Cara Rasulullah beritidal

CARA I’TIDAL
Pengertian
I’tidal adalah posisi dimana setelah selesai ruku', kita bangkit dari ruku' dengan mengangkat dua tangan hingga sejajar dengan dua bahu/telinga sambil mengucapkan Sami'alloohu liman hamidah. Kemudian disusul dengan membaca Robbanaa wa lakal-hamdu, atau bacaan i'tidal yang lain, sehingga berdiri tegak dan setiap tulang kembali ke tempatnya.
Bagaimanakah cara I’tidal yang benar ?
‘Ulama berbeda pendapat tentang cara I’tidal, apakah tangan kembali bersedekap sebagaimana sebelum ruku’, atau tangan dilepas sebagaimana sebelum shalat. Dalam hal ini terjadi 2 pendapat.

Pendapat pertama,
Orang yang shalat, setelah bangkit dari ruku’ lalu I’tidal, tangan harus bersedekap sebagaimana keadaan sebelum ruku’. Mereka mengetengahkan alasan sebagai berikut :
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص اِذَا كَانَ قَائِمًا فِى الصَّلاَةِ قَبَضَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ. النسائى 2: 125
Dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau menggenggam dengan tangan kanannya pada tangan kirinya”. [HR. Nasaaiy juz 2, hal. 125]
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ ص فَوَضَعَ يَدَهُ اْليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اْليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ. ابن خزيمة
Dari Wail bin Hujr, ia berkata : Saya pernah shalat bersama Nabi SAW, ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dadanya. [HR. Ibnu Khuzaimah]
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ اَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ اْليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ اْليُسْرَى فِى الصَّلاَةِ. البخارى 1: 180
Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Adalah orang-orang (para shahabat) diperintahkan (Nabi SAW), bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya dalam shalat”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 180]
Dari hadits shahih ini ada petunjuk disyariatkan bagi orang yang shalat supaya meletakkan tangan kanan pada kirinya ketika berdiri, baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena Sahl bin Sa’ad mengkhabarkan bahwa orang-orang (para shahabat) diperintahkan Nabi SAW bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya dalam shalat. Dan telah dimengerti bahwasanya hadits menjelaskan orang shalat dalam keadaan ruku’ ia meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, dan dalam keadaan sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan kedua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud, begitu pula dalam tasyahhud ia meletakkan tangannya pada kedua paha dan lututnya dengan dalil masing-masing secara terperinci. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwasanya maksud dalam hadits riwayat Sahl bin Sa’addan Wail bin Hujr  itu adalah disyari’atkan bagi orang yang shalat ketika berdiri dalam shalat agar meletakkan tangan kanan pada tangan kirinya (bersedekap). Sama saja baik berdiri sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi SAW yang membedakan antara keduanya, oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah ia tunjukkan dalilnya.
Jadi maksud perintah sedekap dalam shalat itu yang mestinya tetap dikerjakan selama di dalam shalat, ternyata ditujukan hanya ketika berdiri saja. Pemalingan ini karena adanya dalil lain, yaitu dalil perincian dimana meletakkan telapak tangan ketika ruku’, sujud, duduk antara dua sujud, dan duduk tasyahhud. Dengan demikian maksud disyari’atkannya sedekap dalam shalat pada hadits Bukhari dan lainnya itu adalah tidak dari awwal sampai akhir harus sedekap, tetapi ditujukan hanya waktu berdiri sebagaimana riwayat Nasaiy di atas.
Orang yang shalatnya mencontoh Nabi SAW mesti bersedekap. Ia tidak akan melepaskan sedekap kecuali untuk mengerjakan dalil yang khusus. Pengertian berdiri dalam shalat ini umum, meliputi berdiri sebelum dan sesudah ruku’. Keumumam ini tetap terpakai selama tidak ada yang mengkhususkannya.
Mereka yang tidak mau melakukan tanpa memiliki alasan, berarti tidak mencontoh shalatnya Nabi SAW. Karena berdiri dalam shalat ada dua macam, yaitu sebelum dan sesudah ruku’, maka pada kedua tempat itu mesti bersedekap.
Tambahan :
Disamping dalil umum wajibnya meletakkan tangan kanan pada tangan kiri di dada ketika berdiri dalam shalat, adanya sedekap juga disimpulkan dari riwayat berikut ini.
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ص حِيْنَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِذَاءَ اُذُنَيْهِ، ثُمَّ حِيْنَ رَكَعَ، ثُمَّ حِيْنَ قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ، وَ رَأَيْتُهُ مُمْسِكًا بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فِي الصَّلاَةِ…. احمد
Dari Wail bin Hujr, ia berkata : Saya pernah melihat Nabi SAW ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan daun telinganya, kemudian (juga mengangkat tangan) ketika ruku’, kemudian ketika mengucap “Sami’alloohu liman hamidah”, (juga mengangkat kedua tangannya), dan pada waktu itu saya melihatnya dalam keadaan memegang dengan tangan kanannya atas tangan kirinya dalam shalat”. ….. [HR. Ahmad]
Ucapan Wail bin Hujr dalam hadits tersebut “roaituhu mumsikan biyamiinihi ‘alaa syimaalihi”, merupakan petunjuk yang sangat jelas, bahwa setelah bangkit dari ruku’ (ketika berdiri I’tidal), tanngan kanan berada di atas tangan kiri, dan tentu saja letaknya di dada, karena ada riwayat lain yang menerangkan demikian, sebagaimana berikut ini :
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ ص فَوَضَعَ يَدَهُ اْليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اْليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ. ابن خزيمة
Dari Wail bin Hujr, ia berkata : Saya pernah shalat bersama Nabi SAW, ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dadanya. [HR. Ibnu Khuzaimah]
Kalau riwayat di atas masih dianggap belum cukup, maka berikut ini adalah kesaksian lain dari Wail bin Hujr ketika ia shalat bersama Nabi SAW :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ ص، فَكَبَّرَ حِيْنَ دَخَلَ وَ رَفَعَ يَدَيْهِ وَحِيْنَ اَرَادَ اَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ، وَ حِيْنَ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَ يَدَيْهِ وَ وَضَعَ كَفَّيْهِ …. احمد
Saya pernah shalat di belakang Nabi SAW, maka ia bertakbir ketika masuk (memulai shalat), dan mengangkat kedua tangannya, dan ketika akan ruku’ ia angkat kedua tangannya, dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ ia juga mengangkat kedua tangannya, dan ia meletakkan kedua telapak tangannya ….. [HR. Ahmad]
Riwayat yang terakhir inipun cukup terang menjelaskan bahwa ketika bangkit dari ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya dan kemudian meletakkan kedua telapak tangannya.
Meskipun pada riwayat ini tidak dijelaskan dimana kedua telapak tangannya diletakkan, tetapi riwayat lain (sebagaimana yang tersebut di atas) menerangkan bahwa yang dimaksud adalah di dada. Adapun waktunya setelah bangkit dari ruku’, yaitu ketika berdiri I’tidal.
Mudah-mudahan dengan beberapa riwayat tersebut di atas cukup meyaqinkan kita terhadap kebenaran sedekap pada waktu berdiri I’tidal.
Demikianlah alasan yang diketengahkan oleh pendapat pertama.

Pendapat kedua,
Orang yang shalat, setelah bangkit dari ruku’ lalu I’tidal, tangan dilepas sebagaimana sebelum shalat. Alasannya sebagai berikut :
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص اِذَا كَانَ قَائِمًا فِى الصَّلاَةِ قَبَضَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ. النسائى 2: 125
Dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau menggenggam dengan tangan kanannya pada tangan kirinya”. [HR. Nasaaiy juz 2, hal. 125]
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ اَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ اْليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ اْليُسْرَى فِى الصَّلاَةِ. البخارى
Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Adalah orang-orang (para shahabat) diperintahkan (Nabi SAW), bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya dalam shalat”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 180]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: مَرَّ بِى النَّبِيُّ ص وَ اَنَا وَاضِعٌ يَدِى اليُسْرَى عَلَى اْليُمْنَى. فَاَخَذَ بِيَدِى اْليُمْنَى فَوَضَعَهَا عَلَى اْليُسْرَى. ابن ماجه 1: 266
Dari Abdullah bin Masud, dia berkata, Nabi SAW melewati aku ketika aku (sedang shalat dengan) meletakkan tangan kiri pada tangan kanan. Maka beliau memegang tanganku yang kanan, lalu meletakkannya pada tanganku yang kiri. [HR. Ibnu Majah juz I, hal. 266]
عَنْ قَبِيْصَةَ بْنِ هُلَبٍ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ص يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَ عَنْ يَسَارِهِ وَ رَأَيْتُهُ قَالَ يَضَعُ هذِهِ عَلَى صَدْرِهِ، وَصَفَ يَحْيَى اْليُمْنَى عَلَى اْليُسْرَى فَوْقَ الْمِفْصَلِ. احمد 8: 225 رقم 22026
Dari Qabishah bin Hulab dari bapaknya, ia berkata, Saya pernah melihat Nabi SAW berpaling (selesai shalat) dari sebelah kanan dan dari sebelah kirinya. Dan aku melihatnya beliau meletakkan ini pada dadanya. Yahya (perawi hadits) menerangkan yaitu beliau meletakkan tangan kanan pada tangan kirinya di pergelangan. [HR. Ahmad juz 8, hal. 225 hadits no. 22026].
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ وَضَعَ يَدَهُ اْليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اْليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ. ابن حزيمة 1: 243
Dari Wail bin Hujr, ia berkata : Saya pernah shalat bersama Rasulullah SAW, dan beliau meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya di dada beliau. [HR. Ibnu Khuzaimah juz 1, hal. 243]
عَنْ طَاوُسٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَضَعُ يَدَهُ اْليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اْليُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَ هُوَ فِى الصَّلاَةِ. ابو داود 1: 201
Dari Thawus, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW meletakkan tangannya yang kanan pada tangannya yang kiri, kemudian beliau memegangnya erat-erat di dadanya ketika shalat. [HR. Abu Dawud juz 1, hal. 201]
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ قُلْتُ َلاَنْظُرَنَّ اِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ ص كَيْفَ يُصَلّى فَنَظَرْتُ اِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفّهِ الْيُسْرَى وَ الرُّسْغِ وَ السَّاعِدِ. النسائى 2: 126
Dari Wail bin Hujr, ia berkata : Aku berkata, “Sungguh aku ingin melihat shalat Rasulullah SAW bagaimana beliau shalat, maka saya melihat beliau, maka beliau berdiri, lalu beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangan beliau sehingga sejajar dengan daun telinga, kemudian beliau meletakkan tangan kanannya pada telapak tangan kirinya.dan pergelangan tangannya dan lengannya. [HR. Nasaaiy juz 2, hal. 126]
Hadits hadits yang menerangkan tentang sedekap pada saat berdiri dalam shalat itu adalah pernyataan umum, tetapi yang dimaksud adalah khusus (yaitu setelah takbiratul ihram, sampai sebelum ruku’). Hadits berikut ini menunjukkan kekhususan itu.
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ اَنَّهُ رَاَى النَّبِيَّ ص رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ (وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ اُذُنَيْهِ) ثُمَّ اِلْتَحَفَ بِثَوْبِهِ. ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنىَ عَلَى الْيُسْرَى. فَلَمَّا اَرَادَ اَنْ يَرْكَعَ اَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهُمَا. ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ. فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ. فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ. مسلم 1: 301
Dari Wail bin Hujr, sesungguhnya ia melihat Nabi SAW mengangkat kedua tangannya pada waktu memulai shalat, beliau bertakbir (Hammam, perawi hadits menerangkan : beliau mengangkat tangannya hingga sejajar kedua telinganya) Kemudian beliau berselimut dengan pakaiannya, kemudian beliau meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya (bersedekap). Ketika beliau akan ruku’, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya, kemudian mengangkat keduanya, kemudian bertakbir dan ruku’. Ketika beliau membaca Sami’alloohu liman hamidah, beliau mengangkat kedua tangannya, dan ketika sujud beliau sujud diantara dua tapak tangannya” [HR. Muslim juz I, hal. 301]
Di dalam hadits ini jelas bahwa Nabi SAW meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya (bersedekap) itu beliau lakukan setelah takbiratul ihram sampai akan ruku’. Dan setelah ruku’ tidak ada keterangan beliau kembali bersedekap.
Jadi, orang yang shalat, ketika I’tidal tangannya tidak bersedekap, tetapi dilepas, karena tidak ada hadits yang jelas-jelas menunjukkan bahwa Nabi SAW bersedekap ketika I’tidal, sedangkan dalam hal ibadah kita hanya sekedar mengikut kepada contoh dari Nabi SAW.
Penjelasan :
Kami sependapat dengan pendapat kedua dengan alasan sebagaimana yang telah diketengahkan di atas, dan dengan tambahan keterangan sebagai berikut :
Hadits riwayat Ahmad (yang pertama pada tambahan) yang dipakai alasan pendapat pertama, kalau dipotong seperti itu, maka seolah-olah benar bahwa Nabi SAW setelah bangkit dari ruku’ kemudian beliau bersedekap. Padahal tidak demikian, tetapi di situ Wail bin Hujr setelah melihat shalat Nabi SAW lalu dia menerangkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dari takbiratul ihram sampai attahiyyat. Hadits tersebut lengkapnya sebagai berikut :
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ص حِيْنَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِذَاءَ اُذُنَيْهِ ثُمَّ حِيْنَ رَكَعَ ثُمَّ حِيْنَ قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ، وَ رَأَيْتُهُ مُمْسِكًا بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فِي الصَّلاَةِ، فَلَمَّا جَلَسَ حَلَّقَ بِالْوُسْطَى وَاْلاِبْهَامِ وَ اَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ اْليُمْنَى وَ وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى. احمد 6: 478، رقم: 18893
Dari Wail bin Hujr, ia berkata : Aku melihat Nabi SAW (shalat), ketika bertakbir beliau mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan daun telinganya, kemudian ketika ruku’, kemudian ketika mengucap “Sami’alloohu liman hamidah”, beliau mengangkat kedua tangannya, dan aku melihat beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya di dalam shalat. Maka ketika beliau duduk (attahiyyat), beliau melingkarkan jari tengahnya dengan ibu jari, dan berisyarat dengan (menjulurkan) jari telunjuknya, dan beliau meletakkan tangan kanannya pada paha yang kanan dan meletakkan tangan kirinya pada paha yang kiri”. [HR. Ahmad, juz 6, hal. 478, no. 18893]
Di situ Wail bin Hujr menerangkan bahwa Nabi SAW bersedekap di dalam shalat, tetapi tidak menerangkan bahwa beliau bersedekap ketika I’tidal.
Kalimat “wa roaituhu mumsikan biyamiinihi ‘alaa syimaalihi” itu artinya “dan aku melihat beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya”, bukan “kemudian aku melihat beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya”, karena di situ kata (وَ) artinya “dan”, bukan memakai kata-kata (ثُمَّ) yang artinya “kemudian”.
Jadi maksud hadits itu, Nabi SAW bersedekap setelah takbiratul ihram sampai sebelum ruku’. Dan tidak bisa dipahami bahwa Nabi SAW bersedekap ketika I’tidal. Dan tidak bisa pula dipahami bahwa Nabi SAW bersedekap ketika I’tidal dan tidak bersedekap ketika membaca Al-Fatihah dan surat, dengan alasan penyebutan bersedekap itu sesudah penyebutan ruku’, sedangkan sebelum menyebutkan ruku’ malah tidak disebutkan tentang bersedekap.
Adapun hadits riwayat Ahmad (yang kedua pada tambahan), itupun maksudnya bukanlah Nabi SAW setelah ruku’ lalu bersedekap, tetapi maksudnya di situ Wail bin Hujr menerangkan bahwa Nabi SAW ketika shalat beliau meletakkan kedua telapak tangannya ketika sujud. Bahkan hadits itu sama sekali tidak menerangkan tentang bersedekap. Hadits tersebut lengkapnya sebagai berikut :
عَنْ وَائِلٍ اْلحَضْرَمِيّ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ ص، فَكَبَّرَ حِيْنَ دَخَلَ وَ رَفَعَ يَدَيْهِ وَ حِيْنَ اَرَادَ اَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ وَ حِيْنَ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَ يَدَيْهِ وَ وَضَعَ كَفَّيْهِ وَ جَافَى وَ فَرَشَ فَخِذَهُ الْيُسْرَى مِنَ الْيُمْنَى وَ اَشَارَ بِاُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ. احمد 6: 475، رقم: 18877
Dari Wail Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku shalat di belakang Rasulullah SAW, maka beliau bertakbir ketika memulai dan mengangkat kedua tangannya, ketika akan ruku’ mengangkat kedua tangannya, ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ mengangkat kedua tangannya, dan beliau meletakkan kedua telapak tangannya (ketika sujud) dan merenggangkan tangannya (dari lambungnya), dan (ketika attahiyyat) beliau bertumpu pada pahanya yang kiri, dan dari pahanya yang kanan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya. [HR. Ahmad juz 6, hal. 475, no. 18877]
Di dalam hadits ini bahkan sama sekali tidak menerangkan tentang bersedekap. Adapun arti “wa wadlo’a kaffaihi” itu artinya beliau meletakkan kedua telapak tangannya (di waktu sujud). Mengartikan yang demikian ini sesuai dengan hadits di bawah ini :
عَنْ اَبِى حُمَيـْدٍ السَّاعِدِيّ اَنَّ النَّبِىَّ ص كَانَ اِذَا سَجَدَ اَمْكَنَ اَنْفَهُ وَ جَبْهَتَهُ اْلاَرْضَ، نَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَ وَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ. الترمذى 1: 169، رقم: 269
Dari Abu Humaid As-Saaidiy, bahwasanya Nabi SAW apabila sujud, beliau menekankan hidung dan dahinya ke bumi, dan menjauhkan dua tangannya dari dua lambungnya dan meletakkan dua tapak tangannya sejajar dengan dua bahunya". [HR. Tirmidzi juz 1, hal. 169, no. 269]
عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ. مسلم 1: 356
Dari Baraa', ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kamu bersujud, maka letakkanlah dua tapak tanganmu dan angkatlah dua sikumu". [HR. Muslim juz 1, hal. 356]
Demikian alasan-alasan yang dapat kami kemukakan. Walloohu a’lam.

~oO[ @ ]Oo~
 Brosur MTA No. : 1486/1526/IA

Apa itu AQIQAH

‘AQIQAH

Pengertian Aqiqah
Menurut bahasa Aqiqah berasal dari (عَقَّ-يَعُقُّ-عَقًّا) artinya : memotong. Dinamakan Aqiqah (yang dipotong), karena dipotongnya leher binatang dengan penyembelihan itu.
Ada pula yang mengatakan bahwa aqiqah itu asalnya ialah : Rambut yang terdapat pada kepala si bayi ketika ia keluar dari rahim ibu, rambut ini disebut aqiqah, karena ia mesti dicukur.
Adapun menurut istilah agama, yang dimaksud aqiqah ialah : Sembelihan yang disembelih sehubungan dengan kelahiran seorang anak, baik laki-laki ataupun perempuan pada hari yang ke tujuh sejak kelahirannya dengan tujuan semata-mata mencari ridla Allah.

Sejarah Aqiqah
Syariat aqiqah, yaitu menyembelih 2 ekor kambing jika anaknya laki-laki, dan seekor kambing jika anaknya perempuan, telah dikenal dan biasa dilakukan orang sejak zaman jahiliyah, namun dengan cara yang berbeda dengan yang dituntunkan oleh Nabi SAW bagi ummat Islam.
Buraidah berkata :
كُنَّا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا وُلِدَ ِلاَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَ لَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللهُ بِاْلاِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَ نَحْلِقُ رَأْسَهُ وَ نَلْطَخُهُ بزَعْفَرَانٍ. ابو داود 3: 107
Dahulu kami di masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 107]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانُوْا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا عَقُّوْا عَنِ الصَّبِيّ خَضَبُوْا قُطْنَةً بِدَمِ اْلعَقِيْقَةِ. فَاِذَا حَلَقُوْا رَأْسَ الصَّبِيّ وَضَعُوْهَا عَلَى رَأْسِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اِجْعَلُوْا مَكَانَ الدَّمِ خَلُوْقًا. ابن حبان بترتيب ابن بلبان 12: 124
Dari 'Aisyah, ia berkata, "Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka beraqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya. Maka Nabi SAW bersabda, "Gantilah darah itu dengan minyak wangi". [HR. Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Balban juz 12, hal. 124]
Demikianlah sejarah syariat aqiqah dalam Islam, dan dari riwayat-riwayat diatas serta riwayat-riwayat lain, tampak jelas bagaimana sikap agama tercinta ini dalam menghadapi adat yang sudah biasa berjalan dan berlaku pada masyarakat dan masih mungkin diluruskan. Tegasnya, Islam sesuai dengan fungsi diturunkannya yaitu sebagai lambang kasih sayang serta memimpin ke arah jalan yang serba positif, maka dalam menghadapi adat-istiadat yang sudah biasa dilaksanakan sekelompok manusia, menempuh tiga macam cara yaitu :
a.  Menghapusnya sama sekali, bila didalam adat-istiadat itu mengandung unsur-unsur kemusyrikan yang tidak mungkin diluruskan lagi, maupun hal-hal yang membahayakan keselamatan manusia itu sendiri; baik dari segi aqidah (rohani) maupun bagi tata masyarakatnya.
     Dalam hal ini Islam tidak dapat mentolerir atau membiarkannya hidup dan bersemi dalam kehidupan ummatnya, karena sesuai dengan kenyataan, bahwa petani yang pandai serta bertanggungjawab terhadap berhasil dan suburnya sang padi, tidak akan membiarkan hidup alang-alang dan rumput-rumput liar yang ada di sekeliling padinya.
b.  Sedang bila dalam adat-istiadat tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan agama akan tetapi masih dapat diluruskan, maka Islam datang untuk meluruskannya dan kemudian berjalan bersama-sama dengan Islam, sebagaimana masalah aqiqah ini.
c.  Adapun adat-istiadat yang tidak mengandung unsur-unsur kemusyrikan dan kedhaliman serta tidak bertentangan dengan agama, maka Islam memelihara dan memberi hak hidup baginya untuk berkembang lebih lanjut dalam masyarakat tersebut tanpa sesuatu perubahanpun.

Hal-hal yang disyariatkan sehubungan dengan aqiqah
A. Yang berhubungan dengan sang anak
1.  Disunnahkan untuk memberi nama dan mencukur rambut (menggundul) pada hari ke-7 sejak hari lahirnya. Misalnya lahir pada hari Ahad, aqiqahnya jatuh pada hari Sabtu.
2.  Bagi anak laki-laki disunnahkan beraqiqah dengan 2 ekor kambing sedang bagi anak perempuan 1 ekor.
3.  Aqiqah ini terutama dibebankan kepada orang tua si anak, tetapi boleh juga dilakukan oleh keluarga yang lain (kakek dan sebagainya).
4.  Aqiqah ini hukumnya sunnah.
Dalil-dalil Pelaksanaan
عَنْ يُوْسُفَ بْنِ مَاهَكٍ اَنَّهُمْ دَخَلُوْا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمنِ فَسَأَلُوْهَا عَنِ اْلعَقِيْقَةِ، فَاَخْبَرَتْهُمْ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَهُمْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. الترمذي3: 35، رقم: 1549
Dari Yusuf bin Mahak bahwasanya orang-orang datang kepada Hafshah binti 'Abdur Rahman, mereka menanyakan kepadanya tentang 'aqiqah. Maka Hafshah memberitahukan kepada mereka bahwasanya 'Aisyah memberitahu kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabat (agar menyembelih 'aqiqah) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 35, no. 1549].
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى. البخارى
Dari Salman bin Amir Adl-Dlabiy, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Tiap-tiap anak itu ada aqiqahnya. Maka sembelihlah binatang aqiqah untuknya dan buanglah kotoran darinya (cukurlah rambutnya)". [HR. Bukhari juz 6, hal. 217]
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. احمد 2: 604، رقم: 2725
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa berkehendak untuk meng'aqiqahkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan satu ekor kambing". [HR. Ahmad juz 2, hal. 604, no. 2725]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَ سَمَّاهُمَا وَ اَمَرَ اَنْ يُمَاطَ عَنْ رُؤُوْسِهِمَا اْلاَذَى. الحاكم فى المستدرك 4: 264، رقم: 7588
Dari 'Aisyah RA, ia berkata, "Rasulullah SAW pernah beraqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)". [HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588]
Keterangan :
Hasan dan Husain adalah cucu Rasulullah SAW.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّىابو داود 3: 106، رقم: 2838
Dari Samurah bin Jundab, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Tiap-tiap anak tergadai (tergantung) dengan aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7, di hari itu ia dicukur rambutnya dan diberi nama". [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 106, no. 2838]
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ. تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَ يُحْلَقُ رَأْسُهُ وَ يُسَمَّى. ابن ماجه 2: 1056، رقم: 3165
Dari Samurah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1056, no. 3165]

B. Yang berhubungan dengan binatang sembelihan
1.  Dalam masalah aqiqah, binatang yang boleh dipergunakan sebagai sembelihan hanyalah kambing, tanpa memandang apakah jantan atau betina, sebagaimana riwayat di bawah ini :
عَنْ اُمّ كُرْزٍ اَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنِ اْلعَقِيْقَةِ فَقَالَ: نَعَمْ. عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ وَاحِدَةٌ، لاَ يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ اَمْ اِنَاثًا. الترمذى وصححه، 3: 35، رقم: 1550
     Dari Ummu Kurz (Al-Ka'biyah), bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang aqiqah. Maka jawab beliau SAW, "Ya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik kambing itu jantan maupun betina". [HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya, juz 3, hal. 35, no. 1550]
Dan kami belum mendapatkan dalil yang lain yang menunjukkan adanya binatang selain kambing yang dipergunakan sebagai aqiqah.
2.  Waktu yang dituntunkan oleh Nabi SAW berdasarkan dalil yang shahih ialah pada hari ke-7 semenjak kelahiran anak tersebut. [Lihat dalil riwayat 'Aisyah dan Samurah di atas]

Hal-hal yang perlu diperhatikan :
Dalam masalah aqiqah ini banyak orang yang melakukannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Nabi SAW. Tetapi bila mereka ditanya dalilnya atau tuntunannya, mereka sendiri tidak dapat mengemukakannya dengan jelas.
Maka dalam brosur ini kami suguhkan kepada saudara-saudara kaum Muslimin, dalil-dalil yang biasa dipergunakan sebagai dasar amalan-amalan yang berhubungan dengan masalah aqiqah, sedang dalil tersebut adalah lemah dan tidak dapat dipergunakan sebagai hujjah/alasan dalam masalah hukum. Diantaranya :
1. Adzan dan Iqamah pada telinga bayi yang baru lahir.
عَنْ اَبِى رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص اَذَّنَ فِى اُذُنَيِ اْلحَسَنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ. احمد 9: 230، رقم 23930
Dari Abu Rafi' ia berkata, "Saya pernah melihat Rasulullah SAW membaca adzan (sebagaimana adzan) shalat, pada kedua telinga Hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah". [HR. Ahmad juz 9, hal. 230, no. 23930, dlaif karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ashim bin Ubaidillah]
عَنْ حُسَيْنِ بْنِ عَلِيّ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَاَذَّنَ فِى اُذُنِهِ اْليُمْنَى وَ اَقَامَ فِى اُذُنِهِ اْليُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ  اُمُّ الصّبْيَانِ. ابن السنى: 220
Dari Husain bin Ali RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mempunyai anak yang baru dilahirkan, kemudian ia mensuarakan adzan di telinga yang kanan, dan iqamah pada telinga yang kiri, maka anak itu tidak diganggu oleh Ummush Shibyan (sejenis syaithan)". [HR. Ibnus Sunni hal. 220, dlaif karena dalam sanadnya ada perawi bernama Jabarah bin Mughlis, Yahya bin Alaa dan Marwan bin Salim]
Keterangan :
Hadits yang pertama diriwayatkan juga oleh Hakim dan Baihaqi serta diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan lafadh yang agak berbeda. Dan hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Abu Nu'aim dan Ath-Thabrani sebagai berikut :
اَذَّنَ فِى اُذُنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. ابو نعيم و الطبرانى
Beliau (Nabi SAW) membaca adzan pada telinga Hasan dan Husain RA. [HR. Abu Nu'aim dan Thabrani]
Hadits-hadits tersebut (yang diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, Baihaqi, Abu Dawud dan Imam Tirmidzi di atas) kesemuanya meriwayatkan hadits tersebut dari jalan 'Ashim bin 'Ubaidillah, dan ia telah dituduh dengan keras oleh Imam Syu'bah sebagai pendusta. Dan Imam Bukhari, Abu Zar'ah dan Abu Hatim berkata bahwa riwayat itu munkar. Demikian pula menurut Imam Daruquhtni, ia mengatakan bahwa riwayatnya tidak boleh diterima, sebab ia seorang yang lalai, Ibnu Khuzaimah berkata : "Saya tidak mau berdalil dengan riwayatnya karena ingatannya tidak baik".
Adapun hadits yang kedua (HR. Ibnu Sunni) tersebut juga lemah, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama : Jabarah bin Mughlis, Yahya bin Alaa dan Marwan bin Salim, ketiganya dlaif.
2. Tentang aqiqah yang dikerjakan pada selain hari ke-7 yaitu pada hari yang ke-14, ke-21, setelah tua dan sebagainya, adalah sebagai berikut:
عَنْ عَبْد اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَ ِلاَرْبَعَ عَشْرَةَ وَ ِلاِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ. البيهقى و الطبرانى و اللفظ للبيهقى 9: 303
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda, " Aqiqah itu disembelih pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21 nya". [HR. Baihaqi dan Thabrani, dan lafadh ini bagi Baihaqi juz 9, hal. 303]
عَنْ اَنَسٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ اْلنُّبُوَّةِ. البيهقى 9:
Dari Anas RA bahwasanya Nabi SAW beraqiqah untuk dirinya sesudah beliau menjadi Nabi". [HR. Baihaqi juz 9, hal. 300]
Keterangan :
Hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Thabrani tentang kebolehan beraqiqah pada hari ke-14, dan ke-21 tersebut di atas adalah dla'if, karena dalam isnadnya terdapat seorang bernama Ismail bin Muslim yang dilemahkan oleh Imam-imam : Ahmad, Abu Zar'ah, Nasai dan lain-lain.
Sedang hadits yang menjelaskan bahwa Nabi beraqiqah untuk dirinya setelah menjadi Nabi, itupun tak dapat dipakai sebagai hujjah/dasar, karena dalam isnadnya terdapat seorang bernama Abdullah bin Muharrar yang dilemahkan oleh imam-imam : Ahmad, Jauzani, Daruquthni, Ibnu Hibban, Ibnu Ma'in dan lain-lainnya.
3. Tentang shadaqah seberat rambut yang dicukur dari kepala si Anak
عَنْ عَلِيّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ قَالَ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ بِشَاةٍ وَ قَالَ: يَا فَاطِمَةُ اِحْلِقِى رَأْسَهُ وَ تَصَدَّقِى بِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً فَوَزَنَتْهُ فَكَانَ وَزْنُهُ دِرْهَمًا اَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ. الترمذى 3: 37، رقم: 1556
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata : Rasulullah SAW telah beraqiqah bagi Hasan seekor kambing dan bersabda, "Ya Fathimah, cukurlah rambutnya dan bersedeqahlah seberat rambut kepalanya dengan perak". Maka adalah beratnya satu dirham atau setengah dirham". [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 37, no. 1556, dan ia mengatakan : Ini hadits hasan gharib]
Keterangan :
Hadits ini dlaif, karena sanadnya munqathi' (terputus), karena Abu Ja'far bin Muhammad bin Ali tidak sezaman dengan Ali bin Abu Thalib.
~oO[ A ]Oo~

Islam menyikapi tentang terorisme

TERORISME DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM


Sebelum kita membahas tentang terorisme menurut pandangan agama Islam, terlebih dahulu marilah kita pahami tentang pengertian terorisme.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, artinya :
Terorisme     :  Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).
Teroris          :  adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan politik).
Teror             :  perbuatan sewenang-wenang, kejam, bengis, dalam usaha menciptakan ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan.
Selanjutnya mari kita cermati dan kita tela’ah kembali ajaran Islam, agama yang diridlai Allah SWT, sebagai petunjuk bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia yang sedang kita jalani sekarang ini, maupun kebahagiaan hidup yang haqiqi di akhirat kelak.
Allah SWT mengutus nabi Muhammad SAW dengan membawa agama Islam di tengah-tengah manusia ini sebagai rahmat, dan merupakan suatu kenikmatan yang besar bagi manusia bukan suatu mushibah yang membawa malapetaka. Allah SWT berfirman :

وَ مَآ اَرْسَلْنكَ اِلاَّ رَحْمَةً لّلْعَالَمِيْنَ. الانبياء: 107

Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiyaa’ : 107]
وَ مَآ اَرْسَلْنكَ اِلاَّ كَآفَّةً لّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّ نَذِيْرًا وَّ لكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ. سبأ:28
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [QS. Saba’ : 28]
... قَدْ جَآءَكُمْ مّنَ اللهِ نُوْرٌ وَّ كِتبٌ مُّبِيْنٌ. يَهْدِيْ بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَه سُبُلَ السَّلاَمِ وَ يُخْرِجُهُمْ مّنَ الظُّلُمَاتِ اِلَى النُّوْرِ بِإِذْنِه وَ يَهْدِيْهِمْ اِلى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ. المائدة:15-16
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seidzin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. [QS. Al-Maaidah : 15-16]
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ ايتِه وَ يُزَكّيْهِمْ وَ يُعَلّمُهُمُ اْلكِتبَ وَ اْلحِكْمَةَ وَ اِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَللٍ مُّبِيْنٍ. ال عمران:164
Sungguh Allah telah memberi kenikmatan kepada orang-orang mukmin ketika Allah mengutus di kalangan mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [QS. Ali Imran : 164]

Dari ayat-ayat tersebut dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain, menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan Islam yang diserukannya, benar-benar membawa rahmat di alam semesta ini, dan mengeluarkan manusia dari gelap-gulita (tanpa mengetahui tujuan hidup), ke alam yang terang-benderang, sehingga mengetahui jalan yang lurus yang membebaskan dirinya dari kesesatan menuju jalan yang menyelamatkan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak.

Bahkan sebelum Nabi menyerukan Islam, manusia selalu dalam kekacauan dan permusuhan, sebagaimana peringatan Allah dalam surat Ali Imran : 103
وَ اذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَآءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِه اِخْوَانًا... ال عمران:103
Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara ... [QS. Ali Imran 103]
Oleh karena itu seharusnyalah manusia bersyukur kepada Allah atas diutusnya Nabi Muhammad SAW membawa dinul Islam ini. Karena hanya dengan Islamlah manusia di dunia ini dapat hidup rukun, damai dan saling menebarkan kasih sayang. Dengan mengabaikan Islam, maka dunia akan kacau-balau, terorisme timbul di mana-mana seperti sekarang ini.
Agama Islam yang suci ini dibawa oleh Rasulullah yang mempunyai kepribadian yang suci pula, serta memiliki akhlaqul karimah dan sifat-sifat yang terpuji, sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi, antara lain :
فَبِمَا رَحَمْةٍ مّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَ لَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ اْلقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ. ال عمران:159
Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. [QS. Ali Imran : 159]
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلٌ مّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِاْلمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ. التوبة:128
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. [QS. At-Taubah : 128]
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sifat lemah-lembut serta hati beliau terasa amat berat atas penderitaan yang menimpa pada manusia, maka beliau berusaha keras untuk membebaskan dan mengangkat penderitaan yang dirasakan oleh manusia tersebut.
Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيّ ص اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: يَا عَائِشَةُ، اِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرّفْقَ، وَ يُعْطِى عَلَى الرّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى اْلعُنْفِ وَ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاهُ. مسلم
Dari ‘Aisyah istri Nabi SAW, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Hai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang dan senang kepada kasih sayang, dan Dia memberi (kebaikan) pada kasih sayang itu apa-apa yang Dia tidak berikan kepada kekerasan, dan tidak pula Dia berikan kepada apapun selainnya”. [HR. Muslim juz 4, hal. 2003
اِنَّ اْلفَحْشَ وَ التَّفَحُّشَ لَيْسَا مِنَ اْلاِسْلاَمِ وَ اِنَّ اَحْسَنَ النَّاسِ اِسْلاَمًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. احمد 7: 410، رقم: 20874
Kejahatan dan perbuatan jahat, keduanya sama sekali bukan ajaran Islam. Dan orang yang paling baik Islamnya ialah yang paling baik akhlaqnya. [HR. Ahmad juz 7, hal. 410, no. 20874]
وَ اِذَا اَحَبَّ اللهُ عَبْدًا اَعْطَاهُ الرّفْقَ. مَا مِنْ اَهْلِ بَيْتٍ يُحْرَمُونَ الرّفْقَ اِلاَّ قَدْ حُرِمُوْا. الطبرانى فى الكبير 2: 306، رقم: 2274
Dan apabila Allah mencintai kepada seorang hamba, Allah memberinya kasih sayang (kelemah-lembutan). Dan tidaklah suatu keluarga yang terhalang dari kasih sayang, melainkan mereka terhalang pula dari kebaikan. [HR. Thabrani dalam Al-Kabiir juz 2, hal. 306, no. 2274]
Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa ada seorang ‘Arab gunung kencing di masjid, lalu orang-orang marah, dan akan memukul sebagai hukuman. Kemudian melihat kemarahan para shahabat tersebut, beliau bersabda :
دَعُوْهُ وَ هَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ اَوْ ذَنُوْبًا مِنْ مَاءٍ، فَاِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسّرِيْنَ وَ لَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسّرِيْنَ. البخارى 1: 61
Biarkanlah dia, dan siramlah pada bekas kencingnya itu seember atau setimba air, karena sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk memberi kemudahan bukan diutus untuk membuat kesukaran/kesusahan. [HR. Bukhari juz 1, hal. 61]

Dalam sabdanya yang lain :
عَنْ اَنَسٍ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: يَسّرُوْا وَ لاَ تُعَسّرُوا وَ بَشّرُوْا وَ لاَ تُنَفّرُوْا. البخارى 1: 25
Dari Anas, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Permudahlah dan jangan mempersulit. Dan gembirakanlah dan jangan kalian membuat manusia lari”. [HR. Bukhari, juz 1, hal. 25 ]
Setelah kita cermati kembali tentang dinul Islam sekaligus peribadi Rasulullah SAW yang diamanati oleh Allah SWT untuk menyebarkan dinul Islam ke seluruh ummat manusia, maka jelas sekali bahwa terorisme sama sekali tidak dikenal, bahkan bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Terorisme dengan menggunakan kekerasan, kekejaman serta kebengisan dan cara-cara lain untuk menimbulkan rasa takut dan ngeri pada manusia untuk mencapai tujuan.
Sedangkan Islam dengan lemah-lembut, santun, membawa khabar gembira tidak menjadikan manusia takut dan lari, serta membawa kepada kemudahan, tidak menimbulkan kesusahan, dan tidak ada paksaan.
Bahkan dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa dalam peperangan pun Nabi SAW berpesan kepada para shahabat, sabda beliau :
ياَاَيُّهَا النَّاسُ، لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ اْلعَدُوّ، وَ اسْأَلُوا اللهَ اْلعَافِيَةَ، فَاِذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاصْبِرُوْا وَ اعْلَمُوْا اَنَّ اْلجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ. مسلم 3: 1362
Hai manusia, janganlah kamu menginginkan bertemu dengan musuh, dan mohonlah kepada Allah agar kalian terlepas dari marabahaya. Apabila kalian bertemu dengan musuh, maka bershabarlah dalam menghadapi mereka, dan ketahuilah bahwasanya surga itu dibawah bayangan pedang”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1372

Pesan Nabi SAW tersebut menunjukkan betapa kasih sayang beliau terhadap jiwa manusia, sekalipun dalam peperangan sedapat mungkin menghindari bertemu musuh agar tidak terjadi marabahaya. Namun kalau terpaksa bertemu dengan musuh, jangan takut dan jangan dihadapi dengan hawa nafsu yang melampaui batas, tetapi hendaklah dihadapi dengan shabar dan tabah, karena surga di bawah bayangan pedang.
Memang kedua hal tersebut mempunyai tujuan yang berbeda. Terorisme biasanya digunakan untuk tujuan politik, kekuasaan, sedangkan Islam bertujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kebahagiaan hidupnya dengan dilandasi rasa kasih sayang hanya semata-mata mengharap ridla Allah SWT.
Oleh karena itu rasanya tidak berlebihan kalau ada orang yang mengatakan bahwa “politik itu kotor”, karena dalam mencapai tujuannya dengan menghalalkan segala cara, sekalipun dengan terorisme. Dengan demikian bagi seorang muslim haram hukumnya mendukung, mengikuti alur politik yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan politiknya.
Yang demikian itu bukan berarti orang Islam tidak boleh berpolitik, tidak boleh meraih kekuasaan. Boleh berpolitik, tetapi tidak boleh keluar dari bingkai Islam, dengan tujuan untuk kejayaan Islam dengan mengharap ridla Allah semata-mata.
Dalam mencapai kesuksesan cita-cita harokahnya, Rasulullah melalui cara-cara yang ditunjukkan oleh Allah serta berusaha memenuhi persyaratan untuk memperoleh janji Allah, karena janji Allah pasti tepat dan tidak perlu diragukan.

Rasulullah SAW membina kekuatan dari bawah, sebagaimana firman Allah :
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَ فَرْعُهَا فِى السَّمَآءِ. تُؤْتِي اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ بِاِذْنِ رَبّهَا، وَ يَضْرِبُ اللهُ اْلاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ. وَ مَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيْثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ اْلاَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ. ابراهيم:24-26
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan idzin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat-kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. [QS. Ibrahim : 24-26]

Rasulullah membina dasar tauhid pada ummat manusia + 10 tahun di Makkah dengan penuh tantangan, tindak kekejaman dan terorisme dilakukan oleh orang-orang musyrikin dan kafirin Makkah terhadap Nabi dan para pengikutnya.
Namun teror-teror yang dilakukan oleh mereka tidak menjadikan kaum muslimin takut, malah makin bertambah kuat dan mendorong lebih dekat dan berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT.
Dalam suatu peristiwa, orang kafir melakukan teror dengan ucapan :
اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًا وَّ قَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ اْلوَكِيْلُ. ال عمران:173
Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka. Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung”. [QS. Ali Imran : 173]
Itulah buah tauhid yang kuat, bagaikan pohon yang baik, tidak akan tumbang walaupun dihempas badai topan yang dahsyat.
Untuk menumbuhkan pohon-pohon yang baik seperti itu perlu menanam dan memelihara dengan sungguh-sungguh, bekerja keras dan ikhlash, semata-mata karena Allah, tidak mudah tergiur dengan tipudaya dunia yang dapat membelokkan cita-cita yang mulia.
Oleh karena itu ketika Rasulullah mendapat tawaran materi, bahkan akan diangkat menjadi raja (penguasa) di negeri itu asalkan beliau mau berhenti dari dakwahnya, dengan tegas beliau menjawab, “Andaikata kamu dapat menaruh bulan dan matahari di kedua tanganku, aku tidak akan berhenti berdakwah, sehingga agama Allah ini menjadi terang (menjadi kehidupan manusia) atau aku mati karena membelanya”.

Dengan kuat beliau menanamkan kepada ummatnya akan janji Allah.
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ امَنُوْا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصّلِحتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى اْلاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ، وَ لَيُمَكّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضى لَهُمْ وَ لَيُبَدّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًا، يَعْبُدُوْنَنِيْ وَ لاَ يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْئًا، وَ مَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذلِكَ فَاُولئِكَ هُمُ اْلفسِقُوْنَ. النور:55
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridlai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq. [QS. An-Nuur : 55]
Penekanan pada akhir ayat tersebut perlu mendapat perhatian bagi kita semua, terutama para politikus muslim, “Barangsiapa tetap kafir sesudh janji itu”, maksudnya : Dengan memilih cara lain dalam mencapai tujuannya dan meninggalkan jalan yang dijanjikan oleh Allah, yakni dengan memperkokoh iman serta memperbanyak amal shaleh, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.
وَ اللهُ لاَ يَهْدِى اْلقَوْمَ اْلفسِقِيْنَ. التوبة:24
Dan Allah tidak menunjuki orang-orang yang fasiq. [QS. At-Taubah : 24]
Kaum politisi yang ada sekarang sekalipun muslim, pada umumnya tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Mereka berjuang hanya untuk memperoleh kursi (kedudukan).
Maka tidak ada kegiatan dakwah untuk membina ummat secara serius agar mempunyai landasan dasar tauhid yang kuat seperti pohon yang baik sebagaimana yang digambarkan oleh Allah SWT.
Da’i kaum politisi aktif berdakwah menyelenggarakan pengajian-pengajian dan kegiatan-kegiatan keagamaan hanya ketika menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk meraih simpati dari masyarakat, dan setelah selesai Pemilu selesai pulalah kegiatan-kegiatan tersebut. Sudah tidak lagi ada pengajian-pengajian, aktifitas-aktifitas sebagaimana sebelum terselenggaranya Pemilu.
Maka hasilnya seperti pohon yang jelek, akarnya rapuh, tidak memiliki daya tahan. Jangankan dengan hempasan badai topan yang besar, dengan angin sepoi-sepoi saja cukup dapat menumbangkan pohon tersebut, dan terangkat seakar-akarnya sehingga tidak lagi dapat tegak berdiri. Keadaan yang demikian itu, maka tidak perlu tawaran kursi raja sebagaimana yang ditawarkan kepada Nabi, melainkan dengan kursi RT pun sudah cukup dapat merontokkan tujuan dakwah yang sangat mulia.
Dengan alasan kesibukan tugasnya sebagai RT sudah tidak ada waktu lagi (tidak ada tempat) untuk membina ummat, berdakwah, menyelenggarakan pengajian dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain guna memperbaiki aqidah dan pengamalan agamanya dalam kehidupan sehari-hari,

نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ ذلِكَ

(Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian) 
Kalau demikian keadaannya, apa yang kita harapkan dari kaum politisi untuk Islam ini ? Politikus Islam pun kadang lepas dari kendali agama, dengan entengnya menghina, merendahkan, bahkan memfitnah untuk menjatuhkan sesama muslim, hanya karena berbeda aspirasi politiknya, bahkan sampai menghalalkan darahnya.
Keadaan yang demikian, akibatnya ukhuwah Islamiyah rusak, timbul saling dengki-mendengki, benci-membenci sehingga ummat Islam menjadi lumpuh tidak berdaya, sekalipun jumlahnya besar. Padahal Allah SWT telah memperingatkan :
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مّنْ قَوْمٍ عَسى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مّنْهُمْ. الحجرات:11
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (golongan) memperolok-olok kaum (golongan) yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka (yang memperolok-olok). [QS. Al-Hujuraat : 11]

Nabi SAW telah memperingatkan juga bahwa sesama muslim adalah saudara dan haram darahnya, haram kehormatannya dan haram hartanya. Namun itu semua tidak diindahkan.
Memperhatikan praktek-praktek yang ada, rasanya tidak tampak partai yang memperjuangkan Islam di negeri ini, bahkan terjebak dalam pertikaian, terorisme, saling menjatuhkan untuk mencapai tujuan, baik partai yang beridentitas Islam maupun yang tidak beridentitas Islam, hampir tidak ada bedanya.
Oleh karena itu melalui kesempatan ini semoga dapat menjadi jembatan, menyadarkan para politikus muslim, hendaklah mempererat persaudaraan sesama muslim, walaupun berbeda partai, tetapi tetap membawa misi yang sama :

عِزُّ اْلاِسْلاَمِ وَ اْلمُسْلِمِيْنَ

(kejayaan Islam dan muslimin
dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk Allah dan praktek Rasulullah dalam menggalang ummat, serta menghindari terorisme dalam mencapai tujuan.
Dengan demikian, jelas dan teranglah bahwa Terorisme dalam pandangan agama Islam tidak dibenarkan, dan jauh dari tuntunan Islam. Semoga bermanfaat.
اَللّهُمّ اَرِنَا اْلحَقَّ حَقًّا وَ ارْزُقْنَا اتّبَاعَهُ وَ اَرِنَا اْلبَاطِلَ بَاطِلاً وَ ارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. اَللّهُمَّ اِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَ غَلَبَةِ اْلعَدُوّ وَ شَمَاتَةِ اْلاَعْدَاءِ. رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ.

~oO[ A]Oo~
 Brosur MTA no. : 1472/1512/IA