Ritual Mengubur Ari-Ari
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Assalamu’alaikum
Bagaimana tuntunan nabi tentang tata cara penguburan plasenta
bayi yang baru lahir (ari-ari:
bahasa Jawa)? Karena di daerah saya plasenta dikubur kemudian di atasnya
dinyalakan lampu, bagaimana hukumnya? Syukron atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum
Dari: Hafidz Fatah
Jawaban:
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Terdapat hadis-hadis
dari Aisyah, bahwa beliau mengatakan,
كان يأمر بدفن سبعة أشياء من الإنسان
الشعر والظفر والدم والحيضة والسن والعلقة والمشيمة
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur tujuh hal
potongan badan manusia; rambut, kuku, darah, haid, gigi, gumpalan darah, danari-ari.”
Hadis ini disebutkan dalam Kanzul Ummal no. 18320 dan As-Suyuthi dalam Al-Jami As-Shagir dari Al-Hakim, dari Aisyah.
Al-Munawi dalam
Syarhnya, mengatakan,
وظاهر صنيع المصنف أن الحكيم خرجه
بسنده كعادة المحدثين، وليس كذلك، بل قال: وعن عائشة، فساقه بدون سند كما رأيته في
كتابه ” النوادر “، فلينظر
“Zhahir yang dilakukan penulis (As-Suyuthi) bahwa Al Hakim
meriwayatkan hadis ini dengan sanadnya sebagaimana kebiasaan ahli hadis. Namun
kenyataannya tidak demikian. Akan tetapi, beliau hanya mengatakan, “..dari
Aisyah”, kemudian Al Hakim membawakannya tanpa sanad, sebagaimana yang
saya lihat dalam kitabnya An Nawadir.
Silahkan dirujuk. (Faidhul Qadir, 5:198)
Karena itu para ulama menilai hadis ini sebagai hadis dhaif,
sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil. (Silsilah Ahadits Dhaifah, 5:382)
Semakna dengan hadis ini adalah riwayat yang dibawakan Al
Baihaqi dalamSyu’abul Iman, dari Abdul Jabbar bin Wail dari bapaknya, beliau mengatakan,
أنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ بِدَفْنِ الشَّعْرِ وَالْأَظْفَارِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur rambut dan
kuku.” (Syu’abul Iman, no. 6488).
Setelah membawakan
hadis ini, Al Baihaqi memberikan komentar,
هَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ وَرُوِيَ
مِنْ أَوْجُهٍ، كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ
“Sanad hadis ini
dhaif. Hadis yang semisal disebutkan dalam beberapa riwayat dan semuanya
dhaif.”
Karena itulah, Imam Ahmad pernah mengatakan,
“Boleh mengubur rambut dan kuku. Namun jika tidak dilakukan, kami berpendapat,
tidak mengapa.” Keterangan beliau ini diriwayatkan oleh Al Khallal dalam At Tarajjul, Hal. 19.
Hanya saja, sebagian ulama menganjurkan agar ari-ari pasca melahirkan dikubur sebagai bentuk memuliakan Bani Adam.
Karena bagian dari memuliakan manusia adalah mengubur bagian tubuh yang
terlepas, salah satunya ari-ari. Disamping itu, tindakan semacam ini akan lebih
menjaga kebersihan dan tidak mengganggu lingkungan.
As Suyuthi mengatakan, “Beliau menyuruh untuk
mengubur rambut, kuku, darah, .. dan ari-ari, karena semua benda ini adalah
bagian dari tubuh manusia, sehingga benda ini dimuliakan sebagaimana
keseluruhan badan manusia dimuliakan.” (As-Syamail As-Syarifah, Hal. 271)
Klenik dalam Ritual Penguburan Ari-ari
Jika kita mengambil pendapat para ulama yang
menganjurkan mengubur ari-ari, satu hal yang perlu diingat, ini sama sekali bukanlah
menganjurkan Anda untuk melakukan berbagai ritual ketika menguburkan benda ini.
Sama sekali tidak menganjurkan demikian. Bahkan jika sikap semacam ini diiringi
dengan berbagai keyakinan tanpa dasar, maka jadinya tahayul dan khurafat yang
sangat dilarang syariat.
Memberi lampu selama 40 hari, di kubur bersama pensil, bunga,
jarum, gereh, pethek, sampai kemiri gepak jendhul, semua ini pasti dilakukan
karena tujuan tertentu.
Ketika ini diyakini bisa menjadi sebab agar bayinya memiliki
kemampuan tertentu, atau agar bayinya mendapatkan semua yang bisa membahagiakan
hidupnya, maka berarti termasuk mengambil sebab yang sejatinya bukan sebab. Dan
itu termasuk perbuatan syirik kecil.
Selanjutnya, berikut hal penting yang perlu kita perhatikan
terkait masalah semacam ini.
Pertama: Ada sebuah kaidah dalam ilmu akidah yang
disebutkan oleh para ulama. Kaidah itu menyatakan, “Menjadikan sesuatu sebagai
sebab, dan (pada hakikatnya) itu bukan sebab, adalah sebuah syirik kecil.”
Kedua: “Sebab” itu ada dua macam:
Sebab syar’i, yaitu ketetapan bahwa sesuatu merupakan sebab, berdasarkan dalil dari Alquran dan sunah, baik terbukti secara penelitian ilmiah maupun tidak. Contoh: Ruqyah (pengobatan dengan membaca Alquran) bisa digunakan untuk mengobati orang yang sakit atau kesurupan jin, sebagaimana disebutkan dalam beberapa dalil. Dengan demikian, meyakini ruqyah sebagai sebab agar seseorang mendapat kesembuhan adalah keyakinan yang diperbolehkan, meskipun hal tersebut belum terbukti secara ilmiah.
Sebab kauni (sunnatullah), adalah ketetapan bahwa sesuatu
merupakan sebab yang diterima berdasarkan hasil penelitian ilmiah, yang
memiliki hubungan sebab-akibat. Dan bukan semata klaim ilmiyah, dalam arti
mengilmiahkan yang bukan ilmiah. Misalnya: Paracetamol menjadi sebab untuk
menurunkan demam.
Ketiga: Bahwa semua sebab itu telah ditentukan oleh
Allah, baik secara syar’i maupun kauni, dan tidak ada sebab lain, selain dua
hal ini. Oleh karena itu, kita tidak boleh menganggap sesuatu sebagai sebab,
padahal tidak ada dalilnya ATAU tidak terbukti secara penelitian ilmiah.
Bahkan, ini termasuk syirik kecil.
Jika kita menimbang keterangan di atas, kita
sangat yakin tidak ada hubungan sama sekali antara lampu yang dinyalakan di
atas ‘makam’ ari-ari dengan jalan terang yang akan diperoleh si anak ketika
hidupnya. Demikian pula kita sangat yakin tidak ada hubungan antara mengubur
pensil dengan kondisi bahwa bayi ini akan menjadi anak yang pintar menulis,
dst. Semua itu hanyalah karangan, tahayul, dan khurafat yang tidak berdasar dan
tidak selayaknya dilakukan oleh seorang mukmin yang berakal.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasi
Syariah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar