Hukum Membongkar Kuburan
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam Bersabda:
كَسْرُ عَظْمِ الَْـمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
“Mematahkan tulang
mayit seperti mematahkannya ketika hidup.” (Hadits Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah. Dishahihkan
Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil)
Fatwa Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu
Dalam hal ini tentunya
ada perbedaan antara kuburan orang-orang Islam dan kuburan orang-orang kafir.
Membongkar kuburan muslimin adalah tidak diperbolehkan kecuali setelah lumat
dan menjadi hancur. Hal itu dikarenakan membongkar kuburan tersebut menyebabkan
koyak/pecahnya jasad mayit dan tulangnya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan:
كَسْرُ عَظْمِ الَْـمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
“Mematahkan tulang
mayit seperti mematahkannya ketika hidup.”1
Maka seorang mukmin
tetap terhormat setelah kematiannya sebagaimana terhormat ketika hidupnya.
Terhormat di sini tentunya dalam batasan-batasan syariat.
Adapun tentang
membongkar kuburan orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki kehormatan
semacam ini sehingga diperbolehkan membongkarnya berdasarkan apa yang terdapat
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah, awal mula yang beliau lakukan adalah
membangun Masjid Nabawi yang ada sekarang ini. Dahulu di sana ada kebun milik
anak yatim dari kalangan Anshar dan di dalamnya terdapat kuburan orang-orang
musyrik. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada
mereka:
ثَامِنُونِي حَائِطَكُمْ
“Hargailah kebun kalian
untukku.”
Yakni, juallah kebun
kalian untukku. Mereka menjawab: “Itu adalah untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya. Kami tidak menginginkan hasil penjualan darinya.”
Karena di situ
terdapat reruntuhan dan kuburan musyrikin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun memerintahkan agar kuburan musyrikin tersebut dibereskan. Maka
(dibongkar) dan diratakanlah, serta beliau memerintahkan agar reruntuhan itu
dibereskan untuk selanjutnya diruntuhkan. Lalu beliau mendirikan Masjid Nabawi
di atas tanah kebun tersebut.
Jadi, membongkar
kuburan itu ada dua macam: untuk kuburan muslimin tidak boleh, sementara
kuburan orang-orang kafir diperbolehkan.
Saya telah isyaratkan
dalam jawaban ini bahwa hal itu tidak boleh hingga mayat tersebut menjadi
tulang belulang yang hancur, menjadi tanah. Kapan ini? Ini dibedakan
berdasarkan perbedaan kondisi tanah. Ada tanah padang pasir yang kering di mana
mayat tetap utuh di dalamnya masya Allah sampai sekian tahun. Ada pula tanah
yang lembab yang jasad cepat hancur. Sehingga tidak mungkin meletakkan patokan
untuk menentukan dengan tahun tertentu untuk mengetahui hancurnya jasad. Dan
sebagaimana diistilahkan “orang Makkah lebih mengerti tentang lembah-lembahnya
di sana” maka orang-orang yang mengubur di tanah tersebut (lebih) mengetahui
waktu yang dengannya jasad-jasad mayat itu hancur dengan perkiraan. (Fatawa
Asy-Syaikh Al-Albani hal. 53)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah
Pada asalnya tidak
boleh membongkar kubur mayit serta mengeluarkan mayit darinya. Karena bila
mayit telah diletakkan dalam kuburnya, artinya dia telah menempati tempat
singgahnya serta mendahului yang lain ke tempat tersebut. Sehingga tanah kubur
tersebut adalah wakaf untuknya. Tidak boleh seorangpun mengusiknya atau
mencampuri urusan tanah tersebut. Juga karena membongkar kuburan itu
menyebabkan mematahkan tulang belulang mayit atau menghinakannya. Dan telah
lewat larangan akan hal itu pada jawaban pertanyaan pertama.
Hanyalah diperbolehkan membongkar kuburan mayit itu dan
mengeluarkan mayit darinya, bila keadaan mendesak menuntut itu, atau ada
maslahat Islami yang kuat yang ditetapkan para ulama.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala-lah yang memberi taufiq semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi
kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Ditandatangani oleh
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh
Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da`imah, 9/122)
1 Shahih, HR. Ahmad
(6/58, 105, 168, 200, 364) Abu Dawud (3207) Ibnu Majah (1616) dan yang lain.
Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, lihat Irwa`ul Ghalil: 763, Ahkamul
Jana`iz, hal. 233.
Melepas Sandal Ketika Masuk Kuburan
Disyariatkan bagi yang masuk kuburan untuk melepas kedua
sandalnya, berdasarkan apa yang
diriwayatkan oleh Basyir bin Al-Khashashiyyah radhiyallahu ‘anhu, ia
mengatakan:
Ketika aku berjalan
mengiringi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata ada seseorang
berjalan di kuburan dengan mengenakan kedua sandalnya. Maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan:
يَا صَاحِبَ السَبْتِيَّتَيْنِ أَلْقِ سَبْتِيَّتَيْكَ
“Hai pemakai dua sandal
tanggalkan kedua sandal kamu!”. Orang itu pun menoleh. Ketika dia tahu bahwa itu
ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepaskannya serta
melemparkan keduanya. (HR. Abu Dawud)
Al-Imam Ahmad
rahimahullahu berkata: “Sanad hadits Basyir bin Al-Khashashiyyah bagus. Aku berpendapat
dengan apa yang terkandung padanya kecuali bila ada penghalang.”
Penghalang yang
dimaksudkan Al-Imam Ahmad adalah semacam duri, kerikil yang panas, atau semacam
keduanya. Ketika itu, tidak mengapa berjalan dengan kedua sandal di antara
kuburan untuk menghindari gangguan itu.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala-lah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas
Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para
sahabatnya.
Ditandatangani oleh
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh
Abdullah Ghudayyan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/123-124)
Khalisarahma blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar