyuddin As-Subki dari Ulama Mutakhkhirin dan ditarjih oleh al-Muqbili,
ia berkata: “Aku telah mengkaji permasalahan ini dan aku
menghimpunnya pada pengkajianku secara fiqih dan hadits maka aku tidak
mendapatkan darinya selain yang telah aku sebutkan yaitu tidak terhitung raka’at
dengan mendapatkan ruku’. (‘Aunul Ma’bud 3:146)
Sanggahan Pendapat
kedua terhadap dalil-dalil jumhur ulama yang menyatakan bahwa makmum yang
mendapatkan ruku bersama imam maka ia mendapatkan satu raka’at. Diantaranya:
- Dalam Sunan Abu Dawud tidak ada
redaksi hadits dengan lafazh matan seperti tersebut diatas. Pendapat ini
cenderung beranggapan salah tukil saja.
- Pada hadits (no 2) terdapat
rawi yang bernama Yahya Bin Abi Sulaiman Al-Madani.
Menurut Amirul Mukminin dalam hadits (yaitu) Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari dalam
(kitab) Juz-u Al-Qiraat, Yahya (ini) munkarul hadits. ( Mizanul I’tidal 4
: 383, Aunul Ma’bud 3 : 147 ) Sedangkan yang dimaksud dengan Munkarul
Hadits menurut pernyataan Imam Bukhori adalah: “ Setiap orang yang aku
nyatakan Munkarul Hadits, berarti tidak dapat dijadikan
hujjah ”. Bahkan dalam satu riwayat (dinyatakan) : “ tidak
boleh meriwayatkannya ”. ( Fathul Mughits 1 : 346 ).
Imam Syaukani berkata : “Hadits tersebut bukan
dalil atas pendapat mereka, kerana anda pasti tahu, bahwa yang disebut
raka’at itu (mencakup) semua aspek; bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki
syar’i, maupun ‘urf (kebiasaan). Kedua arti tersebut harus lebih
didahulukan daripada arti menurut bahasa. Demikian ketetapan para ahli
Ushul Fiqih. ( Nailul Authar, Asy-Syaukani 2 : 219 )
- Ibnu Hazm dalam
kitab Al-Muhalla telah menjawab / membahas mengenai
hadits Abu Bakrah, (menurutnya) bahwa hadits tersebut tidak dapat
dijadikan hujjah / alasan / argumentasi oleh mereka dalam hal tersebut
(yaitu termasuk raka’at asalkan mendapat ruku’) kerana pada hadits
tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung) raka’at. ( Aunul Ma’bud,
Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 146 ).
Menurut Asy-Syaukani :
Dalam hadits tersebut tidak ada dalil / bukan dalil yang menguatkan
pendapat mereka, kerana sebagaimana (dimaklumi) tidak ada perintah mengulangi
(raka’at), tapi juga tidak menyatakan terhitung raka’at. Adapun Nabi mendoakan
kepadanya agar lebih bersungguh-sungguh, itu tidak berarti terhitung satu
raka’at. ( ‘Aunul Ma’bud, 3:146 )
Adapun
dalil-dalil pendapat kedua ini, bahwa seorang
disebut masbuk apabila tertinggal bacaan al-Fatihah bukan tertinggal ruku’
adalah:
- عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ قاَلَ : إِنْ أَدْرَكْتَ الْقَوْمَ
رُكُوْعاً لَمْ تَعْتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ. { رواه البخاري، عون المعبود{ 3:147,
Dari
Abi Hurairah ra, bahwasanya ia berkata : “ Jika engkau mendapatkan
suatu kaum sedang ruku’, maka tidak terhitung raka’at ”. ( H.R Al-Bukhari,
Aunul Ma’bud 3 : 147 )
Imam
Syaukani berkata: “Telah
diketahui sebelumnya bahwa kewajiban membaca Al-Fatihah itu untuk imam dan
makmum pada setiap raka’at. Dan kami telah menjelaskan bahwa dalil-dalil tersebut
sah untuk dijadikan hujjah bahwa membaca Al-Fatihah itu termasuk syarat sahnya
sholat. Maka siapa saja yang mengira bahwa sholat itu sah tanpa membaca
al-Fatihah, ia haruslah menunjukkan keterangan yang mengkhususkan dalil-dalil
tersebut.”
- عَنْ
قَتاَدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و سلّم كَانَ يَقْرَأُ فِي كُلِّ
رَكْعَةٍ بِفاَتِحَةِ الْكِتاَبِ. { رواه الترمذي {
Dari Qatadah, bahwa
Nabi SAW membaca Fatihatil Kitab pada setiap raka’at ”. ( H.R
At-Tirmidzi )
- عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم قاَلَ : إِذَا
سَمِعْتُمُ اْلإِقاَمَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَ عَلَيْكُمُ
السَّكِيْنَةَ وَ الْوِقاَرَ وَ لاَ تُسْرِعُوْا فَماَ أَدْرَكْتُمْ
فَصَلُّوْا وَ ماَ فاَتَكُمْ فَأَتِمُّوْا. { رواه الجماعة، فتح الباري{ 2: 167,
Dari
Abi Hurairah, dari Nabi SAW, ia bersabda : “ Apabila kamu mendengar
Iqamah, pergilah untuk sholat, dan kamu mesti tenang, santai serta tidak
terburu-buru. Apa yang kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang
ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah ”. ( H.R Al-Jama’ah,
Fathul Bari 2 : 167 )
Menurut
Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab
Fathul Bari : Hadits tersebut dapat dijadikan dalil / alasan bahwa orang yang
mendapatkan imam sedang ruku tidak dihitung raka’at, kerana ada perintah untuk
menyempurnakan (apa-apa) yang ketinggalan, sedangkan (dalam hal ini)
jelas makmum ketinggalan (tidak ikut berdiri dan membaca fatihah). (Fathul Bari
: 2: 170)
Imam
Syaukani berkata : “Dengan ini, jelaslah kelemahan alasan-alasan pendapat Jumhur
Ulama yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku’,
termasuk raka’at bersamanya (imam) dan dapat dihitung satu raka’at sekalipun
tidak mendapat bacaan (Al-Fatihah) sedikitpun”. ( Aunul
Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 147 )
Inilah
Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta tokoh agama,
beliau berpendapat bahwa yang mendapat ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak
dihitung mendapat raka’at, sampai ia membaca Fatihatul Kitab
(dengan sempurna), maka ia mesti mengulangi
lagi raka’at (yang tidak sempat membaca Al-Fatihah) setelah imam salam.
( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 152 )
- 3. Waktu
Berdirinya Orang yang Masbuk untuk Menyempurnakan Raka’at yang terlewat.
Menurut
Madzhab Hanafi :
Seorang yang masbuk
berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal bukanlah setelah dua
salam, tetapi menunggu selesainya imam, dan diam sejenak sampai imam bangkit
untuk melaksanakan sholat sunnah jika setelahnya ada sholat sunnah. Atau
membelakangi mihrab jika setelahnya tidak ada sholat sunnah. Atau berpindah
dari tempatnya.
Dan tidak boleh
berdiri sebelum salam setelah tasyahud kecuali di beberapa kondisi: – apabila
seorang pengukur tanah takut kehilangan masanya. – atau yang memiliki kebutuhan
takut keluar dari waktunya. Apabila yang masbuk pada sholat jum’at khawatir
masuk pada waktu ashar. Atau masuk sholat zhuhur pada sholat ‘id, atau terbit
matahari pada sholat shubuh. Ataupun khwatir berhadats. Maka bagi yang tersebut
itu boleh untuk tidak menunggu selesainya imam.
Menurut
Madzhab Maliki:
Seorang yang masbuk
berdiri untuk menyempurnakan raka’atnya yang terlewat setelah imam salam.
Apabila ia berdiri sebelum imam salam, maka sholatnya batal. (Ad-Dasuki 1/345)
Menurut
MAdzhab Safi’i:
Disunnahkan bagi yang
masbuk untuk menyempurkan raka’at yang tertinggal setelah imam menyelesaikan
kedua salamnya. Jika ia berdiri setelah imam selesai mengucapkan:
“Assalamu’alaikum”, pada salam pertama, maka boleh. Jika ia berdiri sebelum
imam mengucapkan dua salam maka sholatnya batal. Sekalipun ia berdiri setelah
imam mengucapkan salam sebelum selesai membaca: “’alaikum”, maka hukumnya
seperti apabila ia berdiri sebelum imam mengucapkan dua salam. (Roudhoh
at-Tholibin 1/378 dan Majmu’, 3/487)
Menurut
Madzhab Hanbali:
Seorang yang masbuk
berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang luput setelah salam kedua imamnya.
Jika ia berdiri sebelum salam imam dan tidak kembali untuk berdiri setelah
salamnya. Maka sholatnya berubah menjadi sunnah. (Syarah Muntaha Al-Iradat
1/248 dan al-Inshaf, 2/222)
Menyempurnakan
Raka’at yang Tertinggal.
Jumhur
Ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah)
berpendapat bahwa apa yang didapati seorang masbuk dari sholatnya bersama imam
maka itu adalah akhir sholatnya. Dan apa yang disempurnakan oleh seorang masbuk
adalah raka’at awal sholatnya. (Al-Bahru Raiq, 1/313, Asy-Syarh Ash-Shagir
1/458, dan Al-Inshaf 4/225)
Menurut
Madzhab Syafi’i; Apa yang didapati
masbuk dari sholat bersama imam maka itu adalah awal sholatnya. Dan apa yang
disempurnakannya setelah imam salam adalah akhirnya. Berdasarkan sabda
Rosulullah: “Maka apa yang kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang
kamu luput (bersama imam) maka sempurnakanlah”. Dan penyempurnaan sesuatu itu
tidaklah ada kecuali setelah permulaannya. Berdasarkan ini, apabila ia sholat
shubuh bersama imam pada raka’at yang kedua kemudian qunut bersama imam, maka
ia harus mengulang qunut. Kalau ia mendapati satu raka’at sholat magrib bersama
imam, maka tasyahud yang keduanya itu sunnah, karena ia menempati tasyahudnya
yang pertama. Dan tasyahudnya bersama imam lil mutaba’ah (mengikuti) hal itu
adalah hujjah bahwa apa yang ia dapati bersama imam adalah permulaan sholatnya.
(Mugni Al-Muhtaj 1/206)
- 4. Mengangkat
Imam Pada Sholat Masbuq?
Pada dasarnya tidak apa-apa
seorang yang masbuk menjadi imam. Apabila seseorang datang untuk sholat
berjama’ah, sedangkan imam dan jama’ahnya sudah selesai melaksanakan shalat.
Kemudia ia mendapatkan seorang masbuk yang sedang menyempurnakan raka’at yang
tertinggal, maka ia berdiri disamping kanannya dan menjadikan orang yang masbuk
itu imam untuknya supaya mendapatkan pahala berjamaah. Maka insya Allah hal
tersebut sah.
Pada contoh seperti
ini, Syaikh Bin Baz berkata : “Tidak apa-apa akan hal tersebut insya Allah
menurut yang shohih”. Dan ia berkata: “Dianjurkan baginya sholat bersama yang
masbuk dimana ia berdiri disamping kanannya. Dengan semangat untuk mendapatkan
fadhilah sholat berjama’ah. Dan orang yang masbuk merubah niatnya menjadi imam,
maka tidaklah mengapa pada hal tersebut menurut ucapan para ulama yang paling
shohih”. (Kitab Ad-Da’wah 2/117)
Tapi bagaimana jika
mengangkat yang masbuk menjadi imam untuk yang masbuk. Misalkan ada tiga orang
masbuk. Setelah imam salam, kemudian mereka berdiri untuk menyempurnakan raka’at
yang tertinggal dan mengangkat imam dari salah seorang diantara mereka. Maka
dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat.
Pendapat
Pertama:
Menurut pendapat ini,
mengangkat yang masbuk menjadi imam pada sholat masbuk itu tidak boleh, bahkan
sebagian dari mereka mengkategorikannya kepada perbuatan bid’ah. Hal tersebut
dikarenakan tidak adanya satu pun dalil yang menjelaskan secara shorih bahwa
Rosulullah memerintahkan atau mencontohkannya.
Al-Ustadz
Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat, di dalam Buku Risalah Bid’ah, hal. 190,
menyatakan: Bid’ah ini tegas-tegas telah menyalahi Sunnah: Nabi shallahu’alaihi
wa sallam bersama Mughirah bin Syu’bah pernah menjadi masbuq di
dalam peperangan Tabuk. Ketika Abdurrahman bin ‘Auf yang menjadi imam shalat
memberi salam (selesai shalat), kemudian Nabi shallahu’alaihi wa sallam dan
Mughirah menyempurnakan satu raka’at yang tertinggal sendiri-sendiri tidak
membuat jama’ah. (Hadits riwayat Muslim dan lain-lain.)
Pendapat
Kedua:
Pendapat ini membantah
pernyataan pendapat pertama, bahwa tidak boleh mengangkat imam pada sholat
masbuk. Pendapat ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Mugirah bin Syu’bah diamana hadits ini menjelaskan bahwa Mugirah bersama
Rosulullah pernah masbuq. Adapun hadits tersebut sebagai berikut:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ
بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ
ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ
وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ
بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ
فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ
بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ
إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا.
Artinya:
Dari muqhirah bin syu’bah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah
tertinggal (dari rombongan pasukan) dan aku tertinggal bersama beliau, ketika
beliau selesai dari hajatnya, beliau bertanya apakah kamu ada air? Maka aku
bawakan ember (tempat bersuci), kemudian membasuh kedua telapak tanganya,
wajahnya dan menyingkap lengannya, namun lengan jubahnya terlalu sempit, maka
beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa jubah, dan meletakkan jubahnya di atas
bahunya, kemudian beliau membasuh kedua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya,
dan bagian atas surbannya serta kedua khufnya (semacam kaos kaki dari kulit),
kemudian beliau naik (kendaraan) dan akupun naik, ketika kami sampai pada
rombongan kaum (para sahabat), mereka sedang shalat yang diimami oleh
Abdurrahman bin Auf, dan sudah selesai satu rakaat, ketika (Abdurrahman bin
Auf) menyadari kedatangan Rasulullah, dia mundur, maka Rasulullah memberi isyarat
kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf) meneruskan tetap mengimami shalat mereka,
maka ketika Abdurrahman bin Auf salam (selesai shalat), Rasulullah berdiri, dan
aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal. (HR. Imam
Muslim, 2/123 Bab Al-Mashu ‘ala An-Nashiyah wa al-‘Imamah no: 81)
أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ غَزَا مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ قَالَ الْمُغِيرَةُ
فَتَبَرَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ الْغَائِطِ
فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ أَخَذْتُ أُهَرِيقُ عَلَى
يَدَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ
وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ جُبَّتَهُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمَّا
جُبَّتِهِ فَأَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي الْجُبَّةِ حَتَّى أَخْرَجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ
أَسْفَلِ الْجُبَّةِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ تَوَضَّأَ
عَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى
نَجِدُ النَّاسَ قَدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لَهُمْ
فَأَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى
الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مَعَ النَّاسِ الرَّكْعَةَ الْآخِرَةَ فَلَمَّا سَلَّمَ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُتِمُّ صَلَاتَهُ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ فَأَكْثَرُوا
التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَاتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ قَالَ قَدْ
أَصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أَنْ صَلَّوْا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا
Artinya: “Bahwasannya Muqhirah bin Syu’bah
menceritakan, bahwa dia berperang bersama Rasulullah Saw diperang Tabuk.
Mughirah berkata; Rasulullah hendak membuang hajat, kemudia mencari tempat yang
tertutup, maka aku bawakan satu ember air sebelum shalat subuh, ketika beliau
kembali, aku tuangkan air dari ember itu ketangannya, beliau membasuh tiga
kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan jubahnya untuk
mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet, maka Rasulullah
memasukan tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari bawah jubah, maka
beliau membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya, kemudian beliau berwudlu
di atas khuf (maksudnya tidak membasuh kaki, tapi beliau cukup mengusap bagian
atas khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit), kemudian beliau bergegas
(menyusul rombongan), Mughirah berkata: akupun bergegas bersama beliau, maka
kami mendapati romobongan (para sahabat) sedang shalat shalat, dan Abdurrahman
bin Auf yang menjadi imam mereka, dan sudah masuk rakaat terakhir. Maka ketika
Abdurrahman bin Auf salam dan selesai shalat, Rasulullah menyempurnakan
shalatnya, maka hal itu membuat kaum muslimin keheranan (Rasulullah menjadi
ma’mum), merekapun memperbanyak tasbih, maka ketika Rasulullah selesai shalat,
beliau menghadap kepada para sahabat dan berkata: ahsantum (kalian telah
berbuat benar), Mughirah berkata: atau beliau waktu itu mengatakan: kalian
benar, dimana mengajak manusia untuk shalat tepat pada waktunya”. (HR.
Imam Muslim 2/107 no: 105)
Itulah
diantara dalil pendapat kedua ini yang menjelaskan bahwa Rosulullah dan Mugirah
masbuk kemudian mereka menyempurnakan raka’at yang tertinggal secara
berjama’ah.
Hal teresebut
seperti yang disebutkan dalam hadits :
“قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا “
yang
artinya : Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan)
rakaat yang tertinggal.
Penggunaan
dhamir nahnu secara makna asal (hakiki) menunjukkan bahwa orang pertama dan
ketiga (yang dibicarakan) melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama.
Berarti melakukan rakaat shalat yang ketinggalan itu dengan berjamaah. Apabila
tidak diartikan demikian harus menunjukkan qarinah (keterangan pendukung).
Sebagai perbandingan kita lihat penggunaan dhamir yang sama pada kalimat
sebelumnya dalam riwayat Muslim.
Oleh karena iltu lah
pendapat ini berpegang pada hadits tersebut, bahwa seorang masbuk boleh
mengangkat imam pada sholat masbuk. Kemudian juga didukung dengan hadits yang
menjelaskan tentang keutamaan sholat berjamaah.
Apa ada kesalahan dalam artikel ini mohon di bantu kalau sohib-sohib memiliki pengetahuan tentang masalah masbuq ini. trima kasih sebelumnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar