Tentang Musbil
Dalam hadits diriwayatkan :
Dalam hadits diriwayatkan :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لا يَنْظُرُ للهُ
اِلىَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَا ء
Dari Ibnu ‘Umar RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena sombong”. [HR.Bukhari juz 7, hal. 33]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ
اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari qiyamat Allah tidak akan melihat kepada
orang yang menyeret izaarnya karena sombong”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 34]
عَنْ عَبْدِ للهِ بْنِ عُمَرَ رض قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ للهِ ص: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ
مَخِيْلَةً لمَْ يَنْظُرِ للهُ اِلَيْهِ
يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menyeret pakaiannya karena kesombongan, Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari qiyamat”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 35]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ للهِ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمِ : مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ اْلخُيَلَاءِ لمَْ
يَنْظُرِ للهُ اِلَيْهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda, “Barangsiapa menyeret pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak
akan melihatnya pada hari qiyamat”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1652]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّهُ رَاَى رَجُلًا
يَجُرُّ اِزَارَهُ، فَقَالَ : مِمَّنْ اَنْتَ؟ فَانْتَسَبَ لَه .
فَاِذًا رَجُلٌ مِنْ بَنِى لَيْثٍ . فَعَرَفَهُ
ابْنُ عُمَرَ . قَالَ : سمَِعْتُ رَسُوْلَ للهِ ص
بِاُذُنَيَّ هَاتَيْنِ يَقُوْلُ : مَنْ جَرَّ
اِزَارَهُ لَا يُرِيْدُ بِذٰلِكَ اِلَّا الْمَخِيْلَةَ فَاِنَّ للهَ
لَا يَنْظُرُ اِلَيْهِ يَوْمَ
اْلقِيَامَةِ
Dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya ia melihat seorang laki-laki yang menyeret izaarnya, lalu ia bertanya, “Dari suku manakah engkau ?”. Maka orang tersebut menyebutkan nasabnya. Ternyata dia seseorang dari bani Laits. Maka Ibnu ‘Umar pun mengenalnya. Ibnu ‘Umar berkata, “Aku mendengar dengan dua
telingaku ini bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menyeret izaarnya, ia tidak menghendaki dengan demikian itu melainkan kesombongan, maka sesungguhnya pada hari qiyamat Allah tidak akan melihatnya”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1652]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض عَنِ النَّبِيّ ص
قَالَ : مَا اَسْفَلَ مِنَ اْلكَعْبَيْنِ مِنَ
اْلاِزَارِ فَفِى النَّارِ
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Kain izaar yang berada di bawah mata kaki, adalah bagian dari api neraka”. [HR. Bukhari]
عَنْ اَبِى ذَرّ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ : ثَلَا
ثَةٌ لَا يُكَلّمُهُمُ للهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَ لَا
يَنْظُرُ اِلَيْهِمْ وَ لَا يُزَكّيْهِمْ وَ
لهَُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ، قَالَ : فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ للهِ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَِ ثَلَا ثَ مِرَارٍ . قَالَ اَبُوْ ذَرّ :
خَابوُْا وَ خَسِرُوْا، مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ
للهِ؟ قَالَ : ا لْمُسْبِلُ وَ ا لْمَنَّانُ وَ
ا لْمُنَفّقُ سِلْعَتَهُ بِاْلحَلِفِ اْلكَاذِبِ
Dari Abu Dzarr, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
“Ada tiga golongan yang kelak pada hari qiyamat Allah tidak akan mengajak
bicara mereka, Allah tidak akan melihat mereka, tidak akan membersihkan
(mengampuni dosa) mereka dan bagi mereka akan mendapat siksa yang pedih”.
Rasulullah SAW bersabda demikian tiga kali. Kemudian Abu Dzarr berkata,
“Sungguh menyesal dan rugi mereka itu. Siapakah mereka itu ya Rasulullah ?”.
Beliau menjawab, “Yaitu orang yang menurunkan kain izaarnya, orang yang suka
mengundat-undat pemberiannya dan orang yang menjual barang dagangannya dengan
menggunakan sumpah palsu”. [HR. Muslim juz 1, hal. 102]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : بَيْنَمَا رَجُلٌ
يُصَلّى مُسْبِلًا اِزَارَه ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ
للهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمِ : اِذْهَبْ فَتَوَضَّ أْ. فَذَهَبَ
فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ جَاء . ثُمَّ قَالَ : اِذْهَبْ
فَتَوَضَّ أْ. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ : يَا
رَسُوْلَ للهِ، مَا لَكَ اَمَرْتَهُ اَنْ يَتَوَضَّأَ ثُمَّ
سَكَتَ عَنْهُ؟ قَالَ : اِنَّهُ كَانَ يُصَلّى
وَ هُوَ مُسْبِلٌ اِزَارَهُ، وَ اِنَّ للهَ لَا
يَقْبَلُ صَلَا ةَ رَجُلٍ
مُسْبِلٍ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Pada suatu waktu
ada seseorang shalat dengan kain izaarnya sampai di bawah mata kaki, maka
Rasulullah SAW bersabda, “Pergilah dan berwudlulah !”. Ia pun pergi dan
berwudlu, kemudian ia datang. Kemudian beliau SAW bersabda kepadanya, “Pergilah
dan berwudlulah !”. Maka ada seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau
menyuruh orang itu melakukan wudlu, kemudian engkau diamkan ?”. Beliau
bersabda, “Karena ia shalat dengan memakai kain izaarnya sampai di bawah mata
kaki. Sesungguhnya Allah tidak akan menerima shalat seseorang yang memakai kain
izaarnya sampai di bawah mata kaki”. [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 57 no. 4086]
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Aku pernah lewat
di hadapan Rasulullah SAW, ketika itu kain izaar saya turun. Lalu beliau SAW
bersabda, “Hai ‘Abdullah, naikkanlah kain izaarmu”. Lalu aku menaikkannya.
Kemudian beliau bersabda lagi, “Naikkan lagi !”. Lalu aku menaikkannya lagi.
Kemudian aku selalu
menjaga yang demikian sesudah itu. Sebagian kaum
ada yang bertanya (kepada Ibnu ‘Umar), “Sampai dimana (menaikkannya) ?”. Ibnu
‘Umar menjawab, “Pertengahan betis”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1653]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ للهِ ص: اِزْرَةُ ا لْمُسْلِمِ اِلَى
نِصْفِ السَّاقِ وَ لَا حَرَجَ اَوْ لَا جُنَاحَ
فِيْمَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلكَعْبَيْنِ . مَا
كَانَ اَسْفَلَ مِنَ اْلكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِى
النَّارِ . مَنْ جَرَّ اِزَا رَهُ بَطَرًا لمَْ يَنْظُرِ اللهُ اِلَيْهِ
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda, “Kain izaar seorang muslim adalah sampai pertengahan
betis. Dan tidak mengapa atau tidaklah berdosa jika sampai pada diantara betis
dan kedua mata kaki. Sedangkan yang sampai di bawah mata kaki itu adalah bagian
neraka. Dan barangsiapa yang menyeret kain izaarnya karena sombong, maka kelak
Allah tidak akan melihat kepadanya”. [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 59, no. 4093]
عَنْ اَبِى جُرَيّ جَابِرِ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ
: رَاَيْتُ رَجُلًا يَصْدُرُ النَّاسُ عَنْ
رَأ يِ ه، لَا يَقُوْلُ شَيْئًا اِلَّا
صَدَرُوْا عَنْه . قُلْتُ : مَنْ هٰذَا؟ قَالُوْا: هٰذَا
رَسُوْلُ للهِ ص. قُلْتُ : عَلَيْكَ السَّلَا مُ
يَا رَسُوْلَ للهِ (مَرَّتَيْنِ ). قَالَ : لاَ تَقُلْ اِذَا
اَصَابَكَ ضُرٌّ فَدَعَوْتَهُ كَشَفَهُ عَنْكَ .
وَ اِذَا اَصَابَكَ عَامُ سَنَةٍ فَدَعَوْتَهُ
اَنْبَتَهَا لَكَ . وَ اِذَا كُنْتَ بِاَرْضٍ
قَفْرَاءَ اَوْ فَلَا ةٍ فَضَلَّتْ رَاحِلَتُكَ فَدَعَوْتَهُ
رَدَّهَا عَلَيْكَ . قُلْتُ : اِعْهَدْ اِلَيَّ
. قَالَ : لا تَسُبَّنَّ اَحَدًا. قَالَ : فَمَا
را وَ لَا عَبْدًا وَ لَا بَعِيْرًا وَ لَا
شَاةً . قَالَ : وَ لَا تَحْقِرَنَّ Œ سَبَبْتُ بَعْدَهُ حُ
شَيْئًا مِنَ ا لْمَعْرُوْفِ، وَ اَنْ تُكَلّمَ
اَخَاكَ وَ اَنْتَ مُنْبَسِطٌ اِلَيْهِ وَجْهُكَ
اِنَّ ذٰ لِكَ مِنَ ا لْمَعْرُوْفِ ، وَ ارْفَعْ
اِزَارَكَ اِلىَ نِصْفِ السَّاقِ، فَاِنْ اَبَيْتَ
فَاِلَى اْلكَعْبَيْنِ ، وَ اِيَّاكَ وَ
اِسْبَالَ اْلاِزَارِ فِاِنهََّا مِنَ ا لْمَخِيْلَةِ، وَ اِنَّ للهَ
لَا يُحِبُّ ا لْمَخِيْلَة . وَ اِنِ امْرُءٌ
شَتَمَكَ وَ عَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيْكَ فَلَا
تعَُيّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيْهِ .
فِاِنَّمَا وَبَالُ ذٰ لِكَ عَلَيْهِ
Dari Abu Juraiy (Jabir bin Sulaim), ia berkata :
Saya melihat seseorang yang pendapatnya selalu diikuti oleh orang banyak.
Apapun yang dikatakannya pasti diikuti mereka. Saya bertanya, “Siapakah orang
itu ?”. Para shahabat menjawab, “Itu adalah Rasulullah SAW”. Saya mengucapkan
salam, “ ‘Alaikas
salaam ya Rasuulallooh”, aku mengucapkan dua
kali. Maka beliau bersabda, “Janganlah kamu mengucapkan ‘Alaikas salaam, karena
ucapan ‘Alaikas salaam itu salam untuk orang yang sudah meninggal, tetapi
ucapkanlah Assalaamu ‘alaika". Aku bertanya, “Benarkah engkau utusan Allah
?”. Beliau menjawab, “Ya aku adalah utusan Allah, Tuhan yang apabila kamu
tertimpa suatu mushibah, kemudian kamu berdoa kepada-Nya, niscaya Dia akan
menghilangkan mushibah yang menimpa kamu. Apabila kamu tertimpa kemarau panjang
(kelaparan), kemudian kamu berdoa kepada-Nya, niscaya
tengah gurun pasir atau tanah lapang, kemudian
kendaraanmu atau ternakmu hilang, lalu kamu berdoa kepada-Nya, niscaya Dia akan
mengembalikannya kepadamu”. Aku berkata, “Berilah nasehat kepadaku”. Beliau
bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu memaki seseorang”. Jabir berkata, “Maka
setelah itu aku tidak pernah memaki orang merdeka, budak, unta ataupun
kambing”. Beliau juga bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu meremehkan sesuatu
kebaikan, dan berkatalah kepada temanmu dengan wajah yang manis. Sesungguhnya
yang demikian itu termasuk kebaikan. Dan tinggikanlah kain izaarmu sampai pada
pertengahan betis, dan kalau kamu enggan, maka boleh sampai pada kedua mata
kaki. Janganlah kamu menurunkan kain izaar itu melebihi mata kaki, karena hal
itu termasuk perbuatan sombong. Dan sesungguhnya Allah tidak menyukai
kesombongan. Dan apabila ada orang memaki dan mencela kamu dengan apa yang dia
ketahui tentang dirimu, maka janganlah kamu mencelanya dengan apa yang kamu
ketahui tentang cela dirinya, karena (jika kamu tidak membalasnya) sesungguhnya
akibat dari celaan itu akan kembali kepadanya”. [HR. Abu Dawud juz 4, hal. 56,
no. 4084]
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ للهِ عَنْ اَبِيْهِ رض
عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ : مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ
خُيَلَا ءَ لمَْ يَنْظُرِ للهُ اِلَيْهِ يَوْمَ
اْلقِيَامَةِ . قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ : يَا رَسُوْلَ للهِ، اِنَّ
اَحَدَ شِ قَّيْ اِزَارِى يَسْتَرْخِى اِلَّا
اَنْ اَتَعَاهَ دَ ذٰ لِكَ مِنْه . فَقَالَ النَّبِيُّ ص
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَا ء
Dari Salim bin ‘Abdullah, dari bapaknya RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, maka pada hari qiyamat nanti Allah tidak akan melihatnya”. Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kain izaar saya selalu turun sampai di bawah mata kaki, kecuali apabila saya sangat berhati-hati”. Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Sesungguhnya kamu tidaklah termasuk orang yang melakukannya karena sombong”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 34]
Keterangan :
Dari hadits-hadits di atas bisa kita fahami bahwa yang dilarang itu adalah melabuhkan izaar karena sombong. Adapun kalau tidak sombong, maka tidak termasuk yang dilarang dalam hadits tersebut.
Walaupun diantara hadits-hadits tersebut ada yang tidak menyebut karena sombong, dan ini merupakan dalil muthlaq, namun hadits-hadits yang lainnya menjelaskan bahwa yang dilarang itu adalah melabuhkannya karena sombong, dan ini merupakan dalil muqoyyad. Dan apabila ada dalil muthlaq dan dalil muqoyyad, maka yang dipakai adalah dalil muqoyyad. Tentang isbaal ini memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, ada yang berpendapat bahwa isbaal itu dilarang secara muthlaq, namun ada juga yang berpendapat bahwa yang dilarang itu apabila dilakukan dengan sombong, hal ini sudah dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al-'Asqolaniy di dalam Fathul Baari dalam kitab Libaas.
Adapun tentang memakai celana panjang (yang bahasa Arabnya saroowiil) hingga melebihi mata kaki, sampai sekarang kami belum mendapatkan hadits yang melarangnya. Walloohu a’lam. Kisah Raja Jabalah bin Al-Aiham (Pemimpin Bani Ghassaan) Di dalam Kitab Ahsanul Qoshosh disebutkan :
رُوِيَ اَنَّ اَحَدَ اكََابِرِ الْمُلُوْكِ وَ
هُوَ جَبَلَةُ بْنُ اْلاَيْهَمِ عِنْدَمَا اَرَادَ
الدُّخُوْلِ فِى اْلاِسْلَامِ اَقْبَلَ اِلَى
الْمَدِيْنَةِ فِى خمَْسِمِائَةِ فَارِسٍ عَلَيْهِمْ
ثِيَابُ اْلوَشْىِ، وَ هُوَ لَابِسُ تَاجِهِ وَ
فِيْهِ قُرْطُ مَارِ يَةَ بِنْتِ ظَالِمٍ زَوْجَةِ
الحَْارِثِ اْلاَكْبَرِ الْغَسَّانِيّ، كَانَ
فِيْهِ لُئْلُئَتَانِ عَجِيْبَتَانِ، فَفَرِحَ اَمِيْرُ
الْمُؤْمِنِيْنَ عُمَرُ بِاِسْلَامِهِ وَ فَرِحَ
الْمُسْلِمُوْنَ، وَ خَرَجُوْا لِمُقَابَلَتِهِ حَتَّى
حَضَرَ مَوْسِمُ الحَْجّ مِنْ عَ امِهِ مَعَ
عُمَرَ رض.
Diriwayatkan, bahwa salah seorang dari pembesar kerajaan, yaitu Jabalah bin Aiham, ketika akan masuk Islam, ia datang ke Madinah dengan diiringkan oleh lima ratus penunggang kuda dengan memakai pakaian yang berhias beraneka warna, sedangkan Jabalah memakai mahkota yang dihiasi dengan perhiasan berupa anting-antingnya Mariyah binti Dhoolim istri Al-Harits raja Agung di Ghossaan yang padanya ada dua mutiara yang mengagumkan. Amirul Mu'minin 'Umar bin Khaththab dan kaum muslimin merasa gembira dengan masuk Islamnya Jabalah bin Aiham itu, lalu mereka keluar untuk menyambut raja Jabalah tersebut. Kemudian raja Jabalah tinggal di Madinah bersama 'Umar RA sampai musim hajji pada tahun itu. Kemudian raja Jabalah menunaikan ibadah hajji.
وَ بَيْ نَمَا هُوَ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ
الحَْرَامِ اِذْ وَطِئَ اِزَارَهُ (رِدَاءَه ) رَجُلٌ اَعْرَابِيٌّ
مِنْ بَنِى فَزَرَاةَ فَحَلَّهُ، فَلَطَمَهُ
جَبَلَةُ عَلَى وَجْهِهِ فَهَشَمَ اَنْفَهُ، فَذَهَبَ
اْلاَعْرَابِيُّ اِلَى سَيّدِنَا عُمَرَ
لِيَشْكُو الْمَلِكَ . فَط لَبَهُ سَيّدُنَا عُمَرُ وَ قَالَ
لَه : مَا دَعَاكَ يَا جَبَلَةُ اِلَى اَنْ لَطَمْتَ
اَخَاكَ هٰذَا الْفَزَارِيَّ فَهَشَمْتَ
اَنْفَهُ؟ فَقَالَ : اِنَّهُ وَطِئَ اِزَارِى
فَحَلَّه . فَقَالَ عُمَرُ : اَمَّا اَنْتَ فَقَدْ
اَقْرَرْتَ، اِمَّا اَنْ ترُْضِيَهُ، وَ اِمَّ ا
اَنْ يَضْرِبَكَ مِثْلَ مَا ضَرَبْتَه . فَعَجِبَ
لِذٰلِكَ جَبَلَةُ وَ قَالَ : كَيْفَ
يَضْرِبُنِى وَ اَنَا مَلِكٌ كَبِيْرٌ وَ هُوَ مِنَ
السُّوْقَةِ؟ فَلَا يَصِحُّ اَنْ يَضْرِبَنِى
كَمَا ضَرَبْتُهُ، وَ هَلْ اَسْتَوِى اَنَا وَ هُوَ
فِى ذٰلِكَ؟ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : يَا
جَبَلَةُ، لَقَدْ جمََعَكَ وَ اِيَّاهُ اْلاِسْلَام . وَ
اْلاِسْلَامُ سَاوَي بَيْنَكُمَا، وَ كُلُّ
الْمُسْلِمِيْنَ سَوَاءٌ، لَا فَرْقَ بَيْنَ الْمَلِكِ
وَ الرَّعِيَّةِ، وَ لَا فَضْلَ لِاَحَدٍ عَلَى
اَحَدٍ اِلَّا بِالتَّقْوَى. فَقَالَ جَبَلَة : و
للهِ، لَقَدْ رَجَوْتُ اَنْ اكَُوْنَ فِى
اْلاِسْلَامِ اَعَزُّ مِنّى فِى اْلجَاهِلِيَّةِ . قَالَ
عُمَرُ : هُوَ كَذٰلِكَ . قَالَ جَبَلَة :
اَخّرْنِى اِلَى غَدٍ يَا اَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ ! قَالَ
.
٩٢ : احسن القصص ٣
Ketika Jabalah sedang melaksanakan thawaf di
Baitul Haram, tiba-tiba kain izaarnya (atau rida'nya) terinjak oleh seorang
laki-laki 'Arab Badui dari suku Bani Fazarah, sehingga terlepas, lalu Jabalah
memukul wajah orang 'Arab Badui itu sehingga patah tulang hidungnya. Kemudian
orang 'Arab Badui itu pergi menghadap khalifah 'Umar untuk mengadukan perbuatan
raja Jabalah tersebut. Kemudian khalifah 'Umar memanggil raja Jabalah bin
Aiham, lalu bertanya, "Hai Jabalah, apa yang menyebabkan kamu memukul
saudaramu orang Bani Fazarah ini sehingga kamu mematahkan tulang hidungnya
?". Jabalah menjawab, "Dia menginjak kain izaarku sehingga
terlepas". 'Umar berkata, "Hai Jabalah, bukankah kamu telah mengakui
perbuatanmu ? Sekarang kamu tinggal pilih, kamu meminta ma'af dan ridlanya
orang itu, atau biar orang itu membalas dengan memukulmu seperti kamu telah
memukulnya ?". Jabalah merasa terkejut dengan keputusan 'Umar itu. Lalu ia
berkata, "Bagaimana mungkin dia akan memukulku, aku adalah raja agung,
sedangkan dia adalah rakyat jelata ? Tidak bisa dia memukulku sebagaimana aku
memukulnya, dan apakah aku dan dia sama tentang hal itu ?". 'Umar berkata
kepadanya, "Hai Jabalah, sungguh Islam telah mengumpulkan kamu dan dia.
Islam telah menyamakan antara kamu berdua. Dan semua orang Islam adalah sama,
tidak ada perbedaan antara raja dan rakyat, dan tidak ada kelebihan seseorang
dengan yang lainnya, kecuali dengan taqwa". Lalu Jabalah berkata,
"Demi Allah, sungguh tadinya aku mengira bahwa dengan masuk Islam itu aku
akan lebih mulia daripada diwaktu jahiliyyah". 'Umar berkata, "Ya,
memang demikian". Kemudian Jabalah berkata, "Wahai Amirul Mu'minin,
berilah tempo kepadaku sampai besok pagi". 'Umar berkata, "Ya, aku
berikan tempo kepadamu". Kemudian ketika gelap malam, Jabalah bersama para
pengawalnya pergi tanpa menoleh ke belakang, melarikan diri hingga tiba di
Konstantinopel, untuk bertemu dengan Hiraclius raja Romawi, lalu ia murtad,
menjadi orang Nashrani dan tinggal di situ. [Ahsanul Qoshosh juz 3, hal. 92].
Hukum-hukum agama yang disyari'atkan kepada
kita, ada yang tidak diterangkan sebabnya, dan ada pula yang diterangkan
(dijelaskan) sebabnya. Hukum-hukum yang tidak diterangkan sebabnya oleh Allah
atau Rasul-Nya, tidak boleh kita gugurkan dengan sebab-sebab buatan kita
sendiri, seperti daging babi, menurut dokter, padanya ada satu jenis cacing
yang sangat membahayakan kesehatan manusia. Cacing ini tidak bisa mati
melainkan dengan panas 70 derajat. Maka untuk mendapatkan panas 70 derajat ke
dalam daging itu perlu dimasak dengan panas 90 derajat. Anggapan haramnya
daging babi disebabkan oleh adanya cacing ini merupakan pemikiran (buatan)
manusia yang tidak berdasarkan alasan agama. Oleh karena itu, walaupun kita
masak sampai hanguspun, maka daging babi itu tidak bisa menjadi halal. Adapun
tentang memelihara jenggot, Nabi SAW menjelaskan sebabnya, yaitu supaya berbeda
dengan orang-orang musyrikin atau orang-orang Majusi. Di dalam hadits
disebutkan sebagai berikut :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيّ ص اَنَّهُ
اَمَرَ بِاِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَ اِعْفَاءِ اللّحْيَةِ
Dari Ibnu 'Umar, dari Nabi SAW, bahwasanya beliau
menyuruh supaya mencukur kumis dan memelihara jenggot. [HR. Muslim juz 1, hal.
222]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
للهِ ص: اِنْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَ اَعْفَوا اللحى
Dari Ibnu “umar RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Cukurlah kumis, dan peliharalah jenggot”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 56]
َعَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
للهِ ص: جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَ اَرْخُوا اللحى خَالِفُوا لمَجُوْس
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda, “Cukurlah kumismu dan biarkanlah jenggotmu, hendaklah kalian
menyelisihi kaum Majusi”. [HR. Muslim juz 1, hal. 222]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ :
خَالِفُوا ا لْمُشْرِكِيْنَ وَفّرُوا اللّحَى وَ احْفَوا الشوارِبَ
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
“Hendaklah kalian menyelisihi kaum musyrikin, peliharalah jenggot dan cukurlah
kumis”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 56]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ للهِ
ص: خَالِفُوا ا لْمُشْرِكِيْنَ اَحْفُوا
الشَّوَارِبَ وَ اَوْفُوا اللّحَى
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian menyelisihi kaum musyrikin, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot”. [HR. Muslim juz 1, hal. 222]
Penjelasan :
Dalam hadits-hadits di atas Rasulullah SAW
memerintahkan kita supaya menyelisihi kaum Majusi dan musyrikin tentang
jenggot, yaitu hendaklah kita panjangkan jenggot dan mencukur kumis, karena
mereka kaum Majusi dan kaum musyrikin itu tidak memelihara jenggot, tetapi
memelihara kumis. Jadi, yang diperlukan dalam hal ini adalah perbedaan antara
orang Islam dengan orang Majusi dan musyrikin.
Di jaman Nabi SAW, kaum Majusi dan musyrikin
memakai pakaian yang sama dengan kaum muslimin. Perbedaan antara kaum muslimin
dengan mereka itu tidak nampak. Maka Nabi SAW menyuruh kita supaya memelihara
jenggot dan mencukur kumis agar ada perbedaan. Maka sekarang, kalau kita bisa
mengadakan perbedaan antara kaum muslimin dengan yang lainnya dengan sesuatu
cara, maka tidak ada halangan tentang mencukur jenggot. Bahkan, jenggot tidak
berguna kalau tidak menjadi pembeda, sebagaimana sebagian dari orang-orang
India, yang kafir berjenggot dan bersorban, yang Islam juga begitu, dan seperti
sebagian dari orang-orang di negeri China yang kafir mereka memakai jenggot,
maka kalau orang Islam juga berjenggot, maka hal itu tidak menjadikan pembeda.
Walloohu a’lam.